BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Sabtu, 25 Februari 2012

JIHAD


Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Qur’an, Yunus [10]:99)

Ayat Allah di atas mengingatkan kita: Tidak boleh ada kebencian seorang Muslim kepada seseorang yang tidak mau memeluk Islam. 
Sebab perkara ketidakberimanan seseorang kepada Allah adalah urusan orang itu sendiri yang akan   --dan harus serta pasti--   dipertanggungjawabkannya kepada Allah SWT
Bukan dengan kita dan bukan urusan kita.


Kita memang wajib berusaha mengajak atau menyampaikan, namun tidak dituntut untuk berhasil. 

Sebab seseorang harus menjadi Muslim --yang taat, yang baik dan yang benar-- terutama karena sebenar-benarnya kesadaran orang tersebut. 
Bukan karena bujukan, apalagi tipuan atau paksaan.


Jihad, dalam pengertian ‘perjuangan’ untuk tetap menegakkan risalah agama, adalah kewajiban bagi setiap Muslim. 
Namun sistem atau cara pelaksanaan tidaklah terikat, artinya bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 

Hanya saja, selain kemampuan, tujuan yang jelas dan landasan kebenaran, tidak boleh diabaikan. 

Jihad bukan berarti ngamuk dan ngawur.


Dalam realita, ada orang yang merasa berjuang memuliakan agama, tapi tanpa sadar mengenyampingkan nilai-nilai luhur ajaran agama itu sendiri. 

Perjuangannya lebih diwarnai dendam dan kebencian kepada orang lain yang tidak sama pemahaman agamanya. 
Lebih buruk lagi, jika perjuangannya itu lebih diakibatkan karena perbedaan kultur, ras atau etnis; lebih disebabkan karena irihati melihat kelebihan umat agama lain.


Karenanya, janganlah mengambil ayat yang berkaitan dengan jihad sepotong-sepotong. 
Semestinya setiap ayat dihubungkan dengan ayat lainnya, dan terutama dengan kenyataan praktek yang dilaksanakan Nabi

Contohnya ayat yang mengharuskan membunuh orang-orang musyrikin; jika diambil sepotong, berarti setiap musyrikin harus dibunuh. 
Padahal maksud dibunuh di sini adalah di saat perang. [1]


Semestinya selalu diingat, orang yang akal pikirannya waras akan lebih tertarik untuk mengikuti orang yang membagi-bagikan roti atau keju, ketimbang mengikuti orang yang membawa-bawa golok atau clurit. 







JIHAD BUKAN BERARTI HARUS MEMBUNUH MANUSIA

Memang jihad paling utama, atau jihad kabir, adalah jihad menegakkan tuntunan Allah kepada semua manusia; tapi makna jihad bukan semata-mata harus berperang. 

Realitanya, ayat-ayat jihad sudah ada dalam Al Quran yang diturunkan di Makkah; namun, walau umat Islam pada saat itu ditindas dan diperlakukan dengan kejam, Nabi tidak memerintahkan untuk berperang pada saat itu. 
Jadi, arti jihad yang sebenarnya adalah keteguhan dalam berjuang. 
Dan bukan kekerasan; bukan peperangan.

Karenanya, selain harus bisa membedakan mana yang mesti diprioritaskan dan mana yang tidak, kita harus bisa meletakkan segala sesuatu itu pada tempatnya, serta yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. 

Artinya, kita baru pantas berjihad menggunakan pedang ketika Islam hendak dihancurkan dengan pedang pula.   
Lagi pula, perlu diingat, kebanyakan ayat yang memerintahkan berperang memakai kata qital dan bukan jihad.


Di zaman modern ini, saat sarana komunikasi lebih efektif (dan lebih menghindari pertumpahan darah, dan orang-orang batil pun menggunakan sarana ini untuk menghancurkan Islam), maka kewajiban kita pula memaksimalkan manfaat sarana komunikasi ini. 

Artinya, kelembutan dalam menyampaikan syiar agama dengan fakta dan argumentasi lewat sarana komunikasi, lebih utama ketimbang dengan kekerasan. 
Perjuangan menegakkan kebenaran tak perlu lagi dengan pedang dan amunisi.

Saat ini kebencian hanya pantas dimiliki oleh orang yang diperbudak politik dan dikungkung hawa nafsu meraih ketenaran. 

Sudah saatnya agama tidak lagi dijadikan alasan untuk menimbulkan kekerasan. 
Sudah saatnya, fakta dan argumentasi menggantikan adu fisik dan pertumpahan darah. 

Yang kalah, bukan yang mati tertusuk; tapi yang terbelenggu hawa nafsu. 

Yang menang adalah yang terbuka pintu lubuk hatinya.








MEMAAFKAN DAN MENGAJAK DENGAN BENAR

Muslim harus bisa membedakan perang yang memerangi agama Islam, dan perang yang sekadar melibatkan orang yang beragama Islam. 

Realitanya, kebanyakan konflik di beberapa negara hanyalah perang yang melibatkan orang Islam, dan bukan memerangi agama. 
Kebanyakan konflik hanyalah untuk kepentingan kelompok   --golongan, etnis, atau bangsa--   dan bukan untuk kepentingan atau kemuliaan Allah.

Muslim --saat ini dan di negara manapun-- harus mengembalikan cara berpikirnya seperti Muslim yang dicontohkan Nabi Saw, yang berperilaku positif: damai, pemaaf, toleran, terbuka, jujur, dan adil. 
Muslim yang bisa hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda keyakinan.


Muslim, selama orang lain tidak berbuat aniaya kepada kita, justru harus mengasihani dan memaafkan ketidakberimanan orang lain itu.

“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tidak takut kepada hari-hari Allah, karena Dia (Allah) akan membalas sesuatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan.  
(Qur’an, Al Jaatsiyah [45]:14)



(Alfa Qr)



[1] Realitanya, saat Makkah ditaklukkan tidak ada pembantaian terhadap musyrikin Makkah; dan hanya beberapa musyrikin yang dihukum mati saat itu. 
Ikrimah bin Abu Jahal, Hindun binti Utbah, Wahsy bin Harb, yang sangat membenci Islam dan seharusnya dibunuh, pada kenyataannya diampuni
Seandainya perintah bunuh itu diberlakukan begitu saja kepada semua musyrikin saat itu, maka kita sekarang tak akan mengenal adanya kekhalifahan Umayyah maupun Abbasiyah. Sebab cikal bakal para pendiri kekhalifahan tersebut pada saat Makah ditundukkan masih musyrikin. 
Begitu pula banyak periwayat hadits yang sampai kepada kita, termasuk ahli tafsirnya, kakek-nenek moyangnya pada saat itu juga masih musyrikin.

Tidak ada komentar: