Prasangka jelek (a priori), iri hati
(dengki), dan perasaan tidak yakin (pesimis), merupakan sifat kodrati yang
dimiliki manusia normal.
Biasanya, sifat buruk ini lahir sebagai kompensasi
dari kekurangan kita.
Usaha untuk
menghilangkan ketiga sifat itu, yang merupakan sumber penyebab
ketidakbahagiaan, sudah seharusnya dijadikan prioritas.
Namun, karena dalam
prakteknya tak semudah bicara, hanya sebagian kecil manusia saja yang mungkin
bisa menghilangkan sifat-sifat buruk tersebut secara total.
Artinya, satu hal
yang amat sulit bagi kita untuk meyakini bahwa ketiga sifat tersebut sudah
tidak ada di dalam diri kita.
SEBODOH-BODOHNYA ORANG BODOH
Kebahagiaan seseorang tak bisa dinilai oleh orang lain.
Kesenangan seorang kutu buku tidak bisa
diperbandingkan dengan sukacitanya orang yang gemar mendaki gunung.
Tiap
kesenangan memiliki kepuasan yang hanya bisa dirasakan oleh masing-masing
orang; malah bahagianya seorang seniman bisa berbeda dengan bahagianya seniman
yang lain.
Karenanya, hanya orang yang teramat bodoh --yang suka usil-- yang
suka mencela terhadap apa yang sedang dinikmati orang lain.
Sementara ia
sendiri tidak mampu menikmati apa-apa yang sudah ada dalam genggamannya, tidak
mampu menikmati apa-apa yang sudah dimilikinya.
Apa sih untungnya mencela atau meributkan
hobi dan kesenangan orang lain?
Selama tidak diharamkan oleh syareat agama,
biarkan orang lain menikmati apa yang disukainya.
Jangan karena kita tidak bisa
main catur, lantas mencela orang yang hobi catur.
Jangan karena kita tidak
mampu beli mobil, lantas mencela orang yang mengoleksi banyak mobil.
Paling
banter kita cukup mengingatkan; bahwa selain menikmati yang indahnya, jika ada
akibat buruk dari apa yang dilakukannya, setiap orang harus siap juga untuk
menanggung resikonya.
Faktanya, sikap suka
mencela apa yang disukai orang lain, lebih sering muncul karena sifat iri hati
yang terpendam dalam hati kita. Dan bukan karena keikhlasan kita untuk melihat orang lain hidup lebih baik.
Padahal, mesti diingat, orang miskin yang selalu iri bila melihat orang yang
kaya, sampai akhir hayatnya akan tetap melarat.
Orang yang iri hati melihat
keberhasilan dan kebahagiaan orang lain, hanya akan membuat dirinya sendiri
lebih menderita.
Ia menjadi sebodoh-bodohnya orang yang bodoh.
Karenanya,
jangan menyalahkan orang lain yang bisa jadi kaya, salahkan diri sendiri kenapa
tetap melarat.
Jangan menyalahkan orang lain yang bisa bahagia, salahkan diri
sendiri kenapa tetap menderita.
Dalam kehidupan
sehari-hari, tidak sedikit Muslim yang iri melihat keberhasilan orang lain tapi
tetap malas.
Padahal kalaupun rasa iri tak terhindarkan untuk hadir dalam
kehidupan kita, seharusnya rasa iri ini mendorong kita untuk bekerja keras agar
bisa melebihi orang lain.
Bukan berusaha menjatuhkan orang lain.
TERPERANGKAP KEINGINAN YANG DI LUAR KEMAMPUAN
Satu hal yang wajar, dan sudah seharusnya, jika seorang Muslim memiliki
rencana untuk masa depan kehidupannya yang lebih baik.
Namun hendaknya disadari,
tidak semua yang terjadi kemudian bisa atau mesti bersesuaian dengan rancangan
atau keinginan kita itu.
Semestinya disadari,
kita harus lebih siap untuk gagal, bukan harus siap untuk berhasil; karena
menikmati keberhasilan tidak terlalu memerlukan persiapan.
Jadi, kita harus
lebih berharap dalam doa, dan bukan dalam kenyataan.
Sebab dalam realita kita
harus menerima apa pun yang terjadi; termasuk harus siap untuk kalah, harus
siap untuk sengsara.
Memang, tidak salah
berusaha untuk lebih dari yang sudah ada; tapi kita harus berusaha sesuai
kemampuan, bukan sekadar berdasar ambisi.
Pada banyak kenyataan,
motto “gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit” hanya akan menambah
beban orang yang sedang berusaha; dan bukan jadi pendorong semangat.
Realitanya,
motto serupa itu baru bisa diucapkan --dan hanya layak diucapkan-- oleh orang
yang sudah sukses.
Karenanya, berusahalah untuk membiasakan diri bekerja keras;
dan bukan membiasakan diri terhanyut
dengan semboyan kosong.
Menginginkan secara
berlebihan --dan ternyata tak tercapai-- hanya akan membuat kita berburuk
sangka kepada Allah.
Realitanya, banyak Muslim
yang rajin berdoa tapi hatinya tetap tidak
tenteram, tidak bahagia.
Mengapa?
Karena mereka menilai kebahagiaan harus
semata-mata berbentuk seperti yang mereka inginkan.
Padahal, jika tidak
waspada, kekayaan duniawi --termasuk jabatan dan kekuasaan-- bisa mencelakakan.
Ibarat mawar; ia bukan hanya harum, tapi juga berduri.
SEGERA BERCERMIN
Ketika melihat kepada orang yang lebih kaya dari kita, kita merasa kecil dan
merasa Tuhan tidak adil.
Tapi ketika pada saat itu juga Allah menyadarkan kita
akan adanya orang yang lebih menderita dari kita, maka kita merasa diri kita
amat bersalah karena kita tidak mensyukuri apa yang sudah ada.
Pada saat serupa
itu kita sering terjebak dalam suasana bias, dalam perasaan tidak menentu.
Tidak tahu yang terbaik harus berbuat apa.
Pada saat serupa itu
kadang kita jadi orang munafik yang sok
suci.
Berpura-pura ikhlas padahal hati kita tetap ngedumel.
Jika sudah begitu,
bersegeralah mengambil cermin.
Pandanglah diri kita yang ada di sana.
Tataplah bibir,
hidung dan mata yang indah itu selagi kita masih sempat menikmatinya.
Sebab,
duapuluh atau tigapuluh tahun yang akan datang, ia akan tua dan berkeriput;
itupun bila masih diberi umur.
Jika tidak, wajah itu akan berupa tengkorak di
dalam kuburan yang gelap gulita; yang bau dan dikerubuti belatung.
Bisa jadi, duapuluh
atau tigapuluh tahun lagi wajah kita itu tidak memerlukan lipstik, bedak maupun
celak mata.
Pertanyaannya, di
saat itu, masihkah kita ingin harta duniawi?
BALASAN DARI KESABARAN ITU PASTI ADIL
Merupakan hal yang wajar, jika seseorang hidupnya menderita dikarenakan
malas.
Namun dalam realita, kadang kita menjumpai orang yang sudah berusaha
sekuat mungkin, dengan sejujur dan sehalal mungkin, tetap dalam keadaan serba
kekurangan.
Satu keadaan yang hanya bisa diterima oleh seorang Muslim yang
benar-benar sabar dan tawakal.
Yang sering jadi
pertanyaan, kapan penderitaan itu akan berakhir?
Kenapa semakin berusaha sabar, kecemasan itu
semakin kerap mengintai?
Apakah ujian keimanan itu harus bertubi-tubi?
Dimana
batasannya ujian keimanan itu?
Kalau sampai jadi tidak beriman, apa orang
tersebut patut disalahkan begitu saja?
Apa sama nilai hukumannya orang yang jadi tidak beriman karena dua-tiga cobaan,
dengan orang yang jadi tidak beriman karena enam-tujuh kali cobaan yang
menimpanya?
Mahasuci Allah, orang yang tetap beriman maupun orang yang jadi
tidak beriman --sebanyak apapun cobaannya-- akan mendapat balasan yang pasti
amat sangat adil.
Semestinya diingat,
sifat sabar bukan hanya mendatangkan ketenteraman, tapi juga melahirkan sikap
tak mudah panik bila secara mendadak menghadapi perkara yang sulit.
Padahal,
dalam keadaan ruwet, memiliki sikap tetap tenang merupakan keharusan.
Sebab
ketenangan memungkinkan untuk menemukan jalan keluar yang lebih baik, yang
lebih selamat dan lebih cepat.
Sayangnya, sikap sabar atau sikap mampu menahan emosi, seperti juga sikap
memberi maaf, hanya mudah dalam teori.
Yang jelas,
penderitaan yang hadir tidak semuanya merupakan ujian atau cobaan.
Musibah yang
datang bisa saja merupakan tebusan dari keburukan yang kita lakukan terhadap
orang lain di masa lampau.
SEMUANYA HANYA SEKADAR TITIPAN
“(yaitu)
orang-orang yang ketika ditimpa musibah, mereka berkata Inna lillahi wa inna
ilaihi roji’un (Sesungguhnya kita adalah
milik Allah dan kepadaNya kita kembali)”
(Quran, Al Baqarah [2]:156)
Kehilangan sesuatu memang bisa membuahkan
penderitaan; tapi merasa sakit karena kehilangan, hanya akan menambah
penderitaan tersebut.
Karenanya, jangan terlalu memikirkan (terikat) dengan
kehilangan yang sudah terjadi.
Sebab orang yang terjerat dengan penderitaan
adalah orang yang terlalu memikirkan penderitaan itu sendiri.
Harap dicatat,
perasaan sedih yang muncul ketika kehilangan sesuatu dikarenakan orang
tersebut menganggap yang hilang itu kepunyaannya; padahal semua yang ada pada
kita hanyalah titipan.
Karenanya, jika mobil kita hilang atau gigi kita
tanggal, kita tidak patut tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut; sebab
gigi kita ini pun sekadar titipan.
Dari sebab itu,
sekali lagi, jangan melipatgandakan penderitaan dengan memikirkan terlalu dalam
sebuah kehilangan.
Hidup ini harus di-jalani --jika bisa dinikmati-- bukan
diratapi.
Setiap musibah itu harus jadi bahan introspeksi, dan bukan lahan
untuk ditangisi.
KADANG BARU SADAR JIKA SUDAH DITIMPA MUSIBAH
Tidak semua penderitaan harus ditangisi; ada kalanya penderitaan menjadi
kunci yang membukakan jalan ke arah kebaikan.
Dengan sakit kita menjadi ingat;
sebaliknya kesehatan kadang melalaikan kita untuk sadar, lupa bahwa kita akan
mati.
Jika tidak waspada, kesenangan duniawi tak ubahnya racun bagi ruhani
kita.
Sebaliknya, penyakit jasmani justru bisa menjadi obat bagi penyakit batin
yang mengendap di diri kita.
Realitanya,
kecemasan bisa hadir disebabkan bencana alam, lingkungan yang tidak aman, masa
depan yang tidak pasti, ataupun penyakit, baik itu berupa penyakit fisik maupun
psikis (seperti banyak pikiran).
Yang jelas, apapun jenis penyakitnya, yang
namanya penyakit sering membuat kita mengeluh.
Terlebih jika penyakitnya sulit
disembuhkan dan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat.
Di saat serupa itu,
kita baru menyadari betapa berharganya sebuah kesehatan.
Sayangnya, ketika
sehat kita jarang mensyukurinya, jarang kita berterimakasih kepada Allah.
Di
saat sehat, selain tidak mensyukuri, kita menyianyiakannya dengan banyak
berbuat keburukan.
Di saat
sehat kita bergembira ria melampaui batas.
Di saat sehat kita mabuk-mabukan.
Di
saat sehat kita tak punya kepekaan sosial, tak punya tenggang rasa.
Kita berjoget ria secara berlebihan, lupa
kepada orang yang sedang menderita.
Lupa kepada orang lain yang sedang kena
musibah.
Di saat sakit kita
mengeluh dan menuduh Tuhan tidak adil.
Ketika sakit, kita menjerit.
Padahal
seharusnya mengucapkan alhamdulillah,
sebab Allah masih memberi kebaikan kepada kita dengan menebus kesalahan kita dengan penyakit di dunia.
Betapa malangnya
kita, bila kita harus menebus keburukan itu dengan azab pedih di neraka; na ‘udzubillah.
KETIDAKBAHAGIAAN DIALAMI SEMUA ORANG
Kadang kita menipu diri sendiri; mengatakan bahagia --atau mengaku
bahagia-- padahal sebenarnya tidak.
Artinya, ada ketidakbahagiaan yang sulit untuk kita hindarkan; atau malah
tak bisa kita hindarkan.
Allah itu Mahaadil;
tak seorang pun terluput dari ketidakbahagiaan.
Betapa pun kita sudah berserah
diri kepadaNya, ada ketidakbahagiaan yang tak bisa kita hapuskan; yaitu
perasaan tidak bahagia ketika melihat orang lain tidak bahagia.
Dan kita sering
tak bisa --tidak mau-- menerima realita seperti ini; apalagi jika orang yang
tidak berbahagia itu adalah orang yang kita kenal atau dekat dengan kita.
Kesalahan kita, dalam hal serupa itu, karena kita menuntut agar semua orang
harus berbahagia.
Pertanyaannya,
supaya kita terluput dari ketidakbahagiaan serupa ini, apakah kita harus tidak
peduli dengan ketidakbahagiaan orang lain?
Rasanya, itulah
satu-satunya ketidakbahagiaan yang kita tidak bisa menghindarinya.
“Ada
dua anugerah yang disia-siakan
manusia:
kesehatan
dan waktu luang.”
(HR. Bukhari)
(Alfa Qr)