BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Kamis, 23 Februari 2012

Nilai perbuatan seseorang



Kadar (pahala atau dosa) sebuah perbuatan mesti tergantung dalil. 
Karena, hakekatnya, yang diminta pertanggungjawaban bukanlah perbuatannya; tapi dalil atau alasan dari sebab melakukan perbuatan tersebut.

Islam menganjurkan untuk menghindari hal-hal yang merugikan. 
Merokok bisa dikategorikan sekadar makruh (makruh tanzihi), sebab walau tidak ditemukan larangannya secara tegas dalam Qur’an maupun sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, merokok merugikan kesehatan.

Membangun kuburan, memakai perhiasan emas dan pakaian sutera bagi lelaki, memakai rambut palsu, ataupun masuk masjid di kala haid adalah contoh perbuatan yang hukumnya makruh yang amat sangat (makruh tahrimi, mendekati haram). 
Perbuatan yang amat tidak disukai namun tidak bisa dibilang haram, sebab tidak ada larangan tegas (to the point) dalam Qur’an, namun ada larangan dalam hadis Nabi Saw.


Menolong orang dengan mendorong mobilnya yang mogok, karena tidak ada dalil tegas yang memerintahkannya, sekadar sunat hukumnya. 

Sementara menjenguk orang sakit atau mengantar jenazah ke kuburan, termasuk sunat yang amat sangat; sebab walau tidak ada perintahnya yang tegas dalam Qur’an, namun ada hadis yang memberitakan keutamaannya.


Begitu pun perkara yang asalnya sekadar mubah, bisa saja membuahkan pahala atau dosa disebabkan oleh ‘niat’ pelakunya ataupun ‘akibat’ yang ditimbulkannya. 
Jika menimbulkan kerusakan bisa saja membuahkan dosa. 
Sebaliknya, jika ada hal positip yang ditimbulkannya, bisa saja membuahkan pahala.


Perlu dimaklumi, bisnis zaman baheula kebanyakan lebih berkaitan dengan masalah jual-beli barang kebutuhan pokok.  
Bisnis saat ini bisa saja berupa menjual jasa seperti asuransi atau pariwisata. 

Realitanya, hampir semua kegiatan bisa dijadikan lahan mendapatkan uang; termasuk yang tadinya sekadar hobi atau hiburan, seperti melukis, catur dan serupanya.

Malah, di sebuah negara mayoritas muslim yang miskin, ada penghasilan seseorang yang didapat dari bermain catur selama setahun, melebihi penghasilan pekerja pabrik selama tigapuluh tahun. 
Jelas, dalam kasus tersebut, main catur menjadi lebih bermanfaat dalam menopang kesejahteraan keluarga orang itu daripada menjadi buruh pabrik.

Catur menjadi tidak bermanfaat jika menyebabkan kemalasan, jika melalaikan ajaran agama; malah mengerjakannya menjadi haram bila dimasuki unsur perjudian. 
Begitu pula sepakbola, yang awalnya sekadar hobi dan merupakan perkara duniawi yang hukumnya sekadar mubah, bisa saja menjadi hal yang berfaedah, tapi mungkin juga melahirkan dosa.


Dari hal-hal tersebut, kita bukan saja dapat menarik pelajaran untuk mengetahui kadar hukum suatu perkara, tapi juga bisa mendudukkan tiap masalah pada tempatnya secara proporsional. 

Bukan hanya asal mendebat atau sekadar berargumen; yang belum apa-apa: langsung mengharamkan.






HARUS BIJAK, JANGAN ASAL MENILAI

Boros merupakan satu hal yang amat sangat dicela dalam Islam. 
Tapi kita harus bisa menilai mana yang bisa dikategorikan boros dan mana yang tidak; dan jangan sekadar menuduh.

Orang yang penghasilannya sejuta dollar setahun, wajar menggunakan seratus ribu dollar untuk bersenang-senang piknik keliling dunia. 
Tapi bagi orang yang penghasilannya cuma lima ribu dollar setahun, mengeluarkan dua ribu dollar untuk piknik merupakan pemborosan.

Jelas, boros atau tidak boros bukan tergantung dari besar uang yang dihabiskannya, tapi sebanding atau tidak dengan penghasilannya. 

Di sinilah kita harus bisa menempatkan makna boros atau tidak, bukan sekadar melarang-larang; apalagi mengharamkan. 

Camkan, jangan menutupi rasa iri dengan menggunakan dalil agama yang tidak pada tempatnya.







MENILAI DI DEPAN CERMIN

Mustahil seseorang bisa tahu semua amalan atau apa yang ada di hati orang yang ada di hadapannya; kecuali jika ia ada di depan cermin.

Di depan cermin kita bisa tahu siapa sebenarnya orang yang ada di hadapan kita. 

Kita bisa tahu persis semua kekurangan dan kemunafikannya.
Kita bisa tahu persis semua keburukan yang dilakukan orang di hadapan kita. 
Bisa tahu persis apakah ia seorang yang tinggi hati yang merasa paling bersih dan paling hebat, atau seorang yang rendah hati. 

Bisa tahu persis apakah ia seorang yang emosional atau bukan; orang yang mudah tersinggung atau tidak. Bisa tahu persis apakah ia seorang pedengki atau bukan. 
Bisa tahu persis apakah ia seorang yang amanah kepada jabatannya, atau tidak.  

Bisa tahu persis apa ia orang yang senang merugikan orang lain, atau tidak. 
Bisa tahu persis apakah ia seorang yang mau belajar memanfaatkan akal pikirannya, atau seorang bodoh yang tetap terperangkap khurafat. 

Bisa tahu persis apakah ia seorang yang mau menerima kebenaran, atau orang yang jahil. 
Bisa tahu persis apakah ia orang yang betul-betul beriman hanya kepada Allah, atau seorang musyrikin.

Karena itu, jika ingin tahu kebaikan dan keburukan serta apa yang ada di dalam hati orang yang ada di hadapan kita, cobalah berdiri di depan cermin. 

Jika keburukannya lebih banyak, jangan takut untuk mencibiri dia;  Jika ia ikut mencibir ke arah kita, kita akan tahu siapa kita.







TAK PERLU SOMBONG MERASA LEBIH HEBAT

Wajar jika seseorang merasa hebat dalam beribadahnya, merasa lebih baik beribadahnya ketimbang orang lain; tapi jangan mengejek orang lain yang beribadahnya dinilai tidak baik. 

Artinya, jangan sombong.

Realitanya, kita lebih sering menilai orang lain ketimbang mengintrospeksi diri sendiri. 
Padahal perbuatan buruk yang kita lakukan, termasuk perilaku munafik yang tidak kita sadari, bisa berbuah jadi malapetaka.

Ingat, orang lain tidak tahu keburukan dan kemunafikan kita; tapi Allah pasti Maha Melihat dan Mahatahu
Dan pasti akan membayar. 




(Alfa Qr)

TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN INI, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..


Tidak ada komentar: