BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Kamis, 23 Februari 2012

Meletakkan pada tempatnya



Dalam masalah tuntunan agama, perantara (wasilah) yang benar adalah perantara yang sesuai dengan yang ditentukan Allah, dan bukan ditentukan oleh akal pikiran manusia. 
Artinya, harus sejalan dengan tuntunan Allah dan bukan sekadar dianggap baik oleh pikiran kita.

Malaikat adalah perantara; perantara yang menyampaikan firman Allah Azza wa Jalla kepada para rasul. 
Rasul adalah perantara; perantara yang menyampaikan tuntunan Allah kepada semua umat manusia. 
Ustad adalah perantara; perantara yang membuat kita mengetahui tuntunan Rasulullah Saw yang benar. 

Namun, ketika kita berjalan di atas tuntunan Islam yang lurus, hakekatnya Allah jugalah yang berkehendak.








PENGERTIAN WASILAH YANG SESUAI AJARAN ISLAM

Alat, sarana atau wasilah adalah sesuatu yang memiliki keterkaitan dengan suatu kejadian. 
Tapi ia sesungguhnya bukan yang menjadi sebab pasti suatu perkara terjadi; karena hakekatnya semua perkara terjadi hanya dengan sebab kehendak Allah.   


Alat, sarana atau wasilah hanyalah sekadar penghubung (perantara) yang ikut menyebabkan suatu perkara terjadi; tapi bukan penyebab utama. 
Jadi, sarana atau wasilah yang dibenarkan adalah yang sesuai dengan yang dituntunkan dan dikehendaki Allah.

Jika seseorang menjadi kaya raya karena berdagang, maka berdagangnya itu merupakan hanya sekadar sarana; hakekatnya Allah jugalah yang berkehendak mengantarnya jadi kaya raya. 

Jadi, berdagang merupakan salah satu wasilah --yang dibenarkan dan sesuai tuntunan Allah-- jika seseorang ingin kaya raya. 
Amatlah salah jika seseorang yang ingin kaya raya malah pergi ke kuburan atau membawa-bawa keris.


Begitu juga seseorang yang ingin jadi penyanyi yang terkenal, ia harus belajar ilmunya kepada seorang guru nyanyi. 
Guru nyanyi tersebut bisa dikategorikan sekadar perantara yang mengantarkannya jadi penyanyi termasyhur; hakekatnya Allah jugalah yang berkehendak menjadikannya sebagai penyanyi tenar. 

Amatlah salah jika ingin jadi penyanyi terkenal tapi yang didatanginya malah dukun atau mandi air keramat.



Jadi  --dalam menghubungkan keinginan manusia dengan kehendak Allah-- dukun, keris, kuburan, sesaji, air keramat dan serupanya, tidak boleh dijadikan perantara. 
Sebab ajaran Allah tidak menentukan benda-benda tersebut boleh dijadikan sebagai wasilah. 

Dan menentukan sesuatu yang tidak sesuai tuntunan Allah dan Rasulullah Saw, sadar atau tidak, merupakan kemungkaran terhadap Allah dan Rasul.


Pantas diingatkan, segala sesuatu itu harus didudukkan pada tempatnya yang tepat; jangan sampai kita menyalahtempatkan yang boleh dan yang tidak, yang benar dan yang batil. 

Sebab kebiasaan menyalahtempatkan sebuah dalil atau alasan, selain biasa dilakukan oleh orang yang bodoh, biasanya dilakukan oleh orang yang mau menang sendiri

Apa kita mau disebut orang yang mau menang sendiri?







MASALAH GHOIB 

Ada perasaan minder (rendah diri) pada sebagian Muslim tatkala membandingkan Islam dengan agama lain. 

Karena agama lain banyak menceritakan mujizat, mereka pun lebih menonjolkan kesaktian para wali yang hanya berupa dongeng daripada mengedepankan tuntunan Nabi Saw. 
Tampaknya mereka malu bila agamanya kalah hebat bila dibandingkan dengan legenda yang ada. 

Pada klimaksnya, mereka dengan bangga menceritakan keanehan wali dan tokoh di kelompoknya. Seakan-akan agama baru bisa dibilang benar jika mengandung unsur-unsur keajaiban serupa itu. 

Padahal kebenaran sebuah agama hanya bisa didapat dengan pengkajian dan perenungan akal yang bersih; yang jauh dari ketakhayulan.



Realitanya, banyak orang kafir yang bisa main sulap dan hipnotis yang luar biasa hebatnya. 
Apa yang terjadi menunjukkan sesuatu yang dinilai gaib atau sakti bisa dilakukan siapa pun, termasuk oleh orang kafir dan atheis. 
Malah apa yang dilakukan mereka tampaknya lebih hebat daripada yang bisa dilakukan para kiai atau wali sekalipun.


Karenanya, walau seorang Muslim harus percaya adanya karamah dan mujizat, namun tak boleh terbelenggu dengannya. 
Artinya, janganlah kita menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang amat jarang terjadi tersebut; sementara kewajiban kita melaksanakan ritus ibadat terlalaikan.







SIAL ATAU TIDAK SIAL MENURUT YANG BERAKAL DAN YANG BODOH

Sial atau tidak sial harus diletakkan pada tempatnya. 

Sebab dalam tuntunan Islam tidak dikenal bahwa sesuatu itu  --apakah itu orang, tempat, hari atau apapun juga-- sudah ditetapkan sebagai pembawa sial atau akan mengakibatkan petaka. 


Sesuatu itu baru bisa disebut pembawa sial jika sesuatu itu mengakibatkan kesialan secara masuk akal, dan bukan kesialan yang bersifat takhayul. 

Seorang suami disebut pembawa sial jika ia tidak bertanggung jawab kepada keluarganya. 
Seorang isteri bisa disebut pembawa sial jika ia menghamburkan uang nafkah dari suaminya untuk hal-hal yang tidak perlu. 
Seorang anak boleh disebut pembawa sial jika ia berperilaku bejat. 

Jadi, setiap tindakan yang salah atau perilaku yang buruk bisa saja disebut pembawa sial, atau menyebabkan kesialan.


Seorang pedagang yang bangkrut dan kemudian menuduh tempat usahanya sebagai pembawa sial, adalah pedagang yang picik yang berusaha menutupi kebodohannya dalam berdagang. 

Sebab, bangkrutnya suatu usaha bukan semata-mata disebabkan tempatnya tapi lebih disebabkan karena cara berdagangnya; baik karena lokasinya yang tidak strategis, mutu barang yang dijualnya tidak cocok, atau cara melayaninya yang kurang ramah. 

Jadi, orang yang suka menuduh sesuatu itu sebagai pembawa sial adalah pecundang yang berusaha menutupi ketidakbecusannya.


Begitu juga dengan waktu atau bilangan tertentu, dalam Islam tak dikenal yang namanya hari yang sial, bulan yang sial, atau angka yang sial. 

Sebab, penyebab kesialan yang sebenarnya adalah keterbelakangan dan kepicikan kita, yang tak bisa meletakkan suatu perkara pada tempatnya.







SESUAI SITUASI DAN KONDISI

Ketika si anak mau berangkat ke pasar, si ibu berkata: “Hati-hati di jalan. Jangan lupa membawa tas belanjaan”.

Perintah untuk hati-hati di jalan, jelas merupakan perintah yang berlaku umum. 
Kemana pun kita pergi, sudah sepantasnya kita berhati-hati, bukan hanya jika mau ke pasar saja. 

Sedangkan perintah untuk membawa tas belanjaan, jelas merupakan suatu keutamaan jika kita mau ke pasar atau mau berbelanja. 
Tapi tidak lucu jika perintah ini dianggap wajib saat kita mau ke sekolah, ke bioskop, atau saat mau wakuncar.


Kalau dalam masalah keduniawian yang sepele seperti di atas, kita harus bisa meletakkan sesuatu itu pada kondisinya, terlebih pada perintah agama. 

Jelas, keterangan bahwa ajaran agama tidak memberatkan umatnya, adalah berlaku umum untuk semua kegiatan beragama kita. 

Sementara perintah berperang, hanya berlaku ketika diperangi
Sebab, selama cara yang santun masih bisa dilakukan, berperang itu merupakan pilihan terakhir.







MAKAN SAMBIL BERDIRI

Ada hadis --bukan ayat Qur’an-- yang melarang Muslim makan sambil berdiri. 
Tapi tidak ada hadis yang mengklasifikasikan makanan. 
Artinya, setiap benda padat yang biasanya lumrah untuk dimakan adalah makanan. 

Jadi, rujak, piza, popcorn, odading, permen, coklat dan es krim pun termasuk makanan. 
Tanpa pengecualian (dalam hal ini, tanpa dalil agama yang tegas dan jelas, kita tak punya hak membuat kekecualian).
Pertanyaannya, apa kalau kita mengemut permen atau coklat harus duduk dulu sampai makanan tersebut habis? 


Relitanya, di zaman ini, orang makan cakueh atau menyantap burger bukan saja sambil berdiri, malah sambil berjalan-jalan. 

Jelas, larangan makan sambil berdiri lebih terkait dengan etika kepatutan melakukannya. 
Dan bukan larangan haram.

Makan coklat sambil duduk pun menjadi tidak patut, jika situasinya melanggar etika kesopanan. 
Apa pantas, ketika sedang diwawancarai waktu melamar kerja, kita mengemut permen padahal sambil duduk? 

Sebaliknya, selama sesuai dengan situasi etika lingkungannya, makan sambil berdiri tidaklah haram. 
Paling hukumnya sekadar makruh.







MEMELIHARA ANJING

Larangan haram yang ada di dalam Al Qur’an, suka ataupun tidak suka, tetap hukumnya mutlak haram sampai hari kiamat tiba pun

Sebaliknya, sesuatu yang tidak ada larangan haramnya dalam Al Qur’an, tidak boleh dihukumkan haram; sebab mustahil Allah Swt lupa mengharamkannya. 

Karenanya, selama tempat dan keadaannya memungkinkan, memelihara anjing di dalam rumah hukumnya sekadar makruh yang amat sangat (makruh tahrimi, mendekati haram); dan bukan haram mutlak.

Yang jelas, rumah seorang Muslim yang selain sempit juga reyot dan mau runtuh, amat sangat tidak layak bila lebih dipersempit lagi dengan adanya seekor anjing.







PERKARA RITUS IBADAT HARUS ADA CONTOH

Dalam konteks ritus ibadat, kita harus melakukannya sesuai yang dicontohkan Nabi Saw

Dari sebab itu, karena solat di angkasa luar tidak kita ketahui caranya --karena tak ada contohnya-- maka makna solat kita kembalikan kepada hakekat asalnya yaitu berdoa. 
Jadi, kosmonot yang sedang berada di angkasa luar cukup berdoa di sepanjang perjalanannya.

Begitu pula dengan saum Ramadhan, di angkasa luar tidak perlu dilaksanakan; tapi cukup dikodo jika sudah kembali di bumi. 

Sebab jika solat dan saum di ruang angkasa harus didirikan seperti layaknya di bumi, maka kita akan membuat beberapa ketentuan; padahal manusia tak punya hak menentukan tatacara ibadat. 
Contohnya, bagaimana menentukan waktu subuh atau magrib? 
Padahal, saat mengitari bumi di angkasa luar, kita bisa melihat matahari terbit dan tenggelam beberapa kali dalam sehari. 








PENEMPATAN SIMBOL PADA SITUASI DAN KONDISINYA

Dalam masalah keduniawian kita boleh menjadikan sesuatu sebagai simbol atau maskot. 
Contohnya, gajah sebagai lambang ilmu; gagak sebagai maskot keperkasaan; obor atau lilin sebagai simbol kemajuan. 

Tapi sapi, gajah, gagak, obor, lilin --atau apapun juga-- tidak boleh dijadikan sebagai lambang pembawa keberuntungan (berkah) ataupun kesialan.

Jelas, penyimbolan itu dibolehkan; dengan syarat penyimbolan kita itu berbeda dengan penyimbolannya agama nonmuslim.

Adalah hak nonmuslim, apapun agamanya, untuk menjadikan lilin sebagai lambang tuhan.  
Tapi juga hak seorang Muslim jika menilai lilin hanyalah sekadar alat penerangan atau sekadar simbol untuk bekerja keras. 

Adalah hak seseorang menjadikan salib sebagai lambang berkah; tapi juga merupakan hak orang lainnya jika menilai salib sekadar simbol kematian orang yang berdosa (sebab hanya orang yang dinilai bersalah atau berdosa yang matinya di salib, di tiang gantungan, atau di kursi listrik). 

Begitu pula, seorang Muslim tidak perlu marah jika nonmuslim menilai bulan bintang sebagai lambang alam semesta atau sekadar simbol astrologi (paranormal).


Dari sebab itu, seorang Muslim boleh menjadikan lilin, salib, atau swastika sebagai simbol, asal arti penyimbolannya berbeda dengan penyimbolan nonmuslim. 

Kalau penggunaan lilin dianggap tidak boleh hanya karena dinilai sebagai simbol nonmuslim, berarti di waktu listrik padam kita tak boleh menyalakan lilin. Apa begitu? 
Apa bedanya waktu listrik padam dengan waktu ulang tahun? 

Jelas, di saat ulang tahun kita boleh memakai lilin jika sekadar sebagai simbol untuk bekerja keras; tapi tidak boleh jika menyimbolkannya sebagai pembawa berkah. [1]







MENEMPATKAN NAJIS DAN HARAM 

Babi (seluruh bagiannya, seperti kulit, daging, maupun tulang) itu najis, artinya haram dimakan; tapi tidak ditemukan haramnya kulit babi dijadikan sepatu atau ikat pinggang.

Tinja itu najis dan tidak layak dimakan.  
Pertanyaannya, kalau ikan makan tinja; apa jika kita memakan ikan tersebut sama dengan makan tinja?  
Ayam makan babi; apa daging ayam itu jadi haram? Tentu: tidak.

Bangkai hewan laut, seperti ikan dan cumi, itu halal. Artinya, walau matinya di darat, bangkai hewan laut boleh dijadikan makanan. 
Bangkai hewan darat, walau matinya di laut, tetap saja najis dan haram dimakan.

Darah yang mengalir, jelas haram dimakan; melakukan tranfusi darah tidaklah haram. 
Tapi jika seorang Muslim ragu akan kebolehannya, lebih baik orang itu tidak melakukannya. 
Artinya, jika orang tersebut kehabisan darah karena kecelakaan, ia tak usah tranfusi darah.

Laki-laki kafir itu najis, artinya haram dinikahi Muslimah; tapi melakukan transaksi dagang dengan laki-laki kafir tidaklah dilarang.

Minuman keras atau minuman yang memabukkan --mengandung alkohol maupun tidak-- haram diminum. Kosmetik atau parfum yang mengandung alkohol tidak layak untuk diminum tapi tidak haram dipakai. 
Yang tidak boleh dipakai itu, baik mengandung alkohol maupun tidak, adalah kosmetik yang bisa merusak kulit atau badan kita.

Main judi haram untuk dilakukan seorang Muslim, tapi nonton kafir main judi tidaklah haram. 
Begitupun terlibat ritus ibadat agama nonmuslim jelas haram, tapi sekadar nonton nonmuslim melakukan ritus ibadat agamanya tidaklah haram. 


Tentu saja kebolehan tersebut haruslah berdasar niat baik, dan bukan sekadar dicari-cari pembenarannya.
Contoh pembenaran yang dicari-cari: Memperkosa itu haram, tapi nonton orang memperkosa dibolehkan. Jelas, orang yang mencari-cari alasan serupa ini hanyalah orang bodoh yang mau menang sendiri.


Realitanya, jika segala sesuatunya diletakkan pada tempatnya, tuntunan agama Islam itu tidaklah memberatkan umatnya. 

Yang memberatkan itu fikih dan tatacara agama yang diada-adakan manusia.



Catatan:
  • Bergembira di kehidupan duniawi dan merayakan kegembiraan di momen yang dianggap istimewa (seperti hari ulang tahun, di hari lulus sekolah, di hari tahun baru), selama tidak disisipi unsur ritus peribadatan, maka hukumnya mubah (tidak berdosa dan tidak berpahala jika dilakukan).
  • Memberi bunga mawar kepada orang terkasih sebagai simbol kesetiaan, dibolehkan. Begitu pun, penggunaan maskot garuda yang sekadar sebagai lambang keberanian atau kejujuran, jelas dibolehkan. Tapi maskot sebagai lambang berkah atau keberuntungan, jelas tidak boleh; sebab masalah keberuntungan dan kesialan sudah masuk koridor perkara yang gaib (nasib, takdir), sudah masuk koridor religi (aturan agama, keyakinan).

(Alfa Qr)


[1]  Acara gunting pita dibolehkan jika sekadar simbol pembukaan sebuah kegiatan; tapi haram jika dikaitkan dengan perkara berpahala atau membawa keberuntungan. Begitu juga, di agama tertentu, mercon kadang dijadikan alat untuk mengusir hantu; jelas haram jika kita menyalakan mercon dan kembang api (atau membunyikan terompet dan genderang) sebagai acara mengusir setan, tapi tak apa-apa jika hanya sebagai simbol kegembiraan. Jadi, semua tergantung alasannya.

Nikah dan khitan


Pernikahan adalah sunah Nabi Saw
Walau bukan wajib, menikah adalah amal ibadah yang sangat utama. 
Prosesi pernikahan (‘aqd, akad nikah, perjanjian nikah) tidaklah berbentuk ritus ibadat.  
Artinya, redaksi kalimat pernikahan maupun bahasa yang dipakai tidaklah mesti memakai bahasa Arab
Begitupun waktu dan tempat, tidak ditentukan.

Selain adanya ijab (pernyataan, permintaan) dan qobul (penerimaan, pengabulan), syarat sahnya sebuah pernikahan adalah hadirnya calon yang akan dinikahkan (mutlak adanya mempelai pria dan mempelai wanita), adanya wali yang menikahkan, dan adanya saksi. 
Akan lebih baik jika wali dari mempelai wanita, yaitu orang yang memberi persetujuan menikahnya si wanita dengan si calon mempelai laki-laki, adalah orangtua si mempelai wanita itu sendiri. 
Namun yang lebih penting adalah si mempelai wanita itu sendiri menyetujui orang tersebut sebagai walinya. Jadi, sebenarnya, wali mempelai wanita itu boleh siapa saja
Begitu pula dengan mas kawin, tidak ada bentuk khusus atau besaran yang ditentukan; yang penting mempelai perempuan itu setuju dengan mahar yang diberikan.

Dalam prosesi pernikahan secara Islam, baik yang menikahkan maupun saksi-saksi, tidak ada keharusan orang-orang tertentu; artinya boleh siapa saja. 
Hanya saja, sepanjang yang diketahui, yang menikahkan adalah seorang laki-laki dan seorang Muslim. 
Yang penting, dalam sebuah pernikahan tidak boleh ada paksaan (termasuk jika mempelai wanitanya seorang nonmuslim), atau merugikan salah satu pihak.

Perlu diketahui, karena sekadar amal ibadah, khutbah nikah (nasihat oleh wali) atau membaca syahadat (oleh mempelai) dalam pernikahan bukanlah kemestian
Namun jika sekadar untuk meyakinkan bahwa yang dinikahkan adalah seorang Muslim, membaca syahadat tidak apa-apa dilakukan. 

Dan karena bukan ritus ibadat, sepasang suami-istri nonmuslim yang masuk Islam, tidak perlu mengadakan prosesi menikah lagi
Di sini jelas, dalam Islam, adanya surat bukti menikah bukanlah suatu yang wajib. 


PROSESI KHITANAN

Dikhitan merupakan tuntunan risalah Nabi Ibrahim Alaihis Salam
Artinya, semua anak laki-laki yang mengikuti tuntunan Ibrahim As, seutamanya dikhitan. 

Perlu diketahui, orang Yahudi dan Nabi Isa As (Yesus) juga dikhitan. 
Bedanya, dalam agama Yahudi prosesi khitanan berupa ritus ibadat

Sedangkan dalam Islam, prosesi khitanan bukanlah ritus ibadat.
Artinya, dalam Islam, tidak ada tata tertib yang dibakukan; baik cara, waktu, tempat, maupun yang melakukan khitan. 
Yang penting, sebagai sahnya dikhitan, ujung penis anak laki-laki tersebut dipotong.

Karena sekadar sunat, orang yang baru masuk Islam di saat usianya sudah tua, tidak apa-apa jika tidak dikhitan. 
Sebab mesti dicamkan, sahnya seseorang menjadi Muslim jika orang tersebut mengucap syahadat, dan bukan karena dikhitan.  
Namun, tentu saja, seutamanya dikhitan.


TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..
(Alfa Qr)

Praktek peribadatan


Mencintai dan merasa dicintai Allah adalah puncak perjalanan seorang manusia dalam mencintai agamanya. 

Tapi kalau hal ini dijadikan sandaran dalil kebenaran beragama, mengapa orang Nasrani yang menyintai Allah --dan begitu amat menyintai rasulNya, yaitu Isa Alaihis Salam-- dinilai sebagai orang-orang yang tersesat? 

Sebab menyintai dan merasa dicintai Allah haruslah selaras dengan tuntunan Allah. 
Artinya, menyintai Allah dan rasulNya semestinyalah dengan cara yang benar; yaitu cara yang tak keluar dari tuntunan syareat yang sudah ditentukan. 

Karenanya, Muslim yang merasa mencintai agamanya tapi mengkeramatkan kuburan orang yang dianggap soleh, tak ada bedanya dengan seorang Nasrani yang menyekutukan Nabi Isa As (Yesus) dengan Allah Swt. Dengan kata lain, ia melakukan dosa besar.


Pesan di atas hendaknya dijadikan perenungan. 
Hendaknya mengingatkan kita semua terhadap upaya iblis laknat keparat dalam menyesatkan manusia; yang membuat kita --tanpa sadar-- terjerumus pada dosa yang tak terampuni, yaitu syirik. 

Semestinya diingat, salah satu sebab utama agama Islam diturunkan adalah memurnikan kembali keyakinan tauhid; yakni tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali hanya Allah, dan tidak menyekutukanNya dengan apa pun atau siapa pun. 

Artinya, tidak ada faedahnya agama Islam ini diturunkan, bila kita kembali menyekutukan Allah dengan benda atau makhluk yang justru ciptaan Nya.









 HARUS TAAT HANYA KEPADA TUNTUNAN ALLAH DAN RASUL

Orang yang mengaku Muslim semestinya adalah orang yang hanya taat kepada perintah Allah dan RasulNya, serta menjauhi yang dilarang Allah dan RasulNya.

“Islam adalah engkau bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, saum pada bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah jika engkau mampu.” (HR Muslim)

Jelas, jika kita mengikuti tuntunan sunnah Nabi Saw secara benar, maka kita termasuk dalam golongan orang-orang yang mencintai Nabi. 
Sebaliknya, jika kita melakukan ritus ibadat yang tidak ada contohnya dari Nabi, kita dikategorikan sebagai orang yang melecehkan Nabi; termasuk golongan orang yang menentang Allah dan Rasulnya.

“Tidakkah mereka mengetahui bahwa barangsiapa menentang Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya neraka jahanam baginya, dia kekal di dalamnya; itulah kehinaan yang besar.” (Qur’an, At Taubah [9]: 63)

Karenanya, dalam perkara peribadatan, Muslim tak perlu taat kepada tatacara ibadat yang dicontohkan manusia, jika tata cara ibadat serupa itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw.










JANGAN MENGIKUTI PERIBADATAN YANG DIADA-ADAKAN

Tuntunan peribadatan yang tidak ada di dalam Qur’an dan tidak ada dalam contoh Rasulullah Muhammad Saw, maka peribadatan tersebut tidak dinilai sebagai tuntunan agama (Islam). 
Dan harus dijauhi.

“Kitab yang paling baik adalah Kitabullah, perkara yang paling baik ialah perkara yang paling pertengahan, perkara (peribadatan) yang paling buruk adalah perkara yang diada-adakan, seluruh (peribadatan) yang diada-adakan adalah bid’ah, seluruh bid’ah adalah kesesatan, dan seluruh kesesatan adalah di neraka.” (HR Abu Dawud)

Dalam melaksanakan peribadatan, maka para Sahabat Radhiyallahu Anhum   --yang jauh dari takhayul bin khurafat, jauh dari kemusyrikan (hanya menyembah Allah), jauh dari bid’ah (hanya melakukan yang dicontohkan Rasul)--   merupakan contoh terbaik untuk diikuti.







JANGAN MELAKUKAN TAMBAHAN YANG TIDAK DIPERINTAHKAN

Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qur’an, Al Ahzab [33]:21)

Kemuliaan Islam itu untuk orang yang bisa dan mau memanfaatkan akal pikirannya, bukan untuk orang yang ingin dipuji atau orang yang merasa hebat karena melakukan (yang dikira) sunnah agama. 
Lagi pula, dalam perkara ritus ibadat, sebutan ikhlas hanya layak diterapkan untuk satu perbuatan yang ada tuntunannya dari Nabi Saw.

Mesti diwaspadai --walau kita jarang mau mengakuinya-- keinginan untuk dipuji atau dianggap orang hebat dalam beragama, sering tersamarkan oleh sesuatu yang dikira baik menurut perkiraan kita. 
Itulah tipu daya si iblis laknat jahanam keparat terkutuk. [1]

Karenanya, sesuatu yang tidak ada atau tidak diperbuat oleh Nabi, dalam konteks ritus ibadat atau penyembahan --walau dianggap baik-- dilarang untuk dilakukan; sebab tuntunan peribadatan dalam Islam sudah sempurna. 

Artinya, semua tatacara peribadatan yang diperintahkan Allah Swt sudah disampaikan Nabi Saw kepada umatnya.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam jadi agama bagimu...” (Qur’an, Al Maa-idah [5]:3)

Penambahan tatacara penyembahan yang diada-adakan ulama merupakan pengingkaran kepada firman Allah di atas; na ‘udzubillah.










MUSTAHIL PERINTAH CARA RITUS IBADAT BERBEDA DI LAIN NEGERI

Tatacara solat yang dilakukan di Inggris atau di India harus sama dengan tatacara solat yang didirikan di Irak. 
Tatacara saum di Amerika atau di Cina harus sama dengan cara saum di Turki. 

Sebab tidak mungkin Islam memerintahkan cara ritus ibadat yang berbeda hanya karena beda negara. 

Kalaupun ada sedikit perbedaan, itu dimungkinkan pada masalah-masalah furu yang memang ada dalilnya (ada contoh dari hadis Nabi Saw.)

Begitu juga, semua perlakuan yang terjadi pada jenazah seorang Muslim di Arab Saudi harus sama dengan yang terjadi pada jenasah seorang Muslim di Jepang. 
Artinya, dalam situasi normal, tatacara perlakuan kepada jenazah seorang Muslim harus sama; yaitu dimandikan, dikafani, disolatkan, dan dikuburkan. 

Sebab satu hal yang mustahil, ajaran Islam di Arab Saudi berbeda dengan ajaran Islam di Jepang. 
Mustahil ajaran Tuhan yang sama, bisa berbeda hanya karena beda tempat. 
Mustahil ada tatacara agama Islam yang berlaku di satu tempat tapi tidak berlaku di tempat lain.

Jadi, jika ada upacara yang dikaitkan dengan keagamaan yang mirip ritus hanya ada di daerah kita tapi tidak ada di negeri asalnya (di Arab Saudi), kemungkinan besar acara yang kita lakukan itu suatu bidah, sesuatu yang tidak dicontohkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.









SOLAT DI ATAS KENDARAAN

Ada hadis dari Bukhari yang mengisahkan tentang seseorang yang menyapa Nabi Saw --malah sampai tiga kali sapaan-- tapi Nabi tidak membalas sapaannya. 
Nabi yang saat itu sedang berada di atas unta, kemudian membalas sapaan itu dengan menjelaskan bahwa beliau tadi tidak membalas sapaan orang tersebut karena beliau sedang solat.

Seandainya solat di atas kendaraan tadi dilakukan dengan gerakan-gerakan fisik, seperti mengangkat tangan, mustahil orang itu tak tahu Nabi sedang solat. 
Jadi, solat di atas kendaraan itu tidak mutlak seluruhnya harus diikuti dengan gerakan tubuh, tapi boleh dengan hanya mengucapkan bacaannya saja (dengan tidak keras).

Dan, karena tak ada contoh Nabi salat berjamaah di atas kendaraan (misalnya di perahu), maka di atas kendaraan tak ada keharusan berjamaah.






Catatan:
  • Dalam Islam, semua bentuk ritus ibadat adalah haram hukumnya untuk dilakukan, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya (ada contohnya dari Nabi Saw). Semua bentuk perkara duniawi adalah boleh hukumnya untuk dilakukan, kecuali jika ada dalil agama yang melarangnya.
  • Tatkala mendirikan ritus ibadat solat jangan dibelenggu perasaan waswas tidak sempurna atau tidak khusyu; yang berdampak melahirkan rasa bersalah. Kalaupun dirasa tidak sempurna dalam melakukannya, tidak perlu mengulangi ritus ibadat tersebut. Sebab jika pengulangannya juga nanti dianggap tak sempurna, apa harus diulang lagi? Sampai berapa kali kita harus mengulangi solat jika terus merasa tak sempurna?



(Alfa Qr)


[1]   Harap dicamkan, iblis lebih menyukai pelaku bidah ketimbang menyukai orang yang melakukan zinah. Sebab pelaku zinah menyadari bahwa perbuatannya itu berdosa, dan biasanya menyesali serta bersegera bertobat. Sedangkan pelaku bidah jarang bertobat, dan tidak menghentikan perbuatan bidahnya, karena menganggap bidah-bidah yang dilakukannya sebagai perbuatan baik.

Kewajiban ritus ibadat


Ritus ibadat adalah perkara ibadah yang berkaitan dengan ajaran sebuah agama, yang semua tata-tertibnya diatur berdasar contoh yang baku. 
Dalam Islam, ritus ibadat ada yang hukumnya wajib ada pula yang sekadar sunat. 
Ritus ibadat yang wajib adalah: Syahadat, solat fardu lima, mengeluarkan zakat, saum ramadhan, dan menunaikan haji.

Seperti juga seorang Muslim yang tidak boleh terlibat dalam ritus ibadat agama lain; setiap ritus ibadat Islam, yang kegiatannya diatur, dalam pelaksanaannya tidak boleh melibatkan nonmuslim. 
Contohnya, menyembelih kambing qurban, karena merupakan bagian dari ritus ibadat, hanya boleh dilakukan oleh seorang Muslim. 
Tapi pisau yang digunakan untuk menyembelih, boleh saja pinjaman dari seorang nonmuslim. 

Sebaliknya, makan sembelihan ahli kitab --selama tidak berkaitan dengan ritus ibadat mereka-- tidaklah haram memakannya; karena walau melibatkan nonmuslim dalam menyembelihnya, makan bukanlah ritus ibadat. 
Begitupun, makan bersama dibolehkan; tapi berdoa haruslah masing-masing.

Dalam hal pernikahan, karena dimungkinkan mempelai wanitanya adalah seorang nonmuslim, maka cara menikah (akad nikah) tidaklah berupa ritus ibadat; sebab seorang nonmuslim tidak boleh melakukan ritus ibadat Islam.  
Mesti diingat, tiap ritus ibadat  pasti diatur tata-tertibnya; tapi tidak setiap yang diatur tata-tertibnya dikategorikan sebagai ritus ibadat. 
Yang pasti, tiap ritus ibadat Islam tidak boleh melibatkan nonmuslim.

Pantas dicamkan, dalam menjelaskan perkara agama, terlebih yang berkaitan dengan ritus ibadat, seseorang haruslah sabar. 
Realitanya, tidak semua orang memiliki kecerdasan yang sama. 
Kadang masalah remeh-temeh yang sebenarnya amat simpel bagi seseorang (yang berilmu), bagi yang lainnya sepertinya berbelit-belit dan tidak mudah dipahami. 

Lagi pula, banyak istilah syara, yang definisinya pada tiap madzhab fikih kadang berbeda, yang Muslim awam tidak hapal; atau tidak tahu, atau malah membingungkannya. 
Karenanya, selama tidak salah dalam mengamalkan hakekatnya, tidak tahu istilahnya tidaklah jadi masalah.




SYAHADAT

Ikrar pengakuan yang sebenar-benarnya, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul yang diutusNya. 
Dengan ikrar ini seseorang memproklamirkan dirinya sebagai seorang Muslim
Ikrar ini boleh disaksikan maupun tidak disaksikan orang lain. 

Walau dalam kenyataannya seorang Muslim mengucapkan syahadat setiap shalat, ikrar yang ‘resmi’ sebagai tanda ia memeluk Islam cukup sekali seumur hidup.
Bacaan syahadat, sebagai bagian dari ritus ibadat, harus menggunakan kalimat dan bahasa aslinya sesuai contoh dari Nabi Saw.

Yang pasti, syahadat harus ditegakkan setiap saat; setiap detik. 
Artinya, menganggap ada sekutu bagi Allah Swt dan mengakui adanya nabi sesudah Nabi Muhammad Saw hukumnya haram.



SHALAT

Ritus ibadat yang akan ditanya pertama kalinya di akhirat adalah sholat. 
Realitanya, dalam kehidupan sehari-hari, ritus ibadat yang diwajibkan kepada seorang Muslim hanyalah mendirikan solat fardu yang lima kali dalam sehari, yaitu: Maghrib (tiga rakaat), Isya (empat rakaat), Shubuh (dua rakaat), Zhuhur (empat rakaat), dan Ashar (empat rakaat).

Untuk mendirikan solat tersebut, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, Muslim harus dalam keadaan suci. 
Artinya, mandinya, atau wudhunya, atau tayamumnya belum batal. 
Begitu pula pakaian yang dikenakan, selain harus terbebas dari najis, harus didapat secara halal; bukan sekadar pakaian yang bagus dan mahal, sebab menghadap Allah Azza wa Jalla berbeda dengan menghadap raja atau presiden.

Bagi yang sehat, shalat harus dilaksanakan sambil berdiri. 
Bagi yang tidak mampu berdiri, boleh mengerjakannya sambil duduk. 
Yang tidak mampu sambil duduk, boleh sambil berbaring.

Khusus pada hari Jumat, sebagai ganti melaksanakan salat zhuhur, Muslim laki-laki dewasa yang sehat diwajibkan salat Jumat berjamaah
Sedangkan bagi yang sakit dan yang di perjalanan melaksanakan solat Jumat berjamaah hukumnya hanyalah sangat utama (tergantung situasi dan kondisi); bukan wajib tapi juga bukan tidak boleh.

Salat zhuhur dan ashar boleh dijama, begitu pun salat magrib dan isya. 
Jama merupakan keringanan (rukhshah) dalam melaksanakan shalat. 
Jama artinya menarik salat, atau mendirikan dua salat dalam satu waktu. 

Jama awal artinya mendirikan salat zhuhur dan salat ashar di waktu zhuhur; mendirikan salat magrib dan salat isya di waktu magrib. 
Jama akhir artinya mendirikan shalat zhuhur dan shalat ashar di waktu ashar; mendirikan salat maghrib dan salat isya di waktu isya.

Muslim yang safar boleh melaksanakan jama awal dan jama akhir; Muslim yang tidak sedang bepergian hanya boleh melakukan jama akhir. 
Muslim yang safar juga diberi rukhshah untuk mengkosor (qashar, taqshir) salat wajib ini menjadi:  Maghrib, tetap tiga rakaat; Isya, dua rakaat; Shubuh, tetap dua rakaat; Zhuhur, dua rakaat; dan Ashar, dua rakaat. [1]

Selama ada contohnya dari Nabi Saw, beberapa perbedaan kecil yang tak prinsipil dalam praktek solat, tak perlu dijadikan perselisihan.
Dan karena banyak kitab bimbingan solat yang ada di pasaran, dalam buku ini tak akan ditemukan tatacara solat (dan tatacara ritus ibadat lainnya) yang mendetil. 
Hanya saja disarankan untuk mencari kitab tatacara solat yang dilengkapi dengan dalil-dalil yang bisa dipertanggungjawabkan.



ZAKAT
Setiap kewajiban mengeluarkan harta, baik uang maupun barang, disebut zakat. 
Yang tidak wajib, tidak dinamakan zakat.

Satu-satunya zakat yang diwajibkan kepada semua Muslim, kaya maupun miskin (termasuk yang dalam kandungan), yang besaran zakatnya sama dan waktunya ditentukan sama, hanyalah zakat fitrah. [2]

Sedangkan zakat yang lainnya --seperti zakat ternak, hasil pertanian, barang tambang, modal barang yang didagangkan, perhiasan yang dipakai, atau emas yang sekadar untuk disimpan-- baik besaran maupun waktu dikeluarkannya tergantung kepada jenis yang harus dizakatinya. 
Dan karena rincian zakat untuk setiap sesuatu yang harus dizakati itu amat banyak, penjelasan yang lengkap bisa kita dapatkan dari ustadz atau di buku-buku fikih zakat tulisan para ulama yang mumpuni di bidangnya. 

Yang jelas, berapa besarnya zakat yang dikeluarkan oleh seorang Muslim, orang lain tidak wajib dan tidak perlu mengetahui. 




SAUM (PUASA)
Maksud yang umum dipahami dari saum adalah menahan diri dari makan-minum serta dari jima (hubungan intim suami istri). 
Shaum dimulai sejak masuk waktu subuh, dan berakhir ketika masuk waktu magrib
Sebelum saum, sangat diutamakan untuk makan sahur dahulu.

Yang wajib dijalani Muslim yang sehat dan sudah baligh, hanyalah saum di bulan Ramadhan. 
Yang berhalangan --sakit, haid, atau sedang safar-- boleh melaksanakannya atau mengkodonya di luar Ramadhan, seutamanya sebelum Ramadhan yang akan datang tiba. [3]



HAJI
Melaksanakan ritus ibadat haji ke Makkah --bukan ke tempat lain, yang tidak dicontohkan Nabi Saw-- hukumnya wajib bagi setiap Muslim yang sudah baligh dan mampu. 
Artinya, selain sehat jasmani dan rohaninya, bekal dan biaya di perjalanan juga mencukupi.

Ibadah haji cukup dilaksanakan sekali saja dalam seumur hidup.

(Alfa Qr)


[1]   Ketika di dalam safar, melaksanakan jama dan kosor merupakan keutamaan, sebab ini yang biasa dilakukan Nabi Saw.    
Di sini jelas, orang yang safar (seperti kelasi di kapal tanker, pelaut di kapal selam, pilot pesawat terbang, ataupun masinis keretaapi), selain tidak diwajibkan salat Jumat berjamaah, akan sangat merasakan kemudahan dan keringanan dalam mendirikan ritus ibadat solat ini.

[2]    Nilainya kurang lebih tiga setengah liter beras. Selain biasa disebut zakat pembersih diri atau zakat jiwa, zakat fitrah juga dinilai sebagai penyempurna saum Ramadhan
Karenanya, zakat fitrah baru boleh dibagikan setelah shaum Ramadhan berakhir; yakni sejak masuk magrib satu Syawal sampai paling lambat sebelum solat Ied didirikan.  
Di negara yang tidak melaksanakan syariat Islam, seorang Muslim bisa menyalurkan zakatnya melalui jamiah mana saja yang disukainya, atau bisa menyampaikan langsung kepada orang yang berhak menerima zakat.

[3]  Bagi yang merasa tidak kuat saum (terserah alasannya, sebab Allah lebih mengetahui), bisa dengan membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari ia tak saum
Ia tak perlu mengkodo saum dan ia terluput dari dosa tidak saum; tapi ia tak mendapat pahala saum Ramadhan. 
Padahal jika manusia tahu betapa besarnya pahala saum Ramadhan, ia akan menginginkan sepanjang tahun adalah bulan Ramadhan.

Ketidaktepatan penyampaian


Kenyataannya, ada perilaku Muslim yang menjauh dari tuntunan agama yang benar. 
Yang cuek, yang bermasa bodoh. 
Yang menyimpang, yang jauh dari akhlak mulia, yang perilakunya tidak sesuai dengan yang dituntunkan Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Tidak sedikit Muslim yang tidak mendirikan salat wajib dan tidak melaksanakan saum Ramadhan; yang untuk menunjukkan kemuslimannya mereka hanyalah melakukan salat Idul Fitri atau salat Idul Adha saja.

Sebaliknya, mereka justru melakukan amalan yang tidak diwajibkan Islam; malah melakukan kemusyrikan, seperti berziarah ke tempat (yang dianggap) keramat, memuja kuburan, atau percaya kepada ramalan dukun.

Namun, walau pada kenyataannya mereka salah kaprah, tak bisa dipungkiri di antara mereka ada yang masih memiliki kecintaan kepada Islam, khususnya kepada Nabi Saw
Ini bisa dilihat dari seringnya terlontar bacaan atau puji-pujian untuk Nabi Saw





BEBERAPA PENYEBAB MUNCULNYA KETIDAKBENARAN
  • Adanya penyampai agama yang tidak tepat sasaran dalam menyampaikan dakwahnya. Seperti diwanti-wanti agama, tidak sedikit orang yang merasa berbuat baik tapi yang terjadi justru hal yang sebaliknya...
  • Ada orang yang benar agamanya (artinya mengikuti Qur’an dan sunnah dengan benar), namun dalam penyampaiannya keras tanpa memperhitungkan faktor psikologis pendengarnya. Dampaknya kebenaran tidak sampai, yang muncul justru ketidaksukaan. Parahnya lagi, si pendengar justru menilai ajaran si Da’i, yang sebetulnya benar, sebagai tidak betul.
  • Ada pendakwah yang membebankan perkara-perkara sunat sehingga menyerupai wajib. Orang ini, yang punya banyak waktu membaca buku agama, dan memang bidangnya, tak memperhitungkan situasi dan kondisi yang berbeda antara dirinya dengan si pendengar. Padahal kebanyakan pendengarnya adalah orang-orang awam biasa yang lebih disibukan dengan mencari nafkah; yang sudah terbiasa melihat gemerlapnya hiburan dan  kecanggihan teknologi duniawi.
  • Adanya orang alim, yang merasa hebat dalam beragamanya, justru menjauh dari orang-orang awam yang dianggapnya tidak selevel dengannya. Kebanyakan orang yang diberinya dakwah justru orang-orang yang ‘agak beres’ atau malah yang sebenarnya ‘sudah beres’. Sedikit sekali yang mau terjun langsung merangkul dan memberi perhatian kepada gelandangan, tukang minta-minta dan tukang mabuk-mabukan. Padahal mereka inilah yang sebenarnya lebih membutuhkan ‘pertolongan’.     Bagaimana mungkin mereka bisa jadi baik jika tidak ada yang mendekati dan bergaul dengan mereka. Kalau hanya sekadar mengajak atau menasihati tanpa ada kedekatan batin, rasanya sebuah nasihat akan sulit terwujud, malah mungkin akan melahirkan sikap sinis.
  • Ada pendakwah yang penyampaiannya lemah lembut, yang memikat setiap pendengarnya. Sayangnya ia termasuk yang fanatik buta, ajaran agamanya semata-mata seperti yang ia terima tanpa merasa perlu mengkaji ulang lagi. Akibatnya, ajarannya yang tidak betul justru diterima si pendengar karena dinilainya benar.     Kasusnya sama dengan Muslim yang meninggalkan agamanya karena tertipu oleh rayuan lembut penyampai agama lain; atau semata-mata tertarik karena kemudahan dan kelemahlembutan ajarannya. Dan bukan karena kebenaran ajaran agama tersebut.
  • Ada orang yang yang memudahkan bagi pendengarnya, tapi tidak benar ajarannya. Contohnya, manusia cukup tidak berbuat jahat kepada orang lain. Yang penting tujuan agama begitu (katanya). Mabuk tidak apa-apa asal tidak mengganggu orang lain. Melacur tidak apa-apa yang penting resiko rumah tangga terpenuhi. Dan lain-lain keanehan yang tidak masuk akal orang yang sehat.










MENJELASKAN DENGAN BENAR

Sebelumnya kita ingatkan pada saudara-saudara kita Muslim yang awam, bahwa kewajiban yang mesti dilaksanakan seorang Muslim tidaklah seberat yang dibayangkan.

Sebagai contoh, Muslim yang sedang berbelanja ketika saat magrib tiba, tak perlu terburu-buru pulang untuk shalat magrib; atau mencari-cari mushala. 

Ia bisa solat Magrib dengan menjamanya dengan solat Isya nanti

Hanya saja, jangan tiap hari berbelanja di saat magrib; artinya, jangan tiap hari menjama sholat. 

Sesungguhnyalah, Islam itu mudah dan ringan!



Kewajiban menjadi kelihatan berat karena ada perkara yang sebetulnya tidak wajib, jadi hanya sekadar keutamaan, tapi seakan-akan menjadi wajib dikerjakan

Malah ada yang bukan saja tidak wajib, tapi terlarang untuk mengerjakannya; karena tak ada contohnya peribadatan serupa itu dilakukan Nabi. 

Seperti kebiasaan membakar dupa setiap malam Jumat; atau bertapa di tempat keramat; atau memberi sesaji untuk arwah.


Padahal, harap dicamkan, siapapun yang sengaja membukakan jalan ke arah keburukan hakekatnya ia pengikut setan laknatullah.





 Catatan:
  • Ada dua sebab mengapa seseorang tidak mau minum obat; karena ia tidak yakin obat tersebut akan menyembuhkan, atau karena obat itu pahit. Begitupun dengan solat. Seorang muslim tidak solat karena ia tidak yakin bahwa solat itu bermanfaat, atau karena ia merasa diperberat dalam mendirikannya. Karenanya, jangan memperberat; jangan mempersulit.
  • Satu sikap yang berlebihan bila kita mengharap, dalam waktu yang singkat, ada perubahan drastis dari seorang yang tidak melaksanakan solat menjadi orang yang taat mendirikan solat. Hendaknya dimaklumi, kebanyakan orang membutuhkan masa transisi sebelum betul-betul mampu merubah kebiasaan buruknya.


(Alfa Qr)

Mengikuti pemahaman


Yang harus diikuti oleh kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah Nabi Saw
Nama madzhab yang disandarkan kepada ulama yang (dianggap) mendirikan mazhab tersebut tidaklah menurut keinginan ulama termaksud.

Selama berdalil kepada Qur’an dan sunnah, tak ada larangan dalam menghadapi satu perkara seorang Muslim mengikuti pemahaman dari Kiai X, dan dalam perkara lain ia mengambil pemahaman dari Kiai Y. 

Misalnya dalam perkara tidak batalnya wudhu jika bersentuhan, ia mengambil paham Kiai X karena selaras dengan akal dan keyakinannya. 
Sementara dalam hal tidak wajibnya zakat profesi, ia setuju dengan pemahaman Kiai Y karena dalil yang dikedepankan lebih meyakinkannya.


Yang tidak boleh, jika dalam satu perkara yang sama ia memakai dua pemahaman yang berbeda hanya karena ada kepentingan pribadi. 
Misalnya dalam hal zakat profesi, mewajibkannya tatkala jadi penampung zakat; tapi tidak mewajibkannya ketika seharusnya mengeluarkan zakat. 


Begitu pun dalam hal wanita jadi presiden, satu saat setuju pendapat Kiai X yang membolehkannya. 
Di lain waktu, hanya dikarenakan adanya kepentingan pribadi, memakai pendapat Kiai Y yang mengharamkannya. 

Jadi pemahamannya bukan karena keyakinan, bukan karena Allah. 
Ini pekerjaan pokrol bambu, namanya mempermainkan agama.

Memang seutamanya dihindari wanita jadi presiden, sebab hukumnya makruh yang amat sangat (walau tak ada pengharamannya dalam Al Qur’an namun Nabi Saw tidak menyukainya). 

Tapi Islam tidak mengharamkannya secara mutlak, terlebih bila ia memang memiliki kemampuan yang lebih. 
Muslim harus jujur, jika kita tidak setuju seseorang untuk jadi presiden --dikarenakan tak sejalan dengan paham politik yang dianutnya-- sebaiknya tidak memakai alasan karena masalah gendernya.








MENINGGALKAN PERKARA YANG MERAGUKAN

Islam sebenarnya agama yang mudah dan ringan. 
Tidak asal melarang, tidak asal menghukum. 
Malah, dalam kondisi darurat, sesuatu yang diwajibkan ataupun diharamkan bisa gugur. 

Perlu diketahui, jika ada pilihan, Nabi senantiasa mencari pilihan yang paling mudah. 
Terkecuali jika perkara yang mudah itu meragukan, karena ada kemungkinan keburukan, Nabi meninggalkannya dengan tegas.


Memang kadar tiap persoalan tidaklah sama. 
Ada perkara yang sulit, sedang, dan mudah. 

Untuk perkara yang sulit, dalam mengambil keputusan, sudah semestinya dibutuhkan waktu dan pemikiran yang lebih matang daripada perkara yang sedang atau biasa-biasa saja. 
Namun, memikirkan terlalu lama satu perkara yang sebenarnya bisa diselesaikan segera, sama dengan membuang waktu dan memubazirkan akal itu sendiri.

Mengambil sikap untuk meninggalkan perkara yang diragukan, bisa dilakukan sekarang juga. 
Artinya, sebelum menemukan dalil yang meyakinkan, hentikan dahulu melakukan hal-hal yang meragukan tersebut.










TETAPNYA JENIS HUKUM

Kecuali ada dalil yang memalingkannya, yang memberi pengecualian, satu hukum dalam Islam bersifat mutlak dan mengikat. 
Artinya, bersifat tetap dan berlaku pada semua orang; tidak boleh dirubah-rubah hanya berdasarkan penilaian baik-buruk menurut pendapat kita.

Yang makruh jangan dijadikan haram, yang haram jangan dijadikan makruh. 
Yang hukumnya wajib (seperti haji, saum Ramadhan, zakat) tetap wajib. 
Yang hukumnya sunat (seperti sedekah, infak, akekah) tetap sunat. 
Yang hukumnya haram (seperti minum khamr, makan daging babi) tetap haram. 
Yang hukumnya makruh (seperti merokok) tetap makruh.


Orang kaya yang tidak bersodakoh atau berakekah, tidaklah berdosa karena tidak bersodakoh atau berakekahnya. 
Tapi kekikirannya itu bisa menjadi satu sebab atau faktor yang membuat Allah [berkehendak] membiarkan   --bukan menghukum--   orang itu terperosok pada keburukan. 

Jadi, kalau kita tertimpa musibah atau mengalami kegagalan dalam suatu usaha, hakekatnya karena kesalahan sendiri. 
Allah hanya sekadar membiarkan peristiwa itu terjadi, dan tidak mencegahnya.


Sebaliknya bagi yang bersodakoh atau berakekah, dan semua perbuatan baik lainnya, Allah akan memberi balasan yang baik. 
Diantaranya, Allah [berkehendak] menghindarkannya dari musibah; mencegahnya dari berbuat mungkar; menghapus di antara dosa-dosanya; membukakan jalan ke arah rezeki yang lebih baik; mengabulkan apa yang diinginkannya; atau balasan pahala yang akan diperhitungkan kelak di akhirat.


Begitu pula orang yang melakukan hal-hal yang makruh tidaklah berdosa
Tapi, selain bisa menjadi faktor yang membuat Allah mengabaikan --tidak peduli-- terhadap apa yang diinginkan orang itu, perbuatan makruhnya bisa berakibat timbulnya hal yang merugikan dirinya

Artinya, setiap perbuatan makruh pasti memiliki nilai bahaya bagi pelakunya.

Contohnya, penyakit kanker yang diderita seseorang karena banyak merokok, merupakan buah dari perbuatan yang merugikan dirinya sendiri. 
Bukan hukuman (dosa) dari melakukan perbuatan makruh; karena perbuatan makruh hanya memiliki nilai ‘bahaya’, tapi tidak memiliki nilai dosa.



Catatan:
  • Satu perbuatan tidak boleh dikategorikan haram jika tidak ada larangan tegas (khusus, to the point) dalam Qur’an. Satu perbuatan tidak boleh dikategorikan wajib jika tak ada perintah tegas (khusus, to the point) dalam Qur’an. Sebab mustahil Allah Subhanahu wa Ta’ala lupa memerintahkan yang wajib atau lupa melarang sesuatu yang haram.
  • Gula bisa menyebabkan diabetes, garam bisa menimbulkan hipertensi, begitupun cuka dan cabe rawit bisa mengakibatkan sakit maag; apa semuanya harus diharamkan? Jelas, dalam hukum agama, masalah haram dan wajib harus karena perintah Allah, bukan semata-mata karena alasan adanya kemudharatan atau kemanfaatan pada perkara tersebut.
 (Alfa Qr)

MEMAHAMI PERBEDAAN


Jangankan yang berbeda, manusia yang sama persis wajahnya sekalipun wajar memiliki keyakinan, pendapat, pemahaman maupun prinsip yang berlainan. 
Sebab banyak kemungkinan yang bisa membuat keyakinan atau pemahaman tiap orang berbeda, walau sumber asal ajarannya sama.

Satu realita yang sering luput dari pengamatan adalah adanya kenyataan bahwa sebuah sumber selalu beranakpinak. 
Hampir tidak ada sebuah ajaran pun yang tidak melahirkan cabang (madzhab) atau aliran-aliran, baik itu paham politik maupun keagamaan. 
Ada kalanya aliran itupun bercabang lagi berupa kelompok-kelompok yang lebih kecil (sekte), yang kadang ajarannya malah menyimpang jauh dari sumber asalnya.


Perbedaan dalam pelaksanaan ajaran Islam, bisa dibagi dua:
1)      Perbedaan variatif, disebabkan pengambilan dalil yang berbeda tapi dalilnya memang ada (ada sunahnya, ada contohnya dari Nabi); atau karena perbedaan dalam memahaminya atau menafsirkannya.
2)      Perbedaan kontradiktif, disebabkan adanya kontaminasi pemikiran manusia (oknum ulama) yang mengotori ajaran agama.

Perbedaan variatif lebih diakibatkan ketidaksamaan kemampuan tiap orang dalam memahami Qur’an atau sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
Bisa juga karena pengambilan dalil (hadis) yang berbeda, tapi dalil tersebut memang ada (ada contohnya dari Nabi). 
Dalam masalah perbedaan variatif, kita harus menghormati pemahaman yang berlainan ini. 
Karena kita memaklumi, selain daya nalar tidak sama, situasi dan kondisi yang dihadapi tiap ulama saat menafsirkannya adalah berbeda.

Sedangkan perbedaan kontradiktif lebih diakibatkan oleh kebatilan; dengan menganggap baik suatu perkara, padahal tidak ada dalil agama yang kuat yang mengharuskan adanya perbuatan serupa itu. 
Artinya, ada virus pemikiran manusia yang masuk ke dalamnya. 
Karenanya, untuk menjaga kemurnian agama, kita harus menghindari pemahaman yang kontradiktif ini. 


Hendaknya diingat, Islam diturunkan karena ajaran agama yang sebelumnya (Yahudi dan Kristen) sudah tidak murni lagi. 
Dengan kata lain, jika agama yang sebelumnya masih murni tidak tercampur rekayasa manusia, tidak perlulah Allah menurunkan agama Islam.

Namun, kenyataannya, ragam pendapat adalah suatu kemuskilan; satu perkara yang tidak mungkin dihindarkan. 
Usaha menyeragamkan pemahaman hingga seratus persen mesti sama, adalah upaya yang mustahil. 

Selama masih ada kesamaan dalam akidah tauhid --yaitu tiada Tuhan yang wajib kita sembah kecuali hanya Allah Swt dan mengakui bahwa Nabi Muhammad Saw adalah utusanNya yang terakhir-- beberapa perbedaan pada perkara yang tak prinsipil jangan sampai memutuskan silaturahim.

Hendaknya dicamkan, memahami perbedaan bukan berarti kita setuju atau membenarkan pemahaman orang lain; tapi kita memaklumi mengapa ia memiliki pemahaman serupa itu.






JANGAN SEKADAR MELIHAT KULITNYA

Adanya pohon yang dianggap bersejarah di masa Nabi Saw, yang dijadikan sarana penyembahan dan kemudian diperintahkan untuk ditebang oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra, bukan berarti --untuk mencegah dijadikan sesembahan-- semua pohon harus ditumbangkan. 
Begitu pun pelarangan membuat gambar atau patung, lebih ditujukan kepada upaya untuk menghindari timbulnya penyembahan selain kepada Allah.


Jika segala sesuatu dinilai sebagai sarana yang mengantarkan kepada kemudharatan dan kemudian diharamkan, maka banyak barang di zaman ini menjadi barang haram. 

Telepon menjadi haram karena memudahkan seseorang berhubungan dengan pelacur. 
Helikopter menjadi haram karena lebih memudahkan seseorang pergi ke tempat maksiat. 
Apa begitu?

Pantas direnungkan, tak ada manfaatnya menggambar atau membuat patung dilarang dan dilenyapkan dari muka bumi, jika pada kenyataannya manusia kemudian mengalihkannya dengan menyembah gelar; memberhalakan kuburan; menthogutkan kiai; dan menuhankan teknologi. 






TAK PERLU MEMAKSAKAN PEMAHAMAN

Dalam perkara apapun, memahami adanya perbedaan adalah hal yang penting. 
Sebab, setiap orang dikondisikan pada situasi yang berbeda; setiap orang punya kesukaan dan kemampuan yang berlainan. 

Orang lain tidak punya hak menuntut kita untuk harus bisa serupa dengannya.  
Begitu juga, kita tak perlu memaksa orang lain untuk harus bisa sama seperti kita.


Memang, satu hal yang tidak salah jika kita memberi tahu bahwa kemalasan adalah satu perkara yang buruk. 
Tapi kita tak perlu memaksa orang lain untuk tidak malas. 
Sebab apapun yang terjadi kemudian pada orang itu, orang itu sendiri yang akan merasakan akibatnya.

Begitu pula, kita cukup mengingatkan bahwa pelaku syirik --atau menyekutukan Allah-- itu diancam dengan neraka. 
Namun jika orang itu tetap musyrik, maka masuk neraka itu resiko yang harus dihadapinya. 

Buat apa kita ambil pusing. 
Yang penting, kita sudah mengingatkannya.


Yang jelas, dalam penyampaian tuntunan Islam, bersikap lembut dan benar adalah dua hal yang tidak terpisahkan.  
Penyampaian yang lembut tapi yang diajarkan tidak benar merupakan kezaliman. 

Begitupun, walau yang dituntunkan satu hal yang benar jika disampaikan dengan cara yang tidak lembut, bisa berdampak kezaliman.


Ingat, sebelum mengajak, berikanlah contoh yang baik dan benar; paling tidak, berupa perangai yang pantas diteladani. 
Sebab, bagaimana mungkin mengajak kepada kebenaran dengan cara yang kasar.  

Bagaimana mungkin membersihkan meja penuh debu dengan kain lap penuh oli.





Catatan:
  • “Siapakah Muslim yang paling baik?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab: “Muslim yang tidak merugikan Muslim lainnya, dengan lidah maupun dengan kedua tangannya.” (HR. Bukhari)




(Alfa Qr)

TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN INI, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..

Jamaah jamiah


Potlot berbeda dengan pulpen, bolpoin atau spidol; walau semuanya merupakan alat tulis. 
Begitupun, Islam berbeda dengan Yahudi, Nasrani atau Majusi; walau sama-sama mengklaim sebagai pembawa kebenaran.

Lima ataupun tujuhpuluh potlot yang berlainan merek atau modelnya, tetap disebut potlot. 
Begitupun, lima atau tujuhpuluh jamiah (madzhab, sekte, firqah) dalam Islam, tetap dinamakan Islam.


Selama dipakai sebagai alat tulis, sebuah potlot bermanfaat; karena sesuai dengan fungsinya.  
Lain halnya kalau dipakai untuk melempar, apalagi jika untuk menusuk orang lain.

Selama ajaran dan tujuannya tidak menyimpang dari tuntunan Muhammad Saw, sebuah jamiah Islam bermanfaat bagi jamaahnya. 
Lain halnya kalau jamiah hanya sekadar dijadikan kamuflase untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang dijadikan alat untuk menggebuk jamiah lain.






JANGAN MENGIKUTI JAMIAH YANG MEWAJIBKAN BAIAT

Tak ada larangan keluar dari jamiah (perkumpulan Muslim), seperti juga tidak ada larangan masuk atau pindah ke jamiah yang lain. 

Jamaah (anggota jamiah) berhak menilai pimpinan jamiahnya. 
Jika merasa tak betah, boleh pindah ke jamiah lain yang dirasa cocok pemahamannya.


Meneliti pimpinan sebuah jamiah dengan seksama, sebelum memutuskan untuk bergabung dengannya, merupakan satu keharusan.
Sebab paham yang dianut suatu jamiah biasanya identik dengan paham pemimpinnya. 

Oleh karenanya, carilah pemimpin jamiah yang toleran, yang rendah hati dan lemah lembut dalam berperilaku, namun jelas dan tegas dalam berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah Nabi Saw.


Jangan memasuki jamiah yang mewajibkan baiat kepada imam. 

Janji setia hanyalah berupa kepatuhan kepada petunjuk Qur’an dan sunnah Nabi.  
Jika seorang pemimpin jamiah pemahamannya menyimpang dari Qur’an dan sunnah, siapa pun boleh keluar dari jamiah tersebut. 

Mengenai baiat secara langsung kepada seorang imam, maka baiat kepada Rasulullah Muhammad Saw merupakan yang pertama dan terakhir. 
Selain beliau tak ada pemimpin yang ma’shum, yang luput dari kesalahan. [1]


Kewajiban kita taat kepada pemimpin, hanya jika pemimpin itu juga taat kepada petunjuk Qur’an dan sunnah. 
Jika tidak, kewajiban kita taat kepada pemimpin tersebut menjadi gugur. 

Memang orang harus berusaha menjadi yang paling taat kepada tuntunan Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw
Tapi tidak boleh ada yang mengklaim yang paling taat; sebab tak ada jaminan ia tak akan berubah pemahaman sampai kematian menjemputnya. 






JAMIAH TAK BISA MENENTUKAN MASUK SURGA ATAU NERAKA

Masuk tidaknya seseorang ke dalam surga dan mereguk kenikmatannya, tidak dijamin karena masuk suatu jamiah. 
Melainkan, selain karena rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena amal kebajikan yang dilakukan masing-masing individu. 

Dengan kata lain, setiap Muslim diajarkan untuk menjadi ‘juruselamat’ bagi dirinya sendiri; dan tidak menggantungkan keselamatannya kepada sebuah jamiah atau kepada ulama.

Walau begitu, dengan memasuki suatu jamiah (organisasi Muslim) akan didapatkan banyak manfaat. 
Bukan saja menambah wawasan ilmu dan pergaulan, tapi juga memupuk solidaritas kebersamaan

Tidak ada yang membantahnya, sesuatu yang dikerjakan bersama akan menghasilkan yang lebih baik ketimbang dilakukan sendirian. 
Kebersamaan akan lebih memudahkan dalam memecahkan persolan-persoalan umat. [2]


Menjadi jamaah sebuah jamiah, meski tidak wajib, akan lebih utama bagi Muslim yang mempunyai waktu atau kesempatan. 

Namun mesti diingat, mengikuti jamiah bukan berarti harus terdaftar sebagai anggotanya (jamaahnya). 
Simpati dan dukungan kita kepada suatu jamiah, baik berupa moril maupun materil, hakekatnya sudah mengikuti jamiah tersebut.


Yang jelas, jika terjadi perselisihan di antara muslim dengan muslim, baik perorangan maupun golongan, menjadi keutamaan bagi Muslim lainnya untuk mendamaikannya, dan bukan mengomporinya. 

Bila di antara yang berselisih ada pihak yang ingin berdamai, sudah selayaknya kita cenderung untuk berpihak kepadanya. 

Semestinya diingat, ketika domba-domba diadu, yang bersorak dan bersuka cita bukanlah domba.



Catatan:
  • Setiap Muslim terikat dengan Muslim lainnya sebagai saudara berdasar ikatan keimanan (kesamaan akidah), bukan karena ikatan primordial; bukan karena ikatan kesukuan, keluarga, klan, ataupun ikatan jamiah.
  • “Janganlah engkau pandang ringan perbuatan baik meskipun sedikit. Walau hanya dengan menunjukkan muka manis (tersenyum) ketika engkau bertemu dengan saudaramu.”  (HR Muslim)
  • Dalam masalah kemajemukan pemahaman atau beda jamiah, pantas direnungkan ajakan Muhammad Rasyid Ridha (semoga rahmat Allah terlimpah ruahkan kepada beliau), “Marilah kita bekerja sama saling membantu dalam hal-hal yang kita sepakati, dan saling toleransi (memaafkan) dalam hal-hal yang tidak kita sepakati.”
(Alfa Qr)

[1]  Setiap Muslim adalah orang yang merdeka; karenanya jangan mau diperalat, jangan mau diperbudak orang lain yang mengaku imam. Dalam Islam, karena pemimpin itu kita yang memilih, maka pemimpinlah yang harus melayani --dan mensejahterakan-- kita, dan bukan kita yang harus melayani pemimpin.

[2] Bagi Muslim awam cukuplah masuk majelis pengajian di masjid lingkungannya. Kalau pun mau masuk jamiah, sebaiknya masuk jamiah yang sudah tersosialisasi atau dikenal di masyarakat . Jangan masuk jamiah yang tertutup; sebab ajarannya bisa saja menyimpang. Harap dicatat, satu kecenderungan yang salah menilai jamiah yang memiliki jumlah jamaah yang banyak sebagai jamiah yang benar. Di sini orang mengutamakan kuantitas daripada kualitas; dampaknya jelas, yang muncul kefanatikan buta, bukan kebenaran yang ikhlas.