Takdir biasa diistilahkan dengan qadha dan
qadr.
Qadha (keputusan) dan qadr (kadar, ukuran) bisa diartikan sebagai keputusan yang kadarnya ditentukan Allah, yang ditimpakan Allah kepada sesuatu.
Qadha (keputusan) dan qadr (kadar, ukuran) bisa diartikan sebagai keputusan yang kadarnya ditentukan Allah, yang ditimpakan Allah kepada sesuatu.
Walaupun qadha dan
qadr, berdasar disiplin ilmu bikinan manusia, kita kenal termasuk dalam rukun
iman, namun keterangannya --bahwa qadha dan qadr termasuk rukun iman-- tidaklah
terdapat dalam nash Al Qur’an.
Ternyata ini ada hikmahnya.
Realitanya, dalam sejarah panjang perjalanan Islam, ketimbang menjadikan takdir sebagai perkara yang harus diimani, manusia lebih sering menjadikan takdir justru sebagai lahan untuk diributkan; untuk diutak-atik, dan dipertengkarkan.
Ternyata ini ada hikmahnya.
Realitanya, dalam sejarah panjang perjalanan Islam, ketimbang menjadikan takdir sebagai perkara yang harus diimani, manusia lebih sering menjadikan takdir justru sebagai lahan untuk diributkan; untuk diutak-atik, dan dipertengkarkan.
Dari sebab itu, bagi
kita yang Muslim awam biasa --karena keterbatasan ilmu-- lebih baik tidak
memperbincangkan masalah takdir.
Kita cukup percaya, bahwa segala sesuatu yang menimpa seseorang tidak terlepas dari sebab-musabab yang selaras dengan kemahaadilan dan kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kita cukup percaya, bahwa segala sesuatu yang menimpa seseorang tidak terlepas dari sebab-musabab yang selaras dengan kemahaadilan dan kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
MUSIBAH, HUKUMAN ATAU UJIAN
Dalam tiap perkara, kemahaadilan Allah senantiasa menyertai.
Satu musibah yang menimpa seseorang, bisa saja berupa balasan (mengurangi, menghapus dosa) dari perbuatan orang itu sebelumnya.
Bisa pula sekadar ujian yang akan mendapat
balasan pahalaNya.
“Tiada seorang beriman (mu’min) ditimpa rasa sakit, kepayahan, diserang
penyakit, atau kesedihan, sampai pun duri yang menusuk tubuhnya, kecuali dengan
(sebab) itu Allah menghapus (di antara) dosa-dosanya.” (HR.
Al-Bukhari)
“Allah menguji hambaNya dengan
menimpakan musibah, sebagaimana seorang menguji kemurnian emas dengan api
(pembakaran emas).” (HR. Ath-Thabrani)
Tuhan berkehendak, artinya Allah mencegah atau membiarkan suatu perkara
terjadi, dengan sebab-sebab yang tidak kita ketahui.
Namun dengan keyakinan bahwa kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut tidak terlepas dari sifatNya yang Mahaadil.
Namun dengan keyakinan bahwa kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut tidak terlepas dari sifatNya yang Mahaadil.
Realitanya, dinamika
kehidupan di dunia ini benar-benar laksana sebuah taman permainan yang penuh
dengan ketidakpastian.
Kehidupan kadang dihiasi pasang surut; manusia bisa amat bersuka cita di dunia ini, tapi juga bisa saja tiba-tiba ditimpa musibah.
Seperti juga suasana cerah yang menampilkan pemandangan yang indah, kadang bisa
mendadak berubah diselimuti mendung yang melahirkan badai ketidaktenteraman.
Karenanya, tidak
perlu sombong; sebab takdir indah yang kita nikmati kemarin bisa saja berubah
drastis di takdir hari esok.
Padahal, realitanya, kebanyakan orang sering tidak siap dengan perubahan takdir (yang buruk) yang mendadak terjadi.
Padahal, realitanya, kebanyakan orang sering tidak siap dengan perubahan takdir (yang buruk) yang mendadak terjadi.
TAKDIR ITU MUSTAHIL SEWENANG-WENANG
Selain Mahakuasa, Allah itu Mahaadil.
Artinya, Allah berhak melakukan apapun yang dikehendakiNya tanpa ada yang bisa menghalangiNya.
Allah bebas berkehendak mencegah maupun membiarkan suatu perkara terjadi, tanpa ada satu keterikatan sedikit pun dalam melakukannya.
Artinya, Allah berhak melakukan apapun yang dikehendakiNya tanpa ada yang bisa menghalangiNya.
Allah bebas berkehendak mencegah maupun membiarkan suatu perkara terjadi, tanpa ada satu keterikatan sedikit pun dalam melakukannya.
Namun dalam melaksanakan
kehendakNya, Allah tidaklah sewenang-wenang; karena apa yang dikehendaki Allah
ada penyebab yang tidak terlepas dari sifat Allah Yang Mahaadil.
Kedua sifat inilah, Mahaadil dan Mahakuasa, yang sering dilupakan orang tatkala mengkaji masalah takdir; yang berakibat timbulnya kesalahan dalam menafsirkan ‘kehendak’ Allah.
Oleh karenanya,
dalam menghadapi suatu perkara, setiap Muslim harus berusaha sekuat
kemampuannya; namun dalam menyikapi hasilnya, ia harus bertawakal.
Artinya, mensyukurinya bila hasil akhirnya sesuai dengan yang diinginkan; dan jika tidak seperti yang diharapkan, tetap menerimanya sebagai yang terbaik yang dikehendakiNya.
Ada hikmah tersembunyi dari setiap perkara.
Ada maksud-maksud Allah yang tidak kita ketahui dari keberhasilan maupun musibah yang kita alami.
Artinya, mensyukurinya bila hasil akhirnya sesuai dengan yang diinginkan; dan jika tidak seperti yang diharapkan, tetap menerimanya sebagai yang terbaik yang dikehendakiNya.
Ada hikmah tersembunyi dari setiap perkara.
Ada maksud-maksud Allah yang tidak kita ketahui dari keberhasilan maupun musibah yang kita alami.
Hakekatnya, takdir
adalah perkara yang berkaitan dengan usaha manusia dan yang dialami manusia,
yang tak terlepas dengan ‘kehendak’
Allah SWT.
Baik sesuai dengan yang diharapkan si manusia itu sendiri maupun tidak, tapi dengan tidak mengabaikan sifat Allah Yang Maha Berkehendak (tidak tertolak), Mahakuasa (tidak terikat), dan Mahaadil (tidak sewenang-wenang).
Baik sesuai dengan yang diharapkan si manusia itu sendiri maupun tidak, tapi dengan tidak mengabaikan sifat Allah Yang Maha Berkehendak (tidak tertolak), Mahakuasa (tidak terikat), dan Mahaadil (tidak sewenang-wenang).
Ada sabda Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
semestinya kita renungkan di dalam masalah takdir atau nasib manusia,
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang
maka disegerakan (di dunia) tindakan hukuman atas dosanya. Dan jika Allah
menghendaki bagi hambaNya keburukan, maka disimpan dosanya sampai dia harus
menebusnya pada hari kiamat.”
Artinya, akan sangat rugi bagi seseorang yang berbuat kejahatan tapi terluput dari balasan hukuman di dunia.
Artinya, akan sangat rugi bagi seseorang yang berbuat kejahatan tapi terluput dari balasan hukuman di dunia.
Karenanya, selain istigfar, Muslim yang
ikhlas juga mengucapkan Alhamdulillah
ketika diuji dengan musibah; sebab ada dosanya yang terhapus dari hukuman di akhirat.
Catatan:
- Muslim harus berusaha dan berusaha, hasil akhirnya serahkan pada kehendak Allah Swt. Sebuah wejangan dari Umar bin Khaththab ra, “Aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi padaku; apakah yang kusukai atau yang tidak kusukai (keberhasilan atau kegagalan), karena sesungguhnya aku tidak tahu yang manakah yang terbaik bagiku.”
“Seorang peminta-minta (mengemis karena malas),
kelak
di hari kiamat dia akan datang menemui Allah
dengan
muka tanpa daging.”
(HR. Muslim)
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar