BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Senin, 27 Februari 2012

PESAN PENUTUP


 Kita tak perlu memungkiri realita. Dalam perjalanan kehidupan ini banyak intrik si iblis laknat jahanam yang ingin menyesatkan kita. 
Banyak godaan, ujian, cobaan, ataupun musibah   --yang suka atau tidak suka--   harus kita hadapi. 
Banyak hal yang kalau kita tidak waspada membuat kita terpeleset ke dalam perkara yang bukan saja mengakibatkan penderitaan di dunia, tapi bisa menjerumuskan kita ke dalam neraka di akhirat.

 Untuk itu, dengan tidak bermaksud menggurui, tetaplah berpegang pada perjanjian kita dengan Allah ‘Azza wa Jalla.  
Renungkanlah tuntunan Nya di bawah ini dengan seksama.



  • Sembahlah hanya Allah, jangan menyekutukanNya,
“..sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Nya..” (Quran, Al Araaf [7]:59, 65, 73, 85, dan Hud [11]:50, 61, 84)
 “..sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qur’an, Luqman [31]:13)



  • Bertakwalah sesuai kemampuan,
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..” (Qur’an, At Taghaabun [64]:16)



  • Berlaku adillah kepada siapapun,
“..Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..” (Quran, Al Maidah [5]:8)



  • Hindari perbuatan buruk, terlebih yang merugikan orang lain,
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (Qur’an, Al Qiyaamah [75]:36)
“.. bahwasanya seorang yang berdosa tak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Quran, An Najm [53]: 38-39)



  •  Bersegeralah bertobat,
“..Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu).” (Qur’an, Faathir [35]:18)



  • Dan yang terpenting, tetaplah dalam tali tuntunan Islam,
“..dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Qur’an, Ali Imran [3]:102)



Sesungguhnyalah, dari kebaikan dan keburukan kita bisa belajar. 
Dari kebaikan kita belajar mengambil manfaat dari kebaikan itu. 
Dari keburukan kita belajar untuk menghindar dari segala sesuatu yang diakibatkan oleh keburukan itu.

 Semoga kita termasuk orang yang bisa membaca; yang bisa belajar. 

Dan bisa menyemaikannya kepada orang lain.  

Alhamdulillah.




Bagikan blog BEBAS MERDEKA PISAN ini kepada teman-teman Anda dengan meng-klik 'bagikan'/'share'...
SEMOGA balasan pahala akhirat yang kekal menjadi imbalan yang terbaik buat Anda...

(Alfa Qr)

Persaudaraan Muslim


Pesan Rasulullah Saw, “Tidak seorang pun di antara kalian dipandang beriman sebelum dia menyayangi saudaranya sesama Muslim, seperti halnya ia menyayangi dirinya sendiri.” (Shahih Al-Bukhari)

Persaudaraan Muslim adalah semangat kasih sayang di antara orang-orang seiman; semangat ukhuwah Islamiyah yang ada (dan semestinya ada) pada setiap orang yang mengaku Muslim
Karenanya, Persaudaraan Muslim tidaklah berbentuk organisasi zahir; sebab yang namanya organisasi zahir bisa dihinggapi penyakit perpecahan dan bisa dibubarkan.

Persaudaraan Muslim adalah satu kekuatan yang tidak kasat mata, ia adalah ruh semangat islami. Karenanya, selama seorang muslim berusaha menegakkan kemuliaan Islam, ia adalah pelaku Persaudaraan Muslim.

Pelaku Persaudaraan Muslim adalah Muslim yang mengutamakan kelembutan hati dan ketulusan cinta kasih; yang memiliki kerendahan hati dan keluhuran pekerti. 
Yang toleran dan menghormati keyakinan orang lain. 
Yang menebar kasih dan menabur senyum. 
Yang mengucap salam tiap bertemu dengan Muslim lainnya, tanpa memandang kedudukan, suku-bangsa, warna kulit, golongan, maupun derajat-derajat yang diada-adakan manusia. 
Yang senantiasa berpegang pada kebenaran Islam dan kelurusan ajaranNya. 
Yang tak memiliki motivasi lain yang mendasari setiap perilaku dan perbuatannya, selain semata-mata mencari dan mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yang senantiasa berusaha jadi Muslim yang sempurna, yang senantiasa berusaha berlomba dalam kebajikan. 
Yang senantiasa berusaha untuk tidak menyimpang dari ucapannya: “Sesungguhnyalah shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam yang tidak ada sekutu bagiNya.”

Satu-satunya ajaran yang dipegang teguh para pelaku Persaudaraan Muslim hanyalah tuntunan Allah yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
Dari sebab itu, dalam masalah berbuat kebajikan, setiap pelaku Persaudaraan Muslim tidak mengenal yang namanya pemimpin berupa manusia; sebab Pemimpinnya cuma Allah semata-mata. 
Yang jadi sandarannya hanyalah seperti yang difirmankanNya dalam Al Qur’an, surat Ali Imran [3] :173,

 “Hasbunallah wa ni’mal wakil; Cukuplah Allah menjadi Penolongku dan Allah sebaik-baik Pelindung”

Jika sudah begitu, tidak ada yang perlu kita takutkan, tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menghalangi kita dalam menyampaikan kebenaran dan kemuliaan Islam. 
Karenanya, sekali lagi, selalu --dan selalu, dan selalu-- tanamkan dan jadikan dasar landasan setiap langkah kita:

“Hasbunallah wa ni’mal wakil”.
Cukuplah Allah bagi kita, Dia sebaik-baik yang menjamin dan melindungi kita



Bagikan/Share tulisan ini kepada teman-teman Anda yang lain.
SEMOGA BERKAH dan RIDHA ALLAH SWT terlimpah ruahkan kepada Anda sekeluarga.

(Alfa Qr)

Sekadar untuk sahabat


Kitab yang ada di tangan Anda saat ini, hanya sekadar untuk mengetahui tuntunan Islam secara selintas; dan bukan untuk memaksakan kemestian dalam beramal. 

Sebab, tujuan awalnya catatan kecil ini dibukukan --selain ditujukan untuk sahabat-sahabat penulis yang kebanyakan Muslim awam biasa; yang dalam praktek kesehariannya tidak begitu memahami tuntunan Islam-- ditujukan untuk menjernihkan kesalahpahaman tentang Islam terhadap mereka yang karena ketidaktahuannya menilai Islam sebagai agama yang memberatkan dan tidak toleran. 

Tidak sedikit isi kitab ini merupakan hasil bincang-bincang antara penulis dengan teman-teman penulis, baik Muslim maupun bukan. [1]   
Yang dalam realitanya lebih banyak membahas masalah kehidupan sehari-hari, yang lebih terkait dengan masalah keduniawian, ketimbang masalah peribadatan. 
Jadi, tak mustahil jika di dalam isi kitab ini terdapat pemahaman yang tidak berkenan bagi yang membacanya. 
Karenanya, bisa jadi, kitab ini sama sekali tidak layak jika ditujukan untuk mereka yang sudah terbiasa mendirikan tuntunan Islam dalam kesehariannya secara sempurna. 

Yang jelas, kitab ini sekadar untuk dijadikan batu loncatan; sekadar untuk membuka minat membaca kitab-kitab tuntunan agama yang ditulis para ulama yang benar-benar menguasai ajaran Islam secara sempurna. 
Sebab, siapapun yang ingin mendapatkan tuntunan Islam yang benar, maka ia harus berguru kepada orang yang benar-benar mendalami ajaran Islam. 

Hanya saja perlu dimaklumi, pendapat para ulama yang kita anggap panutan itu pun ternyata tidak terlepas dari perbedaan pemahaman; malah walau mengaku masih dalam satu mazhab sekalipun. 
Padahal, tuntunan Islam itu untuk semua manusia; yang kebanyakan adalah orang awam biasa. 
Yang jadi pertanyaan, apakah kita --Muslim awam biasa-- patut disalahkan jika kita mengikuti pemahaman ulama yang (ternyata) salah?

Kita percaya, Allah pasti Mahabijak, Allah pasti mengetahui usaha dan kemampuan kita yang hanya orang awam biasa. 
Mustahil Allah menyalahkan dan menghukum seseorang yang telah berusaha sesuai kemampuannya. 
Lagipula, rasanya aneh, jika kita harus menanggung dosa dari satu hal yang kita tidak bisa menghindarinya. 

“..Ya, Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya ” (Quran, Al Baqarah [2]:286)

Kita percaya Allah Mahaadil, Maha Mengetahui. 
Kita percaya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. 


(Alfa Qr)

[1]   Hakekatnya penulis hanya sekadar tukang ketik, tukang catat. 
Hakekatnya penulis hanya penyampai.  
Muatan dalam kitab ini hakekatnya buah pikir orang lain yang penulis nilai benar. 
Karenanya, buat mereka yang telah memberi masukan, semoga ampunan, taufik dan hidayah Allah dikaruniakan kepada kita semua. Semoga pahala akhirat yang kekal menjadi imbalan yang terbaik.

KETIKA SAAT ITU TIBA



Tatkala rambut diputihkan dan gigi ditanggalkan; saat mata mulai tak jernih, seperti juga telinga yang berangsur kehilangan pendengaran. 
Manakala pikiran mulai sering lupa dan merayap menuju pikun; sementara kulit keriput menjadi kenyataan dan kekuatan yang pernah dibanggakan malah menjadi sekadar bayang-bayang. 
Manusia baru menyadari ada sesuatu yang meninggalkannya.


Ada dua jenis manusia yang menangis karenanya.

Pertama, manusia yang tak rela kehilangan itu semua, yang merasa belum puas. 
Ia melihat tanda-tanda itu sebagai lampu kuning; menangis sedih karena ketakutan lampu berubah menjadi hijau, pertanda pintu kematian disingkapkan.

Kedua, manusia yang ikhlas menghadapinya. 
Ia menangis sedih karena merasa masih kurang mensyukuri kenikmatan yang pernah diberikanNya. 
Ia menyesal karena merasa masih kurang mengisi masa lalunya dengan hal-hal yang lebih bermanfaat. 
Ia tak takut dengan kematian, bukan karena sombong merasa jadi orang baik; tapi karena meyakini bahwa sesungguhnyalah kematian memisahkan kita dari yang kita cintai tapi mempertemukan kita dengan yang lebih kita cintai.


Sesungguhnyalah, kedekatan kepada Tuhannya akan menjadikan seorang Muslim menyikapi penyakit dan musibah yang datang kepadanya sebagai tanda kasih sayang Allah kepadanya; karena dengan sebab itu ia percaya Allah mengampuni di antara dosa-dosanya di masa lalu. 

Dan dengan kedekatan kepada Tuhannya pula, seorang muslim akan mawas diri manakala kemuliaan dan kesenangan duniawi melimpah datang kepadanya; karena dengan sebab itu ia percaya Allah sedang mengujinya.






TAK PERLU JAWABAN

Saat kain penutup tubuh kita bukan lagi stelan jas dan dasi, melainkan hanya sehelai kain kafan; dan mobil mahal yang kita banggakan, digantikan dengan sebuah kereta jenazah
Maka rumah yang kita tuju pun bukan lagi rumah mewah seluas puluhan hektar, melainkan hanya sebuah lubang berlumpur kotor yang berukuran hanya satu kali dua meter.

Di saat itu, rumah kita hanyalah sebuah bilik sempit yang gelap; yang dinding dan lantainya hanyalah tanah. 

Bukan rumah yang memiliki belasan kamar yang indah, yang berdinding dan berlantai marmer. 
Bukan lagi rumah yang dilengkapi kolam renang yang asri dan ruang istirahat yang mewah. 

Rumah kita hanyalah sebuah bilik yang sunyi sepi; sebuah ruangan yang pengap dan lembab.  

Di saat itu, satu-satunya pelita yang ada hanyalah amalan-amalan kita; dan bukan lampu hias yang mahal.


Ketika saat serupa itu tiba, apalagi yang kita harapkan? Bertobat? 
Atau keinginan untuk berbuat baik kepada orang lain?

Pertanyaan serupa itu, pada saat serupa itu, tak perlu jawaban.








BERTOBAT SELAGI SAAT ITU BELUM TIBA

Selagi kita masih diberi kemampuan, tidaklah salah jika kita tetap berusaha meraih ilmu dan kekayaan duniawi sebanyak mungkin. 

Namun selalu harus dicamkan, yang akan menjadi bekal yang akan kita bawa ke akhirat bukanlah harta dan ilmu yang banyak, tapi manfaat dari harta dan ilmu kita itu dalam menolong orang lain.


Yang jelas, satu hal yang harus diwaspadai, hidup ini sering tersamarkan oleh kemunafikan yang tidak kita sadari. 

Menolong orang lain itu satu hal yang mulia, tapi menghindar dari merugikan orang lain itu lebih penting
Seperti juga memperbanyak zikir itu satu perkara yang baik, namun senantiasa beristighfar merupakan hal yang utama; sebab ibarat badan yang kotor, ia lebih membutuhkan sabun mandi ketimbang parfum. 

Dari sebab itu, utamakanlah bertobat lebih dahulu

Berhentilah merugikan, mengganggu dan membohongi orang lain.

Pesan Rasulullah Saw: “Allah Ta’alla sangat gembira menerima tobat seseorang, melebihi kegembiraan seseorang yang menemukan kembali barangnya yang hilang.”  (HR Muslim)






TIDAK MERUBAH KEADAAN

Bangunan di atas kuburan tidak akan membuat bahagia orang yang sudah mati; bangunan di atas kuburan hanya menyenangkan mata orang yang masih hidup. 

Bangunan di atas kuburan tidak merubah ruangan di bawahnya --yang berlumpur kotor dan penuh dengan cacing-- menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali. 

Karenanya, tidak ada gunanya anak dan cucu kita mendirikan bangunan di atas kuburan kita. 
Sebab semewah apapun bangunan itu, tidak merubah ruang kuburan yang jasad kita tempati menjadi hangat dan menyenangkan. 
Artinya, bilik yang kita tempati tetap saja sebuah ruang sempit yang gelap dan bau, yang dingin dan getir.


Yang bisa membuat kita hangat dan nyaman adalah doa ampunan yang berkesinambungan yang dipanjatkan anak dan cucu kita, dan bukan mendirikan bangunan yang malah membebani kuburan kita. 

Apalagi jika biaya mendirikan bangunan itu tercampur uang yang didapat secara haram; bangunan itu malah akan lebih menghimpit menyesakkan kita, akan lebih menyengsarakan kita. 


Begitu juga tangis kesedihan anak dan cucu kita hanya akan membuat kita lebih tersiksa; membuat kita malah bersedih melihat mereka sedih. 

Yang bisa membuat kita gembira justru ketika kita menyaksikan mereka tawakal dengan kematian kita; melihat mereka ikhlas dengan kehendak Allah Azza wa Jalla.


Jadi, tidak ada gunanya memamerkan cinta kasih dengan mendirikan bangunan mewah di atas kuburan sesudah mereka meninggal; tunjukkanlah cinta kasih itu selagi mereka masih hidup

Kalau mau menunjukkan cinta kasih kepada orang yang sudah wafat, perbanyaklah doa permohonan supaya Allah mengampuni mereka. 

Perlihatkanlah (cinta kasih kita kepada orang yang kita sayangi) kepada Allah; tidak perlu memamerkan (cinta kasih kita kepada orang yang kita sayangi) kepada manusia.





Bagikan blog BEBAS MERDEKA PISAN ini kepada teman-teman Anda dengan meng-klik 'bagikan'/'share'...
Semoga balasan pahala akhirat yang kekal menjadi imbalan yang terbaik buat Anda...

(Alfa Qr)

Apakah engkau tidak ikhlas?



Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa dahaga dengan keinginan untuk memberi; karenanya, kebahagiaan beliau yang terbesar adalah saat beliau bisa menolong orang lain.
Bagi beliau yang harus diraih adalah ridha Allah  Subhanahu wa Ta’ala; bukan semata-mata kekayaan, ketenaran dan kekuasaan. 

Beliau --pembawa rahmat, sekaligus orang yang paling dicintai Allah--  adalah pemimpin umat. 
Namun rumah beliau, tempat tinggal isteri-isteri beliau, yang terletak di samping masjid, hanyalah berupa bilik-bilik sederhana yang dindingnya terbuat dari anyaman pelepah kurma; yang pintu-pintunya juga hanya ditutupi sehelai kain hitam yang kasar. 


Begitu sederhananya kehidupan beliau, sampai di saat sakitnya uang yang dimilikinya hanyalah tujuh dinar; itu pun kemudian disedekahkan buat umatnya sehari menjelang beliau wafat. 

Satu hal yang sungguh jauh berbeda dengan kehidupan para pemimpin kita di zaman sekarang.



Satu ketika, Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berkunjung ke rumah beliau.

Saat itu Nabi Saw baru saja bangun dari tidurnya di atas tikar anyaman pelepah kurma, sehingga tampak bekasnya di badan beliau.
Melihat keadaan serupa itu Umar menangis.

“Mengapa engkau menangis?” sapa Nabi.

“Anda telah ceritakan kemegahan Kisra dan kerajaannya. Hurmuz dengan kerajaannya, dan Raja Habasyah dengan kerajaannya. Tapi anda sendiri, ya, Rasulullah, tidur di atas tikar pelepah kurma”, jawab Umar berlinang air mata.

Rasul pun berujar dengan lembut, “Apakah engkau tidak ikhlas, dunia bagi mereka dan bagi kita akhirat?”


Sebuah pertanyaan singkat, yang selayaknya ditujukan ke lubuk hati kita yang paling dalam.

Menangislah, hai, insan.[1]


“Seorang anak Adam sebelum menggerakkan kakinya
pada hari kiamat akan ditanya tentang lima perkara:
Tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya.
Tentang masa mudanya, apa yang dilakukkannya.
Tentang hartanya, dari sumber mana dia peroleh
dan dalam hal apa dia membelanjakannya.
Dan tentang ilmunya, mana yang dia amalkan.”
(HR Ahmad)



BAGIKAN/SHARE tulisan ini kepada teman-teman Anda yang lain.

(Alfa Qr)


[1]   Kisah di atas berdasar hadits yang dianggap menjadi asbab nuzul atau sebab turunnya ayat ke 20 surat Al Insan, ‘Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai kenikmatan dan kerajaan yang besar’.   

Nabi wafat dalam usia 63 tahun berdasar perhitungan tahun hijriah (qamariyah) atau 61 tahun lebih tiga bulan berdasar perhitungan tahun masehi (syamsiyah).

Keikhlasan


Doa itu zikir, tapi zikir belum tentu berupa doa. 
Zikir adalah setiap ucapan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah.

Selain doa permohonan ampunan Astaghfirullah, rangkaian zikir yang diucapkan seorang Muslim umumnya berupa pengagungan. 
Seperti Subhanallah (Mahasuci Allah), Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah), La ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah), Allahu Akbar (Allah Mahabesar), La haula wa la quwwata illa billahil aliyyil azhim (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi Mahaagung).


Seutamanya niat berzikir harus semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan mengharap ridhaNya. 
Jika dicemari dengan niat mengharap keuntungan duniawi, niat tersebut bisa mengurangi nilai keikhlasan kita, malah bisa merusak keikhlasan kita.


Yang sering terjadi, orang melakukan zikir karena menuntut balasan yang berbentuk keduniawian; seperti ingin kaya atau ingin meraih kekuasaan

Dampaknya, jika bentuk keinginan yang dituntut tidak menjadi kenyataan, ada kemungkinan lahirnya prasangka buruk kepada Allah. 
Sebab, biasanya, orang yang melakukan zikir serupa itu mengharuskan Allah untuk mengabulkan keinginannya; padahal manusia tak punya hak mengatur Allah, Allah-lah yang berhak mengatur manusia. 

Karenanya, untuk masalah keinginan yang bersifat keduniawian, selain disertai ikhtiar, kita cukup meminta kepada Allah dengan berdoa yang sungguh-sungguh.  

Masalah dikabulkan sesuai keinginan atau tidak sesuai keinginan, pasti ada maksud Allah Swt untuk kebaikan kita.

Lagi pula mesti dicamkan, harta yang bersifat keduniawian ibarat ular atau kalajengking.  
Hanya jika kita punya penawar racunnya, kita bisa aman bermain-main dengannya.  
Jika tidak, pasti melahirkan masalah.





APA YANG SEBENARNYA KITA CARI?

Inti kecintaan kita kepada Allah adalah ikhlas. 


Perbuatan ibadah kita bisa dinilai ikhlas jika perbuatan yang kita lakukan sesuai dengan yang dituntunkan atau diperintah Allah dan RasulNya.

Yang jelas, amal sedikit yang ikhlas jauh lebih baik daripada amal yang banyak tapi tidak ikhlas. 

Karena itu, dalam masalah balasan pahala dari Allah, jangan sekali-kali kita menuntut imbalan dari kebaikan yang kita lakukan dalam bentuk seperti yang kita inginkan.  
Sebab bentuk dari balasan sebuah kebaikan merupakan hak mutlak Allah. [1]


Yang lebih penting, keikhlasan itu seharusnya bukan hanya sekadar ucapan atau teori saja. 

Karenanya, usahakan kita melakukan kebajikan, terlebih dalam memperjuangkan kemuliaan Islam, semata-mata karena kita benar-benar sedang mencari --dan mengharap-- ridha Allah.




Bagikan/Share tulisan ini kepada teman-teman Anda yang lain.
SEMOGA BERKAH dan RIDHA ALLAH SWT terlimpah ruahkan kepada Anda sekeluarga.

(Alfa Qr)


[1]  Ikhlas bukan berarti kita tidak boleh mengharap balasan, bukan berarti dilarang meminta. Ikhlas artinya kita tak perlu menuntut, tak perlu memaksa Allah.

Sedekah kebajikan


Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk” (Qur’an, Huud [11]:114)

Satu hal yang sangat adil jika sebuah kebajikan diberi imbalan pahala dengan nilai yang berlipat-lipat, dan sebuah kejahatan cukup dibalas hukuman senilai dosa dari kejahatan itu sendiri.

Realitanya, keinginan untuk berbuat baik muncul dari diri kita sendiri; dan jalan ke arah berbuat baik itu sulit karena setan selalu berusaha menghalang-halanginya. 
Sedangkan keinginan berbuat jahat tidak terlepas dari dorongan si iblis laknatullah; dan jalan ke arah kejahatan itu mudah karena dibukakan setan selebar-lebarnya. 






TAK PERLU MENENTUKAN BENTUK KEBAJIKAN

Niat melakukan kebajikan adalah satu hal yang terpuji. 

Namun sebaiknya tidak menentukan bentuk atau jenis dari kebajikan yang akan kita lakukan untuk orang lain itu; sebab jika niat baik tersebut tidak bisa atau belum terlaksanakan, justru akan membebani kita. 

Kita malah akan merasa berdosa, atau merasa bersalah; padahal tadinya kita mau berbuat baik dengan ikhlas. 

Jadi, kita tak perlu menentukan bentuk kebajikannya itu sendiri, tapi cukup berniat akan bersedekah.


Arti yang umum dipahami dari bersedekah adalah mendermakan harta --baik uang maupun barang-- untuk membantu orang lain. 
Sedekah dalam pengertian yang lebih luas adalah semua kebajikan yang dilakukan seseorang, yang dengan sebab itu Allah membalasnya dengan kebajikan pula. 
Tersenyum dan tutur kata yang baik adalah sedekah. 
Langkah kaki saat menuju masjid adalah sedekah. 
Menafkahi anak isteri, infak dan zakat pun, dalam pengertian yang lebih luas adalah sedekah.


Sedekah hukumnya sekadar keutamaan; zakat hukumnya wajib.  

Karenanya, orang yang menerima sedekah wajar berterimakasih kepada orang yang memberinya. 
Orang yang menerima zakat tidak perlu berterima kasih kepada orang yang mengeluarkan zakat; sebab zakat yang diterima merupakan hak bagiannya yang dititipkan Allah kepada orang lain







NADZAR

Tidak ada nadzar (niat atau janji melakukan sesuatu) kecuali dengan maksud mendekatkan diri atau mencari ridha Allah semata-mata.

Berniat mengadakan pesta bila lulus ujian sekolah, tidak apa-apa jika dibatalkan; tapi bila berniat untuk bersedekah, maka bersedekah itu jadi wajib untuk dipenuhi. 

Begitu pun orang yang berniat untuk piknik bila sembuh dari penyakit, tidak berdosa jika membatalkannya. 
Tapi bila berniat akan mewakafkan tanahnya untuk kepentingan agama, ia harus memenuhi nadzarnya ini. 

Jika tidak, ia harus membayar denda (kafarat).

Karenanya, seutamanya hindari bernadzar. 

Lakukan amal ibadah dengan ikhlas, tanpa harus menuntut Allah melakukan sesuatu kebaikan.









MEMBERSIHKAN HARTA

Upaya ‘membersihkan’ harta kita dari kemungkinan adanya ‘kotoran’ yang menyertainya, adalah sangat utama.  
Artinya, mengeluarkan harta hak bagian orang lain dari kelebihan harta yang kita punyai, sudah sepantasnya dilaksanakan. 
Oleh karenanya, akan lebih baik jika setiap kali kita mendapat tambahan harta kekayaan (pendapatan, penghasilan), kita membersihkannya dengan menyerahkan bagian hak orang miskin tersebut.

Namun jika harta tambahan itu jangankan ada kelebihan, untuk kebutuhan hidup keluarga sendiri pun malah masih kurang --termasuk belum mampu memiliki sendiri rumah tinggal-- tentunya tidak perlulah dikeluarkan zakatnya. 

Lagi pula, besarnya penghasilan tiap orang tidaklah sama. 
Begitu pun standar minimal kebutuhan hidup setiap keluarga, tentunya berbeda. 

Contohnya, kebutuhan hidup keluarga dengan satu anak berbeda dengan keluarga yang memiliki tujuh anak. Jadi, kelebihan harta dari harta yang dimilikinya juga menjadi bersifat relatif.


Pertanyaannya, berapa banyaknya dari kelebihan harta tersebut yang harus dikeluarkan? 
Seperempatpuluh, sepersepuluh atau seperlima bagian? 
Waktu dikeluarkannya apa mesti pada tiap saat mendapatkannya, atau boleh dikumpulkan jumlahnya dulu sampai satu tahun?

Bagi kita, Muslim awam, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tampaknya diserahkan kembali pada ketulusikhlasan hati kita. 

Jadi, mengenai besarannya maupun waktunya, karena masing-masing orang lebih mengetahui akan besar-kecilnya ‘kelebihan harta’ dari kekayaan yang dimilikinya, jelas diserahkan pada keikhlasan masing-masing Muslim.

Mahasuci Allah yang menguji kadar keikhlasan hambaNya. 






SEDEKAH, INVESTASI YANG MUSTAHIL MUBAZIR

Orang yang berkurang hartanya karena musibah, dicuri atau ditipu, beda nilainya dengan orang yang berkurang hartanya karena bersedekah. 

Orang yang bersedekah, hakekatnya tidak kehilangan apa-apa;  sebab harta yang disedekahkannya merupakan investasi yang mustahil mubazir, yang akan diganti dengan pahala yang lebih berlipat.

Jadi jelas, ditipu itu rugi. 
Karenanya, daripada ditipu, lebih baik diinvestasikan dalam bentuk bersedekah. 

Anehnya, kebanyakan orang lebih menunggu dulu untuk ditipu ketimbang bersedekah. 
Atau, baru muncul niat bersedekah jika sudah sakit. 

Padahal ingat, kotoran bisa jadi penyakit. 
Sedekah yang benar-benar ikhlas bisa mencuci kotoran; bisa jadi penawar dari penyakit yang kita derita. 

Yang pasti, kita harus berinvestasi.



“Sedekahkanlah ala kadarnya sesuai dengan kemampuanmu,
dan jangan menghitung-hitung,
karena Allah akan menghitung-hitung pula pemberianNya kepadamu, 
dan akan kikir kepadamu.” 
(HR. Muslim)


(Alfa Qr)

KELUARGA


Jangan jadi Muslim yang cengeng, yang diperangkap kemalasan dan kebodohan; yang hanya tinggi angan-angan, yang hanya bisa melamun, yang mengkhayalkan diri jadi orang lain. 
Hadapilah realita, jadilah diri kita sendiri. 

Dalam situasi apapun dan bagaimanapun, jadilah anak muda Muslim yang berakhlak mulia, yang punya gairah, yang memiliki jiwa yang kuat, yang bersemangat kerja. 
Dan bukan hanya bisa pacaran.


Realitanya, banyak yang siap nikah, tapi tidak siap berumah tangga. 
Siap membikin anak, tapi tidak ada persiapan untuk memeliharanya. 


Selain ketidaksiapan, kepalsuan juga jadi penyebab kerapuhan. 
Biasanya, saat pacaran, masing-masing menyembunyikan kekurangannya, malah menipu pasangannya. 

Amat pantas, sebuah keluarga yang dibangun di atas rongsokan kepalsuan serupa itu berantakan. 
Kalau sudah begitu, tanpa rasa malu, yang disalahkan Tuhan atau orang lain; dan bukan dirinya sendiri.







ROMANTIKA DALAM BERKELUARGA

Ketika pacaran, yang kita lihat hanyalah kelebihan yang ada pada pasangan kita. 
Biasanya kita mengabaikan peringatan orang lain, akan sisi buruk yang ada pada pasangan kita; malah yang muncul justru prasangka jelek kepada orang lain yang mengingatkan kita itu. 

Sebaliknya, ketika sudah menikah, yang kita lihat biasanya kekurangan yang ada pada pasangan kita. 


Ini terjadi, karena kita membandingkan isteri atau suami kita, dengan isteri atau suami orang lain. 

Jika tidak waspada, kecenderungan untuk melihat kelebihan suami atau isteri orang lain ini akan melahirkan benih kerusakan dalam rumahtangga.  

Karenanya, kita harus tetap saling mendukung, saling mengasihi dan saling melindungi.  
Kita harus bisa memaklumi dan memaafkan segala kekurangan yang ada pada pasangan kita. 
Kita harus mensyukuri, bahwa kita masih berkenan mempunyai pasangan.


Camkan, ketika pasangan kita tertarik dengan orang lain, kita harus menelaah diri; ia berbuat serupa itu bisa jadi karena ada kekurangan kita

Karenanya, jangan mengharap solusinya ada di orang lain, solusinya harus ada pada diri kita. 
Sejauh mana kita mau berubah, sejauh mana kita mampu meniadakan kekurangan kita, dan sejauh mana kita bisa memaafkannya. 

Memang, ketika hati kita disakiti hakekatnya kita dirugikan: tapi, ketika kita tak bisa memaafkan, hakekatnya kita menanamkan tambahan rasa sakit dalam diri kita. 
Seharusnya, terhadap orang yang kita cintai, jangan melihat kekurangannya; tapi lihat apa yang kita sukai darinya.



Semestinya direnungkan, kehidupan berkeluarga sering berubah tanpa kepastian. 

Dan jangan harap kehidupan berubah sesuai keinginan kita, jika kita tidak memberi kontribusi positip kepada perubahan itu sendiri. 

Memang perceraian dibolehkan, namun menghindarinya merupakan keutamaan. 
Karenanya, pikirkan masak-masak sebelum melaksanakannya. 
Perhitungkan dampaknya, terutama buat anak-anak. 

Kalaupun terjadi juga, jangan sampai memutuskan silaturahmi. 
Jangan saling menyalahkan.








PERAN PRIA MUSLIM SEBAGAI SUAMI DAN AYAH

Dalam Islam, seorang suami adalah tiang utama keluarga; seorang yang melayani semua kebutuhan anak dan isterinya, dan bukan ingin dilayani. 
Suami dalam Islam adalah kepala keluarga yang ikhlas, yang tidak mengharap balasan kebaikan dari isteri dan anak-anaknya; yang percaya bahwa apa yang dilakukan untuk keluarganya akan mendapat balasan pahala yang jauh lebih baik dari Allah Swt yang menyaksikannya.

Namun kenyataannya, tanpa rasa malu, tidak sedikit suami yang mengklaim sebagai pemimpin yang harus ditaati tapi tidak punya rasa tanggung jawab kepada isteri dan anak-anaknya. 

Tidak sedikit suami-suami Muslim yang tidak berusaha bekerja secara maksimal. 
Yang hanya bisa menuntut pasangannya, tapi dirinya sendiri tidak memenuhi kewajibannya. 

Jelas, suami serupa ini telah keluar dari nilai-nilai kepemimpinan yang diajarkan Islam; sebab kepemimpinan suami semestinya diartikan sebagai orang yang memiliki tanggung jawab dan bisa membahagiakan keluarganya. 

Dan bukan kepemimpinan yang disalahtempatkan sebagai orang yang berkuasa dengan mutlak, yang setiap ucapannya mesti dituruti.



Sebagai ayah, Muslim harus berusaha mendidik anaknya dengan tepat. 
Artinya, tidak terlalu keras tapi juga tidak terlalu memanjakannya. 
Sebab --pada banyak kasus-- anak yang terlalu dimanjakan, dibanding dengan anak yang tidak dimanjakan, setelah dewasanya cenderung menjadi orang yang lemah dan justru kurang menyayangi orangtuanya. 

Ketika dewasa, selain sering menggantungkan dirinya pada bantuan orang lain, karena kurang memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, anak yang terlalu dimanjakan malah condong lebih menyusahkan orangtuanya.



Realitanya, ketidakbertanggungjawaban sebagai suami dan kegagalan sebagai seorang ayah dalam mengarahkan keluarganya, lebih sering jadi penyebab kehancuran sebuah rumah tangga Muslim. 

Realitanya, suami sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, isteri sebagai pendamping yang patuh, serta anak-anak yang berbakti, hanya merupakan anjuran dalam teori. 

Begitu pun gambaran tentang ayah yang bijak, ibu yang penuh kasih, dan anak-anak yang soleh, benar-benar tinggal sekadar gambaran sebuah keluarga Muslim; dan bukan sebuah realita yang umum.



Memang, sebuah keluarga Muslim yang sempurna amat sulit untuk direalisasikan. 

Namun, paling tidak, sebuah keluarga Muslim yang amburadul harus bisa dihindarkan. 
Karenanya, selain harus saling memaklumi akan keterbatasan kemampuan setiap anggota keluarga, usaha keras tiap anggota keluarga untuk menjalankan fungsi dan kewajibannya dalam sebuah keluarga merupakan keutamaan.


Perlu diketahui, walau isterinya bukan seorang Muslimah, seorang suami tetap harus memenuhi tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga

Ia harus menafkahi dan menjaga isterinya; harus menghormati keyakinan isterinya, termasuk mengantarkannya ke gereja atau ke sinagog untuk beribadat sesuai agamanya. 

Suami boleh menjelaskan tentang Islam, tapi tidak boleh memaksanya untuk memeluk Islam.











WANITA DALAM KELUARGA

Ada dua kategori kecelakaan.  
Pertama, kecelakaan yang menimpa fisik atau yang berupa materi. 
Contohnya, tertabrak mobil atau dirampok; kecelakaan serupa ini, selain bisa terjadi dikarenakan kesalahan kita, bisa juga disebabkan kelalaian orang lain.  

Kedua, kecelakaan yang menimpa akhlak kita. 
Contohnya, menjadi koruptor atau menjadi pelacur; ‘kecelakaan’ yang ini terjadi lebih disebabkan karena kelalaian diri kita sendiri.


Ada tuntunan agama, yang dikuatkan banyak hadits, yang seakan-akan melarang wanita keluar dari rumah sendirian tanpa disertai mahram (suami atau orang yang punya kaitan hubungan keluarga yang tidak boleh dinikahi). 
Pelarangan tersebut merupakan perlindungan untuk seorang Muslimah, yang hakekatnya pencegahan terjadinya kecelakaan yang menimpa moral. 
Artinya, seorang wanita yang diragukan keselamatannya bila pergi sendirian, bukan saja wajar tapi sudah seharusnya bagi kepala keluarga yang bersangkutan untuk melarangnya. [1] 


Namun memberlakukan pelarangan keluar rumah sebagai larangan mutlak, jelas satu hal yang berlebihan. 

Realitanya, banyak ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah, yang dalam prakteknya mustahil untuk selalu harus disertai mahramnya. 
Karenanya, yang terpenting, setiap orang (jadi sebenarnya bukan hanya wanita) yang diberi kepercayaan dan berkesempatan ke luar rumah, agar menjaga dirinya dari ‘kecelakaan’.


Patut dicamkan, Islam adalah agama yang mencegah terjadinya keburukan. 
Seorang wanita seutamanya menghindar dari berkumpul dengan temannya yang pria; namun ini bukan pelarangan mutlak dalam arti haram. 
Sebab, berkumpulnya dua orang --walau berkelamin sama-- jika akan menimbulkan kemaksiatan, jelas tidak dibenarkan dalam tuntunan Islam.









WANITA SEMESTINYA BERBUSANA YANG PANTAS

Bagi yang mengaku Muslimah yang kebetulan senang berpakaian seronok di hadapan umum, cobalah renungkan: apa manfaat dari berpakaian serupa itu? 

Pakaian serupa itu hanya melahirkan sikap melecehkan.

Harap dicatat, makna hijrah bukan semata-mata pindah dari Makkah ke Madinah, melainkan berusaha pindah dari semua keburukan menuju kebajikan; termasuk dari berpakaian seronok pindah ke berbusana yang sopan.

Sabda Nabi Saw, “Wanita dinikahi karena empat sebab; karena hartanya, karena derajatnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaknya pilihlah yang (taat) beragama, agar berkah kedua tanganmu.” 

Dan masih pesan beliau: “Sesungguhnya dunia ini seluruhnya harta, dan sebaik-baiknya harta ialah wanita (isteri) yang soleh”.










SURGA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU

Anak-anak biasanya sangat sulit menerima nasihat dari orangtuanya.  
Tapi sebaliknya, dalam meniru perilaku buruk orangtuanya justru amatlah mudah. 

Itu sebabnya, perangai seorang anak sering tidak terlepas dari karakter dan perilaku orangtuanya

Dengan kata lain, tindak-tanduk orang tuanya akan ikut membangun karakter seorang anak di kemudian hari. 
Karenanya, jika kelak si anak dicampakkan ke neraka, orangtuanya akan ikut diminta pertanggungjawaban, sebab tidak mengarahkan anaknya dengan baik. 
Sebaliknya, jika kelak si anak masuk surga, orang tuanya akan kebagian pahala karena telah mendidik anaknya dengan baik.


Realitanya, pengaruh ibu lebih dominan dalam membimbing anak-anaknya; sebab, dibanding seorang ayah, seorang ibu memiliki waktu lebih banyak bersama anaknya. 

Dalam tuntunan Islam pun, menghormati ibu itu tiga kali lebih utama daripada menghormati ayah. Maksudnya, seorang anak sangat utama untuk patuh kepada ibu, baik dalam mendengarkan bimbingannya maupun mentaati perintahnya. 

Karena itu, seorang ibu jangan sampai salah ketika melangkahkan ‘kakinya’. 
Jangan sampai terperosok ke dalam perbuatan tercela, sebab perilaku buruk serupa itu kemungkinan besar akan ditiru oleh anaknya.


Dari hal-hal di atas, ungkapan ‘surga di bawah telapak kaki ibu’ justru membebankan tanggung jawab yang lebih besar kepada seorang ibu untuk mendidik anaknya ke arah jalan yang lurus

Dan BUKAN harus mencuci kaki ibu, kemudian meminum air bekas cuciannya dengan mengharap barokahnya; sebab ini jelas pemahaman yang batil

Yang dinamakan barokah adalah sesuatu yang berupa doa permohonan kebaikan kepada Allah. 
Jika seorang ibu berdoa kepada Allah memohon agar anaknya diberi kebaikan, maka tidak salah jika doa si ibu itu dinamakan barokah.


Patut dicamkan, seorang anak harus menghormati dan taat kepada orang tuanya --termasuk walau kedua orangtuanya bukan Muslim-- selama orangtuanya tidak menyuruh kepada perbuatan yang munkar. 

Karenanya, jika si ibu menyuruh mencuci kakinya dan mengharuskan meminum air bekas cuciannya, sebab ini munkar, seorang anak tak perlu patuh.






Catatan:
  • Suami atau istri sudah seharusnya saling berbagi. Bukan sekadar mengharap dikasihi, tapi yang lebih penting justru bisa memberi dan bisa membahagiakan. Masing-masing harus berusaha menanamkan loyalitas tanpa batas; menumbuhkan kesetiaan tanpa akhir kepada pasangan hidupnya. Harus senantiasa mengharap hanya ridha Allah; harus berusaha untuk selalu tulus dalam membahagiakan keluarganya.



 “Apabila seorang Muslim memberi nafkah
kepada keluarganya karena Allah,
maka pahala nafkahnya sama dengan pahala sedekah.”
(HR. Muslim)




Bagikan blog BEBAS MERDEKA PISAN ini kepada teman-teman Anda dengan meng-klik 'bagikan'/'share'...
Semoga balasan pahala akhirat yang kekal menjadi imbalan yang terbaik buat Anda...

(Alfa Qr)


[1]   Secara kodrati wanita ditakdirkan untuk lebih lembut dan lebih perasa; sementara pria, selain lebih kuat, cenderung lebih kasar dan cepat marah. Namun dalam Islam, masing-masing memiliki peran yang sama pentingnya; yang disesuaikan dengan kelebihan dan kekurangannya. Wanita difitrahkan sebagai pengasuh, sementara pria lebih ditekankan sebagai pemimpin dan pelindung.

Tergantung hati dan amal


Dalam Islam tidak ada penggolongan manusia ningrat atau cacah, berdarah biru atau berdarah merah. 
Yang ada hanyalah manusia bertakwa atau manusia berperangai bejat. 
Ningrat dan cacah hanyalah tingkatan yang diada-adakan manusia di dunia; di surga, si cacah bisa saja lebih mulia dari si ningrat. 


Juga, dalam Islam, tidak ada ras yang lebih hebat dari ras lainnya. 
Semuanya, pada akhirnya, tergantung pribadinya masing-masing. [1]

Zaid bin Sa’nah ra, yang mati syahid pada perang Tabuk, adalah keturunan etnis Yahudi; sementara Muslim bin ‘Uqbah, panglima tentara Yazid bin Muawiyah yang memporakporandakan Madinah, yang melakukan perampokan dan perkosaan terhadap wanita muslim, bukan seorang Yahudi. 
Dari apa yang dilakukannya, bukan mustahil Zaid bin Sa’nah lebih dimuliakan Allah Swt.  

Jadi, dimuliakannya [ruh] seseorang di surga bukan karena ras atau etnisnya, melainkan karena ketakwaannya. [2] 


Dalam sebuah riwayat, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menegur Abu Dzar ra yang mengejek Bilal bin Rabbah ra karena keturunannya (keturunan budak dan berkulit hitam). 
Jadi, amat salah menghina atau memusuhi manusia karena ras atau keturunannya.

Amat salah menghukum suatu etnis karena kebiasaan atau perilaku nenek moyang mereka pada suatu masa yang telah lewat; atau menghukum satu etnis karena perilaku dari sebagian mereka. 

Amat tak jujur menghukumkan sifat bangsa Jerman sekarang dengan membandingkannya sebagai bangsa Jerman di masa Nazi Hitler. 

Amat tak jujur menghukum suatu etnis di Indonesia sebagai lintah darat, hanya karena perilaku sebagian dari mereka; padahal tidak sedikit ulama yang berasal dari etnis tersebut justru lebih soleh dan lebih bersih dalam melaksanakan syareat Islam.


Perlu selalu diingatkan, bahwa kemuliaan seseorang bukan karena keturunan.  
Tidak ada jaminan anak orang soleh akan menjadi anak yang soleh pula. 
Seperti juga tidak semua anak orang jahat akan menjadi orang tercela. 

Begitu pula, kemuliaan seseorang tidak bisa dinilai hanya karena banyaknya orang yang mengantarkannya --saat wafat-- ke kuburan.


Yang jelas, di surga akhirat seorang manusia dimuliakan Allah bukan berdasar etnisnya atau tingkatan kekayaan materi duniawinya.
 “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupamu (asal-usul, suku bangsa) dan hartamu (kekuasaan, jabatan); Tetapi Allah melihat kepada hati dan amalmu.” (HR. Muslim)


(Alfa Qr)


[1]   Camkan, gelar-gelar kehormatan maupun bintang dan medali penghargaan yang dibanggakan di dunia, sama sekali tak ada nilainya di akhirat. Sultan atau raja di dunia, bisa saja hanya jadi seorang pelayan di akhirat.

[2]  Tak semua penghuni surga di akhirat bisa menikmati harumnya surga. Seperti juga di dunia ini, tak semua orang yang tinggal di gedung mewah adalah ‘pemilik’ rumah tersebut; bisa jadi ia hanyalah seorang pelayan.

SEBUAH HARAPAN


Selama ini, kita --umat pilihan-- lebih sering hanya menyibukkan diri dengan masalah-masalah remeh. Bertele-tele untuk hal yang sepele, malah dengan perkara-perkara yang sama sekali tak diperintahkan agama.

Kenyataannya kita lebih pandai membuat masalah daripada menyelesaikan persoalan. 
Lebih suka mengorek-ngorek keburukan, ketimbang mencari yang baiknya. 
Mengabaikan sikap toleransi dan menghargai. 
Lebih mengedepankan sikap mau menang sendiri, ketimbang mengutamakan persatuan umat. 
Membesar-besarkan perbedaan paham yang tidak sepatutnya dijadikan perselisihan. 
Salah kaprah dalam menempatkan sesuatu yang dibolehkan dan yang dilarang, yang hak dan yang wajib. Mengaburkan tuntunan agama; menyuruh orang lain untuk rajin bersedekah, sementara pada kenyataannya kita sendiri menunggu untuk disedekahi.

Dan yang lebih parah, kita suka mempersulit perkara-perkara yang sebenarnya ringan, tapi menganggap enteng perkara-perkara yang jelas dilarang

Memperumit definisi istilah-istilah syareat, dan bukan mencari hakekat yang mudah dipahami orang awam. Menganggap agama seakan-akan hanya milik orang-orang pintar, yang berdampak orang awam jadi menjauh dari tuntunan agama. 
Contohnya, karena ditakut-takuti seakan-akan kesalahan membaca Qur’an merupakan dosa yang tidak terampuni, tidak sedikit orang awam biasa malah menjadi malas membaca Qur’an. 
Padahal tujuan agama adalah untuk kemanfaatan seluruh manusia, yang kebanyakannya adalah orang awam biasa. 
Seharusnya disadari bahwa yang paling penting adalah meresapi dan mengamalkan isi Qur’an tersebut.

Semoga hal-hal di atas menyadarkan kita. Sudah saatnya kita keluar dari keterbenaman kita selama ini di lautan ketidaksadaran; dari perasaan superhebat yang mengharuskan orang lain mesti hebat seperti kita.   
Begitu pula, semoga kita bisa melepaskan diri dari lumpur perselisihan yang tidak ada akhirnya; berjiwa besar untuk saling memaafkan.

Realitanya, kita hanya bisa menilai keburukan orang lain. 
Padahal jika kita berada dalam situasi dan kondisi seperti orang tersebut, bisa jadi kita lebih jahat dari orang itu
Semestinya diingat, kalau kita tidak suka pada keburukan yang dilakukan orang lain, seharusnya kita lebih tidak suka kepada kejelekan yang ada di diri kita sendiri. 
Lagi pula, jika kita tak bisa memaafkan, apa bedanya kita dengan mereka.

Semoga mulai hari ini, kita bukan hanya sekadar mimpi jadi umat ‘pilihan’. 
Bukan sekadar berharap jadi umat yang penuh rahmat, penuh berkah; tapi dalam realitanya penuh musibah.

“Seseorang hendaklah menolong saudaranya yang zalim
maupun yang dizalimi. Jika dia zalim cegahlah dia,
dan jika dia dizalimi bantulah dia.”
(HR. Muslim)

(Alfa Qr)

TIDAK MERUGIKAN


Menolong itu tergantung situasi dan kondisi.  
Dalam keadaan mampu, satu hal yang terpuji bila kita membantu orang lain. 
TAPI ketika diri kita sendiri pun susah, maka menolong diri kita sendiri adalah lebih utama.

Tidak merugikan orang lain, tidaklah tergantung situasi dan kondisi
Dalam keadaan bagaimana pun, kita tidak boleh merugikan orang lain. [1] 

Ketika kita tenggelam, tidaklah wajib kita menolong orang lain yang akan tenggelam juga. 
Kita HARUS menyelamatkan diri kita sendiri lebih dahulu, baru kemudian --jika memungkinkan-- menolong orang tersebut.


Dalam realita, banyak orang sok alim --sok pahlawan-- yang pandai berbicara tentang menolong orang lain, atau mengharuskan berbuat baik kepada orang lain; tapi dalam praktek lebih sering membebani orang lain. 

Realitanya, seseorang biasanya banyak berbicara perihal keharusan menolong, saat ia membutuhkan bantuan orang lain









SETIAP ORANG BERPOTENSI BERBUAT KEBURUKAN

Rasa tersisih, apalagi ketersinggungan, bisa melahirkan sakit hati atau dendam. 
Padahal, bagi kebanyakan orang, sakit hati atau dendam adalah satu hal yang amat SANGAT SULIT untuk dihapus.


Kita, memang, harus belajar menghilangkan rasa sakit hati atau dendam. 
Tapi, yang lebih penting lagi, kita harus belajar untuk TIDAK membuat orang lain terhina dan memendam rasa sakit hati. 

Sebab, sekali seseorang sakit hati kepada kita, maka sebelum dendamnya terlampiaskan, ia AKAN mengejar kita dengan hal-hal buruk yang akan merugikan kita; sakit hati dan dendamnya akan menjadi sumber dari ketidaktenteraman pada diri kita.  


Semestinya dicamkan, kalau kita memberi, orang lain bisa lupa; tapi kalau kita menyakiti, orang lain akan sulit untuk bisa melupakannya.


Realitanya, menghindar dari menganiaya orang lain tanpa alasan yang benar merupakan suatu kewajiban. 
Menurut hadits Nabi Saw, orang yang merugikan orang lain, ada pahala amal solehnya yang akan diberikan kepada orang yang dirugikannya itu
Atau, ada dosa orang yang dianiayanya akan dilimpahkan kepada yang menganiayanya


Lagi pula, menurut sunah Nabi juga, kita harus menghindari berbuat sesuatu yang kita sendiri tidak ingin orang lain melakukannya kepada kita.

Karenanya, sudah sepantasnya kita mulai belajar untuk bisa menempatkan diri kita sebagai sosok orang lain; berpikir bagaimana sekiranya kita berada pada posisi orang lain yang kita rugikan

Belajar memaklumi pemahaman maupun perbuatan seseorang, dengan menilainya lewat sudut pandang SEKIRANYA kita berada pada posisi orang tersebut.











HARUS BERUSAHA UNTUK TIDAK ZALIM

Menyerang musuh dari belakang dalam sebuah pertempuran, atau menyusupkan mata-mata ke daerah musuh,  merupakan bagian dari strategi perang; dan bukan licik. 

Tapi mengingkari perjanjian damai dengan menyerang mendadak, memanfaatkan kelengahan tanpa mengumumkan pembatalan perjanjian damai tersebut, adalah perbuatan licik dalam arti khianat.



Begitu pun jika seorang pedagang menjual barang lebih murah daripada yang dijual orang lain, merupakan taktik dalam meraih pelanggan; dan bukan licik. 

Tapi menjual barang dengan menyembunyikan cacat yang ada di barang tersebut, walau dijual murah, adalah perbuatan licik.



Perbuatan licik, baik dalam peperangan maupun dalam dunia bisnis atau politik, mustahil dilakukan seorang Muslim sejati. 
Sayangnya, dalam realita, sulit rasanya kita mengklaim diri kita sebagai Muslim sejati.


Memang, orang yang tidak zalim BELUM TENTU hidupnya tenang tenteram; tapi orang yang hidupnya tenang tenteram BISA DIPASTIKAN adalah orang yang tidak zalim











HATI-HATI DENGAN ORANG YANG DIANIAYA

Orang yang teraniaya --yang dirugikan tanpa alasan yang kuat, yang dizalimi tanpa sebab yang adil dan jujur-- doanya akan dikabulkan Allah; terlepas dia Muslim atau bukan

Karena itu, JIKA banyak musibah menimpa kita, coba kita merenung; barangkali kita banyak menipu dan mengambil hak orang lain
Dan doa orang-orang yang teraniaya itu, yang mengharapkan keburukan menimpa kita, benar-benar menjadi kenyataan.


Satu hal yang mesti diwaspadai, WALAUPUN orang yang teraniaya itu tidak mengucapkan doa keburukan; TAPI ketika hatinya merasa ‘tidak suka’ dengan apa yang menimpanya, maka ketidaksukaannya itu bukan mustahil menyebabkan Allah membiarkan suatu keburukan menimpa kita.


Oleh sebab itu pula, coba sekali lagi kita renungkan. 
Apakah yang telah atau sedang kita perbuat itu menzalimi orang lain atau tidak

Jika, ya; pantas saja musibah mengelilingi kita




“Seorang Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim.
Dia tak boleh menganiaya saudaranya
dan tidak boleh membiarkan saudaranya (teraniaya).
Siapa yang membantu (mencukupkan) kebutuhan saudaranya, 
maka Allah Ta’ala membantunya pula (mencukupkan) kebutuhannya.
Siapa yang melapangkan kesulitan seorang Muslim, 
maka Allah Ta’ala melapangkan pula kesulitannya di hari kiamat.
Dan siapa menutup kesalahan (rahasia) seorang Muslim,
maka Allah menutupi pula kesalahannya kelak di hari kiamat.”
(HR. Muslim)

(Alfa Qr)


[1]  Ada empat ciri seorang Muslim yang beruntung: Sehat, tidak gila dan tidak sakit; Baik, tidak merugikan orang lain maupun dirinya sendiri; Benar, tidak memihak yang salah dan terhindar dari kesalahan; Dinamis, tidak apatis, tidak malas dan tidak taklid.

Jalan ke arah ketidakbahagiaan



Prasangka jelek (a priori), iri hati (dengki), dan perasaan tidak yakin (pesimis), merupakan sifat kodrati yang dimiliki manusia normal. 
Biasanya, sifat buruk ini lahir sebagai kompensasi dari kekurangan kita. 

Usaha untuk menghilangkan ketiga sifat itu, yang merupakan sumber penyebab ketidakbahagiaan, sudah seharusnya dijadikan prioritas. 

Namun, karena dalam prakteknya tak semudah bicara, hanya sebagian kecil manusia saja yang mungkin bisa menghilangkan sifat-sifat buruk tersebut secara total. 
Artinya, satu hal yang amat sulit bagi kita untuk meyakini bahwa ketiga sifat tersebut sudah tidak ada di dalam diri kita. 






SEBODOH-BODOHNYA ORANG BODOH

Kebahagiaan seseorang tak bisa dinilai oleh orang lain.  

Kesenangan seorang kutu buku tidak bisa diperbandingkan dengan sukacitanya orang yang gemar mendaki gunung. 

Tiap kesenangan memiliki kepuasan yang hanya bisa dirasakan oleh masing-masing orang; malah bahagianya seorang seniman bisa berbeda dengan bahagianya seniman yang lain. 

Karenanya, hanya orang yang teramat bodoh --yang suka usil-- yang suka mencela terhadap apa yang sedang dinikmati orang lain. 
Sementara ia sendiri tidak mampu menikmati apa-apa yang sudah ada dalam genggamannya, tidak mampu menikmati apa-apa yang sudah dimilikinya.


Apa sih untungnya mencela atau meributkan hobi dan kesenangan orang lain? 

Selama tidak diharamkan oleh syareat agama, biarkan orang lain menikmati apa yang disukainya
Jangan karena kita tidak bisa main catur, lantas mencela orang yang hobi catur. 
Jangan karena kita tidak mampu beli mobil, lantas mencela orang yang mengoleksi banyak mobil. 

Paling banter kita cukup mengingatkan; bahwa selain menikmati yang indahnya, jika ada akibat buruk dari apa yang dilakukannya, setiap orang harus siap juga untuk menanggung resikonya.


Faktanya, sikap suka mencela apa yang disukai orang lain, lebih sering muncul karena sifat iri hati yang terpendam dalam hati kita. Dan bukan karena keikhlasan kita untuk melihat orang lain hidup lebih baik. 

Padahal, mesti diingat, orang miskin yang selalu iri bila melihat orang yang kaya, sampai akhir hayatnya akan tetap melarat. 
Orang yang iri hati melihat keberhasilan dan kebahagiaan orang lain, hanya akan membuat dirinya sendiri lebih menderita. 
Ia menjadi sebodoh-bodohnya orang yang bodoh. 

Karenanya, jangan menyalahkan orang lain yang bisa jadi kaya, salahkan diri sendiri kenapa tetap melarat. 
Jangan menyalahkan orang lain yang bisa bahagia, salahkan diri sendiri kenapa tetap menderita.


Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit Muslim yang iri melihat keberhasilan orang lain tapi tetap malas
Padahal kalaupun rasa iri tak terhindarkan untuk hadir dalam kehidupan kita, seharusnya rasa iri ini mendorong kita untuk bekerja keras agar bisa melebihi orang lain. 

Bukan berusaha menjatuhkan orang lain.






TERPERANGKAP KEINGINAN YANG DI LUAR KEMAMPUAN

Satu hal yang wajar, dan sudah seharusnya, jika seorang Muslim memiliki rencana untuk masa depan kehidupannya yang lebih baik. 
Namun hendaknya disadari, tidak semua yang terjadi kemudian bisa atau mesti bersesuaian dengan rancangan atau keinginan kita itu.

Semestinya disadari, kita harus lebih siap untuk gagal, bukan harus siap untuk berhasil; karena menikmati keberhasilan tidak terlalu memerlukan persiapan. 
Jadi, kita harus lebih berharap dalam doa, dan bukan dalam kenyataan. 
Sebab dalam realita kita harus menerima apa pun yang terjadi; termasuk harus siap untuk kalah, harus siap untuk sengsara.

Memang, tidak salah berusaha untuk lebih dari yang sudah ada; tapi kita harus berusaha sesuai kemampuan, bukan sekadar berdasar ambisi.


Pada banyak kenyataan, motto “gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit” hanya akan menambah beban orang yang sedang berusaha; dan bukan jadi pendorong semangat. 
Realitanya, motto serupa itu baru bisa diucapkan --dan hanya layak diucapkan-- oleh orang yang sudah sukses. 
Karenanya, berusahalah untuk membiasakan diri bekerja keras; dan bukan membiasakan diri terhanyut dengan semboyan kosong.

Menginginkan secara berlebihan --dan ternyata tak tercapai-- hanya akan membuat kita berburuk sangka kepada Allah.


Realitanya, banyak Muslim yang rajin berdoa tapi hatinya tetap tidak tenteram, tidak bahagia. 
Mengapa? 
Karena mereka menilai kebahagiaan harus semata-mata berbentuk seperti yang mereka inginkan. 

Padahal, jika tidak waspada, kekayaan duniawi --termasuk jabatan dan kekuasaan-- bisa mencelakakan. 

Ibarat mawar; ia bukan hanya harum, tapi juga berduri.








SEGERA BERCERMIN

Ketika melihat kepada orang yang lebih kaya dari kita, kita merasa kecil dan merasa Tuhan tidak adil. 

Tapi ketika pada saat itu juga Allah menyadarkan kita akan adanya orang yang lebih menderita dari kita, maka kita merasa diri kita amat bersalah karena kita tidak mensyukuri apa yang sudah ada. 

Pada saat serupa itu kita sering terjebak dalam suasana bias, dalam perasaan tidak menentu. 
Tidak tahu yang terbaik harus berbuat apa.

Pada saat serupa itu kadang kita jadi orang munafik yang sok suci. 
Berpura-pura ikhlas padahal hati kita tetap ngedumel. 


Jika sudah begitu, bersegeralah mengambil cermin. 

Pandanglah diri kita yang ada di sana.

Tataplah bibir, hidung dan mata yang indah itu selagi kita masih sempat menikmatinya. 
Sebab, duapuluh atau tigapuluh tahun yang akan datang, ia akan tua dan berkeriput; itupun bila masih diberi umur
Jika tidak, wajah itu akan berupa tengkorak di dalam kuburan yang gelap gulita; yang bau dan dikerubuti belatung.

Bisa jadi, duapuluh atau tigapuluh tahun lagi wajah kita itu tidak memerlukan lipstik, bedak maupun celak mata.
Pertanyaannya, di saat itu, masihkah kita ingin harta duniawi? 







BALASAN DARI KESABARAN ITU PASTI ADIL

Merupakan hal yang wajar, jika seseorang hidupnya menderita dikarenakan malas. 
Namun dalam realita, kadang kita menjumpai orang yang sudah berusaha sekuat mungkin, dengan sejujur dan sehalal mungkin, tetap dalam keadaan serba kekurangan. 
Satu keadaan yang hanya bisa diterima oleh seorang Muslim yang benar-benar sabar dan tawakal.

Yang sering jadi pertanyaan, kapan penderitaan itu akan berakhir?  

Kenapa semakin berusaha sabar, kecemasan itu semakin kerap mengintai? 
Apakah ujian keimanan itu harus bertubi-tubi? 
Dimana batasannya ujian keimanan itu? 
Kalau sampai jadi tidak beriman, apa orang tersebut  patut disalahkan begitu saja? 
Apa sama nilai hukumannya orang yang jadi tidak beriman karena dua-tiga cobaan, dengan orang yang jadi tidak beriman karena enam-tujuh kali cobaan yang menimpanya? 

Mahasuci Allah, orang yang tetap beriman maupun orang yang jadi tidak beriman --sebanyak apapun cobaannya-- akan mendapat balasan yang pasti amat sangat adil.


Semestinya diingat, sifat sabar bukan hanya mendatangkan ketenteraman, tapi juga melahirkan sikap tak mudah panik bila secara mendadak menghadapi perkara yang sulit. 
Padahal, dalam keadaan ruwet, memiliki sikap tetap tenang merupakan keharusan. 
Sebab ketenangan memungkinkan untuk menemukan jalan keluar yang lebih baik, yang lebih selamat dan lebih cepat.  

Sayangnya, sikap sabar atau sikap mampu menahan emosi, seperti juga sikap memberi maaf, hanya mudah dalam teori.


Yang jelas, penderitaan yang hadir tidak semuanya merupakan ujian atau cobaan. 
Musibah yang datang bisa saja merupakan tebusan dari keburukan yang kita lakukan terhadap orang lain di masa lampau. 












SEMUANYA HANYA SEKADAR TITIPAN

 “(yaitu) orang-orang yang ketika ditimpa musibah, mereka berkata Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un  (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepadaNya kita kembali)”  (Quran, Al Baqarah [2]:156)

Kehilangan sesuatu memang bisa membuahkan penderitaan; tapi merasa sakit karena kehilangan, hanya akan menambah penderitaan tersebut. 

Karenanya, jangan terlalu memikirkan (terikat) dengan kehilangan yang sudah terjadi. 
Sebab orang yang terjerat dengan penderitaan adalah orang yang terlalu memikirkan penderitaan itu sendiri.


Harap dicatat, perasaan sedih yang muncul ketika kehilangan sesuatu dikarenakan orang tersebut menganggap yang hilang itu kepunyaannya; padahal semua yang ada pada kita hanyalah titipan. 

Karenanya, jika mobil kita hilang atau gigi kita tanggal, kita tidak patut tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut; sebab gigi kita ini pun sekadar titipan.


Dari sebab itu, sekali lagi, jangan melipatgandakan penderitaan dengan memikirkan terlalu dalam sebuah kehilangan. 
Hidup ini harus di-jalani --jika bisa dinikmati-- bukan diratapi. 

Setiap musibah itu harus jadi bahan introspeksi, dan bukan lahan untuk ditangisi.








KADANG BARU SADAR JIKA SUDAH DITIMPA MUSIBAH

Tidak semua penderitaan harus ditangisi; ada kalanya penderitaan menjadi kunci yang membukakan jalan ke arah kebaikan. 

Dengan sakit kita menjadi ingat; sebaliknya kesehatan kadang melalaikan kita untuk sadar, lupa bahwa kita akan mati. 

Jika tidak waspada, kesenangan duniawi tak ubahnya racun bagi ruhani kita. 
Sebaliknya, penyakit jasmani justru bisa menjadi obat bagi penyakit batin yang mengendap di diri kita.


Realitanya, kecemasan bisa hadir disebabkan bencana alam, lingkungan yang tidak aman, masa depan yang tidak pasti, ataupun penyakit, baik itu berupa penyakit fisik maupun psikis (seperti banyak pikiran). 
Yang jelas, apapun jenis penyakitnya, yang namanya penyakit sering membuat kita mengeluh. 
Terlebih jika penyakitnya sulit disembuhkan dan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat.

Di saat serupa itu, kita baru menyadari betapa berharganya sebuah kesehatan. 
Sayangnya, ketika sehat kita jarang mensyukurinya, jarang kita berterimakasih kepada Allah

Di saat sehat, selain tidak mensyukuri, kita menyianyiakannya dengan banyak berbuat keburukan.  
Di saat sehat kita bergembira ria melampaui batas. 
Di saat sehat kita mabuk-mabukan. 

Di saat sehat kita tak punya kepekaan sosial, tak punya tenggang rasa.  
Kita berjoget ria secara berlebihan, lupa kepada orang yang sedang menderita. 
Lupa kepada orang lain yang sedang kena musibah.

Di saat sakit kita mengeluh dan menuduh Tuhan tidak adil. 
Ketika sakit, kita menjerit. 
Padahal seharusnya mengucapkan alhamdulillah, sebab Allah masih memberi kebaikan kepada kita dengan menebus kesalahan kita dengan penyakit di dunia

Betapa malangnya kita, bila kita harus menebus keburukan itu dengan azab pedih di neraka; na ‘udzubillah.









KETIDAKBAHAGIAAN DIALAMI SEMUA ORANG

Kadang kita menipu diri sendiri; mengatakan bahagia --atau mengaku bahagia-- padahal sebenarnya tidak.  

Artinya, ada ketidakbahagiaan yang sulit untuk kita hindarkan; atau malah tak bisa kita hindarkan.


Allah itu Mahaadil; tak seorang pun terluput dari ketidakbahagiaan. 

Betapa pun kita sudah berserah diri kepadaNya, ada ketidakbahagiaan yang tak bisa kita hapuskan; yaitu perasaan tidak bahagia ketika melihat orang lain tidak bahagia. 

Dan kita sering tak bisa --tidak mau-- menerima realita seperti ini; apalagi jika orang yang tidak berbahagia itu adalah orang yang kita kenal atau dekat dengan kita. 

Kesalahan kita, dalam hal serupa itu, karena kita menuntut agar semua orang harus berbahagia.

Pertanyaannya, supaya kita terluput dari ketidakbahagiaan serupa ini, apakah kita harus tidak peduli dengan ketidakbahagiaan orang lain?

Rasanya, itulah satu-satunya ketidakbahagiaan yang kita tidak bisa menghindarinya.




“Ada dua anugerah yang disia-siakan manusia:
kesehatan dan waktu luang.”
(HR. Bukhari)


(Alfa Qr)