BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Kamis, 23 Februari 2012

Meletakkan pada tempatnya



Dalam masalah tuntunan agama, perantara (wasilah) yang benar adalah perantara yang sesuai dengan yang ditentukan Allah, dan bukan ditentukan oleh akal pikiran manusia. 
Artinya, harus sejalan dengan tuntunan Allah dan bukan sekadar dianggap baik oleh pikiran kita.

Malaikat adalah perantara; perantara yang menyampaikan firman Allah Azza wa Jalla kepada para rasul. 
Rasul adalah perantara; perantara yang menyampaikan tuntunan Allah kepada semua umat manusia. 
Ustad adalah perantara; perantara yang membuat kita mengetahui tuntunan Rasulullah Saw yang benar. 

Namun, ketika kita berjalan di atas tuntunan Islam yang lurus, hakekatnya Allah jugalah yang berkehendak.








PENGERTIAN WASILAH YANG SESUAI AJARAN ISLAM

Alat, sarana atau wasilah adalah sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan suatu kejadian. 
Tapi ia sesungguhnya bukan yang menjadi sebab pasti suatu perkara terjadi; karena hakekatnya semua perkara terjadi hanya dengan sebab kehendak Allah.   


Alat, sarana atau wasilah hanyalah sekadar penghubung (perantara) yang ikut menyebabkan suatu perkara terjadi; tapi bukan penyebab utama. 
Jadi, sarana atau wasilah yang dibenarkan adalah yang sesuai dengan yang dituntunkan dan dikehendaki Allah.

Jika seseorang menjadi kaya raya karena berdagang, maka berdagangnya itu merupakan hanya sekadar sarana; hakekatnya Allah jugalah yang berkehendak mengantarnya jadi kaya raya. 

Jadi, berdagang merupakan salah satu wasilah --yang dibenarkan dan sesuai tuntunan Allah-- jika seseorang ingin kaya raya. 
Amatlah salah jika seseorang yang ingin kaya raya malah pergi ke kuburan atau membawa-bawa keris.


Begitu juga seseorang yang ingin jadi penyanyi yang terkenal, ia harus belajar ilmunya kepada seorang guru nyanyi. 
Guru nyanyi tersebut bisa dikategorikan sekadar perantara yang mengantarkannya jadi penyanyi termasyhur; hakekatnya Allah jugalah yang berkehendak menjadikannya sebagai penyanyi tenar. 

Amatlah salah jika ingin jadi penyanyi terkenal tapi yang didatanginya malah dukun atau mandi air keramat.



Jadi  --dalam menghubungkan keinginan manusia dengan kehendak Allah-- dukun, keris, kuburan, sesaji, air keramat dan serupanya, tidak boleh dijadikan perantara. 
Sebab ajaran Allah tidak menentukan benda-benda tersebut boleh dijadikan sebagai wasilah. 

Dan menentukan sesuatu yang tidak sesuai tuntunan Allah dan Rasulullah Saw, sadar atau tidak, merupakan kemungkaran terhadap Allah dan Rasul.


Pantas diingatkan, segala sesuatu itu harus didudukkan pada tempatnya yang tepat; jangan sampai kita menyalahtempatkan yang boleh dan yang tidak, yang benar dan yang batil. 

Sebab kebiasaan menyalahtempatkan sebuah dalil atau alasan, selain biasa dilakukan oleh orang yang bodoh, biasanya dilakukan oleh orang yang mau menang sendiri

Apa kita mau disebut orang yang mau menang sendiri?







MASALAH GHOIB 

Ada perasaan minder (rendah diri) pada sebagian Muslim tatkala membandingkan Islam dengan agama lain. 

Karena agama lain banyak menceritakan mujizat, mereka pun lebih menonjolkan kesaktian para wali yang hanya berupa dongeng daripada mengedepankan tuntunan Nabi Saw. 
Tampaknya mereka malu bila agamanya kalah hebat bila dibandingkan dengan legenda yang ada. 

Pada klimaksnya, mereka dengan bangga menceritakan keanehan wali dan tokoh di kelompoknya. Seakan-akan agama baru bisa dibilang benar jika mengandung unsur-unsur keajaiban serupa itu. 

Padahal kebenaran sebuah agama hanya bisa didapat dengan pengkajian dan perenungan akal yang bersih; yang jauh dari ketakhayulan.



Realitanya, banyak orang kafir yang bisa main sulap dan hipnotis yang luar biasa hebatnya. 
Apa yang terjadi menunjukkan sesuatu yang dinilai gaib atau sakti bisa dilakukan siapa pun, termasuk oleh orang kafir dan atheis. 
Malah apa yang dilakukan mereka tampaknya lebih hebat daripada yang bisa dilakukan para kiai atau wali sekalipun.


Karenanya, walau seorang Muslim harus percaya adanya karamah dan mujizat, namun tak boleh terbelenggu dengannya. 
Artinya, janganlah kita menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang amat jarang terjadi tersebut; sementara kewajiban kita melaksanakan ritus ibadat terlalaikan.







SIAL ATAU TIDAK SIAL MENURUT YANG BERAKAL DAN YANG BODOH

Sial atau tidak sial harus diletakkan pada tempatnya. 

Sebab dalam tuntunan Islam tidak dikenal bahwa sesuatu itu  --apakah itu orang, tempat, hari atau apapun juga-- sudah ditetapkan sebagai pembawa sial atau akan mengakibatkan petaka. 


Sesuatu itu baru bisa disebut pembawa sial jika sesuatu itu mengakibatkan kesialan secara masuk akal, dan bukan kesialan yang bersifat takhayul. 

Seorang suami disebut pembawa sial jika ia tidak bertanggung jawab kepada keluarganya. 
Seorang isteri bisa disebut pembawa sial jika ia menghamburkan uang nafkah dari suaminya untuk hal-hal yang tidak perlu. 
Seorang anak boleh disebut pembawa sial jika ia berperilaku bejat. 

Jadi, setiap tindakan yang salah atau perilaku yang buruk bisa saja disebut pembawa sial, atau menyebabkan kesialan.


Seorang pedagang yang bangkrut dan kemudian menuduh tempat usahanya sebagai pembawa sial, adalah pedagang yang picik yang berusaha menutupi kebodohannya dalam berdagang. 

Sebab, bangkrutnya suatu usaha bukan semata-mata disebabkan tempatnya tapi lebih disebabkan karena cara berdagangnya; baik karena lokasinya yang tidak strategis, mutu barang yang dijualnya tidak cocok, atau cara melayaninya yang kurang ramah. 

Jadi, orang yang suka menuduh sesuatu itu sebagai pembawa sial adalah pecundang yang berusaha menutupi ketidakbecusannya.


Begitu juga dengan waktu atau bilangan tertentu, dalam Islam tak dikenal yang namanya hari yang sial, bulan yang sial, atau angka yang sial. 

Sebab, penyebab kesialan yang sebenarnya adalah keterbelakangan dan kepicikan kita, yang tak bisa meletakkan suatu perkara pada tempatnya.







SESUAI SITUASI DAN KONDISI

Ketika si anak mau berangkat ke pasar, si ibu berkata: “Hati-hati di jalan. Jangan lupa membawa tas belanjaan”.

Perintah untuk hati-hati di jalan, jelas merupakan perintah yang berlaku umum. 
Kemana pun kita pergi, sudah sepantasnya kita berhati-hati, bukan hanya jika mau ke pasar saja. 

Sedangkan perintah untuk membawa tas belanjaan, jelas merupakan suatu keutamaan jika kita mau ke pasar atau mau berbelanja. 
Tapi tidak lucu jika perintah ini dianggap wajib saat kita mau ke sekolah, ke bioskop, atau saat mau wakuncar.


Kalau dalam masalah keduniawian yang sepele seperti di atas, kita harus bisa meletakkan sesuatu itu pada kondisinya, terlebih pada perintah agama. 

Jelas, keterangan bahwa ajaran agama tidak memberatkan umatnya, adalah berlaku umum untuk semua kegiatan beragama kita. 

Sementara perintah berperang, hanya berlaku ketika diperangi
Sebab, selama cara yang santun masih bisa dilakukan, berperang itu merupakan pilihan terakhir.







MAKAN SAMBIL BERDIRI

Ada hadis --bukan ayat Qur’an-- yang melarang Muslim makan sambil berdiri. 
Tapi tidak ada hadis yang mengklasifikasikan makanan. 
Artinya, setiap benda padat yang biasanya lumrah untuk dimakan adalah makanan. 

Jadi, rujak, piza, popcorn, odading, permen, coklat dan es krim pun termasuk makanan. 
Tanpa pengecualian (dalam hal ini, tanpa dalil agama yang tegas dan jelas, kita tak punya hak membuat kekecualian).
Pertanyaannya, apa kalau kita mengemut permen atau coklat harus duduk dulu sampai makanan tersebut habis? 


Relitanya, di zaman ini, orang makan cakueh atau menyantap burger bukan saja sambil berdiri, malah sambil berjalan-jalan. 

Jelas, larangan makan sambil berdiri lebih terkait dengan etika kepatutan melakukannya. 
Dan bukan larangan haram.

Makan coklat sambil duduk pun menjadi tidak patut, jika situasinya melanggar etika kesopanan. 
Apa pantas, ketika sedang diwawancarai waktu melamar kerja, kita mengemut permen padahal sambil duduk? 

Sebaliknya, selama sesuai dengan situasi etika lingkungannya, makan sambil berdiri tidaklah haram. 
Paling hukumnya sekadar makruh.







MEMELIHARA ANJING

Larangan haram yang ada di dalam Al Qur’an, suka ataupun tidak suka, tetap hukumnya mutlak haram sampai hari kiamat tiba pun

Sebaliknya, sesuatu yang tidak ada larangan haramnya dalam Al Qur’an, tidak boleh dihukumkan haram; sebab mustahil Allah Swt lupa mengharamkannya. 

Karenanya, selama tempat dan keadaannya memungkinkan, memelihara anjing di dalam rumah hukumnya sekadar makruh yang amat sangat (makruh tahrimi, mendekati haram); dan bukan haram mutlak.

Yang jelas, rumah seorang Muslim yang selain sempit juga reyot dan mau runtuh, amat sangat tidak layak bila lebih dipersempit lagi dengan adanya seekor anjing.







PERKARA RITUS IBADAT HARUS ADA CONTOH

Dalam konteks ritus ibadat, kita harus melakukannya sesuai yang dicontohkan Nabi Saw

Dari sebab itu, karena solat di angkasa luar tidak kita ketahui caranya --karena tak ada contohnya-- maka makna solat kita kembalikan kepada hakekat asalnya yaitu berdoa. 
Jadi, kosmonot yang sedang berada di angkasa luar cukup berdoa di sepanjang perjalanannya.

Begitu pula dengan saum Ramadhan, di angkasa luar tidak perlu dilaksanakan; tapi cukup dikodo jika sudah kembali di bumi. 

Sebab jika solat dan saum di ruang angkasa harus didirikan seperti layaknya di bumi, maka kita akan membuat beberapa ketentuan; padahal manusia tak punya hak menentukan tatacara ibadat. 
Contohnya, bagaimana menentukan waktu subuh atau magrib? 
Padahal, saat mengitari bumi di angkasa luar, kita bisa melihat matahari terbit dan tenggelam beberapa kali dalam sehari. 








PENEMPATAN SIMBOL PADA SITUASI DAN KONDISINYA

Dalam masalah keduniawian kita boleh menjadikan sesuatu sebagai simbol atau maskot. 
Contohnya, gajah sebagai lambang ilmu; gagak sebagai maskot keperkasaan; obor atau lilin sebagai simbol kemajuan. 

Tapi sapi, gajah, gagak, obor, lilin --atau apapun juga-- tidak boleh dijadikan sebagai lambang pembawa keberuntungan (berkah) ataupun kesialan.

Jelas, penyimbolan itu dibolehkan; dengan syarat penyimbolan kita itu berbeda dengan penyimbolannya agama nonmuslim.

Adalah hak nonmuslim, apapun agamanya, untuk menjadikan lilin sebagai lambang tuhan.  
Tapi juga hak seorang Muslim jika menilai lilin hanyalah sekadar alat penerangan atau sekadar simbol untuk bekerja keras. 

Adalah hak seseorang menjadikan salib sebagai lambang berkah; tapi juga merupakan hak orang lainnya jika menilai salib sekadar simbol kematian orang yang berdosa (sebab hanya orang yang dinilai bersalah atau berdosa yang matinya di salib, di tiang gantungan, atau di kursi listrik). 

Begitu pula, seorang Muslim tidak perlu marah jika nonmuslim menilai bulan bintang sebagai lambang alam semesta atau sekadar simbol astrologi (paranormal).


Dari sebab itu, seorang Muslim boleh menjadikan lilin, salib, atau swastika sebagai simbol, asal arti penyimbolannya berbeda dengan penyimbolan nonmuslim. 

Kalau penggunaan lilin dianggap tidak boleh hanya karena dinilai sebagai simbol nonmuslim, berarti di waktu listrik padam kita tak boleh menyalakan lilin. Apa begitu? 
Apa bedanya waktu listrik padam dengan waktu ulang tahun? 

Jelas, di saat ulang tahun kita boleh memakai lilin jika sekadar sebagai simbol untuk bekerja keras; tapi tidak boleh jika menyimbolkannya sebagai pembawa berkah. [1]







MENEMPATKAN NAJIS DAN HARAM 

Babi (seluruh bagiannya, seperti kulit, daging, maupun tulang) itu najis, artinya haram dimakan; tapi tidak ditemukan haramnya kulit babi dijadikan sepatu atau ikat pinggang.

Tinja itu najis dan tidak layak dimakan.  
Pertanyaannya, kalau ikan makan tinja; apa jika kita memakan ikan tersebut sama dengan makan tinja?  
Ayam makan babi; apa daging ayam itu jadi haram? Tentu: tidak.

Bangkai hewan laut, seperti ikan dan cumi, itu halal. Artinya, walau matinya di darat, bangkai hewan laut boleh dijadikan makanan. 
Bangkai hewan darat, walau matinya di laut, tetap saja najis dan haram dimakan.

Darah yang mengalir, jelas haram dimakan; melakukan tranfusi darah tidaklah haram. 
Tapi jika seorang Muslim ragu akan kebolehannya, lebih baik orang itu tidak melakukannya. 
Artinya, jika orang tersebut kehabisan darah karena kecelakaan, ia tak usah tranfusi darah.

Laki-laki kafir itu najis, artinya haram dinikahi Muslimah; tapi melakukan transaksi dagang dengan laki-laki kafir tidaklah dilarang.

Minuman keras atau minuman yang memabukkan --mengandung alkohol maupun tidak-- haram diminum. Kosmetik atau parfum yang mengandung alkohol tidak layak untuk diminum tapi tidak haram dipakai. 
Yang tidak boleh dipakai itu, baik mengandung alkohol maupun tidak, adalah kosmetik yang bisa merusak kulit atau badan kita.

Main judi haram untuk dilakukan seorang Muslim, tapi nonton kafir main judi tidaklah haram. 
Begitupun terlibat ritus ibadat agama nonmuslim jelas haram, tapi sekadar nonton nonmuslim melakukan ritus ibadat agamanya tidaklah haram. 


Tentu saja kebolehan tersebut haruslah berdasar niat baik, dan bukan sekadar dicari-cari pembenarannya.
Contoh pembenaran yang dicari-cari: Memperkosa itu haram, tapi nonton orang memperkosa dibolehkan. Jelas, orang yang mencari-cari alasan serupa ini hanyalah orang bodoh yang mau menang sendiri.


Realitanya, jika segala sesuatunya diletakkan pada tempatnya, tuntunan agama Islam itu tidaklah memberatkan umatnya. 

Yang memberatkan itu fikih dan tatacara agama yang diada-adakan manusia.



Catatan:
  • Bergembira di kehidupan duniawi dan merayakan kegembiraan di momen yang dianggap istimewa (seperti hari ulang tahun, di hari lulus sekolah, di hari tahun baru), selama tidak disisipi unsur ritus peribadatan, maka hukumnya mubah (tidak berdosa dan tidak berpahala jika dilakukan).
  • Memberi bunga mawar kepada orang terkasih sebagai simbol kesetiaan, dibolehkan. Begitu pun, penggunaan maskot garuda yang sekadar sebagai lambang keberanian atau kejujuran, jelas dibolehkan. Tapi maskot sebagai lambang berkah atau keberuntungan, jelas tidak boleh; sebab masalah keberuntungan dan kesialan sudah masuk koridor perkara yang gaib (nasib, takdir), sudah masuk koridor religi (aturan agama, keyakinan).

(Alfa Qr)


[1]  Acara gunting pita dibolehkan jika sekadar simbol pembukaan sebuah kegiatan; tapi haram jika dikaitkan dengan perkara berpahala atau membawa keberuntungan. Begitu juga, di agama tertentu, mercon kadang dijadikan alat untuk mengusir hantu; jelas haram jika kita menyalakan mercon dan kembang api (atau membunyikan terompet dan genderang) sebagai acara mengusir setan, tapi tak apa-apa jika hanya sebagai simbol kegembiraan. Jadi, semua tergantung alasannya.

Tidak ada komentar: