BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Jumat, 24 Februari 2012

MENJAGA KEMURNIAN


Satu hal yang lumrah bila setiap kelompok etnis --ras atau bangsa-- mempunyai adat tradisi budaya yang menjadi ciri khas dari etnik tersebut; seperti dalam berpakaian atau berkesenian.

Dan, sebagai bagian dari masyarakat tersebut, wajar pula jika kita mengikuti tatakrama yang sudah jadi kebiasaan di lingkungan tempat kita tinggal itu.  

Dengan catatan, adat tradisi tersebut bukan berupa tatacara ritual yang dikaitkan dengan balasan pahala; dan tidak dikaitkan dengan masalah keberuntungan dan kesialan
Sebab masalah takdir hanyalah urusan Allah semata, bukan urusan nenek moyang.

Yang jelas, setiap Muslim awam hendaknya menghindari pemahaman ajaran Islam yang tercampur (sinkritisme) dengan adat tradisi agama lain. 
Seperti upacara tolak bala memberi sesaji kepada makhluk halus, atau memakai bunga dan pedupaan pada saat peribadatan. 








PERKARA DUNIAWI JANGAN TERCAMPUR CARA PERIBADATAN

Reuni haji, milad, dies natalis, inaugrasi, lustrum, adalah momen yang tak lazim diadakan di masa Nabi. 
Namun memperingati ulang tahun (manusia, organisasi, negara) adalah perkara duniawi; dan merayakannya dibolehkan. 

Dengan catatan tata caranya tidak dimasuki unsur peribadatan, tidak dikaitkan dengan masalah balasan pahala ataupun keberuntungan. 
Artinya, jangan sekali-kali tata tertibnya diatur menyerupai peribadatan; seperti membaca ayat-ayat tertentu sekian kali. 
Satu hal yang tampaknya diharuskan agama diatur seperti itu, padahal sebenarnya tidak.



Jadi, yang dilarang bukan reuni, ulang tahun, atau maulidnya, tapi cara pelaksanaan dalam memperingatinya. 
Jika tatacaranya diatur-atur seperti ritus dikaitkan dengan pahala, apalagi penuh kemungkaran dan kemusyrikan, maka lebih baik untuk tidak memperingatinya.


Dalam memperingati perjalanan sejarah Nabi Saw, sebaiknya diisi dengan tuntunan atau kisah yang berisi suri tauladan, dengan memakai bahasa yang dimengerti orang-orang yang hadir. 
Jangan sampai timbul hal yang munkar ataupun yang bersifat mengkultuskan; sebab satu-satunya yang berhak dikultuskan hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Contoh dampak pengkultusan yang amat buruk adalah Nabi Isa As
Yang para pengikutnya, disebabkan terlalu mencintainya, menjadikannya sebagai anak Allah. 

Mereka bukan saja memperingati hari lahir dan hari wafatnya, tapi juga empatpuluh hari kebangkitannya (para pengikutnya percaya Isa bangkit setelah wafat). 
Satu hal yang anehnya diikuti sebagian Muslim, dengan memperingati empat puluh hari kematian seseorang; padahal empat puluh hari wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah diperingati para sahabat salaf Radhiyallahu Anhum.


Begitu pun istilah ‘Nabi Besar’ tidak pernah diamalkan para sahabat, sebab Islam tidak mengenal nabi besar dan nabi kecil. 
Akidah Islam mengajarkan Muslim untuk menghormati semua nabi tanpa perbedaan.







HINDARI SESUATU YANG BARU DALAM RITUS IBADAT

Menjaga kemurnian ritus ibadat agama dari debu pemikiran manusia, merupakan keharusan bagi setiap Muslim. 
Sebab dalam urusan ritus ibadat, seorang Muslim tidak boleh menimbulkan sesuatu yang baru, yang tidak ada contohnya dari Nabi Saw

“Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (ritus ibadat) kita yang bukan dari ajaranNya maka tertolak.” (HR. Bukhari).

Ditolak bisa ditafsirkan tidak ada pahalanya atau mubazir, bisa juga malah mengandung dosa yang harus dihindari.


Jelas, selama tidak bertentangan dengan tuntunan agama, bid’ah (sesuatu yang baru) dalam masalah keduniawian dibolehkan
Tapi bid’ah dalam perkara ritus ibadat, jelas tertolak

Termasuk upacara yang mirip ritus ibadat dengan menyakiti diri sendiri --seperti memukuli tubuh atau punggung sampai berdarah-- itu tidak boleh dilakukan. 
Sebab Nabi Saw tidak mengajarkan manusia untuk menyakiti dirinya.

Mari tanya diri sendiri, jika masih banyak perkara sunat lainnya yang lebih meyakinkan kebolehannya untuk dilakukan, mengapa harus repot-repot mengerjakan perkara yang diragukan? 








 MENGAJAK HARUS DENGAN CARA YANG MENYENANGKAN

Manusia mustahil terluput dari sifat jengkel dan marah. 
Tapi orang bijak, selain bisa meletakkan marahnya pada situasi yang tepat, mengemukakan kemarahannya dengan cara yang tidak berlebihan. 

Karenanya, sikap kita terhadap Muslim yang mengamalkan sesuatu yang tidak sesuai dengan syareat: menasihati dengan baik; mengajak dengan baik; menjelaskan dalil-dalil agama yang benar dengan baik.  
Bukan membencinya, mengasingkannya, apalagi menggebukinya.



Andai mereka tetap pada pendiriannya, kewajiban kita adalah memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar membukakan hati mereka dan mengampuninya. 
Mereka berbuat begitu karena kemampuan akal berpikirnya cuma sampai di sana. 
Mereka layak dikasihani.


Sesungguhnyalah, orang yang sehat tidak memerlukan tongkat pembantu. 
Karenanya, selain kepada orang yang sakit, tongkat pemapah lebih bermanfaat jika diberikan kepada orang yang tak bisa melihat. 
Begitu pula tuntunan kebenaran, selain kepada orang yang sering berbuat keburukan, sangat utama disampaikan kepada orang yang ‘tidak tahu’.

Dari sebab itu, seharusnya kita bukan hanya bisa memaafkan diri sendiri, tapi juga harus bisa memaafkan orang lain. 
Sebab ketulusikhlasan kita untuk senantiasa menabur kebaikan, akan menyemai ketenteraman bukan hanya kepada orang lain tapi kepada diri kita juga.


Mesti dicamkan, sesuai tuntunan yang islami, memaafkan itu lebih baik daripada mendendam; cara yang lembut lebih baik ketimbang menggunakan kekerasan. 

Lagi pula, tuntunan apapun jika disampaikan dengan cara yang menyenangkan akan lebih mudah diterima pendengarnya.





TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..

(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: