Ciri kekerdilan
kita, dalam menutupi kekurangan kita, hanya bisa membangga-banggakan masa lalu.
Kita tak pernah lupa kehebatan Islam di masa lalu, tapi menutup mata akan
kelebihan umat lain saat ini.
Kita hanya bisa meributkan sesuatu, dan bukan mengkaji sebab utamanya mengapa sesuatu itu diributkan.
Kita hanya bisa meributkan sesuatu, dan bukan mengkaji sebab utamanya mengapa sesuatu itu diributkan.
Kita meributkan keterbelakangan umat, tanpa
mencari sebab utamanya.
Kita memperdebatkan atau malah mempertajam perbedaan, dan bukan mengkaji apa akar masalahnya serta mencari jalan ke luarnya.
Kita memperdebatkan atau malah mempertajam perbedaan, dan bukan mengkaji apa akar masalahnya serta mencari jalan ke luarnya.
Bagi orang yang menyadari bahwa perbedaan itu
amat sulit dihilangkan, ia akan menjadikan perbedaan --selain sebagai
pendorong untuk mawas diri-- sebagai penumbuh sikap saling menghormati.
Kalaupun perbedaan ini harus tetap dihilangkan juga, maka caranya dengan tetap saling mengingatkan.
Bukan saling menghina, apalagi saling gebuk.
Dalam realita, banyak orang salah jalan karena ketidaktahuan akan syareat agama.
Mereka merasa niatnya benar, padahal pada kenyataannya mereka keliru.
Walau memang, baik karena gengsi atau karena sebab lain, ada juga orang salah jalan karena ketidaksudian orang tersebut dalam menerima suatu kebenaran yang dikemukakan orang lain.
Ia tidak bersedia menerima kebenaran karena
menilai orang yang mengemukakan kebenaran itu sebagai masih hijau; dinilai tak
berilmu atau lebih bodoh daripadanya.
Satu sikap yang hakekatnya sama seperti yang dilakukan kaum musyrikin Makkah, yang menilai Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai tidak lebih berilmu ketimbang mereka (pemuka Quraisy yang merasa lebih pintar karena bisa menulis dan membaca, sementara Nabi dinilai ‘tidak bisa menulis dan tidak bisa membaca’).
Karenanya, seandainya ada seseorang yang
datang kepada kita dengan membawa kebenaran --walaupun orang itu dalam
penglihatan zahir kita lebih muda, lebih miskin, lebih bodoh, atau tidak lebih
hebat daripada kita-- sudah selayaknya kita menerimanya.
Sebab hakekatnya orang
tersebut sekadar penyampai, bukan pembuat kebenaran.
Sebaliknya, walau yang datang lebih tua, lebih
terpandang, atau lebih hebat dalam penilaian zahir kita, jika membawa
ketidakbenaran atau kerusakan layak untuk ditolak.
Ibarat nyanyian, yang
penting adalah lagunya dan bukan biduannya; sebab nilai sebuah lagu itu harus
enak untuk didengar, dan bukan harus enak untuk dilihat.
Pantas direnungkan: Dalam masyarakat
orang-orang buta, orang yang punya sebelah mata bisa menjadi raja.
Tapi sebaliknya, dalam masyarakat yang orang-orangnya bisa melihat namun semuanya buta warna, orang yang matanya normal justru dianggap sakit; dianggap menyimpang, malah dinilai salah.
Jadi, masih beruntung orang yang buta sebelah
matanya tapi tidak buta mata hatinya.
TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar