BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Minggu, 26 Februari 2012

Berikhtiar untuk dunia dan akhirat


Hakekat yang benar --atau mendekati yang benar-- dari zuhud adalah waspada dari diperbudak oleh harta dunia, dan bukan meninggalkan kesenangan duniawi sama sekali. 
Artinya, selama caranya tidak melanggar tuntunan agama, manusia dibolehkan mencari kesenangan dan harta duniawi sesuai kemampuannya. 
Namun, ada juga orang yang memahami zuhud sebagai sama sekali meninggalkan kelezatan duniawi; satu hal yang sebenarnya tidak diajarkan, apalagi diperintahkan Islam.


Hakekatnya, selama seorang Muslim bisa menempatkan pemahaman agamanya selaras dengan kemampuan yang telah diberikan Allah kepadanya, maka ia berada pada jalan yang benar sesuai tuntunan Islam. 
Ia berada pada jalur yang diragukan, manakala pemahaman agamanya tidak sesuai dengan kemampuan yang diberikan Allah kepadanya.

Muslim yang diberi kemampuan (memiliki ilmu dan kesehatan fisik) maka wajib baginya bekerja mencari harta duniawi secara halal; dan memanfaatkan hasilnya bagi keluarganya. 

Amat salah jika ia menempuh jalur zuhud --dalam pengertian menjauhi kehidupan duniawi-- padahal lahan pekerjaan yang halal terbuka baginya. 
Hal ini sama dengan melecehkan anugerah Allah Swt yang telah diberikan kepadanya; baik berupa kesehatan jasmani ataupun kesempatan memperoleh ilmu yang telah dipelajarinya.


Sesungguhnyalah, Islam memuji orang yang mampu keluar dari kemiskinan dan meninggalkan harta bagi keturunannya. 
Lagi pula, sia-sialah adanya perintah bersedekah jika semua Muslim harus mencela dunia. 
Apa yang mau disedekahkan jika seorang Muslim terlilit kemiskinan? 
Siapa yang akan memberi jika Muslim yang lain pun tidak punya apa-apa?

Sesungguhnyalah, berikhtiar mencari nafkah, berusaha dan bekerja, adalah tuntunan Islam. 
Dalam hadits yang diriwayatkan Ath-Thabrani, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menegaskan:

“Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus dengan pahala solat, sedekah, atau haji; namun hanya dapat ditebus dengan kesusahpayahan dalam mencari nafkah.”

Ini bisa diartikan, semakin sulit --semakin berat-- seorang Muslim mencari nafkah secara halal, semakin banyak di antara dosa-dosanya yang dihapuskan Allah
Di sini jelas, ada kemahaadilan nilai pahala dalam hal mencari nafkah, yang terkait dengan berat atau tidak beratnya cara mencari nafkah tersebut. 
Dan bukan semata-mata dari besarnya penghasilan.


Yang jelas, ibarat perjalanan menuju rumah, kehidupan duniawi hanyalah sebuah perjalanan; dan bukan tujuan. 
Kita tidak dilarang bergembira dalam perjalanan, tapi mengayuh sampai di rumah dengan selamat itulah tujuan kita. 
Sedangkan tujuan utama seorang Muslim, yang sebenarnya, adalah selamat dan berbahagia di surga akhirat.

Yang pasti, yang terbaik, hendaknya mengayuh itu sampai tujuan; jangan setengah jalan.







ZUHUD YANG DIANJURKAN

Tak seorang pun bisa melebihi Nabi dalam beribadah kepada Allah, namun Nabi tidak sama sekali meninggalkan sukacita duniawi. 
Tuntunan Nabi bukan saja tidak melarang, malah mewajibkan setiap Muslim untuk berusaha mencari harta dunia, asal caranya halal dan ingat akan adanya hak (bagian) orang miskin pada hartanya.

Sedangkan bagi Muslim yang karena situasi dan kondisinya tidak punya kemampuan untuk mencari nafkah secara maksimal, maka melaksanakan zuhud dengan makna menyesuaikan diri dengan kemampuan merupakan keutamaan.

Zuhud seperti yang dilaksanakan Nabi lebih bermakna kepada hidup sederhana, hidup yang disesuaikan dengan kemampuan yang ada
Hidup yang alur perjalanannya mengalir apa adanya.

“Sungguh amat beruntunglah orang yang Islam (berserah diri) dan merasa cukup dengan apa yang direzekikan Allah, serta memadakan (mencukupkan) apa yang diberikanNya.”  (HR. Muslim) 


Memang, seorang Muslim sepantasnya memiliki keinginan, cita-cita, harapan, malah ambisi; Muslim tak boleh menyianyiakan kesehatan dan kelengkapan jasmani yang dimilikinya. 
Tapi keinginan harus disesuaikan dengan kemampuan, sebab ambisi yang di luar batas kemampuan akan menenggelamkan kita kepada masalah dan penderitaan. 
Sebaliknya, kemampuan yang sesuai dengan keinginan bisa mengarahkan Muslim kepada kesukacitaan; melapangkan jalan untuk menolong orang lain.


Karenanya, agar kemampuan bertambah, maka seorang Muslim harus belajar. 
Itulah sebabnya ajaran Islam yang pertama dan paling utama adalah membaca
Artinya, Muslim harus menuntut ilmu; harus menambah kemampuan. 
Harus bisa berubah. 
Harus bisa membedakan antara cara yang benar dan cara yang salah, antara hal yang baik dan hal yang buruk.






SEMUA AKAN BERLALU

Realitanya, sering kali kita tidak bisa menolak datangnya situasi yang tidak kita inginkan. 

Jadi, buat apa kita kesal atau mendongkol; sebab tokh kita tak bisa menghindar atau merubah keadaan tersebut. 
Tapi juga jelas, kita tidak bisa disalahkan jika akhirnya kita pun cuek atau bermasa bodoh dengan situasi serupa itu. 

Yang jelas, dalam tuntunan sufi ada kalimat yang bisa mengarahkan seseorang kepada sikap bijak yang menenangkan; kalimat yang dimaksud adalah ‘Semua Akan Berlalu’.


Dengan selalu mengingat kalimat itu, ketika miskin atau menderita, orang tersebut tidak akan menenggelamkan dirinya ke dalam kesedihan.  
Sebab ia yakin bahwa kemiskinan dan penderitaannya itu suatu saat akan ia tinggalkan. 

Begitupun, dengan selalu mengingat kalimat itu, ketika kaya (kaya harta, ilmu, jabatan, atau apapun juga) orang tersebut akan mawas diri untuk tidak membanggakan diri. 
Sebab ia sadar, bahwa semua kekayaan dan kesenangannya itu suatu saat akan ia tinggalkan juga.

Karena itu, tak perlu sombong; tapi juga tak perlu bersedih
Sebab, Semua Akan Berlalu.






JANGAN TERBELIT KESEDIHAN DAN RASA BERSALAH

Bila kita murung dan marah, setan bersukacita. 
Karenanya, betapa beratnya pun tantangan, berusahalah untuk tersenyum. 

Tak ada gunanya kita sedih dan marah.  
Tokh jika masalah harus datang juga, kita tidak mungkin mengelak.  
Tokh jika malaikat maut datang, kita tidak bisa melarikan diri.


Realitanya, di semua kesempatan, si iblis laknatullah selalu berusaha memancing emosi kita untuk marah dan dendam; sebab marah dan dendam membuat kita mudah terjerumus ke dalam keburukan. 
Di semua situasi si iblis selalu mendorong kita untuk iri hati, sombong dan serakah. 
Selalu berusaha menabur keraguan akan kemahaadilan Allah. 

Realitanya, semakin berusaha mendekatkan diri kepada tuntunan agama, justru semakin banyak cobaan
Sampai hal-hal yang remeh temeh pun melahirkan ketidaktenteraman. 

Padahal, seperti juga dalam situasi melarat, dalam keadaan penuh kecemasan manusia lebih dekat kepada kekufuran.

Karenanya, buang semua kesedihan dan kekhawatiran yang ditanamkan setan laknat jahanam dalam diri kita. 
Buang semua perasaan bersalah. 
Sebab, selama kita berbuat sesuai situasi dan kemampuan kita, dan selama tidak merugikan orang lain, kita tidak patut merasa berdosa.


Ingat, penderitaan duniawi sering baru berakhir ketika hidup juga berakhir. 
Padahal kita tidak tahu kapan hidup kita berakhir. 

Karenanya, jangan terbelit dengan kesedihan. 
Nikmatilah sisa hidup dengan kegembiraan (dan dengan tidak merugikan orang lain).  

Nikmatilah apa yang ada pada kita, jangan pikirkan apa yang ada pada orang lain.  
Sebab yang ada pada orang lain, jangankan kita, orang itu sendiri belum tentu bisa menikmatinya.


Syukurilah apa yang ada pada kita. 
Mustahil Allah telah keliru. 
Mustahil rezeki kita tertukar dengan rezeki orang lain.






MENIKMATI PERAN YANG SEDANG KITA LAKONI

Hidup ibarat sebuah game.
Sulit atau mudah, tidak masalah.  
Jika kita menyukai tantangannya, kita akan bisa menikmati permainan itu.


Realitanya, seperti putaran dadu, peran dan peristiwa yang menimpa setiap orang memiliki banyak kemungkinan. 
Yang penting, sebelum terjadi perubahan peran, kita harus ikhlas menjalani peran yang sedang dijalani. 


Dengan kata lain, apapun peran yang sedang dilakoni saat ini, kita harus bisa menyesuaikan diri dengan peran kita. 
Sebab, jika kita bisa beradaptasi dengan yang kita jalani, menjadi apapun kita bisa gembira dan bahagia. 

Karenanya, peran apapun yang sedang dilakoni, bagaimanapun keadaannya, berusahalah menikmati apa yang ada. 
Percuma menangis.

Lagi pula, bila terjadi perubahan, belum tentu kita bisa menjalaninya sesuai harapan; malah bisa jadi kita lebih tidak berbahagia.


Yang jelas, semua yang kita alami --ketenteraman atau kegundahan, karunia atau musibah-- pasti terkait dengan keikhlasan hati dan perilaku kita. 

Realitanya, semakin sederhana kita dalam berkeinginan maka makin sedikit kemungkinan kita terperangkap dalam ketidaktenteraman.


(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: