BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Rabu, 22 Februari 2012

Jangan emosional

Untuk mengetahui akan kebenaran suatu agama, dan memahaminya dengan benar, bukanlah hal mudah tapi juga bukan hal mustahil.

Tidak mudah, karena memerlukan kemauan untuk membandingkan ajaran tiap-tiap agama. 
Sebab tanpa membandingkan, bagaimana mungkin kita bisa membedakan yang benar dan yang tidak benar.

Tidak mustahil, karena kita manusia normal yang dibekali akal (logika dan nurani) adalah makhluk yang bisa menjaring dan menyaring. 
Yang bisa membedakan mana dongeng, mitos, legenda, takhayul buatan manusia, dan mana ajaran agama yang benar yang berasal dari Allah.


Hanya saja, dalam mencari kebenaran, hendaknya kita menjauhi perdebatan atau emosi; dan lebih mengutamakan dialog serta perenungan
Dalam hal ini, sandaran kita adalah kejujuran hati; bukan emosi. 
Sebab jika hanya mengandalkan emosi atau sekadar mengutamakan ego, akan sulit untuk menemukan kebenaran yang sebenarnya.


Realitanya, hanya pakar ilmu jiwa yang bisa menjelaskan secara mendetil apa yang dimaksud dengan ‘emosi’
Namun bagi kita yang awam, emosi bisa diartikan sebagai dorongan kepada perilaku buruk yang lepas dari kontrol logika atau nurani. 

Emosi merupakan sikap meremehkan nalar; mengabaikan pengalaman maupun pelajaran yang pernah didapat.
Dengan kata lain, ‘emosi’ adalah tindakan negatip yang cenderung memubazirkan nurani atau logika. 


Kadang emosi hanya mengikuti logika tapi mengabaikan nurani; kadang emosi hanya menuruti perasaan tapi mengenyampingkan pemikiran yang sehat. 
Yang paling buruk, ketika yang namanya emosi mengabaikan keduanya, mengabaikan nurani dan logika.

Yang jelas, emosi dan ego merupakan dua kata yang berkerabat.





MENELITI KITAB SUCINYA

Meneliti sejarah, proses kelahiran sampai dibukukannya kitab-kitab suci yang ada saat ini, merupakan satu hal yang mutlak diperlukan. 

Hendaknya diingat, kalau sekadar menyandarkan kepada ajarannya yang baik, maka semua agama mengajarkan kebaikan kepada kita.

Yang pasti, sebuah kitab suci tidak bisa disamakan dengan buku dongeng semisal legenda, mitologi, atau sekadar karya sastra. 

Karenanya, cari dan kaji buku-buku dialog agama karya para pakar. 

Jawaban jujur dari para pakar yang menyelidiki keaslian kitab-kitab suci tersebut, pasti akan menunjukkan jalan kepada kita untuk mengetahui agama yang benar.
Sebaliknya, jika jawaban itu tidak jujur dan menyembunyikan niat atau maksud tertentu, tidak terbayangkan kerugiannya bagi kita.

Pantas direnungkan: Jika sebuah kitab suci yang tidak ada perubahan --sejak diturunkan hingga sekarang-- tak boleh diikuti; maka kitab suci yang sering diubah isinya oleh manusia, apa lebih pantas untuk diimani?   

Renungkan untuk diri kita sendiri, tidak usah diperdebatkan. 





HAL-HAL YANG MUSTAHIL

Sebuah kitab suci sudah seharusnya terjaga isinya sejak diturunkan sampai sekarang; semestinya tidak boleh ada perubahan
Untuk itu, sebaiknya kita renungkan dalam-dalam pendapat para pakar yang menyelidiki keaslian kitab suci, baik di Barat maupun di Timur.

Menurut para pakar, ajaran dalam kitab suci yang benar semestinya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari pada diri kita (orang awam kebanyakan). 
Dan bukan hanya bisa diterapkan pada orang tertentu atau khusus; seperti penganut tasawuf, pendeta, rahib, atau ulama. 

Sebab, ajaran dalam kitab suci yang benar mustahil mewajibkan sesuatu yang tidak dapat kita laksanakan dalam praktek nyata di dunia; mustahil Tuhan memerintahkan sesuatu yang tak sesuai dengan kodrat dan kemampuan kita.

Ajaran dalam kitab suci yang benar mustahil bertentangan dengan ilmu pengetahuan atau teknologi; sebab berlakunya hukum ilmu pengetahuan dan teknologi pasti berdasar kehendak Tuhan. 

Ajaran dalam kitab suci yang benar mustahil menceritakan suatu peristiwa yang sama, tapi keterangannya ternyata sangat berlainan.


Begitu pun, isi sebuah kitab suci mustahil berubah-rubah hanya karena beda waktu, beda tempat, atau beda sekte. 
Karenanya, penilaian yang amat berlebihan, jika kitab suci yang sering direvisi isinya, dikatakan asli; sementara kitab suci yang terjaga isinya (yang tidak ada perubahan isinya sejak diturunkan) disebut palsu.

Renungkan, bagaimana kita yakin agama yang kita anut sekarang adalah agama yang benar, atau memahaminya dengan benar, padahal kita tak pernah mengkaji ulang atau memeriksanya? 

Renungkan dengan hati yang tenang dan pemikiran yang mendalam, bukan dengan emosional; karena kita perlu menjawab dan mempertanggungjawabkannya bila nanti ditanyakan kepada kita di akhirat.

Semoga Allah, yang sebenar-benarnya Tuhan, mengampuni kita. 
Membukakan jalan kepada kita untuk mendapatkan agama yang benar, dan memahaminya serta melaksanakannya secara benar.




RESIKO JIKA MENGAJARKAN PEMAHAMAN YANG TIDAK BENAR

Jika seseorang menjerumuskan kita ke neraka, karena mengajarkan agama ataupun pemahamannya yang tidak benar, maka yang menjerumuskan kita akan terjerembab ke neraka yang jauh lebih dalam.

Dengan kata lain, jika kita menjerumuskan orang lain ke neraka, karena mengajarkan agama yang salah atau pemahamannya yang tidak benar, berarti kita akan menenggelamkan diri kita ke neraka yang lebih dalam.

Mesti dicamkan, ketika ego di atas segala-galanya, keburukan kadang tersamarkan oleh sesuatu yang dikira perbuatan baik. 

Realitanya, dengan kamuflase agama, kita bisa menipu orang lain, bisa mendustai umat hanya demi ketenaran dan materi duniawi. 

Tapi ingat, kita tidak bisa membohongi Allah.




BAGIKAN/SHARE tulisan ini kepada teman-teman Anda yang lain.
SEMOGA BERKAH dan RIDHA ALLAH SWT terlimpah ruahkan kepada Anda sekeluarga.

(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: