“Dia
telah memilih kamu dan sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan.” (Qur’an
, Al Hajj [22]:78)
Setiap Muslim yang menjalankan ajaran agamanya dengan benar, dapat
dipastikan mendasarkan amal perbuatannya menurut petunjuk Nabi.
Meneladani contoh Nabi berarti kita harus beramal mengikuti contoh yang benar, dan bukan mencontoh yang bagus sekadar pendapat kita.
Meneladani contoh Nabi berarti kita harus beramal mengikuti contoh yang benar, dan bukan mencontoh yang bagus sekadar pendapat kita.
Kita sama sekali
tidak boleh mencela amalan atau ritus ibadat yang pernah dicontohkan Nabi.
Menuding orang yang melakukan shalat jama (menyatukan dua salat) tanpa ada kendala apa-apa sebagai tidak baik, sama saja dengan mencela Nabi; sebab salat jama tanpa halangan pernah dikerjakan Nabi.
Salat jama merupakan keringanan
yang diberikan agama kita.
Hanya saja salat jama jangan dijadikan kebiasaan, sebab Nabi juga tidak menjadikannya seperti itu;
Artinya, jangan terus-terusan salat jama tiap hari.
Hanya saja salat jama jangan dijadikan kebiasaan, sebab Nabi juga tidak menjadikannya seperti itu;
Artinya, jangan terus-terusan salat jama tiap hari.
Begitu pula
menyingkat rakaat salat (taqshir, qashar, kosor) dalam perjalanan, karena biasa
dilakukan Rasulullah Saw saat di
perjalanan, adalah sesuatu yang baik untuk kita kerjakan.
Ini, seperti juga tak usah saum ketika dalam perjalanan, adalah kemudahan dalam beragama.
Ini, seperti juga tak usah saum ketika dalam perjalanan, adalah kemudahan dalam beragama.
Pesan Nabi Saw.: “Allah menyukai bila keringanan (rukhshah) Nya diterima dan diamalkan,
sebagaimana seorang hamba menyukai pengampunanNya.”
Dan pesan beliau pula: “Permudahlah (segala
urusan), jangan dipersulit dan ajaklah dengan baik, jangan menyebabkan orang
menjauh”.
Memang tak dapat
disalahkan orang yang mencela orang yang tidak salat; tapi kita tidak boleh
mencela orang yang mengundurkan salat, atau yang mendirikan salat mendekati
akhir waktu salat.
Begitu juga, kita tak boleh mencela --apalagi mengharamkan--
poligami.
Hal-hal di atas
perlu dikemukakan, sebab tak sedikit Muslim --yang sebetulnya disebabkan
kecintaannya yang amat sangat kepada agama Allah ini-- mencela perbuatan Muslim
lainnya yang menurut akal pikirannya dianggap kurang baik, padahal perbuatan
serupa itu pernah dilakukan Nabi.
Hendaknya
dipertimbangkan, tidak sedikit orang yang dicela bukannya bertambah baik;
kadang kebaikan yang sudah ada pada dirinya pun malah jadi ditinggalkan.
Lagi pula, tidak ada manfaatnya dicontohkannya hal-hal yang meringankan itu bila kita tidak boleh melakukannya.
Padahal kita harus meyakini bahwa semua yang
pernah dicontohkan Nabi Saw, bukanlah
perbuatan tanpa makna, bukan pekerjaan yang sia-sia.
Yang pasti, Allah
menyuruh seorang Muslim harus taat --terutama dalam peribadatan-- hanya kepada
apa yang diperintahkan Allah dan RasulNya.
Tidak menyuruh taat kepada tatacara peribadatan yang direkayasa manusia; yang tidak dicontohkan Rasulullah Saw.
Tidak menyuruh taat kepada tatacara peribadatan yang direkayasa manusia; yang tidak dicontohkan Rasulullah Saw.
“Dan barangsiapa menaati Allah dan RasulNya, maka
sesungguhnya ia mendapat kemenangan yang besar.” (Qur’an, Al Ahzab [33]:71)
KEMUDAHAN AJARAN MUHAMMAD SAW
“Allah menghendaki bagi kamu kemudahan,
dan tidak menghendaki bagi kamu kesulitan.” (Qur’an, Al Baqarah [2]:185)
Walau ayat di atas berkaitan dengan orang sakit dan
musafir (yang sedang di perjalanan) dalam melaksanakan saum, namun kalimat ayat
ini dengan jelas dan terang berlaku umum; yaitu syareat Islam tidak sekali-kali
bermaksud memberatkan manusia.
Perlu diketahui,
ayat Qur’an bisa saja memiliki makna yang lebih luas, yang tidak terpaku pada
sekadar asbab nuzul yang sempit.
Oleh karenanya, tanpa mengurangi batasan minimal, tidaklah salah melaksanakan ritus-ritus ibadat dengan cara yang paling mudah.
Oleh karenanya, tanpa mengurangi batasan minimal, tidaklah salah melaksanakan ritus-ritus ibadat dengan cara yang paling mudah.
Pesan Rasulullah
Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya agama
itu mudah dan tiada seorang yang mempersulit agama, kecuali pasti
dikalahkannya. Bertindaklah tepat, lakukan pendekatan, sebarkan berita gembira,
permudahlah dan gunakan siang dan malam hari serta sedikit waktu fajar sebagai
penolongmu.”
Jelas, tuntunan
agama itu tidak menyulitkan.
Artinya, boleh melakukan yang paling mudah, tapi
bukan berarti tidak melakukan apa-apa.
BATAS MINIMAL
Dipetik dari hadis Bukhari, diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:
Seorang Arab Badui menemui Nabi Muhammad Saw dan berkata, “Katakanlah padaku sebuah jenis perbuatan (amal), yang apabila aku kerjakan, akan membawaku ke surga.”
Nabi bersabda,
“Beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukanNya dengan apa pun,
mengerjakan shalat, membayar zakat yang diwajibkan (mafrudhah), saum di bulan
Ramadhan.”
Orang Badui itu
berkata, “Demi Dia yang menggenggam hidupku, aku tidak akan mengerjakan lebih
dari ini.”
Ketika orang Badui
itu telah pergi, Nabi bersabda, “Siapa pun yang ingin melihat penghuni surga,
maka lihatlah orang itu.”
Hadis di atas bisa
dijadikan gambaran batasan minimal amal seorang Muslim untuk menjadi penghuni
surga.
Yakni mengerjakan: Syahadat, salat fardu (lima kali sehari), zakat, dan saum di bulan Ramadhan.
Yakni mengerjakan: Syahadat, salat fardu (lima kali sehari), zakat, dan saum di bulan Ramadhan.
Semiskin dan seterpencil apa pun, keempat rukun Islam ini bisa dilaksanakan seorang Muslim.
Sementara ibadah haji, selain fisik yang sehat, juga perlu biaya bagi yang tempat tinggalnya jauh.
Tentu saja wajib menunaikannya jika memang mampu.
“Peliharalah (jauhkan) dirimu dari neraka,
walau dengan (bersedekah) sepotong kurma.
Jika kamu tak sanggup, maka dengan tutur kata yang baik.”
(HR. Muslim)
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar