BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Minggu, 26 Februari 2012

BERMASYARAKAT



Menjadi orang yang sama sekali tidak butuh pertolongan orang lain adalah satu hal yang mustahil; sebab, kadang, ada masalah yang tak bisa kita hadapi sendirian.
Namun, sebagai Muslim, janganlah kita jadi orang yang selalu tergantung pada bantuan orang lain.  

Dan terlebih jangan jadi parasit, jangan jadi orang yang sering membebani orang lain. 

Yang jelas, dalam bermasyarakat,  berhubungan dengan orang lain adalah satu hal yang tidak terhindarkan. Setiap manusia saling melengkapi kebutuhan hidupnya dengan orang lain. 

Jadi, menghindar dari ketergantungan kepada bantuan orang lain, bukan berarti seorang Muslim harus mengabaikan keberadaan orang lain di sekitarnya. 
Justru dengan pergaulanlah kita bisa saling menambah ilmu dan kebajikan.


Realitanya, bisa melihat dan mendengar adalah hal yang penting.
Tapi bisa mengambil hikmah dari apa yang kita lihat, dan bisa menyerap dari apa yang disarankan orang lain, adalah jauh lebih penting. 

Sayangnya, mengambil faedah dari kedua hal itu, terlebih mempraktekkannya, merupakan hal yang jarang kita lakukan.








BERUSAHA UNTUK TIDAK MENYINGGUNG EGO ORANG LAIN

Tiap orang punya keinginan untuk bergaul, tapi hanya sedikit orang yang piawai dalam pergaulan. 

Yang jelas, orang yang mampu menerapkan seni dalam bergaul, akan meraih manfaat lebih dalam pergaulannya. 
Orang yang pandai saat bergaul, bisa mengalahkan orang lain justru dengan mengalah, dan bukan dengan hal-hal yang memaksakan. [1]


Satu hal yang mesti dimaklumi, dan senantiasa diingat, bahwa setiap orang --termasuk orang paling bodoh sekalipun-- memiliki ego.   

Mereka ingin didengar dan ingin diperhatikan; memiliki sikap tidak mau kalah dan tidak mau disalahkan.  
Memiliki keinginan untuk menguasai, keinginan untuk dipuji, dan keinginan untuk dipatuhi.

Karenanya, ketika berhadapan langsung dengan orang lain, kita harus pandai-pandai menjaga ucapan dan perilaku kita
Jangan sampai sebuah perbuatan atau ucapan yang tidak perlu, justru menyinggung ego orang lain tersebut. 

Akibatnya, kita kehilangan kesempatan untuk menanamkan rasa simpatinya kepada kita. 
Padahal simpati seseorang kepada kita, memudahkan kita untuk mengajaknya pada kebenaran ajaran Islam.


Ibarat sekrup --yang bukan hanya butuh pasangan mur yang tepat tapi juga memerlukan lubang yang tepat-- ucapan dan perilaku kita bukan saja harus sesuai, tapi juga harus diupayakan bisa tepat menyentuh hati nurani orang yang kita hadapi.  
Bisa membawa kebaikan buat orang itu.







SULIT MENGAKUI KEKURANGAN DIRI SENDIRI

Tidak semua makna meniru itu jelek, seperti juga tak semua makna mencipta itu bagus. 

Meniru pada kebaikan adalah lebih utama daripada menciptakan sesuatu yang berdampak pada kebobrokan. 
Karenanya, tidak perlu malu untuk memungut hal-hal baik yang dilakukan orang lain; sebab malu dalam hal ini sama dengan menipu diri sendiri. 

Realitanya, hanya orang yang selalu berpikiran negatip yang merasa gengsi untuk meniru dalam kebaikan; sebab yang tampak oleh mata orang yang selalu mau menang sendiri hanyalah kekurangan dan kejelekan orang lain.


Yang jelas, salah satu kelemahan dari seorang manusia adalah ketidakmampuannya untuk jujur pada kenyataan.  

Walau telah jelas-jelas salah sekalipun, kita tetap saja membela diri merasa benar. 

Walau penderitaan sudah menimpa pun, kita tetap saja merasa tidak pernah berbuat dusta. 







SULIT MENIRU KELEBIHAN ORANG LAIN

Umumnya, orang yang sukses adalah orang yang cerdas dalam mengambil keputusan.  
Selain bisa cepat, ia juga tepat dalam bertindak; ia tidak terburu-buru tapi juga tidak berlama-lama. 

Sebab, terburu-buru tanpa perhitungan hasilnya malah bisa berlawanan dengan keinginan. 
Sebaliknya, jika berlama-lama terlalu banyak pertimbangan, peluang yang sudah di depan mata pun malah bisa jadi diambil oleh orang lain.


Jelas, melakukan perbuatan baik sesegera mungkin --dengan tidak mengabaikan pertimbangan yang cermat-- merupakan satu hal yang utama. 

Namun, jelas pula, bagi kita yang sudah terbiasa dengan sikap santai dan menunda-nunda, hal tersebut amat sulit untuk dipraktekkan.


Tampaknya hal di atas hanya bisa dilaksanakan oleh orang lain yang sudah membiasakan diri dengan ketekunan dan program yang teratur. 

Karenanya, jika orang lain lebih maju merupakan satu hal yang wajar. 
Dan kita tidak patut untuk iri, sebab kesalahan ada pada diri kita sendiri.





Catatan:
  • Jujur adalah pangkal dari kepercayaan. Terserah orang lain mau bilang apa, katakan apa adanya; jangan ngaku bisa andai tidak mampu, jangan berjanji andai kita tak yakin akan menepatinya. Sebab sekali kita meleset, berikutnya orang akan meragukan kita; padahal ‘kepercayaan’ termasuk kunci pengantar sukses dalam pergaulan maupun usaha kita.
  • Pada banyak kenyataan, sekali kita berbohong akan diikuti dengan berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
  • Jangan jadikan terlambat sebagai satu kebiasaan, sebab bisa melahirkan kesan sebagai orang yang tak bisa dipercaya. Lebih buruk lagi jika menimbulkan kesan sebagai orang yang sombong, orang yang sok kuasa. Lagi pula, lebih baik datang lima menit sebelum pesawat berangkat daripada terlambat satu menit yang berakibat ketinggalan pesawat.
  • Biasanya kita merasa tersinggung oleh sindiran orang lain karena kita memang melakukan apa yang disindirkan oleh orang lain itu.


(Alfa Qr)


[1]  Selain karena perilaku kita yang elok dan faktor kepercayaan, biasanya seseorang merasa tertarik dan bersimpati kepada kita karena adanya ‘kesamaan’; seperti kesamaan status sosial, kesamaan prinsip, kesamaan hobby, ataupun sekadar kesamaan usia. Begitu juga ketertarikan kita kepada orang lain.

RASA BERSALAH


Dalam kehidupan di dunia ini,  kita tidak boleh menganggap enteng perbuatan salah kita yang berakibat merugikan orang lain. 
Tapi di sisi lain, kita tidak boleh terjerat oleh perasaan bersalah yang berlebihan; sebab perbuatan salah pasti pernah dilakukan manusia manapun.

Realitanya, kita sering dihinggapi perasaan bersalah atau merasa disalahkan. 
Selalu salah, selalu salah, selalu salah; itulah perasaan yang kadang melintas di dalam benak kita.  

Punya perasaan bersalah, salah; tidak punya perasaan bersalah, salah. 
Lantas harus berbuat apa? 

Khawatir, tidak boleh; tidak khawatir, tidak boleh. 
Lantas harus seperti apa?


Realitanya, kita sering dihantui berbagai pertanyaan yang sepertinya tidak ada jawabannya. 
Kalaupun ada jawabannya, maka jawabannya itu kita buat sendiri; dan lebih berupa pembelaan diri.

Jika Allah memperlihatkan adanya orang lain yang diberi kekayaan oleh Allah, apa kita salah jika menginginkan Allah memberikan hal serupa itu kepada kita? 
Betulkah kuncinya hanya harus berserah diri? 
Jawaban kita biasanya dibalikkan, memangnya dalam hidup ini tidak ada godaan?

Pertanyaan dan jawaban serupa itu menunjukkan bahwa bersikap sabar itu bagi kita amatlah sulit.  

Pertanyaan serupa itu biasanya muncul dikarenakan ketidakmampuan kita dalam meletakkan sesuatu itu pada tempatnya. 
Artinya, kita sering salah dalam menempatkan sebuah alasan; kita sering salah dalam mengaitkan antara sebab dan akibat.

Kita bukan tidak boleh menginginkan seperti orang lain, tapi kita dilarang iri dengki. 

Justru Islam mendorong kita untuk berusaha; kalaupun gagal kita tak patut merasa bersalah, karena Allah tidak membebani kita melebihi kemampuan kita.  

Perasaan ‘begini salah begitu salah’ terjadi karena kebodohan kita; dan bukan karena ketidakadilan Tuhan.


Dari hal-hal di atas, hindari perasaan bersalah. 

Perasaan bersalah menjerumuskan kita kepada ketidaktenteraman. 

Selama kita tidak merugikan orang lain dengan sengaja, mengapa harus merasa bersalah? 

Kita harus merasa bersalah jika kita merugikan orang lain; tapi tidak perlu merasa bersalah karena tidak bisa menolong orang lain. 
Terserah orang lain mau bilang apa tentang kita, yang penting kita tidak merugikan orang lain.


Justru yang patut dicermati, kita sering menganggap remeh kesalahan kita yang merugikan orang lain. 
Atau kita menganggap kesalahan  kita itu sebagai sesuatu yang wajar, dan tak layak dihukum.

Contohnya, ketika kita iseng melakukan kejahilan menyembunyikan sepatu orang lain, kita merasa tidak bersalah atau merasa perbuatan tersebut tidak perlu dihukum. 

Padahal siapa tahu orang tersebut (yang merasa dirugikan), kemudian mendoakan keburukan buat kita; dan doa orang tersebut menjadi sebuah musibah yang menimpa kita. 

Tapi ketika musibah itu datang, kita merasa Tuhan sewenang-wenang menimpakan musibah tersebut kepada kita (karena kita merasa tidak berbuat salah).








YANG PATUT DAN YANG TAK PATUT DISALAHKAN

Jika kehidupan duniawi sama dengan sebuah game, apa orang yang gagal patut disalahkan? 

Mengapa kita dinilai bersalah jika tidak bisa menyelesaikan masalah, padahal kita sudah berusaha sekuat tenaga?

Jelas, menurut tuntunan Islam, kita tidak patut disalahkan; sebab Allah tidak membebani kita di luar kesanggupan kita.  
Karenanya, jika kita sudah berusaha --dan ternyata gagal-- kita tidak patut merasa bersalah; kecuali jika kita tidak pernah berikhtiar.


Lain halnya dalam mencari kebenaran tuntunan Islam. 

Jika kita tidak juga menemukan tuntunan Islam yang lurus, kita patut disalahkan. 
Sebab, jika kita betul-betul berusaha mencari jalan Islam yang lurus, kita pasti akan menemukannya. 

Jadi, kita bukan tidak menemukan jalan Islam yang lurus, tapi karena kita tidak sungguh-sungguh mencarinya; atau karena kita memang menolaknya. 

Dari sebab itu, kita patut disalahkan.

Analoginya seperti orang buta yang terperosok ke dalam lubang, ia tak patut disalahkan. 
Tapi jika itu dialami oleh kita yang bisa melihat, kita pantas disalahkan karena kita lalai menggunakan mata kita. 

Seperti juga orang gila, ia wajar bila tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah; tapi buat orang yang punya logika dan nurani, seharusnya tahu mana yang benar dan mana yang salah. 

Karenanya, sebagai manusia yang diberi akal, kita tidak bisa menolak jika kita disalahkan karena tidak mau jadi Muslim yang lurus; yang baik dan yang benar.


Dari hal-hal di atas, kita seharusnya bisa mendudukkan satu perkara sesuai pada tempatnya. 

Kita harus bisa mengetahui mana perbuatan kita yang patut disalahkan dan yang tidak. 

Jika patut disalahkan, usahakan diri kita untuk segera menyadarinya. 

Sebaliknya, jika tak patut disalahkan, kita tak perlu terjerat oleh perasaan bersalah atau merasa disalahkan.








TAK PERLU PEDULI DENGAN PENILAIAN ORANG LAIN

Memang, ada kalanya kita harus mendengar apa yang dikatakan orang lain, tapi ada pula saatnya kita tak perlu peduli dengan apa yang dikatakan orang lain tentang kita. 

Yang jelas, seorang Muslim itu harus bisa meletakkan segala sesuatunya itu pada tempatnya. 
Artinya, kita harus benar-benar bisa menentukan yang mana yang pantas didengarkan dan yang mana yang tak usah diambil pikiran.

Selama kita berjalan di atas rel yang benar, yang tidak melanggar tuntunan agama, kita tidak perlu peduli dengan penilaian orang lain. 
Sebab, ketika seseorang sudah dibelenggu pikiran negatip, akan sulit bagi kita untuk merubah penilaiannya kepada kita.  

Buat orang serupa itu, kita tersenyum pun akan dianggapnya sebagai mengejek.






Catatan:
  • Kita sering menganggap musibah yang datang itu sebagai kesewenang-wenangan. Padahal jawabannya jelas; kita sering merasa tidak berbuat salah, atau merasa kesalahan kita itu tak layak dihukum.


(Alfa Qr)

Keberhasilan dan kegagalan


Sukses memang amat menyenangkan bagi yang mengalaminya; dan sering menimbulkan rasa iri bagi orang yang lemah imannya yang gagal mendapatkannya. 
Realitanya, banyak orang lebih merasa sering diterpa kegagalan dan kesulitan, dibanding dengan mendapatkan kesenangan.

Bagi orang yang memiliki keyakinan bahwa semua kesulitan itu ada balasan (baik berupa pahala maupun pengampunan di antara dosanya di masa lalu) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kegagalan dan kesulitan yang dialaminya tidaklah melahirkan sikap putus asa.

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qur’an, Al Hadiid [57]:23)

Hendaknya direnungkan, jangankan kepada kita yang manusia biasa, ujian kepada para nabi pun tidaklah sama.

Daud As dan Sulaiman As adalah contoh untuk manusia yang diuji dengan kekuasaan dan kekayaan yang melimpah. 

Sementara Ya’qub As dan Ayyub As sebagai contoh untuk manusia yang diuji dengan penderitaan dan diuji kesabarannya. 

Sedangkan Muhammad Saw adalah contoh paripurna bagi semua manusia. 
Beliau teruji dalam berbagai situasi; sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab; sebagai pedagang yang jujur; sebagai hakim yang adil; sebagai pemimpin (imam) yang lurus; sebagai panglima yang teguh; sebagai kepala negara yang bijak. 
Allahu Akbar.


Semoga kita semua termasuk orang yang ikhlas, yang menghadapi apa pun --baik kegagalan ataupun kesuksesan-- sebagai semata-mata yang terbaik yang dikehendakiNya. 

Pastilah ada hikmah tersembunyi dari suatu kegagalan. 
Sebaliknya, jangan terlelap dengan suatu keberhasilan. 
Doa yang (tampaknya) tidak dikabulkan, mestilah ada juga imbalan dari Nya.

Hanya saja, dan tentu saja, seorang Muslim harus yakin bahwa Allah akan merubah nasibnya jika ia tetap mau berusaha; dan bukan dininabobokan oleh impian. 

Memang, berkhayal merupakan suatu hal yang wajar dilakukan manusia hidup; tapi mengaplikasikannya dengan berusaha yang gigih, jelas sebuah keharusan. 
Dan merencanakannya dengan seksama sebelum memulai usahanya tersebut, merupakan suatu hal yang baik; tapi menyertainya dengan keyakinan yang teguh, jelas sebuah kemestian.

Jadi jelas, kemauan saja tidak cukup; ia harus disertai rencana dan keyakinan, yang ditindaklanjuti dengan berikhtiar. 
Sebab, keyakinan yang menyertai usaha yang ulet, bisa membuat sebuah harapan menjadi realita.

Memang, tak semua orang bisa mencapai puncak yang sama, tapi seorang Muslim harus selalu berusaha untuk tetap mendaki. 
Sebab, ibarat kaki, jika tidak dilangkahkan kita akan tetap diam di tempat.










KEBERHASILAN BISNIS

Setiap Muslim wajib berusaha seulet mungkin, namun ia juga harus menyesuaikan diri dengan kemampuan yang dimilikinya. 
Sebab, dalam menjalani sesuatu, setiap orang memiliki batas kemampuan yang berbeda. 

Contohnya, tidak semua pengendara sepeda mampu menempuh jarak dari Bandung ke Lembang tanpa berhenti. 
Pengendara yang sudah berumur, sudah sewajarnya berhenti dulu di perjalanan untuk beristirahat. 
Jika tidak, ia bukannya sampai ke Lembang, tapi ke kuburan.


Realitanya, karena terkait berbagai faktor, berusaha meraih materi dalam kehidupan duniawi adalah gambling
Kegagalan tak bisa ditimpakan sebagai seratus persen kesalahan orang yang bersangkutan. 

Banyak usaha yang ulet yang disertai dengan doa yang tekun, dalam realitanya tidak menghasilkan seperti yang diinginkan. 
Sebaliknya, ada usaha yang tampaknya asal-asalan, tapi akhirnya berhasil juga. 

Yang jelas, selain doa dan usaha yang gigih, perencanaan yang benar-benar seksama dan pelaksanaan yang konsisten lebih memungkinkan untuk berhasil (bukan pasti berhasil, sebab kehidupan duniawi hakekatnya tetap saja sebuah permainan).


Dalam banyak kasus, keberhasilan sebuah bisnis harus dilengkapi dengan perencanaan yang sangat matang, yaitu cara yang terperinci dan sistemastis, cara berurutan yang teratur dan efisien sesuai skala prioritas. 

Artinya, pelaku bisnis bukan hanya memperhitungkan keuntungan yang akan diraih, tapi memperhitungkan pula kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi dan mempersiapkan solusinya.


Termasuk di dalam perencanaan yang matang adalah kepintaran berstrategi dan kepiawaian dalam menangkap peluang; serta, tentu saja, penghematan pengeluaran yang benar-benar efisien. 
Karenanya, jika suatu usaha bisnis yang kita jalani mengalami kegagalan, biasanya ada syarat-syarat di atas itu yang terabaikan; dan jangan menyalahkan orang lain.

Sebaliknya, jika pada tingkatan tertentu usaha bisnis kita berhasil, kita mesti waspada
Sebab, seperti pengendara sepeda yang sudah berumur, ada saatnya kita sampai pada tingkat batas kelelahan. 
Kenyataannya, ada perusahaan yang sudah mapan justru gulung tikar ketika berusaha memperbanyak bidang garapannya.  

Karena itu ingat, kita mengayuh sepeda ke Lembang karena ingin bersenang-senang, bukan ingin sengsara. Kita berusaha bisnis karena ingin menikmati buahnya, bukan ingin banyak masalah.




Catatan:
  • Setiap orang menemukan kebahagiaan dengan cara dan pada perkara yang berbeda. Tak peduli orang mau mencarinya atau menunggunya, kegembiraan disediakan Allah dengan adil. Ibarat buah, kita bisa memetik di pohonnya atau menunggu sampai jatuh sendiri. Yang jelas, apapun jenisnya pohon itu, harus kita yang menanamnya; dan bukan milik orang lain.
  • Bagi seorang Muslim, belajar ilmu berdagang atau ilmu bertani jauh lebih bermanfaat ketimbang belajar ilmu bisa makan beling atau ilmu bisa berjalan di atas bara api. Kecuali jika cita-citanya mau jadi tukang sulap.

(Alfa Qr)

Jangan hanya bisa menyalahkan


Seorang Muslim tidak layak memiliki prinsip ‘jika mau terjadi, terjadilah’. 
Seorang Muslim harus memiliki prinsip mencegah sesuatu yang buruk dan berikhtiar meraih sesuatu yang baik. 
Berserah diri kepada Allah artinya manusia harus berupaya sekuat kemampuannya, tapi tawakal dalam melihat hasil akhirnya; dan bukan diam. 
Sebab, Muslim miskin yang tak pernah berikhtiar beda nilainya dengan Muslim melarat yang selalu berusaha. Yang pasti, setiap ikhtiar pasti memiliki nilai pahala.


Jadi, jika ingin terlepas dari penderitaan, kita harus menentukan sendiri jalan hidup kita. 
Hasil akhirnya, baru terserah Tuhan.

Biasanya, di awalnya, kita menyerahkan jalan hidup kepada Tuhan, namun akhirnya justru menuding Tuhan sebagai tidak adil.  

Semestinya diingat, agama tidak menghadirkan penderitaan, manusialah yang mengaitkan penderitaannya dengan agama. 
Tuntunan agama seharusnya membawa keceriaan, bukan memperpanjang kesengsaraan dan kesedihan. 


Dari sebab itu, hadapi semua perkara semaksimal kemampuan. 
Hadapi dengan tegar, karena hidup harus berjalan terus. 
Lagi pula, harapan selalu terbuka, jangan panik. 

Muslim harus memiliki motivasi percaya diri. 
Harus punya kemampuan membasmi rasa takut; sebab salah satu andil terbesar dari kekalahan adalah perasaan takut kalah.
Karenanya, hilangkan perasaan takut kalah tersebut. 

Memang, berhasil atau gagal pada akhirnya sesuai kehendak Allah; tapi jika kita sudah berusaha, kita sudah menunjukkan bahwa kita adalah seorang Muslim yang sebenar-benarnya.

Yang jelas, keberuntungan yang datang secara begitu saja, amatlah jarang. 
Dalam kebanyakan realita, keberuntungan yang dialami seseorang, selain karena orang itu berada dalam situasi dan kondisi yang tepat, dikarenakan orang tersebut mampu memanfaatkan peluang. 

Jadi, yang namanya keberuntungan adalah ketika kita tidak menyia-nyiakan kesempatan. 
Yang namanya keberuntungan bukan sesuatu yang datang begitu saja.


Mesti diingat, yang sudah terjadi, itu takdir; tapi yang belum terjadi, itu peluang. 

Yang sudah terjadi tak bisa kita tolak; tapi apa yang sudah terjadi bisa kita rubah dengan usaha yang tekun. 
Apa yang telah terjadi, baik kepada diri kita maupun kepada orang lain, hakekatnya adalah bahan perenungan untuk kita; bahwa setiap orang punya tantangan yang harus dihadapi, bahwa semua orang punya masalah. 
Artinya, ketika menderita, kita tidak sendirian;  ada ribuan orang lainnya yang juga lebih sengsara.


Memang, kesedihan adalah satu hal yang wajar dialami makhluk yang memiliki perasaan; tapi bersedih tidak menyelesaikan masalah. 
Kita harus tetap tegar, harus tetap memiliki semangat; tidak ada yang perlu dicemaskan atau ditakutkan. 

Semestinya disadari, kebahagiaan yang mutlak betul-betul sempurna tidak akan ditemukan manusia. 
Yang penting, selama sesuai dengan kemampuan, dalam hidup selalu ada harapan. 
Namun harapan tidak menjadi realita dengan menangis dan melamun. 
Harapan harus direalitakan dengan tetap berusaha.






MEMILIKI KEMAUAN UNTUK MERUBAH KEADAAN

Keinginan untuk lebih dari orang lain kadang jadi penyebab seseorang mengeluh. 
Selama tidak melahirkan sikap putus asa dan anggapan Tuhan tidak adil, mengeluh tidaklah berdosa. 

Mengeluh adalah hal yang manusiawi; sebab hanya robot atau boneka yang biasanya tidak pernah mengeluh. 
Yang pasti, mengeluh itu tidak menyelesaikan masalah; dan yang sering mengeluh umumnya hanyalah orang-orang yang lemah.


Memang, dalam hal yang positip, tak ada orang yang unggul dalam segala perkara. 
Namun setiap Muslim harus memiliki semangat untuk melakukan sesuatu yang melebihi orang lain; paling tidak, pada satu hal.

Realitanya, kebodohan adalah salah satu akar dari kemelaratan; sebab kebodohan bisa membuat seseorang tidak tahu harus berbuat apa. 
Jadi, jika ada Muslim yang masih terlilit kemiskinan, itu bukannya karena mereka tak mau berubah, tapi bisa jadi karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. 

Karenanya, belajar dari apa yang dilakukan oleh orang lain --agar bisa keluar dari kebodohan-- merupakan satu kemestian.


Dari hal di atas, kita tidak boleh menyalahkan seratus persen begitu saja orang yang tak bisa merubah kehidupannya menjadi lebih baik.
Sebab banyak faktor pendukung yang berbeda yang membuat tingkat keberhasilan juga berbeda. 

Lagi pula kehidupan bisa berubah tidak semata-mata karena seseorang punya kemauan untuk merubahnya, tapi juga harus disertai dengan kemampuan untuk merubahnya.
Kenyataannya, kemauan dan kemampuan ibarat dua sisi mata uang; jika salah satunya tidak ada, ia menjadi tidak bernilai. 

Namun, tentu saja, hal tersebut tidak patut dijadikan alasan untuk berhenti berusaha. 
Sebab, hakekatnya, kehendak dan ridha Allah untuk adanya perubahan pada hidup kita akan lebih dekat jika kita sendiri tidak berhenti dalam berusaha.

Yang penting, dalam melakoni hidup ini, selain jangan suka menyalahkan orang lain, adalah jangan terjebak dalam perasaan negatip yang keterlaluan; karena perasaan buruk bisa menimbulkan keadaan menjadi lebih terpuruk. 

Contohnya, ketidakyakinan untuk sembuh bisa membuat penyakit terasa semakin berat. 
Begitu pula perasaan akan gagal justru bisa membuat usaha kita lebih condong pada kegagalan. 

Karenanya, Muslim harus memiliki motivasi untuk bertahan hidup. 
Harus optimis; jangan terlalu berlebihan dalam mengkhawatirkan keadaan. 
Harus yakin, bahwa pada akhirnya Allah jugalah yang menentukan segala sesuatunya.


Yang jelas, seorang Muslim tidak akan mengenyampingkan kenyataan bahwa yang namanya keberhasilan dan kegagalan di dunia adalah suatu hal yang manusiawi, suatu hal yang layak terjadi. 
Apa pun hasilnya, seorang Muslim akan tetap berusaha dan berusaha, ia tak mengenal istilah putus asa. 
Ia tidak akan menutupi kekurangannya dengan hanya mengeluh.


Semestinya diingat, Muslim yang senantiasa memikirkan sebuah kegagalan atau sesuatu yang hilang darinya, ia akan selalu terperangkap di dalam penderitaan; di dalam ketidaktenteraman. 



(Alfa Qr)

MENIKMATI PEKERJAAN


Jelas, jika ingin kaya raya kita harus menjadikan ketekunan orang yang sukses sebagai contoh. 
Artinya, sebagai pendorong motivasi untuk berusaha, amat wajar jika kita mengambil teladan atau melihat kepada orang yang lebih kaya daripada kita. 
Lain halnya jika hati ingin tenteram, kita harus tidak muluk-muluk; harus berpikir dan berkeinginan sederhana yang tidak rumit. 
Harus selalu ingat kepada orang yang lebih miskin ketimbang kita, harus melihat kepada orang yang lebih tidak beruntung.

Yang pasti, tak ada keharusan seorang manusia memiliki mata pencaharian atau profesi yang seragam. 
Sebab tiap orang mempunyai jalannya sendiri; tiap orang memiliki kondisi dan kesukaan yang berlainan.   

Yang penting apapun yang dilakoni --jadi guru, polisi, petani, ataupun petugas kebersihan-- dijalani dengan suka cita dan penuh rasa tanggung jawab. 

Sebab jauh lebih beruntung menjadi seorang pelayan toko yang gembira, yang menikmati dan berdedikasi pada pekerjaannya, ketimbang jadi pialang di pasar saham yang bergelimang uang tapi hidupnya kacau balau.


Jadi, sukses bukan berarti semata-mata harus menjadi pedagang yang kaya raya atau menjadi orang yang tersohor. 

Sukses berarti kita beruntung menemukan hal-hal yang membahagiakan. 

Sukses berarti kita beruntung bisa menikmati dan berbahagia dengan pekerjaan kita. 

Dengan catatan, yang kita lakoni itu tak keluar dari nilai-nilai tuntunan agama. 






KECINTAAN PADA PEKERJAAN, MENIKMATI TANTANGANNYA

Dalam melakukan sebuah kegiatan atau pekerjaan, manusia bisa dibagi dalam tiga kelas. 

Pertama, orang yang semata-mata mencari nafkah atau mencari penghasilan dari pekerjaannya tersebut.  
Kedua, orang yang menyenangi pekerjaan yang digarapnya.  
Ketiga, orang yang melakukan pekerjaan tersebut karena menyukai tantangannya.


Orang yang menjadikan pekerjaannya sebagai sekadar mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan hidupnya, biasanya merasa terpaksa dalam melakukan pekerjaannya itu. 
Buah pekerjaannya, umumnya, tidaklah maksimal; tidak memiliki nilai untuk dibanggakan. 

Padahal kita akan lebih bisa menikmati sebuah pekerjaan bila kita menjadikan apa yang kita lakukan itu sebagai sebuah kecintaan dan bukan sekadar mata pencaharian. 

Lagi pula, bisa menikmati yang sedang dikerjakan merupakan satu keuntungan; sebab pekerjaan seberat apa pun akan terasa ringan jika kita menyenangi pekerjaan itu. 

Sebaliknya, seringan apa pun sebuah pekerjaan, akan menjadi beban yang sangat berat jika kita merasa terpaksa melakukannya. 

Oleh karenanya, bisa menikmati proses pekerjaan yang kita jalani jauh lebih utama dari sekadar mendapatkan hasil akhir dari pekerjaan tersebut.

Realitanya, hanya orang yang menyukai tantangan dan kesulitan yang bisa menikmati dan bersenang-senang dengan apa yang dijalaninya.  
Sebab ia mengerjakan sesuatu itu bukan semata-mata untuk mencari keuntungan materi, tapi  justru untuk menikmati tantangannya.







TINGKAT MENIKMATI KEGEMBIRAAN

Tingkat kepuasan menikmati yang dimiliki, pada setiap orang berbeda; tergantung kepada tingkat mensyukurinya.

Sepotong roti yang murah, akan terasa nikmat bagi orang yang lapar; dan akan terasa lebih amat sangat nikmat bagi orang yang sedang sangat lapar. 
Sebaliknya, sepotong roti yang mahal menjadi tidak ada gunanya bagi orang yang kekenyangan. 

Begitu juga, tempat tidur yang empuk dan mahal tidak menjamin seseorang untuk bisa tidur nyenyak di atasnya. 

Dengan kata lain, yang menjadi rezeki kita adalah yang bisa kita nikmati, dan bukan sekadar yang kita miliki.


Yang pasti, Muslim yang mensyukuri apapun yang diberikan Allah, ia bukan hanya mendapatkan kepuasan menikmatinya tapi juga kebahagiaan dalam melakoninya.  

Karena itu, kita harus gembira bukan karena punya pekerjaan, tapi karena kita menyenangi pekerjaan tersebut.


Realitanya, kemampuan meraih harta duniawi, adalah satu hal. 
Kemampuan untuk bisa merasakan kegembiraan menikmati apa yang sudah dimiliki, adalah hal lain. 
Dan kemampuan untuk bisa meraih kebahagiaan dari apa yang dilakoni, adalah hal yang lain lagi.

Yang jelas, meraih keberhasilan belum tentu membuahkan kebahagiaan; meraih kebahagiaan jelas merupakan sebuah keberhasilan. 







BEDANYA KEPUASAN DAN KEBAHAGIAAN

Kepuasan bisa saja identik dengan kegembiraan atau kesukacitaan, tapi tidak identik dengan kebahagiaan. 

Realitanya, sukses bisa melahirkan kegembiraan, tapi belum tentu membuahkan kebahagiaan. 
Sebab kegembiraan berbeda dengan kebahagiaan; kegembiraan atau sukacita bisa direkayasa, kebahagiaan tidak bisa dibuat-buat.

Seseorang bisa tertawa terbahak-bahak melihat Charlie Chaplin terpeleset, bisa gembira melihat pantatnya ditendang berkali-kali. 
Tapi mustahil kebahagiaan muncul karena melihat hal-hal serupa itu; karena kebahagiaan hadir untuk hal-hal yang baik, bukan untuk sesuatu yang jelek.

Tapi, paling tidak, bisa merasakan kegembiraan di dunia jauh lebih baik daripada terus-terusan dililit kepahitan. 

Karenanya, seorang Muslim semestinya menjalani hidup ini dengan gembira dan suka cita; bukan terus-terusan dihimpit penyakit dan kesusahan. 
Jadinya menyedihkan; orang lain penuh sukacita, sedangkan kita senantiasa didera penderitaan.

Hanya saja, dan tentu saja, kesenangan semestinya datang di saat yang tepat.  
Sebab memiliki banyak makanan pada saat sakit perut, sama sialnya dengan tidak punya makanan di saat sehat.




Catatan:
  • Jika hati kita bersih, tinggal di mana pun dan jadi apa pun, kita bisa tenteram. Sebaliknya, berperan sebagai apa pun, jika hati kita lusuh akan sulit menemukan kebahagiaan. Karenanya, jika kita tidak berbahagia atau tidak tenteram, barangkali ada yang tidak beres dengan hati kita.


(Alfa Qr)

Membenarkan perilaku buruk


Seringkali kita menutupi kekurangan yang ada di diri kita dengan cara yang tidak betul.

Contohnya, kita gengsi jika pergi ke undangan dengan memakai baju biasa atau motor butut kepunyaan sendiri, dan merasa bangga memakai jas atau mobil bagus pinjaman dari orang lain. 
Anehnya kita tidak merasa harga diri kita turun dengan memakai jas dan mobil orang lain itu. 


Begitu pula dengan sikap munafik, biasanya kita juga tidak merasakannya. 
Padahal setiap Muslim tahu ciri munafikun; yaitu orang yang perilakunya sering tidak sesuai dengan ucapannya. 
Artinya, bila bicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat. 

Namun sifat-sifat tersebut, yang ditempelkan sebagai label munafik, dalam realitanya merupakan sifat yang umum dimiliki kebanyakan manusia normal.


Sebagai Muslim, kita memang wajib untuk menghilangkan sifat-sifat jelek tersebut. 
Namun dalam kenyataannya pula, jangankan kita muslim yang awam, orang yang sudah dianggap tokoh pun sulit untuk dikatakan sudah tidak mempunyai sifat-sifat tercela itu. 

Faktanya, tidak sedikit di antara kita yang memperdalam ajaran agama, malah mengaku ajaran tasawuf, yang seharusnya menghilangkan sifat iri dengki dan permusuhan, justru yang ditonjolkan adalah sifat iri dengki dan permusuhannya itu sendiri.  

Dalam prakteknya, kita masih suka iri melihat kelebihan dan kemajuan orang lain, kiai lain, jamiah lain, atau bangsa lain.


Kenyataannya, disebabkan ada dan tidak adanya kepentingan kita, sikap kita suka berbeda dalam menghadapi dua perkara yang sebenarnya serupa. 
Contohnya, kita menuntut hak demokrasi kepada orang lain yang sedang berkuasa; tapi ketika kita berkuasa, kita tidak mau memberi hak demokrasi kepada orang lain. 

Begitu pula, ketika miskin kita mencaci maki spekulan yang menimbun barang dan mencapnya sebagai penjahat yang merugikan rakyat. 
Ketika jadi kaya, kita jadi spekulan yang lebih jahat dengan menimbun barang yang lebih banyak lagi. 
Tapi kita menganggapnya wajar, tokh barang itu kita mendapatkannya dengan membeli, bukan hasil merampok. 

Jadi jelas, manusia memang cenderung untuk membenarkan semua perilakunya; walau perilakunya itu negatip. 
Padahal menuduh orang lain munafik sementara kita sendiri tidak yakin perilaku munafik sudah tidak ada pada diri kita, adalah perbuatan munafik.


Realitanya, tidak sedikit orang yang hapal istilah-istilah agama tapi tidak melaksanakannya. 
Seperti juga orang yang amat lancar menceritakan sifat-sifat Nabi yang mulia, tapi perilakunya berlawanan dengan sifat-sifat tersebut. 

Jadi tak mustahil bila ada orang, walau pegawai di lembaga keagamaan sekalipun, memiliki perilaku yang tidak beres; seperti mudah tersinggung, cepat marah, korup dan lebih rakus.


Yang jelas, jika orang lain tidak menyukai atau tidak mempercayai kita, pasti ada sebabnya.  
Dengan kata lain, tidak semata-mata orang lain benci jika kita tidak melakukan keburukan.







KERAGUAN YANG TAK DIKEMUKAKAN

Walau terbuka pilihan --untuk berbuat baik atau berbuat buruk-- tak sedikit Muslim yang tetap memilih untuk melakukan perbuatan buruk yang merugikan orang lain; semata-mata karena pada perbuatan buruk tersebut ada keuntungan yang bisa diraihnya.

Perilaku serupa itu mustahil dijalani oleh Muslim yang benar-benar menghayati kemuslimannya; mustahil dijalani oleh Muslim yang meyakini Allah senantiasa melihat dan mengawasinya. 

Perilaku serupa itu hanya dilakukan oleh orang yang hatinya diliputi kebimbangan, diselimuti keragu-raguan tentang kebenaran agama. 
Antara percaya dan tidak percaya akan keberadaan Allah yang sesungguhnya. 
Ada perasaan tidak yakin, yang tidak berani diucapkannya, akan kemahaadilan Allah.


Benak orang serupa itu dipenuhi banyak pertanyaan yang menggugat perihal kemahaadilan Allah; mengapa orang baik-baik umurnya pendek sedangkan orang yang perilakunya buruk berusia panjang; 
Mengapa Muslim yang soleh hidupnya melarat sementara kafir yang durhaka jadi konglomerat; dan perbandingan-perbandingan yang menurut pendapatnya kontradiksi, yang menurutnya dinilai tak memenuhi rasa keadilan.

Padahal masalah panjang atau pendeknya umur yang dialami setiap makhluk hidup sama sekali tidak mutlak harus dipastikan dengan kebaikan dan kejahatannya. 
Begitu pula masalah kaya atau miskinnya, kegembiraaan atau penderitaannya, sama sekali tidak bisa dipastikan mutlak karena suatu sebab. 

Karena itu, apa-apa yang dialami seseorang tidak mutlak semata-mata karena apa yang dilakukannya; tidak mutlak karena agama yang dianutnya, dan terlebih tidak mutlak karena keturunannya (etnisnya).


Yang bisa dipastikan, perjalanan kehidupan di dunia ini tidak ada yang mutlak pasti. 

Sebab jika perjalanan kehidupan bisa dipastikan secara mutlak, kehidupan di dunia ini tidak akan ramai, karena semua orang  hanya akan melakukan hal-hal yang pasti saja. 
Kalau orang yang baik dipastikan bakal kaya raya atau berusia panjang, dan orang jahat dipastikan berumur pendek atau miskin, semua orang pasti akan berbuat baik.


Jadi, adanya ketidakpastian serupa itu justru merupakan ujian keyakinan bagi seorang yang mengaku Muslim. 

Pertanyaannya, apa kita termasuk Muslim yang hatinya bimbang? 
Apa kita termasuk Muslim yang tidak yakin akan keberadaan dan kemahaadilan Allah SWT?

Semestinya disadari, ada rahasia-rahasia Allah yang mustahil bisa kita telusuri sampai ke detil-detilnya. 

Dan kita tidak punya hak memaksa untuk mengetahui apa-apa yang dirahasiakanNya itu.



Catatan:
  • Realitanya, ketika duduk dalam sebuah jabatan, kita tidak menjadikannya sebagai sebuah pengabdian, tidak menjadikannya sebagai ladang untuk mengumpulkan pahala akhirat; tapi sebagai kesempatan untuk memperkaya diri dengan cara yang tidak diridhoi Allah. Padahal harta duniawi yang tidak berkah, suatu saat akan jadi rongsokan yang tak ada harganya.



(Alfa Qr)

USAHA MANUSIA


Dalam sebuah cerita, dikisahkan tentang seorang lelaki tua Yahudi yang merasa gembira disuruh mengecat tembok sinagog yang sudah kusam.  
Selain merasa beribadah dengan mengecat  rumah ibadat sinagog, ia pun --sesuai dengan naluri bisnisnya yang wajar dimiliki manusia-- berharap bisa memperoleh keuntungan. 

Agar keuntungannya besar, ia mengencerkan cat temboknya dengan air yang melebihi ukuran. 
Dan dengan memakai kuas jelek yang sudah ada, ia merasa bisa berhemat karena tidak usah mengeluarkan uang untuk membeli kuas baru. 
Itu saja belum cukup, ia merasa perlu menghemat waktu, sebab waktu adalah uang. 
Karenanya, ia mengecat dengan ‘kilat’. Artinya, cukup sekali cat tanpa perlu mengulang lagi. 
Yang penting, sinagog terlihat sudah dicat dan nampak baru.

Keesokan harinya, karena semalam ‘kebetulan’ turun hujan lebat, cat tembok itu luntur dan bangunan sinagog  nampak kembali lusuh.
 Si lelaki tua Yahudi itu kaget dan mengeluh kepada Allah:
“Tuhan, aku umatMu yang setia dan taat beribadah, mengapa Engkau lakukan ini kepadaku?” 
Tuhan pun langsung mengutus malaikat. Sambil menyodorkan sebuah kuas baru, malaikat berseru:  “Nih..! Dan jangan kikir.” 

Ada kisah lain:
Walau Jawatan Meteorologi sudah memberitahukan bahwa topan badai --yang bisa menimbulkan banjir dan longsor-- akan tiba di tempat itu tiga hari lagi, seorang laki-laki Nasrani yang soleh tidak bersedia diungsikan dari rumahnya

Hari pertama ia menolak nasihat petugas jawatan meteorologi, dan berkata: “Tuhan selalu bersama saya”. 
Hari kedua ia menolak bujukan petugas kepolisian setempat yang akan mengevakuasinya, dan berkata: “Tuhan akan menolong saya”.  
Hari ketiga ia tetap menolak bantuan dari petugas SAR, dan berkata dengan sangat yakin: “Tuhan pasti menyelamatkan saya”.

Malamnya hujan badai yang dahsyat benar-benar datang.   
Rumah itu longsor dan ‘orang yang soleh’ itupun mati tenggelam dalam banjir.
Laki-laki itu mengadu kepada Allah:  “Tuhan, aku umatMu yang setia dan taat beribadah, mengapa Engkau tidak menyelamatkanku?”
Tuhan berkata: “Tiga kali Aku ke rumahmu, tapi engkau selalu menolak”.



Kedua kisah di atas hanyalah dongeng rekaan manusia; dan hanya ada dalam acara guyon di radio atau televisi. 
Namun hakekat isi kisah itu bersesuaian dengan ketentuan  atau “cara kerja” Allah dalam ajaran Islam; yaitu setiap orang akan mendapat balasan dari apa yang diperbuatnya.

Jelas, dalam masalah keduniawian, Allah --dalam melaksanakan kehendakNya-- bisa memakai orang lain sebagai perantara. 
Keyakinan ibadah bukan berarti manusia harus lepas dari ketentuan hukum keduniawian yang sudah ditetapkan (sunatullah). 
Sifat Allah  --Tuhan semua manusia, bukan hanya Tuhan umat Yahudi, Nasrani dan Muslim saja--  selain Mahakuasa pastilah Mahaadil. 
Apa pun yang menimpa manusia dalam kehidupan duniawi mestilah terkait dengan usaha manusia itu sendiri secara keduniawian pula. 
Bukan semata-mata ‘mujizat’ atau ‘keajaiban’.

Karenanya, orang yang ingin kaya harus bekerja, bukan ke dukun atau ke kiai.  
Orang yang jasmaninya sakit harus ke dokter, bukan ke dukun atau ke kiai. 
Kecuali kiai itu juga mempunyai keahlian pengobatan secara keduniawian seperti dokter atau tabib; artinya menggunakan obat-obatan bukan sekadar memakai jampi. 
Jadi, kalaupun kita pergi berobat ke orang tersebut, itu karena keahliannya sebagai tabib dan bukan kekiaiannya.

Kiai itu sekadar tempat kita mendapat tuntunan agama yang benar.  

Kalaupun ada yang kita harapkan dari seorang kiai, tidak lebih agar beliau berdoa (memohon kepada Allah) agar apa yang kita inginkan bisa jadi kenyataan. 

Selain itu, tidak ada. 

Sebab dalam Islam tak ada pemuka agama, kiai atau apa pun namanya,  yang ‘sakti mandraguna’







LEBIH BANYAK BOHONGNYA

Dari seratus ribu penderita kanker, hanya satu orang saja yang mungkin sembuh karena mujizat. 
Sedangkan yang sembuh dengan pengobatan secara ilmiah, artinya melalui obat-obatan berdasar advis dokter, pastilah jauh lebih banyak

Kalau satu orang yang sembuh dengan mujizat itu dianggap orang ‘beriman’, berarti sisanya yang jauh lebih banyak bukan orang beriman.   
Dengan kata lain, kalau kita sembuh bukan karena mujizat, berarti kita bukan orang beriman. 
Apa begitu?


Satu realita, lebih banyak bohong daripada ‘mujizat’. 

Lebih banyak yang tertipu ketimbang ‘sembuh’

Jangankan menyembuhkan orang lain, menyembuhkan dirinya sendiri saja --dengan ilmu mujizat-- adalah sulit.

Kalau betul bisa begitu, orang itu tidak akan mati (karena sembuh terus). 

Karenanya, jika sakit jasmani pergilah ke tabib atau ke dokter.







JIKA ALLAH BERKEHENDAK, MUJIZAT BISA DILAKUKAN SIAPA SAJA

Seseorang memeluk Islam harus karena meyakini akan kebenaran ajarannya, bukan karena tertarik dengan mujizat-mujizatannya. 

Yang namanya ‘kejadian aneh’ bisa dialami siapa saja. 
Artinya, sesuatu yang dikira mujizat bisa saja berasal dari si iblis laknat jahanam keparat terkutuk.


Semestinya diingat, tidak ada hal yang luar biasa jika Allah memang sudah berkehendak.  

Hanya saja Allah berkehendak serupa itu bisa jadi untuk menguji keimanan kita. 

Yang pasti, semua hal terjadi dengan kehendak Allah; termasuk kejadian yang kita anggap sebagai kebetulan. 

Jadi sesungguhnya, di dunia ini, tak ada peristiwa yang kebetulan; sebab yang namanya kebetulan pun merupakan kehendak Allah.

(Alfa Qr)

Alasan dari melakukan perbuatan


Di dalam tuntunan Islam, nilai sebuah perbuatan itu bukan semata-mata dari bentuk perbuatannya, tapi lebih diperhitungkan dari dalil atau alasan melakukan perbuatan tersebut.

Perbuatan dalam ritus ibadat akan dinilai baik (akan berpahala dan dinilai benar) jika ada contohnya dari Nabi Saw; artinya, ada dalilnya dalam perintah agama. 

Perbuatan dalam hal yang tak berkaitan dengan ritus ibadat akan dinilai baik jika perbuatan yang dilakukan itu tidak merugikan orang lain; artinya, ada manfaat kebaikan di dalam perbuatan tersebut.


Dalam perkara duniawi, berbohong itu umumnya dikategorikan sebagai perbuatan yang buruk. 

Tapi jika berbohong itu tidak merugikan orang lain, maka berbohong di sini tidak melahirkan dosa; apalagi jika dengan berbohong itu akan menimbulkan kebaikan buat orang lain, bisa saja berbohong di sini menjadi pilihan yang harus dilakukan. 

Demikian pula dengan kejujuran; jujur itu biasanya dikategorikan sebagai perbuatan baik. 
Tapi jika kejujuran kita itu akan menimbulkan akibat buruk, apalagi akan merugikan, maka kejujuran di sini bisa saja jadi berdosa.

Contohnya, menjelek-jelekan orang lain itu merupakan perbuatan berdosa, walau apa yang kita kemukakan itu jujur. 
Sebaliknya, jika kita berterus terang kepada isteri kita --bahwa makanan yang dibuatnya tidak enak-- akan melahirkan pertengkaran, maka berterus terang dalam hal tersebut lebih baik ditunda dulu. 

Jadi, dalam kasus serupa ini, melakukan kebohongan itu dimungkinkan. 

Lain halnya dalam menegakkan hukum di pengadilan yang dipimpin oleh seorang hakim, maka memberi keterangan yang jujur di pengadilan merupakan satu hal yang wajib.

Demikian pula dengan berburuk sangka. 
Berburuk sangka biasanya dikategorikan sebagai perbuatan yang tercela; tapi waspada terhadap niat buruk orang lain, tidak bisa dinilai sebagai berburuk sangka. [1]


Dari hal-hal di atas, seorang Muslim harus bisa meletakkan segala sesuatu itu pada tempatnya; bukan hanya sekadar menganggap baik atau buruk menurut penilaian selintas. 

Karenanya, janganlah perbuatan buruk dikamuflase dengan alasan berbuat baik, jika alasan berbuat baik itu hanya untuk menutupi kepentingan diri kita yang sebenarnya.
Begitu pula dalam masalah ritus peribadatan, atau yang mirip ritus, jangan dikamuflase dengan alasan berbuat baik menurut pendapat kita.


 (Alfa Qr)



[1] Allah Mahatahu dan Maha Mengawasi. Karena lebih mengetahui penyebabnya, Allah lebih berhak dalam menilai setiap amalan seorang manusia (dinilai baik atau dinilai buruk); termasuk ketika seseorang berbohong atau berprasangka.

Membandingkan dengan orang lain


“Janganlah ingin menjadi seperti orang lain kecuali seperti dua orang ini. Pertama, orang yang diberi Allah kekayaan yang berlimpah dan ia membelanjakannya secara benar. Kedua, orang yang diberi al-hikmah (ilmu dan kebijaksanaan) dan ia berperilaku sesuai dengannya dan mengajarkannya kepada orang lain.” (HR Bukhari)


Penyakit yang sering dialami oleh orang yang mengejar materi duniawi adalah hilangnya, atau berkurangnya, ketenteraman jiwa.

Realitanya, seseorang merasa terpuruk --merasa tidak puas dan merasa tidak bahagia-- karena membandingkan keadaan dirinya dengan keadaan orang lain yang ada di sekitarnya, atau di zamannya saat dia hidup.

Jika membandingkan dengan orang yang punya TV warna 29 inch, orang yang hanya punya TV warna 14 inch bisa saja merasa tidak puas. 
Padahal jika ia membandingkannya dengan Firaun, Napoleon, atau Hitler, ia sebenarnya lebih beruntung. 
Sebab sehebat atau sekaya apa pun Firaun, Napoleon, dan Hitler, mereka tak pernah punya TV warna 14 inch.


Begitu pun orang yang terbiasa menyantap makanan enak, mungkin saja menganggap remeh serabi oncom. 


Tapi seorang Muslim yang senantiasa ingat Nabinya, yaitu Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, saat menyantap serabi oncom akan mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepadanya; karena, seandainya serabi oncom ada di masa Nabi, serabi oncom akan merupakan makanan yang amat sangat lezat. 

Patut diketahui, Nabi Saw  tidak pernah menikmati makanan yang terbuat dari terigu yang halus, seperti serabi atau roti yang kita kenal di saat ini.

Kalau seorang Muslim sudah bisa mensyukuri nikmatnya serabi oncom, tentunya ia akan lebih mensyukuri nikmat-nikmat lainnya yang lebih besar yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya.  

Allahu Akbar. 





LAKON HIDUP JANGAN KEBLABLASAN

Salah satu sumber ketidakbahagiaan dalam hidup adalah ketidak-mampuan untuk membatasi keinginan yang terus-menerus. 
Yang selalu menginginkan yang lebih daripada yang sudah dimiliki, yang tidak ada akhirnya.  
Yang tidak ada yang bisa menghentikannya kecuali kematian. 

Padahal, kalau ditafakuri, sesungguhnya lakon kehidupan di dunia ini ibarat mimpi, dan kematian adalah saatnya kita ‘bangun’. [1]

Jangankan yang kita harapkan, yang sudah jadi milik kita pun, ketika kita ‘bangun’ ternyata tidak ada di sisi kita

Tak ada isteri yang cantik atau suami yang gagah; tidak ada mobil bagus maupun rumah yang mahal. 

Yang ada di sisi kita saat kita bangun, tidak lebih dari tumpukan dosa dan pahala.  
Yang akan jadi beban dan bekal di pengadilan akhirat.



Bagikan/Share tulisan ini kepada teman-teman Anda yang lain.
SEMOGA BERKAH dan RIDHA ALLAH SWT terlimpah ruahkan kepada Anda sekeluarga.

(Alfa Qr)


[1]  Muslim yang beruntung adalah yang selamat di akhirat walau di dunia ia menderita. 
Yang paling beruntung adalah Muslim yang tenteram di dunia dan selamat di akhirat. 
Yang paling rugi adalah yang menderita di dunia dan celaka di akhirat.

Berikhtiar untuk dunia dan akhirat


Hakekat yang benar --atau mendekati yang benar-- dari zuhud adalah waspada dari diperbudak oleh harta dunia, dan bukan meninggalkan kesenangan duniawi sama sekali. 
Artinya, selama caranya tidak melanggar tuntunan agama, manusia dibolehkan mencari kesenangan dan harta duniawi sesuai kemampuannya. 
Namun, ada juga orang yang memahami zuhud sebagai sama sekali meninggalkan kelezatan duniawi; satu hal yang sebenarnya tidak diajarkan, apalagi diperintahkan Islam.


Hakekatnya, selama seorang Muslim bisa menempatkan pemahaman agamanya selaras dengan kemampuan yang telah diberikan Allah kepadanya, maka ia berada pada jalan yang benar sesuai tuntunan Islam. 
Ia berada pada jalur yang diragukan, manakala pemahaman agamanya tidak sesuai dengan kemampuan yang diberikan Allah kepadanya.

Muslim yang diberi kemampuan (memiliki ilmu dan kesehatan fisik) maka wajib baginya bekerja mencari harta duniawi secara halal; dan memanfaatkan hasilnya bagi keluarganya. 

Amat salah jika ia menempuh jalur zuhud --dalam pengertian menjauhi kehidupan duniawi-- padahal lahan pekerjaan yang halal terbuka baginya. 
Hal ini sama dengan melecehkan anugerah Allah Swt yang telah diberikan kepadanya; baik berupa kesehatan jasmani ataupun kesempatan memperoleh ilmu yang telah dipelajarinya.


Sesungguhnyalah, Islam memuji orang yang mampu keluar dari kemiskinan dan meninggalkan harta bagi keturunannya. 
Lagi pula, sia-sialah adanya perintah bersedekah jika semua Muslim harus mencela dunia. 
Apa yang mau disedekahkan jika seorang Muslim terlilit kemiskinan? 
Siapa yang akan memberi jika Muslim yang lain pun tidak punya apa-apa?

Sesungguhnyalah, berikhtiar mencari nafkah, berusaha dan bekerja, adalah tuntunan Islam. 
Dalam hadits yang diriwayatkan Ath-Thabrani, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menegaskan:

“Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus dengan pahala solat, sedekah, atau haji; namun hanya dapat ditebus dengan kesusahpayahan dalam mencari nafkah.”

Ini bisa diartikan, semakin sulit --semakin berat-- seorang Muslim mencari nafkah secara halal, semakin banyak di antara dosa-dosanya yang dihapuskan Allah
Di sini jelas, ada kemahaadilan nilai pahala dalam hal mencari nafkah, yang terkait dengan berat atau tidak beratnya cara mencari nafkah tersebut. 
Dan bukan semata-mata dari besarnya penghasilan.


Yang jelas, ibarat perjalanan menuju rumah, kehidupan duniawi hanyalah sebuah perjalanan; dan bukan tujuan. 
Kita tidak dilarang bergembira dalam perjalanan, tapi mengayuh sampai di rumah dengan selamat itulah tujuan kita. 
Sedangkan tujuan utama seorang Muslim, yang sebenarnya, adalah selamat dan berbahagia di surga akhirat.

Yang pasti, yang terbaik, hendaknya mengayuh itu sampai tujuan; jangan setengah jalan.







ZUHUD YANG DIANJURKAN

Tak seorang pun bisa melebihi Nabi dalam beribadah kepada Allah, namun Nabi tidak sama sekali meninggalkan sukacita duniawi. 
Tuntunan Nabi bukan saja tidak melarang, malah mewajibkan setiap Muslim untuk berusaha mencari harta dunia, asal caranya halal dan ingat akan adanya hak (bagian) orang miskin pada hartanya.

Sedangkan bagi Muslim yang karena situasi dan kondisinya tidak punya kemampuan untuk mencari nafkah secara maksimal, maka melaksanakan zuhud dengan makna menyesuaikan diri dengan kemampuan merupakan keutamaan.

Zuhud seperti yang dilaksanakan Nabi lebih bermakna kepada hidup sederhana, hidup yang disesuaikan dengan kemampuan yang ada
Hidup yang alur perjalanannya mengalir apa adanya.

“Sungguh amat beruntunglah orang yang Islam (berserah diri) dan merasa cukup dengan apa yang direzekikan Allah, serta memadakan (mencukupkan) apa yang diberikanNya.”  (HR. Muslim) 


Memang, seorang Muslim sepantasnya memiliki keinginan, cita-cita, harapan, malah ambisi; Muslim tak boleh menyianyiakan kesehatan dan kelengkapan jasmani yang dimilikinya. 
Tapi keinginan harus disesuaikan dengan kemampuan, sebab ambisi yang di luar batas kemampuan akan menenggelamkan kita kepada masalah dan penderitaan. 
Sebaliknya, kemampuan yang sesuai dengan keinginan bisa mengarahkan Muslim kepada kesukacitaan; melapangkan jalan untuk menolong orang lain.


Karenanya, agar kemampuan bertambah, maka seorang Muslim harus belajar. 
Itulah sebabnya ajaran Islam yang pertama dan paling utama adalah membaca
Artinya, Muslim harus menuntut ilmu; harus menambah kemampuan. 
Harus bisa berubah. 
Harus bisa membedakan antara cara yang benar dan cara yang salah, antara hal yang baik dan hal yang buruk.






SEMUA AKAN BERLALU

Realitanya, sering kali kita tidak bisa menolak datangnya situasi yang tidak kita inginkan. 

Jadi, buat apa kita kesal atau mendongkol; sebab tokh kita tak bisa menghindar atau merubah keadaan tersebut. 
Tapi juga jelas, kita tidak bisa disalahkan jika akhirnya kita pun cuek atau bermasa bodoh dengan situasi serupa itu. 

Yang jelas, dalam tuntunan sufi ada kalimat yang bisa mengarahkan seseorang kepada sikap bijak yang menenangkan; kalimat yang dimaksud adalah ‘Semua Akan Berlalu’.


Dengan selalu mengingat kalimat itu, ketika miskin atau menderita, orang tersebut tidak akan menenggelamkan dirinya ke dalam kesedihan.  
Sebab ia yakin bahwa kemiskinan dan penderitaannya itu suatu saat akan ia tinggalkan. 

Begitupun, dengan selalu mengingat kalimat itu, ketika kaya (kaya harta, ilmu, jabatan, atau apapun juga) orang tersebut akan mawas diri untuk tidak membanggakan diri. 
Sebab ia sadar, bahwa semua kekayaan dan kesenangannya itu suatu saat akan ia tinggalkan juga.

Karena itu, tak perlu sombong; tapi juga tak perlu bersedih
Sebab, Semua Akan Berlalu.






JANGAN TERBELIT KESEDIHAN DAN RASA BERSALAH

Bila kita murung dan marah, setan bersukacita. 
Karenanya, betapa beratnya pun tantangan, berusahalah untuk tersenyum. 

Tak ada gunanya kita sedih dan marah.  
Tokh jika masalah harus datang juga, kita tidak mungkin mengelak.  
Tokh jika malaikat maut datang, kita tidak bisa melarikan diri.


Realitanya, di semua kesempatan, si iblis laknatullah selalu berusaha memancing emosi kita untuk marah dan dendam; sebab marah dan dendam membuat kita mudah terjerumus ke dalam keburukan. 
Di semua situasi si iblis selalu mendorong kita untuk iri hati, sombong dan serakah. 
Selalu berusaha menabur keraguan akan kemahaadilan Allah. 

Realitanya, semakin berusaha mendekatkan diri kepada tuntunan agama, justru semakin banyak cobaan
Sampai hal-hal yang remeh temeh pun melahirkan ketidaktenteraman. 

Padahal, seperti juga dalam situasi melarat, dalam keadaan penuh kecemasan manusia lebih dekat kepada kekufuran.

Karenanya, buang semua kesedihan dan kekhawatiran yang ditanamkan setan laknat jahanam dalam diri kita. 
Buang semua perasaan bersalah. 
Sebab, selama kita berbuat sesuai situasi dan kemampuan kita, dan selama tidak merugikan orang lain, kita tidak patut merasa berdosa.


Ingat, penderitaan duniawi sering baru berakhir ketika hidup juga berakhir. 
Padahal kita tidak tahu kapan hidup kita berakhir. 

Karenanya, jangan terbelit dengan kesedihan. 
Nikmatilah sisa hidup dengan kegembiraan (dan dengan tidak merugikan orang lain).  

Nikmatilah apa yang ada pada kita, jangan pikirkan apa yang ada pada orang lain.  
Sebab yang ada pada orang lain, jangankan kita, orang itu sendiri belum tentu bisa menikmatinya.


Syukurilah apa yang ada pada kita. 
Mustahil Allah telah keliru. 
Mustahil rezeki kita tertukar dengan rezeki orang lain.






MENIKMATI PERAN YANG SEDANG KITA LAKONI

Hidup ibarat sebuah game.
Sulit atau mudah, tidak masalah.  
Jika kita menyukai tantangannya, kita akan bisa menikmati permainan itu.


Realitanya, seperti putaran dadu, peran dan peristiwa yang menimpa setiap orang memiliki banyak kemungkinan. 
Yang penting, sebelum terjadi perubahan peran, kita harus ikhlas menjalani peran yang sedang dijalani. 


Dengan kata lain, apapun peran yang sedang dilakoni saat ini, kita harus bisa menyesuaikan diri dengan peran kita. 
Sebab, jika kita bisa beradaptasi dengan yang kita jalani, menjadi apapun kita bisa gembira dan bahagia. 

Karenanya, peran apapun yang sedang dilakoni, bagaimanapun keadaannya, berusahalah menikmati apa yang ada. 
Percuma menangis.

Lagi pula, bila terjadi perubahan, belum tentu kita bisa menjalaninya sesuai harapan; malah bisa jadi kita lebih tidak berbahagia.


Yang jelas, semua yang kita alami --ketenteraman atau kegundahan, karunia atau musibah-- pasti terkait dengan keikhlasan hati dan perilaku kita. 

Realitanya, semakin sederhana kita dalam berkeinginan maka makin sedikit kemungkinan kita terperangkap dalam ketidaktenteraman.


(Alfa Qr)

Dongeng Sufi


Ada seorang sufi yang amat sangat cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ia senantiasa berpasrah diri kepada Allah dalam semua perkara, dan senantiasa berzikir memuliakanNya. 
Ia tidak pernah mau memohon kepada Allah untuk meminta sesuatu yang bersifat keduniawian.

Ia sama sekali tidak membela diri tatkala dituduh telah membunuh orang, padahal hakim menjatuhinya hukuman gantung. 
Saat tali gantungan siap menjerat lehernya pun, ia hanya tersenyum. 
Pada saat itulah, sang pembunuh yang sebenarnya --yang hadir di sana-- mengakui perbuatannya. 

Apa kemudian yang dilakukan sang sufi? 
Ia malah meminta kepada hakim untuk membebaskan si pembunuh.

Ketika ditanya mengapa ia tidak membela diri atau berdoa kepada Allah mohon pertolongan. 
Ia mengatakan, bahwa ia merasa tidak perlu meminta agar Allah merubah kehendakNya; digantung boleh, tidak digantung tidak apa-apa. 
Ia hanya meyakini, bahwa apa pun yang diperbuat Allah kepadanya adalah yang terbaik yang dikehendakiNya.


Pasrah total tanpa berusaha seperti di dalam dongeng sufi di atas, tidaklah mencerminkan ajaran Islam yang sesungguhnya.  [1] 

Tuntunan Islam, selain mengajarkan harus berusaha merubah keadaan, justru mengharuskan orang beriman yang butuh pertolongan untuk berdoa memohon kepada Allah --bukan kepada yang lain-- dengan penuh keyakinan. 
Sesuai firmanNya dalam Al Qur’an, surat Al Mu’min [40]:60,

“..Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kukabulkan permintaanmu..”





HARUS SEIMBANG DALAM BERIBADAH

Tuntunan agama Yahudi dalam pelaksanaan seremonial peribadatan cenderung kepada bermegah-megah; yang memamerkan keberhasilan duniawi. 

Sementara perintah Yesus dalam beribadah lebih menyuruh kepada hal yang bersifat menjauhi materi dan kesenangan duniawi; yang mengharuskan kepada pelayanan dan kasih semata-mata. [2] 

Sedangkan tuntunan Islam, dalam berbakti kepada Allah, manusia harus membaca; harus memiliki ilmu pengetahuan dari yang dilakukannya. 
Harus seimbang antara mendirikan ritus ibadat dengan beramal baik kepada lingkungannya. 

Muslim tidak melulu menyibukkan diri dalam kegiatan spiritual, tapi juga tidak membabibuta dalam kehidupan materialnya.








HARUS BERUSAHA BERUBAH

Agar tidak tenggelam, selain memohon pertolongan Allah, orang harus berusaha berenang. 
Selamat atau tidak, itu baru takdir Allah. 

Muslim yang ingin selamat yang hanya mohon pertolongan Allah tapi tidak berusaha berenang, adalah salah. 
Yang tidak mohon pertolongan Allah dan tidak berusaha berenang, padahal ingin selamat, bukanlah seorang Muslim.


Dalam Islam, manusia dianjurkan berusaha dengan praktek nyata ketika menapaki keinginannya; dan berdoa hanya kepadaNya, tidak kepada yang lain, ketika membutuhkan pertolongan. 

Pasrah total, dalam arti tidak berbuat apa-apa, tidak ada dalam kamus Islam. 
Takdir dalam Islam adalah berusaha pindah dari suatu perkara ke perkara lain yang lebih baik.

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...”  (Qur’an, Ar Ra’d [13]:11)

Ayat ini menunjukkan, bahwa manusia diberi kebebasan untuk mengukir jalan hidupnya sendiri.







ILUSI PENGLIHATAN

Pola gambar tumpang tindih, seperti pola anyaman tikar, kadang  menghasilkan efek ilusi tiga dimensi. 

Artinya, jika gambar tersebut dilihat agak lama dengan fokus ke tengah gambar, kita akan melihat gambar tersebut menjadi memiliki efek kedalaman.


Saat ini, dengan rekayasa komputer, hasil efek tiga dimensi tersebut, bisa berbeda dengan gambar aslinya. 
Contohnya, gambar yang sekadar garis yang tak beraturan, jika dipandang lama dan fokus ke tengah gambar, bisa menghasilkan gambar berupa hewan atau manusia. 

Hanya saja, kemampuan untuk bisa melihat efek ilusi tiga dimensi tersebut pada tiap orang berbeda; malah ada orang yang sama sekali tidak bisa melihatnya.


Dari fenomena di atas, bisa ditarik pelajaran:  
Pertama, bahwa apa yang kelihatan oleh mata kita pada hakekatnya adalah apa yang otak atau pikiran kita lihat; 
Kedua, kita jadi tahu bahwa kemampuan tiap manusia adalah berbeda dalam melihat atau memahami sesuatu (termasuk  memahami ajaran agama);  
Ketiga,  dibalik ‘sesuatu’ itu dimungkinkan adanya hakekat lain yang hanya bisa diketahui oleh orang-orang tertentu saja.

Oleh karenanya, pemahaman tasawuf yang benar dimungkinkan bisa dicapai oleh Muslim yang benar-benar mendalaminya secara benar, yang memasrahkan semua yang dilakukannya hanya kepada ridha Allah SWT.

Sebaliknya, pemahaman tasawuf yang ngawur bisa menimpa orang yang diperbudak oleh khurafat; yang lebih mengeramatkan para wali dan orang soleh. 
Yang merasa melakukan suatu kebajikan, tapi justru terperosok pada perkara yang malah diharamkan agama; yang menjerumuskan pada kemusyrikan. 


Padahal mesti diingat, ayat yang mewajibkan hanya beribadat kepada Allah --sebab sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah-- berkali-kali diulang-ulang di dalam Al Qur’an.








DI ANTARA CIRI PELAKU TASAWUF YANG TIDAK BENAR

Para pelaku tasawuf yang ngaco kadang mengaku mereka berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melakukan dialog denganNya. 
Padahal dalam akidah Islam yang lurus, tidak ada satu manusia pun yang pernah bertemu Allah atau berhadapan secara langsung.

Mereka mengklaim tahu yang gaib. 
Padahal tidak seorang pun, termasuk Rasulullah Saw, bisa tahu pasti apa yang akan terjadi besok.

 “Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut) ‘Insya Allah’..” (Qur’an, Al Kahfi [18]: 23-24)
 “Katakanlah, ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu...’” (Qur’an, Al Ahqaaf [46]:9)

Karenanya, azlaam --meramal dengan mengundi-- merupakan satu hal yang zalim, satu hal yang amat sangat diharamkan dalam Islam.

Sebenarnya, ajaran Islam itu mudah dan masuk akal. 
Ajaran yang ngaco malah membuat yang mudah itu kadang menjadi tidak jelas.








SITUASI BERBEDA

Jika para guru sufi dan ulama tempo dulu hidup di zaman dan situasi sekarang --yang memiliki sarana seperti telepon dan pesawat terbang-- maka ajaran mereka mungkin tidak akan seperti yang mereka tulis. 
Sebab mesti diingat, walau tempatnya sama, pada waktu yang berbeda kita bisa menjumpai kondisi dan situasi yang berlainan.

Contohnya, di masa dulu khurafat amat dominan; sekarang, terbelenggu takhayul merupakan kebodohan. Padahal tidak sedikit ajaran ulama masa lampau tercampuri takhayul yang bertentangan dengan tuntunan Nabi Saw

Karenanya, walau kadang diperbaharui oleh guru-guru sufi berikutnya, ajaran sufi biasanya hanya sesuai dengan masa mereka sendiri.


Realitanya, orang di zaman sekarang dihadapkan kepada godaan dan perangkap setan yang lebih banyak dan lebih beragam. 
Orang dahulu akan melihat kejahatan hanya bila keluar rumah, orang sekarang bisa melihat contoh buruk di dalam rumah (di internet dan di televisi).   

Jadi amatlah pantas bila orang di zaman sekarang mengenal ikhlas, qanaah, dan kebajikan hanya sekadar sebuah semboyan, dan bukan sebuah praktek.

Padahal, camkan, seperti juga sebuah permainan, tidak ada hidup yang tak pernah berakhir. 
Dan kita harus siap di ‘lapangan’ berikutnya.

Yang pasti, kita harus menabur sebelum menuai. 
Kita harus berinvestasi sebelum meraih keuntungan.



 “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. 
Tangan yang di atas adalah tangan yang memberi,
sedangkan tangan yang di bawah ialah tangan yang meminta.”
(HR. Muslim)


(Alfa Qr)



[1]  Material berkaitan dengan lahiriah (bersifat keduniawian), spiritual berkaitan dengan batiniah (bersifat ruhaniah). Orang yang waras akal pikirannya mustahil terluput dari keinginan yang bersifat material maupun spiritual. Realitanya, sukses dalam material membuahkan kegembiraan, sukses dalam spiritual melahirkan ketenteraman. Yang jelas, harap dicatat, berusaha meraih ketenteraman jiwa dengan meninggalkan kehidupan duniawi bukan berasal dari tuntunan Islam.
[2]  Ironisnya, saat ini, bermegah-megah dalam peribadatan cenderung dipraktekkan oleh hampir semua pemeluk agama, termasuk pemeluk agama Kristen.