BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Sabtu, 25 Februari 2012

Ketetapan dan kehendak Allah


Salah satu sebab di antara kerancuan memahami takdir adalah karena menyamakan pengertian ‘ketetapan’ dengan ‘kehendak’. 
Padahal ‘ketetapan’ berbeda dengan ‘kehendak’.

Ketetapan Allah atau sunatullah adalah sesuatu yang sifat-sifatnya telah dibakukan secara tetap; artinya bersifat lebih dahulu. 
Kehendak Allah --iradah atau takdir atau apa pun namanya-- adalah sesuatu yang akan diberlakukan; artinya bersifat baru, bersifat kemudian. 

Jadi, sunatullah --walau sudah ditetapkan, sudah dibakukan sifat-sifatnya-- bisa saja menyimpang jika Allah menghendakinya.
Contohnya: api. 
Berdasar sunatullah, api memiliki sifat yang sudah distandarkan yaitu panas dan membakar; baik api itu berasal dari kompor gas, kayu bakar, maupun lilin.  
Namun dengan kehendak Allah, bisa saja menjadi tidak panas dan tidak membakar. 

Yang jelas, kita dimungkinkan menghindar dari ketetapan Allah  (sunatullah, hukum alam), tapi tidak bisa mengelak dari kehendak Allah.

Contohnya, sesuai ketetapan Allah, orang yang kehujanan pasti basah.  
Untuk menghindar dari basah, kita bisa menggunakan payung atau berusaha berteduh. 
Tapi jika Allah menghendaki kita tetap basah, payung itu bisa jadi tak berfungsi; atau kita tak menemukan tempat berteduh. 






TAK ADA YANG BISA MENOLAK KEHENDAK ALLAH

 Ada dua kemungkinan kehendak Allah, yaitu:
1.      Kehendak bersifat mutlak Allah menentukan sesuatu.
 Contohnya, tatkala Allah berkehendak meniupkan ruh ke jasad manusia. 
Ruh tersebut bisa ditiupkan ke anak orang beriman atau ke anak orang kafir.  
Bisa ditiupkan ke pria atau ke wanita. [1]
2.      Kehendak bersifat hanya sekadar menghalangi (menghindarkan, mencegah), atau sekadar membiarkan sesuatu terjadi.
Contohnya, tatkala Allah berkehendak mencegah atau membiarkan seseorang terperosok pada keburukan. Atau berkehendak menutup atau membukakan jalan ke arah kebaikan. 
Termasuk berkehendak membukakan jalan bagi orang kafir untuk menjadi orang yang beriman. 
Atau sebaliknya, berkehendak membiarkan orang yang tadinya beriman terjerumus pada kekafiran; na ‘udzubillah.


Yang mana pun ‘kehendak’ Allah diberlakukan, semuanya dipastikan tidak terlepas dari sifat Allah Yang Mahaadil dan Mahakuasa. 







MAHAADIL DALAM BERKEHENDAK

Jika orang jahat menderita merupakan hal yang wajar, tapi jika orang baik menderita kita sering menganggap kehendak Allah itu sebagai tidak adil. 
Padahal bukan mustahil orang yang kita nilai baik itu juga pernah berbuat kekeliruan.
Artinya, Allah itu pasti Mahaadil; hanya saja kita tidak memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Pertanyaan yang sering dilontarkan: “Untuk apa manusia harus berdoa meminta tolong --atau harus berbuat-- jika segala sesuatunya sudah kehendak Allah?” 

Pertanyaan serupa ini hanya muncul dari orang-orang yang melupakan (atau pura-pura lupa) bahwa selain memiliki sifat Maha kuasa, Allah mempunyai sifat Mahaadil.
Mahakuasa berarti tidak ada satu keterikatan sedikit pun bagi Allah dalam melakukan kehendakNya. Mahaadil berarti tidak ada satu perkara pun yang dilakukan Allah itu sewenang-wenang

Dengan kata lain, semua perkara bisa terjadi --baik atau buruk-- selain karena kemahakuasanNya, juga karena ada pertimbangan kemahaadilanNya. [2]







DI ANTARA CIRI KEMAHAADILAN ALLAH

Allah itu pasti Mahaadil, ketika seseorang diberi tambahan ‘kelebihan’ dalam satu hal, maka ada ‘kelebihan’ lainnya yang dikurangi dari orang tersebut. 
Contohnya, semakin seseorang bertambah keintelekannya maka kesensitifannya kepada hal yang lucu biasanya semakin berkurang. 
Artinya, ada kesenangan yang berkurang pada orang yang diberi kelebihan intelektual. 
Walau, memang, ada juga humor yang hanya bisa dipahami orang intelek; tapi humor serupa ini jumlahnya hanya sedikit. 

Begitu juga, bahagianya orang miskin dalam mendapatkan sesuatu biasanya lebih besar ketimbang kebahagiaan orang kaya yang mendapatkan hal yang sama. [3]

Jelas, apapun takdir yang ditentukan Allah, Allah itu pasti Mahaadil
Dengan kata lain, jika kita memiliki kekurangan dalam satu hal, dalam hal lainnya Allah pasti memberi kita kelebihan. 
Hanya saja, kita sering tidak menyadari dan tak mensyukuri kelebihan yang diberikan Allah itu. [4]







KEPASTIAN DAN KETIDAKPASTIAN

Garis batas antara kepastian dan ketidakpastian kadang sepertinya tidak jelas. 
Karena ada kalanya suatu ketetapan yang sudah ditentukan atau dipastikan ternyata tidak sesuai dengan ketetapan itu. 
Artinya, kehendak Allah bisa membuat sebuah ketetapan menjadi tidak pasti. 

Contoh, berdasar ketetapan Allah (sunatullah), setiap anak yang lahir ke dunia dipastikan merupakan buah dari hubungan sex. 
Namun dengan kehendak Nya, Nabi Isa Alaihis salam lahir ke dunia tanpa ayah kandung. 
Artinya bukan hasil dari sebuah hubungan sex.


Namun, secara umum, kita bisa memisahkan apakah suatu perkara itu termasuk perkara yang bisa dipastikan atau tidak bisa dipastikan. 

Sekadar untuk membedakan mana yang termasuk kepastian dan mana yang termasuk ketidakpastian, kita bisa ambil contoh perihal Allah yang telah berjanji akan membalas orang yang berbuat kejahatan dengan keburukan yang akan menimpa orang tersebut.

Jika tak mau bertobat, membalas keburukan dengan keburukan merupakan satu ketetapan yang pasti. 
Sedangkan waktu balasan keburukan tersebut akan tiba, mustahil kita memastikannya; bisa hari ini, lusa, atau tujuhbelas tahun yang akan datang. Atau malah baru akan ditimpakan nanti di akherat. 
Begitu pun bentuk keburukan yang akan menimpa orang tersebut, kita mustahil memastikannya, sebab Allah bebas menentukannya. 
Yang pasti, Allah akan membalas setiap perbuatan manusia.

Cukuplah bagi kita untuk memahami, perbuatan kita yang baik pasti membuahkan kebaikan, perbuatan kita yang buruk pasti membuahkan keburukan pula. 
Tapi berupa apa atau berbentuk apa balasan dari perbuatan kita itu, karena merupakan ‘kehendak’ Allah, tidak ada seorang pun yang bisa memastikannya
Artinya, ia termasuk (hukum) ketidakpastian.


Karenanya, dalam perkara-perkara seperti di atas, membalas kebaikan maupun keburukan merupakan ‘ketetapan’ Allah yang bisa dipastikan. 
Sedangkan kapan dan dimana, begitupun bentuk balasannya merupakan ‘kehendak’ Allah yang tak bisa dipastikan. 


Jadi jelas, Allah pasti membalas setiap amal kebajikan yang diperbuat manusia. 
Hanya saja kapan, di mana, dan berupa atau berbentuk apa pertolongan atau pahala Allah itu, tidak ada satu manusia pun yang tahu. 

Begitu pula Allah bisa menghukum manusia kapan saja dan di mana saja. 
Tapi tidak seorang pun bisa memaksa Allah untuk melakukannya hari ini, besok atau lusa, maupun hari-hari tertentu atau tempat-tempat tertentu. 

Yang pasti, mustahil Allah Swt menghukum manusia bila manusia itu sendiri tidak berbuat dosa. 
Mustahil Allah berlaku sewenang-wenang dalam berkehendak. 
Dengan kata lain, semua musibah, malapetaka, atau apa pun namanya yang menimpa kita --jika itu merupakan hukuman yang menebus dosa-- itu dipastikan karena kesalahan kita sendiri

“..Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu..” (Qur’an, An Nisaa [4]:123)



(Alfa Qr)


[1]  Wanita dan pria memiliki peran yang disesuaikan dengan fitrahnya, sebagai isteri dan sebagai suami; sebagai ibu dan sebagai ayah. Sedangkan waria tak ada tempat dalam Islam, sebab ia tak bisa berfungsi sebagai ibu atau sebagai ayah. Wanita dan pria yang berperilaku menyimpang harus kembali kepada fitrahnya sebagai wanita atau sebagai pria normal (sesuai jenis alat kelaminnya). Jika tidak, dinilai sebagai melawan kehendak Allah.

[2]   Realitanya, kita adalah makhluk yang rapuh; yang mustahil bisa menghindar dari yang dikehendaki Allah. Jadi, yang bisa kita lakukan hanya berharap agar apa yang dikehendaki Allah itu bersesuaian dengan yang kita kehendaki. 

[3]   Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing; jalan hidup kita mustahil harus mesti sama persis seperti yang dilakoni orang lain. Yang penting, kita harus bisa menikmati apapun dan bagaimanapun jalan hidup kita itu. Realitanya, anak orang kaya --atau anak orang terkenal-- menanggung beban yang lebih berat ketimbang anak orang biasa-biasa saja; selain harus menjaga reputasi nama orang tuanya, mereka juga dituntut harus bisa lebih berhasil. 

[4]   Hanya Muslim yang ikhlas, yang mau menerima apapun yang dikehendaki Allah, yang bisa menikmati lakon dan perjalanan hidup di dunia ini. Yang jelas, orang yang dibelenggu oleh sifat iri dan dengki   --yang emosional, yang cepat marah, yang terburu-buru menilai buruk segala sesuatu, yang terperangkap oleh dendam dan kebencian--   mustahil hidupnya tenang tenteram. 

KEMATIAN


Dalam masalah jenazah seorang Muslim, menjadi fardhu kifayah (kewajiban yang menjadi sekadar sunat hukumnya,  jika sudah ada sebagian Muslim lainnya yang melakukannya) bagi Muslim yang masih hidup yang ada di sekitarnya untuk menyegerakan memandikan, mengkafani, serta menyolatkannya. 
Dan seutamanya memakamkannya pada hari itu juga, sebaiknya sebelum matahari terbenam.

Perlu diketahui, ritus ibadat terakhir yang dilaksanakan untuk seorang Muslim yang meninggal dunia adalah shalat jenazah
Karenanya, menyolatkan jenazah seorang Muslim merupakan keutamaan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan. 
Setelah jenazah dikuburkan, tidak ada ritus ibadat apa pun

Setelah jenazah dikuburkan, tak ada ritus pembacaan doa atau kata-kata sambutan. 
Tak ada lagi ritus ibadat --tata cara doa yang diatur-- untuk orang tersebut. 

Termasuk tidak ada upacara peringatan (yang berupa ritus agama) apa pun baginya. 
Sebab tidak ada contohnya ritus serupa itu dilakukan oleh Nabi Saw ataupun para sahabat salaf Ra.


Mesti diingat, di mana pun, tatacara ritus ibadat yang diperintahkan Islam haruslah sama
Sebab, hanya agama yang sudah rusak yang tatacara ibadatnya berbeda-beda. 

Karenanya, perlakuan terhadap jenasah Muslim di Arab Saudi harus sama dengan yang terjadi pada jenasah Muslim di Australia. 

Mustahil perintah agama berbeda hanya karena beda jenasah dan beda tempat. 
Artinya, tatacara perlakuan kepada jenazah Muslim di mana pun harus sama; yaitu dimandikan, dikafani, disolatkan, dan dikuburkan.


Tapi, tentu saja, selama tatacaranya tidak direkayasa, mendoakan seorang Muslim yang sudah wafat oleh seorang Muslim yang masih hidup bukan saja tidak dilarang, malah suatu hal yang amat sangat utama.

Begitu pula tidak dilarang menziarahi kuburan untuk mendoakan seorang Muslim yang sudah meninggal.  

Mengunjungi kuburan mengingatkan kita untuk merenung bahwa kita pun akan menyusul mereka kelak. Mengingatkan kita untuk menyiapkan ‘bekal’ yang akan kita bawa ‘pulang’ nanti. 

Hanya saja, ketika berziarah, jangan ada perasaan --atau niat-- agar mendapat berkah ketika melakukan ziarah tersebut.








KUBURAN BUKAN TEMPAT KEGIATAN PERIBADATAN

Berdasar contoh, tanah kuburan paling tinggi sejengkal. 

Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menyukai orang yang membangun kuburan (adanya bangunan di atas kuburan).

Tidak boleh menjadikan kuburan sebagai tempat kegiatan peribadatan atau pemujaan seperti yang dilakukan orang-orang bodoh (jahiliyah) sebelum Islam. 

Jangan sekali-kali mengkeramatkan kuburan.

Hadits menerangkan bahwa rumah yang di dalamnya tidak ada orang yang membaca Quran, rumah tersebut dinilai seperti kuburan; ini menjelaskan, di kuburan tidak ada orang yang membaca Quran. 

Karenanya, membaca Quran lebih baik di rumah dan bukan di kuburan.








AMAL KEBAJIKAN YANG KURUS DAN LEMAH

Di kehidupan duniawi ada tiga sahabat.  

Pertama, sahabat yang sangat dicintai, yaitu harta duniawi, termasuk jabatan maupun kekuasaan. 
Kedua, sahabat yang kadang dicinta kadang diacuhkan, yaitu keluarga kita, seperti suami, istri, anak serta cucu kita. 
Ketiga, sahabat yang dianggap remeh, yang lebih sering ditelantarkan, yaitu amal-amal kebajikan kita; baik itu yang berupa ritus-ritus ibadat yang kita dirikan ataupun perbuatan ibadah yang kita lakukan dalam bermasyarakat.

Saat kita wafat, sahabat pertama tidak ada yang ikut ke kuburan, kecuali hanya sehelai kain kafan. 

Sahabat kedua sekadar mengantar ke kuburan, dan kembali pulang ke rumah untuk saling berebut dan mengacak-acak harta yang kita tinggalkan. 

Hanya sahabat ketiga yang bersedia masuk ke dalam kubur untuk membela kita. 
Alangkah ruginya kita, jika sahabat ketiga yang akan menolong kita itu ternyata kurus dan lemah.

“Apabila anak Adam (manusia) wafat putuslah amalnya kecuali tiga hal: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat buat orang lain, dan anak soleh yang mendoakannya.”  (HR. Muslim)


Jelas, dalam melakoni hidup ini kita harus selalu ingat tiga hal: dari mana kita berasal, di mana kita sekarang, dan mau ke mana kita nanti.

Dari sebab itu, perhatikan sekitar kita. 
Ingatlah kepada kerabat dan sahabat-sahabat kita yang sudah wafat
Apa yang mereka bawa dan apa yang mereka wariskan? 

Di hadapan Allah, kebajikan apa yang mereka dapatkan dari karir yang mereka perjuangkan? 
Manfaat apa yang mereka raih dari harta duniawi yang susah payah mereka kumpulkan?



Dalam realita, tak sedikit orang yang kemaruk menimbun harta, ketika ia mati hartanya itu jadi milik orang lain. 
Artinya, jadi milik suami baru istrinya atau jadi milik istri baru suaminya. 

Karenanya, raihlah harta dunia itu dengan cara yang berkah; cara yang diridhai Allah. 

Yaitu harta yang bisa dinikmati, yang mencukupi dan membahagiakan; bukan harta yang banyak tapi tidak menenteramkan.




Catatan:
  • Jangan mencerca orang yang sudah meninggal, karena sesungguhnya mereka telah mencapai tempat tujuan mereka.” (HR. Bukhari)
  • Satu hal yang tidak menyalahi kodrat, jika kebanyakan orang yang sakit lebih disibukkan dengan mencari obat untuk kesembuhan jasmaninya. Namun bagi seseorang yang sudah sangat meyakini akan kasih sayang Allah, ketika sakit ia hanya berobat sekadar kemampuan. Artinya, tidak sampai berhutang ke sana ke sini untuk biaya pengobatan jasmaninya.
  • Bagaimana pun caranya seorang Muslim meninggal dunia, di tempat tidur atau dalam kecelakaan pesawat terbang, mati normal atau karena disalib, dikuburkan atau dimakan ikan hiu, tidak jadi masalah. Artinya, sama saja. Yang penting, ketika wafat, seorang Muslim harus berada dalam keadaan baik menurut pandangan agama (husnul khatimah).


(Alfa Qr)

Lahir dan mati


Ruh merupakan sesuatu yang suci. 
Karenanya, setiap Muslim harus meyakini bahwa setiap anak yang lahir ke dunia dalam keadaan bersih.  
Kita tidak perlu mempermasalahkan sebab apa, siapa, dan kenapanya; anak pejabat maupun penjahat. 
Di dalam ajaran Islam semua anak dilahirkan tanpa punya hutang; baik hutang biaya persalinan ataupun hutang dosa.


Ketika dilahirkan, seorang anak tidak dipastikan untuk jadi orang baik atau orang jahat. 
Orangtuanyalah yang akan dan ikut mengarahkannya ke jalan yang benar atau ke jalan yang salah, ke arah kebaikan atau ke arah keburukan. 
Karenanya, anak kandung berhak menuntut orangtuanya nanti di akhirat, bila ia merasa dijerumuskan ke dalam ketidakbaikan.

Sebaliknya, sebagai kompensasi dari hak anak menuntut kita kelak di akhirat, kita diberi hak memukul anak kandung kita agar ia menjadi orang yang baik. 


Tapi kepada anak tetangga, kita tidak diberi hak untuk memukulnya; karena anak tetangga kita itu tidak punya hak menuntut kita di akhirat bila ia dijebloskan ke neraka. 

Kewajiban kita kepada anak tetangga kita, cukuplah menasihatinya dengan cara yang santun. 
Tidak lebih.






INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI'UN

Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepadaNya kita kembali.

Realitanya, seperti juga tidak tiap orang jahat mati karena kecelakaan, tidak tiap orang soleh wafat di ranjang. 
Karenanya, kita tidak boleh menghubung-hubungkan kematian seseorang dengan sesuatu yang tidak ada keterangannya dari Allah. 

Sebagai Muslim, kita hanya wajib meyakini bahwa semua kematian yang terjadi itu tak terlepas dari sifat Allah Yang Mahakuasa Yang Mahabijaksana. 


Yang pasti, setiap manusia diberi hak kembali ke akhirat. 
Hanya saja, Allah tidak terikat menentukan waktunya.

Dari sebab itu, orang yang bunuh diri adalah orang yang mau mengambil haknya sebelum Allah memberikannya. 
Amat pantas jika Allah tidak menyukai perbuatan ini, baik bunuh dirinya berhasil ataupun tidak.

“Seorang lelaki terluka dan bunuh diri, maka Allah berkata, ‘Hamba Ku mendahului Ku dengan membunuh dirinya sendiri, maka Aku haramkan surga untuknya’.”  (HR. Bukhari)

Mesti dicamkan, pemahaman bahwa Tuhan berkehendak dalam tiap perkara, mestilah diletakkan pada tempatnya secara proporsional
Orang yang menusukkan pisau ke perutnya dengan maksud bunuh diri, maka menusukkan pisau itu merupakan niat dan perbuatan orang itu sendiri.
Mustahil perbuatan itu ditimpakan kepada Allah, sebab Allah mengharamkan perbuatan bunuh diri. 

Sedangkan akibat dari tindakan bunuh diri, mati atau tidak mati, merupakan 'kehendak' Allah dalam membiarkan atau mencegah suatu perbuatan itu berhasil atau tidak.

Ada sebab (faktor X), yang pasti adil, yang membuat Allah berkehendak membiarkan atau mencegah suatu perkara terjadi.








UMUR MANUSIA DAN KEMAHAADILAN ALLAH

Ada anak yang dilahirkan berpenyakit, dengan kepala yang terus membesar, dan tidak berusia panjang.
Sementara ada anak lain yang dilahirkan sehat penuh gizi, dan menjadi gadis remaja yang cantik.

Mata zahir kita melihatnya seperti ketidakadilan
Namun mata batin yang penuh perenungan menemukan keyakinan akan keberadaan maksud-maksud Allah yang penuh rahasia.

Bisa saja kelak di akhirat, si gadis cantik   --yang dicampakkan ke dalam neraka, karena terjerumus pada kehinaan saat di dunia--   bertanya kepada Allah, mengapa ia tidak diwafatkan saja di saat bayi seperti si kepala besar yang ternyata mendapat kemuliaan di surgaNya.  
Allahu Akbar.


Jelas, lahir dan mati adalah rahasia Allah semata-mata. 
Sebagai muslim awam, kita tak perlu bertanya apa, kenapa, atau bagaimananya. 

Kita tak punya hak memaksa Allah untuk memberikan penjelasan yang detil.






RENUNGKAN SEBELUM AJAL MENJEMPUT

Perjalanan hidup setiap makhluk sulit diprediksi dan sering tak bisa dipahami. 

Realitanya, serupa dengan ketidakpuasan Musa As yang tidak paham dengan apa yang dilakukan Khidhir As, tidak sedikit orang yang bimbang akan kebenaran Islam disebabkan penjelasan tentang agama tersebut tidak memuaskan hatinya. 

Pertanyaannya, sampai kapan penjelasan yang memuaskan itu ditunggu kehadirannya, dan harus seperti apa?

Apa kesadaran tentang kebenaran Islam dan pemahamannya yang lurus itu harus baru muncul ketika kematian sudah di ambang pintu?

Renungkan, jangan terlambat

Jika sudah ada di sana, kita tak punya kesempatan kembali ke dunia untuk memeluk Islam dengan lurus.




Catatan:
  • Kematian tidak menakutkan bagi Muslim yang yakin Allah itu Maha Pemberi Ampunan; Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sebaliknya, jangankan kematian, kehidupan ini pun terasa berat bagi orang yang berprasangka Allah itu sebagai membebani dan menyusahkan.
  • “Janganlah kamu mati melainkan (dalam keadaan) berbaik sangka terhadap Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)
  • “Tidak seorang pun diperbolehkan menginginkan kematian, karena seandainya ia orang soleh mungkin perbuatan baiknya akan bertambah; dan seandainya ia orang jahat, mungkin ia bisa bertobat.” (HR. Bukhari)
  • Hanya orang yang tidak memiliki kelembutan kalbu, yang tidak menangis saat ditinggal wafat orang yang dikasihinya. Seorang Muslim boleh menangis, tapi haram meratap yaitu menangis meraung-raung yang keterlaluan, yang berkesan ketidak-ikhlasan pada kehendak Allah.
  • Yang bunuh diri hanyalah pecundang. Pasukan berani mati, seperti kamikaze, tidak dinilai bunuh diri. Orang yang berani mati dan rela mati dalam peperangan adalah pahlawan, bukan pecundang.


(Alfa Qr)

Jiwa, ruh, dan arwah


Muslim awam umumnya menganggap jiwa, ruh, dan arwah sebagai satu hal yang sama. 
Mereka cukup memahaminya sebagai dzat yang batin (yang halus, yang tidak kasat mata), yang ditiupkan Allah Subhanahu wa Ta’ala ke dalam jasad manusia.

Paling jauh, mereka hanya memahami bahwa yang disebut jiwa adalah saat ruh sedang bersatu dengan jasad; ketika ruh sudah keluar dari jasad mereka menyebutnya arwah; dan jasad yang ditinggalkan ruh mereka sebut jenazah atau mayat. 

Namun ada juga Muslim yang berpendapat bahwa jiwa berbeda dengan ruh. 
Mereka berpaham bahwa setiap benda (termasuk jasad manusia), sebelum ditiupkan ruh ke dalamnya, pada hakekatnya sudah memiliki jiwa. 






PENDAPAT YANG MEMBEDAKAN JIWA DENGAN RUH

Sesuai sunatullah, tiap benda fisik sekecil apa pun --seperti atom-- hakekatnya punya jiwa, punya unsur kehidupan, punya unsur yang bergerak di dalamnya. 
Dari sebab itu pula, proses kimia hakekatnya proses kehidupan. 
Begitu pula, sebelum jadi (jasad) manusia, sperma di air mani hakekatnya sudah memiliki kehidupan, sudah bergerak, sudah berjiwa.

Jiwa --nafs-- inilah yang membuat manusia bisa merasakan sesuatu secara fisik (biologis). 
Jiwa ini pulalah yang mempengaruhi logika; karena walaupun logika merupakan sesuatu yang tak berbentuk secara fisik, logika merupakan hasil dari kemampuan otak (yang merupakan benda fisik). 
Karena itu, logika menilai benar atau salah, baik atau buruk, berdasar kepada sesuatu yang dilihat atau dirasa secara fisik. 
Artinya, menuruti pertimbangan pengalaman fisik. 
Jadi, nafsu keinginan yang bersifat fisik atau keduniawian, hakekatnya pengaruh atau dorongan jiwa.

Sedangkan qalbu bukanlah benda fisik. 
Kalbu --akal budi-- menilai benar-salah dan baik-buruk, karena pengaruh ruh. 
Dan karena ruh yang dari sifat asalnya suci, penilaian kalbu pun cenderung pada kebaikan.

Dari sebab itu, kepuasan yang timbul berdasar penilaian logika berbeda dengan yang berdasar nurani. Kegembiraan yang hanya berdasar logika biasanya disertai tawa lebar atau tepuk tangan. 
Lain halnya dengan kepuasan atau kegembiraan yang muncul dari dasar kalbu, biasanya disertai dengan linangan air mata.

Hanya saja mesti selalu diingat, walau sebuah kegembiraan muncul dari nurani belum tentu identik dengan kebahagiaan yang hakiki. 
Sebab kebahagiaan yang hakiki hanya mucul dari rasa syukur kepada Allah.


Bagi kita, Muslim awam biasa   --yang tidak dibebani kewajiban untuk mengetahui perbedaan antara ruh dan jiwa--   cukuplah memahami bahwa semua yang dilakukan (jasad) kita di dunia akan dan harus dipertanggungjawabkan oleh (ruh) kita di akhirat. 

Pembahasan secara mendetil perihal masalah perbedaan ruh dengan jiwa, belum tentu kita pahami

Lagi pula, hasilnya pun belum tentu disepakati bersama. 








ARWAH TIDAK JADI HANTU

Sambil menunggu hari penghisaban, hari kiamat, setiap ruh orang yang wafat akan tinggal di alam barzakh (alam kubur).  [1] 
Di mana letaknya alam kubur, tidak ada seorang pun yang tahu. 

Dan karena tak ada perintahya, kita tak perlu repot-repot untuk mengetahui lokasi alam barzakh, ataupun apa yang sedang terjadi di sana. 
Yang paling penting buat kita adalah menyiapkan ‘bekal yang baik’ sebelum memasukinya.


Dalam ajaran Islam, tidak ada keterangan atau dalil bahwa [ruh] orang yang sudah wafat kembali ke dunia untuk bergentayangan atau jadi hantu. 

Karenanya, jika ada arwah atau hantu yang menyerupai orang yang sudah wafat, sebenarnya itu adalah iblis laknat jahanam. 
Dan karena manusia lebih mulia daripada iblis, seorang Muslim tak perlu takut kepada iblis.


Memang, seorang manusia bisa saja mengalami perkara gaib, tapi kemungkinannya amat kecil. 
Dari seratus ribu orang barangkali hanya satu orang yang benar-benar pernah mengalaminya. 

Realitanya, 99,999 persen orang yang bercerita masalah gaib atau bercerita pernah bertemu arwah orang mati, kalau bukan pembohong, adalah orang gila.
Perhatikan orang gila yang berbicara sendiri. 
Kalau ditanya dengan siapa ia bicara, pastilah ia menjawab berbicara dengan seseorang. 
Artinya, otak orang gila tersebut ‘melihat’ hantu. 

Perlu dicatat, hakekatnya yang memproses penglihatan secara fisik adalah otak; jika otaknya kacau, maka penglihatannya juga menjadi kacau. 

Karenanya, tidak perlulah kita berbicara pernah bertemu hantu. 
Sebab di belakang kita, agar kita tidak tersinggung, orang akan membicarakan dan menilai kita gila atau pendusta.





Catatan:
  • Hal yang wajar jika seorang Muslim tidak berani masuk ke dalam hutan dikarenakan takut diterkam harimau atau dipatuk ular. Tapi takut dicekik hantu adalah musyrik; sebab dalam masalah gaib seorang Muslim hanya patut takut kepada Allah. Begitu pula, takut dianiaya atau dirampok penjahat di tempat yang rawan kejahatan adalah hal yang wajar, dan sepantasnya ketakutan serupa itu dimiliki orang yang akal pikirannya sehat. Tapi takut dicekik iblis --di tempat mana pun-- adalah musyrik.
  • Kita tidak perlu memikirkan ruh hewan, ruh tumbuh-tumbuhan, atau ruh apa pun. Sebab tidak ada kewajiban yang dibebankan kepada kita untuk berpusing-pusing memikirkan hal-hal semacam itu. Kita hanya perlu meyakini bahwa semuanya telah diatur Allah dengan tidak mengenyampingkan sifatNya yang Mahaadil. Begitu juga, kita cukup meyakini akan keberadaan malaikat, jin, dan iblis. Sebagai orang awam, kita tidak perlu dan tak layak menggambarkan atau mereka-reka bentuk dan dzatnya. Sebab keterangan yang rinci tentang malaikat, jin, dan iblis --yang sampai kepada kita-- amat terbatas.
(Alfa Qr)


[1]   Yang di alam barzakh adalah ruh. Jasad manusia, tergantung cara kematiannya, bisa dikubur di dalam tanah tapi bisa juga --jika dimakan ikan-- berada di dalam perut ikan. 

Ruh manusia


Seorang Muslim tidak dibebani kewajiban untuk mengetahui berbentuk apa dzat yang disebut ruh manusia, karena keterangan yang rinci tentang ruh tidak dijabarkan kepada kita.

Ruh bersifat halus, gaib dan tidak kasat mata. 
Bentuk dan dzatnya tidak bisa kita lihat dan tidak diketahui. 

Pengetahuan tentang ruh hanyalah kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata. 
Karena itu, kita tidak boleh mereka-rekanya, seperti kita juga tidak perlu memperbincangkan perihal dzat Allah itu sendiri.


Seorang Muslim tidak perlu membuang-buang waktu, menyelidiki atau mengadakan riset untuk mengetahui dzatnya ruh. 

Kita hanya wajib meyakini bahwa tiap-tiap ruh tatkala ditiupkan ke dalam jasad manusia ada dalam keadaan suci. 

Kita meyakini Allah Yang Mahasuci Mahatinggi, Mahakuasa dan Mahaadil, telah menyediakan hak yang sama dan kewajiban yang sama untuk setiap ruh.
Di antara hak-hak yang diberikan kepada ruh yang ditiupkan ke dalam jasad manusia (dan lahir ke dunia), adalah hak kembali ke akhirat (hak mati) dan hak memilih mau ke surga atau ke neraka. 
Sedangkan kewajiban pokok ruh manusia hanya satu, yaitu beribadah (tunduk) kepada Allah.







HAK MEMILIKI HARKAT YANG SAMA

Kapan, di mana, dan kepada jasmani manusia yang mana ruh itu akan ditiupkan Allah, tidak ada keterikatan sedikit pun bagi Allah untuk melakukannya. 

Tidak ada kekuasaan ruh untuk menolak tatkala akan ditiupkan ke anak pengemis, seperti juga tak ada kekuasaan ruh untuk minta ditiupkan ke anak raja. 
Artinya, semua manusia memiliki harkat yang sama; baik yang fisiknya dilahirkan sempurna maupun yang cacat.

Jelas, jasmani seorang manusia bisa saja jasad seorang Yahudi atau jasad seorang Yunani, tapi ruh yang ditiupkan ke dalamnya jelas sama (yakni suci); mustahil ruh salah satunya merupakan ruh yang kotor.


Jasad itu hanya sekadar cangkang buat ruh tatkala di dunia. 
Hakekatnya, ruh itulah yang dihadapkan kepada cobaan dan ujian. 
Tatkala ruh dimasukkan ke dalam cangkang yang cantik dan (anak orang) kaya, ruh itu diuji untuk tidak sombong. 
Manakala ruh dimasukkan ke dalam cangkang yang tidak cantik dan (anak orang) miskin, ruh itu diuji untuk sabar. 
Ada imbalan yang adil dari Allah untuk semua ujian ini.

Begitu juga, hakekatnya ruh itulah yang merasakan pemberian Allah. Baik itu berupa harta yang zahir (materi duniawi yang kasat mata yang dapat dirasakan indera fisik, termasuk kesenangan biologis atau lezatnya makanan) maupun berupa harta yang batin (rasa gembira yang tidak kasat mata). 

Hanya saja kegembiraan duniawi tidak identik dengan kebahagiaan yang hakiki. 
Kebanyakan kebahagiaan duniawi hanyalah semu
Dan kebahagiaan yang semu --yang palsu-- bisa dirasakan semua manusia, termasuk oleh orang yang perilakunya jahat sekalipun.









HAK MENDAPAT HIDAYAH

Bila Allah berkehendak, kebahagiaan bisa diraih siapapun. 

Realitanya, tidak sedikit konglomerat yang bergelimang harta tapi kehilangan ketenteraman jiwa. 
Sebaliknya, ada Muslim yang jauh dari keresahan, padahal kehidupan materi duniawinya amat sangat sederhana. 

Di sini jelas, harta dari Allah --berbentuk kasat mata maupun tak kasat mata-- diberikan kepada setiap ruh dengan seimbang; dengan adil.


Begitupun dengan hidayah; hidayah bisa diraih siapapun. 
Namun, walau setiap manusia dilengkapi kalbu atau nurani, belum tentu ia mendapat hidayah Allah. 
Sebab hidayah Allah hanya dimungkinkan untuk dikaruniakan kepada orang   --baik orang beriman maupun orang kafir--   yang banyak melakukan kebajikan.

Kafir yang banyak melakukan kebajikan dimungkinkan mendapat hidayah Allah dengan menjadikannya sebagai Muslim. 

Sedang Muslim yang banyak melakukan kebajikan akan mendapat hidayah Allah dengan menjadikannya sebagai Muslim yang lebih baik, yang jauh dari khurafat dan jauh dari kebodohan. 
Muslim yang lebih tenteram.








HAK MATI, HAK KEMBALI KE AKHIRAT

Setiap manusia diberi hak untuk kembali ke akhirat. 
Hanya saja, seperti juga untuk semua perkara, hak mati ini diberikan Allah sesuai kehendakNya. 

Kapan dan di mana, cepat atau lambat, serta bagaimana caranya mati, tidak ada keterikatan sedikit pun bagi Allah dalam menentukannya. 
Tidak ada keterikatan sedikit pun bagi Allah dalam berkehendak.


Yang jelas, mati adalah hak kita yang mustahil dicuri orang lain. 
Realitanya, rumah kita bisa disita negara, jabatan bisa direbut teman dekat, tapi hak mati kita tidak bisa dirampok orang lain. 
Tidak ada yang dapat mengambil hak mati kita, sehingga kita tidak mati-mati.








HAK MEMILIH MAU KE SURGA ATAU MAU KE NERAKA

Tiap (ruh) manusia yang diberi kesempatan hidup di dunia, diberi hak untuk memilih tempat kembali di akhirat: mau ke neraka atau ke surga.
Jika mau ke neraka, manusia tidak perlu taat kepada aturan Allah. 
Jika mau ke surga, manusia harus taat kepada aturan Allah.  
Dengan sendirinya, manusia harus melaksanakan apa yang diperintahNya dan menghindar dari yang dilarangNya.

Jadi, selama di dunia, manusia diberi kebebasan berperilaku dan berbuat; mau mengikuti pedoman tuntunanNya atau tidak. 
Artinya, manusia bebas untuk memilih; mau bersenang-senang tanpa batas di surga dunia yang semu, atau mau bersukacita di surga akhirat yang kekal. 
Pahala dan balasan telah dijelaskan; tak ada alasan bagi manusia untuk memungkirinya di akhirat kelak. Terserah (ruh) manusia mau memilih yang mana.

Yang pasti, Allah mustahil sewenang-wenang. 
Perjalanan terakhir (ruh) seorang manusia, masuk ke surga atau masuk ke neraka di akhirat, dipastikan terkait dengan semua perbuatannya di dunia.



(Alfa Qr)

Jasmani manusia


Jasmani --tubuh, badan, jasad, raga-- manusia bersifat kasar, zahir dan kasat mata. Bentuk dan dzatnya bisa kita lihat dan diketahui.

Saat lahir, jasmani setiap manusia berbeda. Ada yang kulitnya hitam ada yang kuning; ada yang hidungnya mancung ada yang tidak. 
Gen orang tuanya terekam dalam tubuh si anak, yang menjadikan adanya keterkaitan keluarga di antara yang melahirkan dan yang dilahirkan; yang berlanjut pada hubungan kekerabatan di antara turunan-turunan berikutnya. 

Jadi, adik kandung dan kakak kandung, hakekatnya adalah keterkaitan secara jasmani; begitu juga ayah atau kakek moyang. 
Karena itu, kecacatan baik fisik maupun mental yang dialami seorang manusia bukanlah karena kutukan, melainkan karena ada keterkaitan dengan gen [1] kakek moyangnya.

Realitanya, bentuk maupun pertumbuhan jasmani tergantung kepada hukum alam, yang dalam Islam disebut sunatullah. Yaitu ketetapan Allah yang berupa ketentuan yang sudah dibakukan atau distandarkan. 

Contohnya, anak yang lahir dari ibu yang sehat berbeda dengan anak yang lahir dari ibu yang menderita AIDS, walau ibunya itu-itu juga. 
Jadi, kelebihan atau kekurangan yang dimiliki jasmani seorang anak, sering terkait dengan kelebihan dan kekurangan kondisi jasmani orangtuanya pada saat awal proses pembuahan (bersatunya sperma dan sel telur), baik terjadinya di dalam rahim ibunya ataupun dalam tabung di laboratorium.

Dari sebab itu, suatu hal yang wajar jika kakak-adik yang dilahirkan dari orangtua yang sama, selain memiliki wajah yang berbeda, mempunyai kelebihan atau kekurangan yang berbeda pula. [2] 
Semuanya jelas terkait dengan sunatullah yang tak dapat dipastikan secara tepat sebab-sebabnya; tapi kita yakini tidak terlepas dari  'kehendak'  Allah Yang Mahaadil.

Kasus nyata anak-anak yang menderita cacat jasmani yang hampir sama (dikarenakan ibu-ibunya mengkonsumsi obat thalidomid yang sama di saat mengandung), menunjukkan berlakunya sunatullah atau hukum alam tersebut. 
Kecacatan jasmani yang dialami anak-anak tersebut terjadi karena kesalahan si orangtua dalam pemakaian obat, dan bukan kesewenang-wenangan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Yang pasti, walau jasmani setiap orang berbeda, ruh yang ditiupkan ke dalamnya memiliki sifat yang sama, yaitu suci bersih. 
Dari sebab itu, orangtuanya akan ikut diminta pertanggungjawaban --karena termasuk yang mempunyai peran-- bila kelak ia jadi orang yang berperilaku buruk.



KETERKAITAN SATU ORGAN DENGAN ORGAN JASMANI LAINNYA

Kemampuan interaksi antara satu organ dengan satu organ lainnya, tergantung kepada kesempurnaan organ-organ jasmani tersebut. 
Satu organ saja cacat berfungsi, mekanisme jasmani akan terpengaruh.

Melihat anjing, mengambil batu dan melemparnya, tampak sebagai perkara yang amat sepele.  
Tapi kalau dirunut mata rantai pengerjaannya, akan ditemukan suatu keluarbiasaan kerjasama antar organ. 

Mata yang melihat anjing mendekat, melapor ke otak; Otak memproses laporan tersebut untuk membuat tindakan, yaitu keputusan untuk melempar anjing; Otak mengirim instruksi ke mata untuk melihat sesuatu yang bisa dipakai untuk melempar; Mata lapor ke otak melihat batu; Otak memerintahkan kaki untuk bergerak, bersamaan dengan memerintahkan tangan untuk memungut batu; Otak memerintahkan mata untuk melihat sasaran; Mata lapor ke otak melihat sasaran; Otak memerintahkan tangan untuk melempar. Kalau lemparan tidak kena, proses seperti itu akan diulang dan diulang lagi.

Begitu rumit prosesnya, tapi begitu cepat pelaksanaannya. 
Padahal, dibanding dengan semua perkara yang dihadapi seorang manusia setiap harinya, perkara melempar anjing hanyalah perkara kecil. 

Jelas, prosesor ‘komputer’ yang ada di dalam diri kita jauh lebih hebat ketimbang prosesor Pentium yang berkinerja ratusan megahertz.



KEMAMPUAN OTAK YANG BERBEDA

Otak adalah benda fisik, ia termasuk bagian dari jasmani manusia. 
Karenanya, selain oleh faktor gen keturunan dari nenek moyang, kemampuan otak dimungkinkan berkurang oleh sebab yang bersifat fisik pula; seperti oleh virus (penyakit) atau oleh sebab kecelakaan.

Yang jelas, otak adalah satu-satunya organ jasmani yang membuat seorang manusia dituntut beragama. 
Artinya, selama otaknya tidak cacat, seorang manusia akan diminta pertanggungjawaban untuk semua yang dikerjakannya di dunia. 
Realitanya, menurut para ahli syaraf, pola tingkah laku tertentu berhubungan dengan tempat-tempat tertentu di dalam otak.

Catatan:
  • Bakat atau keahlian tertentu dari orang tua dimungkinkan menurun kepada anaknya. Tapi sifat-sifat baik-buruk --seperti jujur atau licik, rajin atau malas, pemurah atau kikir, penyabar atau pemarah, pemberani atau penakut-- selain disebabkan hasil didikan orangtuanya, lebih terkait dengan pengaruh situasi dan kondisi lingkungannya. Lebih disebabkan tempaan pengalaman yang dialaminya, dan bukan karena faktor gen.
  • Mata, otak, kaki, maupun tangan adalah organ-organ jasmani. Yang membuatnya bisa memproses pekerjaan pada hakekatnya adalah ruh. Tanpa ruh, organ-organ tubuh kita itu tidak ada artinya.
  • Di dunia, jasad manusia merupakan benda fisik. Bagi kita Muslim awam, karena keterbatasan ilmu, kita tak perlu mempermasalahkan jasad kita di akhirat; apa sama persis dengan yang di dunia atau tidak.
(Alfa Qr)


[1]  Atau gena, dibentuk oleh DNA, deoxyribonucleic acid, yaitu bahan kimiawi yang ada di setiap kromosom dalam setiap sel makhluk hidup; yang merupakan pembawa sifat. Karenanya, anak yang mengalami kecacatan saat dilahirkan merupakan ujian bagi orangtuanya, dan bukan musibah apalagi kutukan. Allahu Akbar.
[2]   Sebaliknya, kita sering melihat ada orang-orang yang memiliki raut wajah yang sama atau kemampuan berpikir yang mirip, padahal berlainan orangtua atau malah berlainan sukubangsa. Yang menunjukkan adanya pengaruh gen orang terdahulu.

Manusia


Dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling utama. 
Manusia diberi kelebihan yang tidak diberikan kepada makhluk lain; yaitu kelebihan untuk bisa memilah yang baik dengan yang buruk, membedakan yang benar dengan yang salah. 
Sayangnya, banyak manusia yang justru mengabaikan kelebihannya ini.

Realitanya, nilai keberadaan seseorang di kehidupannya di dunia dilihat dari tiga hal.  
Pertama, sebagai makhluk biologis (nas) yang punya keinginan badaniah;  
Kedua, sebagai makhluk spiritual atau makhluk rohani (insan) yang harus bisa membedakan benar-salah berdasar tuntunan agama;  
Ketiga, sebagai makhluk sosial (basyar) yang tidak terlepas dari etika dan tata krama di masyarakat sekitarnya.

Karenanya, sebagai makhluk yang tidak terlepas dari keinginan dan kesenangan duniawi, Islam menyeimbangkan seorang manusia dengan tuntunan rohani yang benar. 
Yang mengarahkan perilakunya (dalam mencapai keinginannya) untuk tidak merugikan orang lain, untuk menghormati kepatutan hukum di lingkungannya bermasyarakat.









MANUSIA PERTAMA

Salah satu sifat malaikat [1] adalah tidak mengetahui sesuatu bila belum pernah mengalami atau jika belum diberi tahu tentang sesuatu itu.
 “Mahasuci Engkau, tidak ada (sesuatu) yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami..” (Qur’an, Al Baqarah [2]:32)

Sekarang simak ucapan malaikat sebelumnya, tatkala Allah hendak menciptakan Adam dan akan menjadikannya khalifah di bumi,
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah..” (Qur’an, Al Baqarah [2]:30)

Bagaimana malaikat tahu dan menganggap bahwa yang akan dijadikan khalifah itu (yakni manusia keturunan Nabi Adam As) adalah orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah?
Cuma satu kemungkinan jawabannya: Malaikat pernah mengalami atau melihat makhluk-makhluk serupa manusia seperti itu sebelum Adam diciptakan dan dijadikan khalifah. 
Yaitu makhluk yang suka membuat kerusakan dan menumpahkan darah.

Jadi, Adam Alaihis salam   --yang diciptakan sesuai bentuknya, artinya langsung berbentuk manusia dewasa, tidak melalui proses dilahirkan seperti umumnya manusia--    adalah manusia baru yang berbeda dengan makhluk (manusia) sebelumnya yang pernah ada di bumi ini.










TEORI EVOLUSI

Kerumitan memahami teori evolusi bisa jadi disebabkan oleh adanya ketidaksamaan dalam laju dan proses evolusi itu sendiri di tiap tempat.
Profil modern yang dimiliki manusia Swanscombe yang mendahului profil primitif yang dimiliki manusia Neanderthal, merupakan penyimpangan dari teori evolusi. Padahal, berdasar teori evolusi, Swanscombe telah ada lebih dahulu daripada Neanderthal. Jadi, tampang Swanscombe seharusnya lebih primitif ketimbang manusia Neander.

Begitu pula kapasitas rata-rata otak manusia modern saat ini yang lebih kecil (seharusnya jadi lebih besar) dibandingkan dengan kapasitas otak manusia Neander, merupakan penyimpangan dari hukum evolusi.

MANUSIA SWANSCOMBE
Manusia Swanscombe --selain di Swanscombe lembah Thames, Inggris, fosilnya ditemukan  juga di Steinheim (Jerman), Tautavel (Perancis), dan Petralona (Yunani)-- termasuk homo sapiens purba, penerus homo erectus. Diperkirakan hidup antara 300.000 sampai 200.000 tahun silam. 
Sebagai perbandingan, kemunculan pertama kera primitif Pliopithecus diperkirakan antara 15 juta sampai 10 juta tahun yang silam.

MANUSIA NEANDERTHAL
Rentang waktu kemunculan pertama homo sapiens purba dengan kemunculan Neanderthal, diperkirakan sekitar 400.000 – 300.000 tahun.
Neanderthal --fosilnya pertama kali ditemukan di lembah Neander, Jerman-- termasuk jenis homo sapiens, atau makhluk berpikir. Dianggap sebagai manusia purba terakhir dan pendahulu langsung manusia moderen. Diperkirakan menghuni Eropah dan Asia Barat, antara 100.000 sampai 35.000 tahun yang silam. 
Dari penemuan Neander yang dikuburkan di atas bunga-bungaan di dalam sebuah gua di Irak Utara, Neander bisa jadi sudah  mengenal acara keagamaan.
Seperti juga kemunculannya yang menyimpang, yakni tampang lebih primitif ketimbang Swanscombe, kepunahan Neander yang misterius membuat heran para pakar evolusi.

MANUSIA CRO-MAGNON
Kemunculannya hampir bersamaan dengan kepunahan Neander. Fosilnya pertama kali ditemukan di bukit Cro-Magnon, Perancis.
Manusia Cro-Magnon hidup sekitar 35.000 sampai 25.000 (sebagian pakar menghitung sekitar 10.000) tahun silam. Dengan bentuk tengkorak mirip manusia moderen dan sosok lebih tegap, tampangnya jauh berbeda dengan sosok manusia Neander yang digantikannya.
Penemuan ratusan jarum dan alat tusuk dari tulang, menunjukkan manusia Cro-Magnon sudah mengenal pakaian dari kulit binatang.  
Dan dari ratusan gambar peninggalan mereka di sebuah gua di Lascaux, Perancis, tampak jelas mereka pun sudah mengenal agama dan seni.












JIKA ALLAH BERKEHENDAK JADI, JADILAH

 “Sesungguhnya jika Allah menghendaki sesuatu, cukup Dia berkata ‘Kun’, maka jadilah apa yang dikehendakiNya itu” (Quran, Yasin [6]:82)

Manusia Neanderthal punah 35.000 tahun yang silam tanpa jejak. Kemudian digantikan oleh manusia Cro-Magnon secara tiba-tiba (untuk kurun waktu evolusi), dengan profil yang lebih modern tapi kapasitas otaknya justru di bawah rata-rata Neander. 
Apa artinya ini?

Bisa jadi Neander inilah yang disebut malaikat sebagai manusia sebelumnya yang perusak dan suka menumpahkan darah. 
Tapi juga bukan tidak mungkin, sebab bagi Allah ‘Azza wa Jalla tidak ada yang mustahil, bahwa kita adalah manusia yang lebih baru lagi. Bukan Swanscombe, bukan Neanderthal, bukan Cro-Magnon. 

Yang jelas, secara rasional, penemuan fosil-fosil itu sama sekali tak bertentangan dengan agama Islam. Fosil-fosil itu bisa saja hanyalah makhluk terdahulu sebelum Adam As.

Memang, ilmu pengetahuan bisa menerangkan sejarah perjalanan makhluk hidup secara ilmiah. 
Bisa merunut asal muasal kehidupan makhluk hidup berdasar bukti-bukti peninggalan arkeologi maupun fosil-fosil prasejarah yang ditemukan. 
Ilmu pengetahuan bisa menjelaskan tentang keberadaan dinosaurus dan makhluk prasejarah.

Tapi teori evolusi tak bisa menjawab pertanyaan tentang mana yang lebih dahulu ada, apakah jantan atau betina? 
Kalau makhluk hidup di dunia ini terjadi dengan sendirinya, mengapa bisa ada betina dan ada jantan? Padahal makhluk hidup yang ada di muka bumi ini bukan hanya puluhan, tapi ratusan ribu macam. 

Renungkan, mana yang lebih dahulu ada, dinosaurus atau telornya? 
Kalau dinosaurus dulu, berarti dinosaurusnya itu betina. 
Pertanyaannya, yang menghamilinya siapa?  Angin?













BERASAL DARI TANAH

Ada ayat Al Qur’an yang memberi tanda dekatnya (dalam waktu relatif) hari kiamat,
“Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak percaya kepada ayat-ayat kami.” (Qur’an, An-Naml [27]:82)

Mufasirin baheula menafsirkan ayat di atas tentang keluarnya hewan dari dalam bumi yang bisa berbicara. 
Ilmuwan sekarang bisa saja menafsirkannya dengan penemuan ilmiah yang membuktikan kebenaran agama.

Mungkin saja, kelak, ada penemuan ilmiah yang menunjukkan adanya kemiripan struktur sel (DNA, kromosom, atau apapun namanya) hewan yang biasa hidup dalam tanah (seperti cacing?) dengan manusia. Yang mengarah pada pembuktian bahwa manusia berasal atau dibuat dari tanah. 
Yang membantah bahwa manusia sebagai keturunan kera; karena struktur sel tubuh manusia berbeda dengan kera. 
Wallahu a’lam bishshawab.

(Alfa Qr)


[1] Malaikat berasal dari cahaya (nur), jin berasal dari api, sedangkan manusia berasal dari tanah. Karena iblis berasal dari api, iblis termasuk golongan jin.

Tuntunan Islam itu mudah


Dinukil dari hadis riwayat Muslim, malaikat Jibril berkata: “Allah memerintahkan kepadamu (Muhammad) agar membacakan Quran kepada umatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf apa saja mereka membaca, mereka tetap benar.”

Para ulama berbeda pendapat mengenai yang dimaksud dengan tujuh huruf ini. 
Ada yang memahaminya sebagai tujuh dialek yang terdiri dari Qurais, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. 
Ada yang memahaminya sebagai tujuh dialek yang terdiri dari Qurais, Huzail, Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin, dan Sa’d bin Bakar. 
Ada yang memahami tujuh huruf ini sebagai qiraat yang tujuh. 
Dan masih banyak lagi pemahaman-pemahaman lainnya.

Adalah mustahil bagi kita Muslim awam untuk hafal semua pendapat para ulama itu.  
Lagi pula tak ada keharusan bagi kita untuk mengetahui arti tujuh huruf tersebut.

Yang jelas, salah satu kiat setan laknat jahanam terkutuk agar Muslim enggan membuka dan membaca Quran, adalah dengan menakut-nakuti kesalahan membacanya. 
Padahal, orang yang membacanya tergagap-gagap sekalipun mestilah berpahala. 
Yang penting bagi kita adalah tidak menyengaja untuk salah membacanya.

Dengan adanya hadis yang diriwayatkan Muslim di atas, keengganan membaca Quran karena kekhawatiran salah lafal dalam membacanya, menjadi tidak beralasan. 
Bagaimanapun caranya kita membaca Qur’an jika niatnya ikhlas benar-benar karena Allah semata-mata, maka benarlah apa yang kita kerjakan itu.  
Dalam realitanya, dialek (logat atau aksen) tiap-tiap manusia kadang berbeda.

Hendaknya dicamkan, Islam itu untuk semua manusia (yang kebanyakan adalah orang awam biasa), dan bukan khusus untuk para ahli.

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?”

Dalam Al Qur’an surat Al Qamar, ayat di atas diulang sebanyak empat kali yaitu di ayat 17, 22, 32, dan 40.

Pengulangan ayat tersebut, jelas bukan tanpa makna.
“Sesungguhnya agama ini mudah
dan tiada seorang yang mempersulit agama,
kecuali pasti dikalahkannya.
Bertindaklah tepat,
lakukan pendekatan, sebarkan berita gembira,
permudahlah dan gunakan siang dan malam hari
serta sedikit waktu fajar sebagai penolongmu.”
(HR. Bukhari)

 (Alfa Qr)

Tafsir dan tawil


Seperti bahasa-bahasa lain, bahasa Arab pun mengenal ungkapan  atau kata kiasan. 

Namun hanya sedikit ayat-ayat Qur’an yang memerlukan penafsiran atau penakwilan. 
Sebagian besar ayat Qur’an bisa dipahami dengan jelas oleh orang paling awam sekalipun. 

Yang justru harus dihindari adalah menawilkan kata atau kalimat yang sebenarnya telah jelas, baik makna maupun tujuannya. 

Realitanya, tafsir biasanya ditujukan untuk menerangkan kata-kata yang dianggap ganjil. 
Sedangkan takwil untuk mengungkap susunan kalimat yang dirasa mempunyai kelainan.

Buat orang awam, penafsiran dan penawilan cukup diartikan sebagai penjelasan secara lain yang berbeda dengan yang tertulis. 
Atau penerjemahan ke pemahaman yang lain, yang tidak sama dengan yang tertulis. 
Contohnya, untuk menghindari penyerupaan Allah dengan makhlukNya, wajah dan tangan Allah ditawilkan sebagai dzat dan kekuasaanNya.


Dalam prakteknya, penafsiran tiap ulama bukan saja sering tidak sama, kadang malah berbeda jauh. 
Bahkan dalam definisi tafsir dan tawilnya pun, bisa saja para pakar ini berlainan pendapatnya; itu dimungkinkan karena cara yang ditempuh juga berbeda. 

Hanya saja bagi kita Muslim awam biasa, akan lebih selamat jika mengikuti arti yang tertulis jelas sesuai zahirnya kalimat saja terlebih dulu. 
Kita baru mengikuti penafsiran salah satu pakar itu, bila kita melihat bahwa penafsirannya tidaklah menyimpang jauh dari yang tertulis sesuai zahirnya ayat tersebut; dan terutama dari dalil-dalil yang dikemukakannya. 
 
Hendaknya diingat, tak sedikit orang yang menafsirkan ayat Qur’an hanya berdasar hawa nafsu atau hanya untuk kepentingan golongannya. 

Yang jelas, selama penafsirannya tak menyimpang jauh dan beritikad baik, kita harus menghormati penafsiran orang lain yang berbeda.







AL QURAN DAN IPTEK

Selama ini, penafsiran atau penawilan Qur’an sebatas pemahaman yang bisa diterima pada masanya. 

Namun, mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi saat ini, terkuak adanya kabar masa depan yang tersembunyi pada ayat-ayatnya. 

Sebagian ulama menganggapnya sebagai bagian dari mujizat ilmiah Al Qur’an. 

Sementara sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa mengaitkan masalah ilmu pengetahuan (sains, science) dengan Qur’an sebagai satu hal yang tidak berdasar dan tidak boleh. 
Alasannya, sifat hukum sains (teori-teori keilmuannya) bisa saja berubah bila ada penemuan baru. Sedangkan ayat Quran, yang merupakan petunjuk akidah dan hidayah, adalah sesuatu yang tetap dan pasti.


Terlepas dari keyakinan pemahaman masing-masing pihak, tak ada salahnya kita mengetahui mujizat ilmiah Al Qur’an tersebut. 
Masalah setuju dan tidak setujunya, kita serahkan kepada masing-masing individu. 

Yang jelas, adanya fenomena alam tersebut justru semakin meyakinkan kita akan adanya Penguasa sekaligus Pengatur alam semesta ini.











BEBERAPA CONTOH YANG DIANGGAP MUJIZAT ILMIAH QURAN
  • Perasaan sesak, yang diakibatkan kekurangan oxygen, yang dialami penerbang bila terbang makin tinggi. Dikabarkan dalam surat Al An’aam [6]:125, “..niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit..”
  • Mendahului penemuan sains moderen tentang angin yang mengawinkan tumbuh-tumbuhan. Surat Al Hijr [15]:22 “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan, dan Kami turunkan hujan dari langit..”
  • Teori sains moderen berpendapat awal kehidupan berasal dari air. Surat Al Anbiyaa’ [21]:30, “..bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?”
  • Bumi berputar (beredar). Surat An Naml [27]:88, “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan..”
  • Menurut teori modern, alam semesta awalnya berupa kabut gas. Surat Fushshilat [41]:11, “Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap..”
  • Pada masa Qur’an diturunkan, manusia beranggapan hujan semata-mata berasal dari langit. Amat wajar mereka menyembah dewa hujan, seperti juga mereka mengagungkan dewa matahari atau dewi bulan. Mereka tak pernah tahu bahwa hujan berasal dari penguapan air laut yang asin. Secara tersembunyi, Qur’an mengabarkan bahwa hujan merupakan hasil proses penguapan air laut yang asin. Surat Al Waaq’iah [56]:69,70. “Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?”
  • Tak ada orang yang memiliki sidik jari tangan yang sama dengan yang dipunyai orang lain, yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya. Surat Al Qiyaamah [75]:4, “Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.”










CERITA TENTANG KEAJAIBAN ADA DI BERBAGAI AGAMA...

Salah satu ciri orang yang hatinya tidak bersih, adalah orang yang cenderung menawilkan ayat-ayat mutasyabihat hanya karena hawa nafsu, tapi melalaikan ayat-ayat muhkamat (yang jelas, yang mudah dipahami).

Karenanya, bagi Muslim awam, jangan terlalu menaruh ketertarikan kepada perkara-perkara yang dikaitkan dengan mujizat atau keajaiban. 
Sebab tak semua penafsiran atau pemahaman ulama yang dikaitkan dengan masalah keajaiban bisa dipertanggungjawabkan. 

Lagi pula, sesuatu yang dinilai keajaiban bisa dialami orang dari berbagai agama.

Yang jelas, seandainya Allah memperlihatkan mujizatNya sekalipun, bagi orang-orang yang mengunci hatinya tetap saja tak akan beriman.



(Alfa Qr)