Melaksanakan ritus ibadat itu penting.
Tapi pelaksanaan ritus ibadat tanpa implementasi dengan perbuatan baik dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sama saja dengan menabur benih tanpa merawatnya.
Tapi pelaksanaan ritus ibadat tanpa implementasi dengan perbuatan baik dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sama saja dengan menabur benih tanpa merawatnya.
Dalam sebuah hadis
diceritakan tentang seorang perempuan yang rajin mendirikan salat dan saum,
tapi diceritakan pula bahwa si perempuan itu adalah calon penghuni neraka
karena kebiasaannya berbuat keburukan kepada orang lain.
Di sini jelas, perilaku kebajikan dalam bermasyarakat yang tidak merugikan orang lain, jauh lebih penting daripada sekadar sok hebat dalam melaksanakan ritus ibadat.
Di sini jelas, perilaku kebajikan dalam bermasyarakat yang tidak merugikan orang lain, jauh lebih penting daripada sekadar sok hebat dalam melaksanakan ritus ibadat.
Dengan kata lain,
menampilkan nilai-nilai Islam yang santun jauh lebih penting ketimbang sekadar
penonjolan atribut keislaman; apalagi jika atribut yang ditonjolkan itu
diletakkan tidak pada tempatnya.
Pelaksanaan ritus
ibadat sudah seharusnya mengingatkan seorang Muslim untuk menjadi orang baik
dan bukan menjadi takabur.
Mengarahkan seorang Muslim untuk menjadi orang yang bermanfaat dan bukan menjadi orang yang merugikan orang lain.
Melaksanakan ritus ibadat bukan untuk menjadi sombong merasa lebih hebat dari orang lain.
Mengarahkan seorang Muslim untuk menjadi orang yang bermanfaat dan bukan menjadi orang yang merugikan orang lain.
Melaksanakan ritus ibadat bukan untuk menjadi sombong merasa lebih hebat dari orang lain.
MELETAKKAN SESUATU SESUAI DALILNYA
Shalat wajib lima kali sehari adalah ritus ibadat yang wajib.
Orang yang mendirikannya --baik yang pelan-pelan dengan bacaan yang lembut, maupun yang ‘gerakcepat’ karena tergesa-gesa-- dinilai benar; yang tidak mendirikannya dinilai salah.
Bila dibandingkan dengan yang pelan, salat yang ‘gerakcepat’ umumnya dinilai lebih buruk.
Tapi, daripada yang tidak mendirikannya, yang ‘gerakcepat’ dinilai lebih baik.
Jadi, benar atau salah bersifat pasti; sementara baik atau buruk bisa saja jadi relatif.
Dalam ritus ibadat
salat, adakalanya kita melihat beberapa perbedaan kecil pada pelaksanaannya.
Perbedaan tersebut, selama masing-masing ada dalilnya, merupakan hikmah kemudahan.
Perbedaan tersebut, selama masing-masing ada dalilnya, merupakan hikmah kemudahan.
Contohnya, menggerakkan dan tidak menggerakkan telunjuk saat tasyahud; atau cara menaruh tangan, di atas pusar atau di bawah pusar, ataupun melepas tangan sama sekali.
Semuanya benar jika ada hadis Nabi Saw yang meriwayatkannya.
Sesuatunya menjadi tidak benar, walau dianggap baik, jika tidak ada keterangan bahwa Nabi mengerjakannya.
Membaca Al Fatihah,
sekali ataupun enam kali, adalah baik.
Tapi membaca Al Fatihah saat ruku dalam solat, tidak terdapat dalilnya.
Membaca Al Fatihah saat ruku adalah perbuatan salah; sebab ruku merupakan bagian dari ritus ibadat --yaitu solat-- yang sudah ditentukan tata tertibnya.
Tapi membaca Al Fatihah saat ruku dalam solat, tidak terdapat dalilnya.
Membaca Al Fatihah saat ruku adalah perbuatan salah; sebab ruku merupakan bagian dari ritus ibadat --yaitu solat-- yang sudah ditentukan tata tertibnya.
Tapi tidak salah, malah baik, membaca Al Fatihah di pengajian, atau ketika duduk, ataupun ketika berbaring di mana saja selama tempatnya layak.
Sebab membaca Al Fatihah di sini tidak berkaitan dengan ritus ibadat, tapi sekadar amal ibadah.
LEBIH BAIK TIDAK DIKERJAKAN JIKA RAGU
Hendaknya menjadi pegangan bagi kita, Muslim awam biasa, untuk tidak
menambah cara atau bacaan tertentu dalam ritus ibadat, seperti solat, walau
dianggap baik menurut akal kita.
Dan tidak mengurangi bagian dari ritus ibadat yang sudah disepakati (ijma) para ulama terdahulu seperti yang sudah biasa kita kenal, jika kita belum menemukan dalil yang memalingkannya, yang lebih meyakinkan kita akan kebenarannya.
Yang
terbaik, jika ragu, adalah tidak melakukan sesuatu yang masih sering
diperselisihkan.
Lain halnya kalau yakin.
Lain halnya kalau yakin.
Contohnya, memakai biji tasbih dalam berzikir adalah dibolehkan, sebab hanya sekadar alat bantu untuk memudahkan menghitung; begitu pun memakai sajadah jika sekadar menjaga kebersihan di saat salat.
Lain halnya kalau tasbih atau sajadah itu untuk pamer, atau dianggap sebagai bagian dari ritus ibadat.
Mesti selalu
diingat, dalam perkara ritus ibadat, maka kita harus mempertautkannya dengan
ketentuan syareat.
Dengan sendirinya kita menilai sesuatu itu benar atau salah harus berdasar dalil.
Dengan sendirinya kita menilai sesuatu itu benar atau salah harus berdasar dalil.
Catatan:
- Syareat adalah komponen zahir, ikhlas adalah komponen batin. Dalam setiap pelaksanaan ibadah seorang Muslim, kedua komponen tersebut saling berkaitan, saling menunjang.
- Syareat Islam sebenarnya tidak memberatkan umat. Artinya, sesuatu yang fardhu memang harus dilaksanakan, namun saat mengerjakannya orang merasa enak, merasa nyaman, merasa tidak terbebani. Dan itulah sebenarnya ajaran Islam.
- Jangan mendahulukan perkara yang diragukan. Jika masih ada --dan ternyata masih banyak-- perkara sunah yang lebih meyakinkan untuk dikerjakan atau dicari pahalanya, lakukan saja itu dahulu.
Peringatan dari Rasulullah Saw.:
“Jika
seseorang mengatakan sesuatu yang
tidak pernah aku katakan dengan menisbatkannya kepadaku,
maka
niscaya ia dimasukkan ke dalam api neraka.”
(HR. Bukhari)
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar