Dalam setiap
perkara, seorang manusia dihadapkan kepada beberapa pilihan cara penyelesaian.
Dihadapkan kepada beberapa konsekwensi dan beberapa hasil akhir.
Dihadapkan kepada beberapa konsekwensi dan beberapa hasil akhir.
Ketika seorang manusia menginginkan sesuatu,
hakekatnya ia mengundang masalah atau resiko tersebut, dan bukan begitu saja
meraih hasil akhir.
Ketika seseorang ingin kaya, maka orang tersebut harus berniaga.
Dan jika ia berniaga, orang tersebut harus siap memecahkan masalah-masalah dalam perniagaannya sebelum memperoleh keuntungan.
Begitu juga, ketika seorang manusia ingin
masuk surga, maka orang tersebut harus masuk Islam.
Dan jika masuk Islam, orang
tersebut harus berusaha sesuai kemampuannya untuk melaksanakan syareat Islam.
Jadi, kenikmatan surga yang diraih seorang Muslim sesuai dengan usaha dan kemampuannya.
Bukan dengan sekadar rekomendasi kiai, atau sekadar pengampunan dosa oleh seorang tokoh agama.
Sebab, dalam Islam, tidak ada jamiah atau organisasi yang bisa menjamin orang lain bisa masuk surga; dan tak ada seorang pun bisa menggantungkan dirinya begitu saja kepada orang lain agar bisa masuk surga.
Artinya, setiap Muslim harus berusaha jadi ‘juruselamat’ bagi dirinya sendiri.
Yang pasti, untuk masuk surga, kita harus
punya tiket untuk masuk.
Dan, untuk masuk surga, tidak ada tiket yang gratis.
FUNGSI ULAMA SEBAGAI PENGARAH
Kebutuhan kita, Muslim awam, kepada para ulama hanyalah sekadar untuk
mendapatkan pengetahuan tentang ajaran agama yang benar.
Berbeda dengan di agama lain, yang menjadikan ulama dan tokohnya sebagai orang suci atau orang sakti; yang dijadikan koneksi atau pemberi rekomendasi untuk masuk surga.
Imam atau pemimpin dalam Islam adalah sekadar seorang ‘pengarah’, bukan seorang ‘penentu’.
Dalam berorganisasi Islam tidak melarang
adanya tingkatan jabatan kepemimpinan, namun dalam masalah peribadatan Islam
tidak mengenal jenjang atau hierarki kepemimpinan (kependetaan).
Siapa pun bisa jadi imam selama ia mengarahkan manusia ke arah kebaikan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Siapa pun bisa jadi imam selama ia mengarahkan manusia ke arah kebaikan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebaliknya,
seseorang tidak layak menjadi imam jika ia akan membawa kepada kesesatan dan
kerusakan.
Dalam Islam, seorang manusia dimasukkan ke surga, atau ke neraka, tidak dilihat berdasarkan etnisnya, negaranya, mazhabnya, golongannya, atau siapa pemimpinnya saat di dunia; tapi berdasarkan kepatuhan dalam menaati tuntunanNya.
Jadi, seorang manusia --masing-masing-- bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri.
Bukan tanggung jawab kelompok.
Yang jelas, Allah Maha Pengampun.
Setiap orang
pernah berbuat salah; namun yang sudah berlalu, biarlah lewat.
Yang penting, mulai sekarang, kita awali perjalanan masa depan dengan berbuat yang positip.
TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..
(Alfa Qr)
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar