BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Kamis, 23 Februari 2012

Memudahkan bagi yang awam


Dia telah memilih kamu dan sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”  (Qur’an , Al Hajj [22]:78)

Setiap Muslim yang menjalankan ajaran agamanya dengan benar, dapat dipastikan mendasarkan amal perbuatannya menurut petunjuk Nabi. 
Meneladani contoh Nabi berarti kita harus beramal mengikuti contoh yang benar, dan bukan mencontoh yang bagus sekadar pendapat kita. 

Kita sama sekali tidak boleh mencela amalan atau ritus ibadat yang pernah dicontohkan Nabi. 

Menuding orang yang melakukan shalat jama (menyatukan dua salat) tanpa ada kendala apa-apa sebagai tidak baik, sama saja dengan mencela Nabi; sebab salat jama tanpa halangan pernah dikerjakan Nabi. 
Salat jama merupakan keringanan yang diberikan agama kita. 
Hanya saja salat jama jangan dijadikan kebiasaan, sebab Nabi juga tidak menjadikannya seperti itu; 
Artinya, jangan terus-terusan salat jama tiap hari.


Begitu pula menyingkat rakaat salat (taqshir, qashar, kosor) dalam perjalanan, karena biasa dilakukan Rasulullah Saw saat di perjalanan, adalah sesuatu yang baik untuk kita kerjakan. 
Ini, seperti juga tak usah saum ketika dalam perjalanan, adalah kemudahan dalam beragama.

Pesan Nabi Saw.: “Allah menyukai bila keringanan (rukhshah) Nya diterima dan diamalkan, sebagaimana seorang hamba menyukai pengampunanNya.”   
Dan pesan beliau pula: “Permudahlah (segala urusan), jangan dipersulit dan ajaklah dengan baik, jangan menyebabkan orang menjauh”. 


Memang tak dapat disalahkan orang yang mencela orang yang tidak salat; tapi kita tidak boleh mencela orang yang mengundurkan salat, atau yang mendirikan salat mendekati akhir waktu salat. 
Begitu juga, kita tak boleh mencela --apalagi mengharamkan-- poligami.


Hal-hal di atas perlu dikemukakan, sebab tak sedikit Muslim --yang sebetulnya disebabkan kecintaannya yang amat sangat kepada agama Allah ini-- mencela perbuatan Muslim lainnya yang menurut akal pikirannya dianggap kurang baik, padahal perbuatan serupa itu pernah dilakukan Nabi.

Hendaknya dipertimbangkan, tidak sedikit orang yang dicela bukannya bertambah baik; kadang kebaikan yang sudah ada pada dirinya pun malah jadi ditinggalkan. 

Lagi pula, tidak ada manfaatnya dicontohkannya hal-hal yang meringankan itu bila kita tidak boleh melakukannya. 
Padahal kita harus meyakini bahwa semua yang pernah dicontohkan Nabi Saw, bukanlah perbuatan tanpa makna, bukan pekerjaan yang sia-sia.


Yang pasti, Allah menyuruh seorang Muslim harus taat --terutama dalam peribadatan-- hanya kepada apa yang diperintahkan Allah dan RasulNya.  
Tidak menyuruh taat kepada tatacara peribadatan yang direkayasa manusia; yang tidak dicontohkan Rasulullah Saw.

“Dan barangsiapa menaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia mendapat kemenangan yang besar.”  (Qur’an, Al Ahzab [33]:71)






KEMUDAHAN AJARAN MUHAMMAD SAW

 “Allah menghendaki bagi kamu kemudahan, dan tidak menghendaki bagi kamu kesulitan.” (Qur’an, Al Baqarah [2]:185) 

Walau ayat di atas berkaitan dengan orang sakit dan musafir (yang sedang di perjalanan) dalam melaksanakan saum, namun kalimat ayat ini dengan jelas dan terang berlaku umum; yaitu syareat Islam tidak sekali-kali bermaksud memberatkan manusia.


Perlu diketahui, ayat Qur’an bisa saja memiliki makna yang lebih luas, yang tidak terpaku pada sekadar asbab nuzul yang sempit. 
Oleh karenanya, tanpa mengurangi batasan minimal, tidaklah salah melaksanakan ritus-ritus ibadat dengan cara yang paling mudah.


Pesan Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya agama itu mudah dan tiada seorang yang mempersulit agama, kecuali pasti dikalahkannya. Bertindaklah tepat, lakukan pendekatan, sebarkan berita gembira, permudahlah dan gunakan siang dan malam hari serta sedikit waktu fajar sebagai penolongmu.”

Jelas, tuntunan agama itu tidak menyulitkan. 
Artinya, boleh melakukan yang paling mudah, tapi bukan berarti tidak melakukan apa-apa.  








BATAS MINIMAL

Dipetik dari hadis Bukhari, diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:

Seorang Arab Badui menemui Nabi Muhammad Saw dan berkata, “Katakanlah padaku sebuah jenis perbuatan (amal), yang apabila aku kerjakan, akan membawaku ke surga.”
Nabi bersabda, “Beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukanNya dengan apa pun, mengerjakan shalat, membayar zakat yang diwajibkan (mafrudhah), saum di bulan Ramadhan.”
Orang Badui itu berkata, “Demi Dia yang menggenggam hidupku, aku tidak akan mengerjakan lebih dari ini.”
Ketika orang Badui itu telah pergi, Nabi bersabda, “Siapa pun yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah orang itu.”


Hadis di atas bisa dijadikan gambaran batasan minimal amal seorang Muslim untuk menjadi penghuni surga. 
Yakni mengerjakan: Syahadat, salat fardu (lima kali sehari), zakat, dan saum di bulan Ramadhan. 

Semiskin dan seterpencil apa pun, keempat rukun Islam ini bisa dilaksanakan seorang Muslim. 
Sementara ibadah haji, selain fisik yang sehat, juga perlu biaya bagi yang tempat tinggalnya jauh. 
Tentu saja wajib menunaikannya jika memang mampu.



“Peliharalah (jauhkan) dirimu dari neraka,
walau dengan (bersedekah) sepotong kurma.
Jika kamu tak sanggup, maka dengan tutur kata yang baik.”
(HR. Muslim)




(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: