Salah satu
sebab di antara kerancuan memahami takdir adalah karena menyamakan pengertian
‘ketetapan’ dengan ‘kehendak’.
Padahal ‘ketetapan’ berbeda dengan ‘kehendak’.
Padahal ‘ketetapan’ berbeda dengan ‘kehendak’.
Ketetapan Allah atau sunatullah adalah sesuatu yang
sifat-sifatnya telah dibakukan secara tetap; artinya bersifat lebih dahulu.
Kehendak Allah --iradah atau takdir
atau apa pun namanya-- adalah sesuatu yang akan diberlakukan; artinya bersifat
baru, bersifat kemudian.
Jadi, sunatullah --walau sudah
ditetapkan, sudah dibakukan sifat-sifatnya-- bisa saja menyimpang jika Allah
menghendakinya.
Contohnya: api.
Berdasar sunatullah, api memiliki sifat yang sudah distandarkan yaitu panas dan membakar; baik api itu berasal dari kompor gas, kayu bakar, maupun lilin.
Berdasar sunatullah, api memiliki sifat yang sudah distandarkan yaitu panas dan membakar; baik api itu berasal dari kompor gas, kayu bakar, maupun lilin.
Namun dengan kehendak Allah, bisa saja
menjadi tidak panas dan tidak membakar.
Yang
jelas, kita dimungkinkan menghindar dari ketetapan
Allah (sunatullah, hukum alam), tapi
tidak bisa mengelak dari kehendak
Allah.
Contohnya, sesuai ketetapan Allah, orang yang kehujanan pasti basah.
Untuk menghindar dari basah, kita bisa menggunakan payung atau berusaha berteduh.
Tapi jika Allah menghendaki kita tetap basah, payung itu bisa jadi tak berfungsi; atau kita tak menemukan tempat berteduh.
TAK ADA YANG BISA MENOLAK KEHENDAK ALLAH
Ada dua kemungkinan kehendak Allah, yaitu:
Contohnya,
tatkala Allah berkehendak meniupkan ruh ke jasad manusia.
Ruh tersebut bisa
ditiupkan ke anak orang beriman atau ke anak orang kafir.
Bisa ditiupkan ke pria atau ke wanita. [1]
Contohnya, tatkala Allah
berkehendak mencegah atau membiarkan seseorang terperosok pada keburukan. Atau
berkehendak menutup atau membukakan jalan ke arah kebaikan.
Termasuk berkehendak membukakan jalan bagi orang kafir untuk menjadi orang yang beriman.
Atau sebaliknya, berkehendak membiarkan orang yang tadinya beriman terjerumus pada kekafiran; na ‘udzubillah.
Termasuk berkehendak membukakan jalan bagi orang kafir untuk menjadi orang yang beriman.
Atau sebaliknya, berkehendak membiarkan orang yang tadinya beriman terjerumus pada kekafiran; na ‘udzubillah.
Yang mana pun ‘kehendak’ Allah diberlakukan, semuanya
dipastikan tidak terlepas dari sifat Allah Yang Mahaadil dan Mahakuasa.
MAHAADIL DALAM BERKEHENDAK
Jika orang jahat menderita merupakan hal yang
wajar, tapi jika orang baik menderita kita sering menganggap kehendak Allah itu
sebagai tidak adil.
Padahal bukan mustahil orang yang kita nilai baik itu juga
pernah berbuat kekeliruan.
Artinya, Allah itu pasti Mahaadil; hanya saja kita
tidak memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Pertanyaan
yang sering dilontarkan: “Untuk apa manusia harus berdoa meminta tolong --atau
harus berbuat-- jika segala sesuatunya sudah kehendak Allah?”
Pertanyaan serupa
ini hanya muncul dari orang-orang yang melupakan (atau pura-pura lupa) bahwa
selain memiliki sifat Maha kuasa, Allah mempunyai sifat Mahaadil.
Mahakuasa
berarti tidak ada satu keterikatan sedikit pun bagi Allah dalam melakukan
kehendakNya. Mahaadil berarti tidak ada satu perkara pun yang dilakukan Allah
itu sewenang-wenang.
Dengan kata lain, semua perkara bisa terjadi --baik atau
buruk-- selain karena kemahakuasanNya, juga karena ada pertimbangan kemahaadilanNya. [2]
DI ANTARA CIRI KEMAHAADILAN ALLAH
Allah itu pasti Mahaadil, ketika seseorang diberi
tambahan ‘kelebihan’ dalam satu hal, maka ada ‘kelebihan’ lainnya yang
dikurangi dari orang tersebut.
Contohnya, semakin seseorang bertambah
keintelekannya maka kesensitifannya kepada hal yang lucu biasanya semakin
berkurang.
Artinya, ada kesenangan yang berkurang pada orang yang diberi
kelebihan intelektual.
Walau, memang, ada juga humor yang hanya bisa dipahami orang intelek; tapi humor serupa ini jumlahnya hanya sedikit.
Walau, memang, ada juga humor yang hanya bisa dipahami orang intelek; tapi humor serupa ini jumlahnya hanya sedikit.
Begitu juga, bahagianya
orang miskin dalam mendapatkan sesuatu biasanya lebih besar ketimbang
kebahagiaan orang kaya yang mendapatkan hal yang sama. [3]
Jelas,
apapun takdir yang ditentukan Allah, Allah itu pasti Mahaadil.
Dengan kata
lain, jika kita memiliki kekurangan dalam satu hal, dalam hal lainnya Allah
pasti memberi kita kelebihan.
Hanya saja, kita sering tidak menyadari dan tak mensyukuri kelebihan yang
diberikan Allah itu. [4]
KEPASTIAN DAN KETIDAKPASTIAN
Garis batas antara kepastian dan ketidakpastian
kadang sepertinya tidak jelas.
Karena ada kalanya suatu ketetapan yang sudah ditentukan atau dipastikan ternyata tidak sesuai dengan ketetapan itu.
Artinya, kehendak Allah bisa membuat sebuah ketetapan menjadi tidak pasti.
Karena ada kalanya suatu ketetapan yang sudah ditentukan atau dipastikan ternyata tidak sesuai dengan ketetapan itu.
Artinya, kehendak Allah bisa membuat sebuah ketetapan menjadi tidak pasti.
Contoh,
berdasar ketetapan Allah (sunatullah), setiap anak yang lahir ke dunia
dipastikan merupakan buah dari hubungan sex.
Namun dengan kehendak Nya, Nabi Isa Alaihis salam lahir ke dunia tanpa ayah kandung.
Artinya bukan hasil dari sebuah hubungan sex.
Namun dengan kehendak Nya, Nabi Isa Alaihis salam lahir ke dunia tanpa ayah kandung.
Artinya bukan hasil dari sebuah hubungan sex.
Namun,
secara umum, kita bisa memisahkan apakah suatu perkara itu termasuk perkara
yang bisa dipastikan atau tidak bisa dipastikan.
Sekadar untuk membedakan mana
yang termasuk kepastian dan mana yang termasuk ketidakpastian, kita bisa ambil
contoh perihal Allah yang telah berjanji akan membalas orang yang berbuat
kejahatan dengan keburukan yang akan menimpa orang tersebut.
Jika
tak mau bertobat, membalas keburukan dengan keburukan merupakan satu ketetapan
yang pasti.
Sedangkan waktu balasan keburukan tersebut akan tiba, mustahil kita memastikannya; bisa hari ini, lusa, atau tujuhbelas tahun yang akan datang. Atau malah baru akan ditimpakan nanti di akherat.
Begitu pun bentuk keburukan yang akan menimpa orang tersebut, kita mustahil memastikannya, sebab Allah bebas menentukannya.
Sedangkan waktu balasan keburukan tersebut akan tiba, mustahil kita memastikannya; bisa hari ini, lusa, atau tujuhbelas tahun yang akan datang. Atau malah baru akan ditimpakan nanti di akherat.
Begitu pun bentuk keburukan yang akan menimpa orang tersebut, kita mustahil memastikannya, sebab Allah bebas menentukannya.
Yang pasti, Allah akan membalas setiap perbuatan manusia.
Cukuplah
bagi kita untuk memahami, perbuatan kita yang baik pasti membuahkan kebaikan,
perbuatan kita yang buruk pasti membuahkan keburukan pula.
Tapi berupa apa atau
berbentuk apa balasan dari perbuatan kita itu, karena merupakan ‘kehendak’
Allah, tidak ada seorang pun yang bisa memastikannya.
Artinya, ia termasuk (hukum) ketidakpastian.
Artinya, ia termasuk (hukum) ketidakpastian.
Karenanya,
dalam perkara-perkara seperti di atas, membalas kebaikan maupun keburukan
merupakan ‘ketetapan’ Allah yang bisa dipastikan.
Sedangkan kapan dan dimana,
begitupun bentuk balasannya merupakan ‘kehendak’ Allah yang tak bisa
dipastikan.
Jadi
jelas, Allah pasti membalas setiap amal kebajikan yang diperbuat manusia.
Hanya saja kapan, di mana, dan berupa atau berbentuk apa pertolongan atau pahala Allah itu, tidak ada satu manusia pun yang tahu.
Hanya saja kapan, di mana, dan berupa atau berbentuk apa pertolongan atau pahala Allah itu, tidak ada satu manusia pun yang tahu.
Begitu pula Allah bisa
menghukum manusia kapan saja dan di mana saja.
Tapi tidak seorang pun bisa memaksa Allah untuk melakukannya hari ini, besok atau lusa, maupun hari-hari tertentu atau tempat-tempat tertentu.
Tapi tidak seorang pun bisa memaksa Allah untuk melakukannya hari ini, besok atau lusa, maupun hari-hari tertentu atau tempat-tempat tertentu.
Yang
pasti, mustahil Allah Swt menghukum
manusia bila manusia itu sendiri tidak berbuat dosa.
Mustahil Allah berlaku
sewenang-wenang dalam berkehendak.
Dengan kata lain, semua musibah, malapetaka,
atau apa pun namanya yang menimpa kita --jika itu merupakan hukuman yang
menebus dosa-- itu dipastikan karena kesalahan kita sendiri.
“..Barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan
itu..” (Qur’an, An Nisaa [4]:123)
(Alfa Qr)
[1]
Wanita dan pria memiliki peran yang disesuaikan dengan fitrahnya,
sebagai isteri dan sebagai suami; sebagai ibu dan sebagai ayah. Sedangkan waria
tak ada tempat dalam Islam, sebab ia tak bisa berfungsi sebagai ibu atau
sebagai ayah. Wanita dan pria yang berperilaku menyimpang harus kembali kepada
fitrahnya sebagai wanita atau sebagai pria normal (sesuai jenis alat
kelaminnya). Jika tidak, dinilai sebagai melawan kehendak Allah.