BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Senin, 27 Februari 2012

PESAN PENUTUP


 Kita tak perlu memungkiri realita. Dalam perjalanan kehidupan ini banyak intrik si iblis laknat jahanam yang ingin menyesatkan kita. 
Banyak godaan, ujian, cobaan, ataupun musibah   --yang suka atau tidak suka--   harus kita hadapi. 
Banyak hal yang kalau kita tidak waspada membuat kita terpeleset ke dalam perkara yang bukan saja mengakibatkan penderitaan di dunia, tapi bisa menjerumuskan kita ke dalam neraka di akhirat.

 Untuk itu, dengan tidak bermaksud menggurui, tetaplah berpegang pada perjanjian kita dengan Allah ‘Azza wa Jalla.  
Renungkanlah tuntunan Nya di bawah ini dengan seksama.



  • Sembahlah hanya Allah, jangan menyekutukanNya,
“..sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Nya..” (Quran, Al Araaf [7]:59, 65, 73, 85, dan Hud [11]:50, 61, 84)
 “..sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qur’an, Luqman [31]:13)



  • Bertakwalah sesuai kemampuan,
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..” (Qur’an, At Taghaabun [64]:16)



  • Berlaku adillah kepada siapapun,
“..Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..” (Quran, Al Maidah [5]:8)



  • Hindari perbuatan buruk, terlebih yang merugikan orang lain,
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (Qur’an, Al Qiyaamah [75]:36)
“.. bahwasanya seorang yang berdosa tak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Quran, An Najm [53]: 38-39)



  •  Bersegeralah bertobat,
“..Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu).” (Qur’an, Faathir [35]:18)



  • Dan yang terpenting, tetaplah dalam tali tuntunan Islam,
“..dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Qur’an, Ali Imran [3]:102)



Sesungguhnyalah, dari kebaikan dan keburukan kita bisa belajar. 
Dari kebaikan kita belajar mengambil manfaat dari kebaikan itu. 
Dari keburukan kita belajar untuk menghindar dari segala sesuatu yang diakibatkan oleh keburukan itu.

 Semoga kita termasuk orang yang bisa membaca; yang bisa belajar. 

Dan bisa menyemaikannya kepada orang lain.  

Alhamdulillah.




Bagikan blog BEBAS MERDEKA PISAN ini kepada teman-teman Anda dengan meng-klik 'bagikan'/'share'...
SEMOGA balasan pahala akhirat yang kekal menjadi imbalan yang terbaik buat Anda...

(Alfa Qr)

Persaudaraan Muslim


Pesan Rasulullah Saw, “Tidak seorang pun di antara kalian dipandang beriman sebelum dia menyayangi saudaranya sesama Muslim, seperti halnya ia menyayangi dirinya sendiri.” (Shahih Al-Bukhari)

Persaudaraan Muslim adalah semangat kasih sayang di antara orang-orang seiman; semangat ukhuwah Islamiyah yang ada (dan semestinya ada) pada setiap orang yang mengaku Muslim
Karenanya, Persaudaraan Muslim tidaklah berbentuk organisasi zahir; sebab yang namanya organisasi zahir bisa dihinggapi penyakit perpecahan dan bisa dibubarkan.

Persaudaraan Muslim adalah satu kekuatan yang tidak kasat mata, ia adalah ruh semangat islami. Karenanya, selama seorang muslim berusaha menegakkan kemuliaan Islam, ia adalah pelaku Persaudaraan Muslim.

Pelaku Persaudaraan Muslim adalah Muslim yang mengutamakan kelembutan hati dan ketulusan cinta kasih; yang memiliki kerendahan hati dan keluhuran pekerti. 
Yang toleran dan menghormati keyakinan orang lain. 
Yang menebar kasih dan menabur senyum. 
Yang mengucap salam tiap bertemu dengan Muslim lainnya, tanpa memandang kedudukan, suku-bangsa, warna kulit, golongan, maupun derajat-derajat yang diada-adakan manusia. 
Yang senantiasa berpegang pada kebenaran Islam dan kelurusan ajaranNya. 
Yang tak memiliki motivasi lain yang mendasari setiap perilaku dan perbuatannya, selain semata-mata mencari dan mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yang senantiasa berusaha jadi Muslim yang sempurna, yang senantiasa berusaha berlomba dalam kebajikan. 
Yang senantiasa berusaha untuk tidak menyimpang dari ucapannya: “Sesungguhnyalah shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam yang tidak ada sekutu bagiNya.”

Satu-satunya ajaran yang dipegang teguh para pelaku Persaudaraan Muslim hanyalah tuntunan Allah yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
Dari sebab itu, dalam masalah berbuat kebajikan, setiap pelaku Persaudaraan Muslim tidak mengenal yang namanya pemimpin berupa manusia; sebab Pemimpinnya cuma Allah semata-mata. 
Yang jadi sandarannya hanyalah seperti yang difirmankanNya dalam Al Qur’an, surat Ali Imran [3] :173,

 “Hasbunallah wa ni’mal wakil; Cukuplah Allah menjadi Penolongku dan Allah sebaik-baik Pelindung”

Jika sudah begitu, tidak ada yang perlu kita takutkan, tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menghalangi kita dalam menyampaikan kebenaran dan kemuliaan Islam. 
Karenanya, sekali lagi, selalu --dan selalu, dan selalu-- tanamkan dan jadikan dasar landasan setiap langkah kita:

“Hasbunallah wa ni’mal wakil”.
Cukuplah Allah bagi kita, Dia sebaik-baik yang menjamin dan melindungi kita



Bagikan/Share tulisan ini kepada teman-teman Anda yang lain.
SEMOGA BERKAH dan RIDHA ALLAH SWT terlimpah ruahkan kepada Anda sekeluarga.

(Alfa Qr)

Sekadar untuk sahabat


Kitab yang ada di tangan Anda saat ini, hanya sekadar untuk mengetahui tuntunan Islam secara selintas; dan bukan untuk memaksakan kemestian dalam beramal. 

Sebab, tujuan awalnya catatan kecil ini dibukukan --selain ditujukan untuk sahabat-sahabat penulis yang kebanyakan Muslim awam biasa; yang dalam praktek kesehariannya tidak begitu memahami tuntunan Islam-- ditujukan untuk menjernihkan kesalahpahaman tentang Islam terhadap mereka yang karena ketidaktahuannya menilai Islam sebagai agama yang memberatkan dan tidak toleran. 

Tidak sedikit isi kitab ini merupakan hasil bincang-bincang antara penulis dengan teman-teman penulis, baik Muslim maupun bukan. [1]   
Yang dalam realitanya lebih banyak membahas masalah kehidupan sehari-hari, yang lebih terkait dengan masalah keduniawian, ketimbang masalah peribadatan. 
Jadi, tak mustahil jika di dalam isi kitab ini terdapat pemahaman yang tidak berkenan bagi yang membacanya. 
Karenanya, bisa jadi, kitab ini sama sekali tidak layak jika ditujukan untuk mereka yang sudah terbiasa mendirikan tuntunan Islam dalam kesehariannya secara sempurna. 

Yang jelas, kitab ini sekadar untuk dijadikan batu loncatan; sekadar untuk membuka minat membaca kitab-kitab tuntunan agama yang ditulis para ulama yang benar-benar menguasai ajaran Islam secara sempurna. 
Sebab, siapapun yang ingin mendapatkan tuntunan Islam yang benar, maka ia harus berguru kepada orang yang benar-benar mendalami ajaran Islam. 

Hanya saja perlu dimaklumi, pendapat para ulama yang kita anggap panutan itu pun ternyata tidak terlepas dari perbedaan pemahaman; malah walau mengaku masih dalam satu mazhab sekalipun. 
Padahal, tuntunan Islam itu untuk semua manusia; yang kebanyakan adalah orang awam biasa. 
Yang jadi pertanyaan, apakah kita --Muslim awam biasa-- patut disalahkan jika kita mengikuti pemahaman ulama yang (ternyata) salah?

Kita percaya, Allah pasti Mahabijak, Allah pasti mengetahui usaha dan kemampuan kita yang hanya orang awam biasa. 
Mustahil Allah menyalahkan dan menghukum seseorang yang telah berusaha sesuai kemampuannya. 
Lagipula, rasanya aneh, jika kita harus menanggung dosa dari satu hal yang kita tidak bisa menghindarinya. 

“..Ya, Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya ” (Quran, Al Baqarah [2]:286)

Kita percaya Allah Mahaadil, Maha Mengetahui. 
Kita percaya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. 


(Alfa Qr)

[1]   Hakekatnya penulis hanya sekadar tukang ketik, tukang catat. 
Hakekatnya penulis hanya penyampai.  
Muatan dalam kitab ini hakekatnya buah pikir orang lain yang penulis nilai benar. 
Karenanya, buat mereka yang telah memberi masukan, semoga ampunan, taufik dan hidayah Allah dikaruniakan kepada kita semua. Semoga pahala akhirat yang kekal menjadi imbalan yang terbaik.

KETIKA SAAT ITU TIBA



Tatkala rambut diputihkan dan gigi ditanggalkan; saat mata mulai tak jernih, seperti juga telinga yang berangsur kehilangan pendengaran. 
Manakala pikiran mulai sering lupa dan merayap menuju pikun; sementara kulit keriput menjadi kenyataan dan kekuatan yang pernah dibanggakan malah menjadi sekadar bayang-bayang. 
Manusia baru menyadari ada sesuatu yang meninggalkannya.


Ada dua jenis manusia yang menangis karenanya.

Pertama, manusia yang tak rela kehilangan itu semua, yang merasa belum puas. 
Ia melihat tanda-tanda itu sebagai lampu kuning; menangis sedih karena ketakutan lampu berubah menjadi hijau, pertanda pintu kematian disingkapkan.

Kedua, manusia yang ikhlas menghadapinya. 
Ia menangis sedih karena merasa masih kurang mensyukuri kenikmatan yang pernah diberikanNya. 
Ia menyesal karena merasa masih kurang mengisi masa lalunya dengan hal-hal yang lebih bermanfaat. 
Ia tak takut dengan kematian, bukan karena sombong merasa jadi orang baik; tapi karena meyakini bahwa sesungguhnyalah kematian memisahkan kita dari yang kita cintai tapi mempertemukan kita dengan yang lebih kita cintai.


Sesungguhnyalah, kedekatan kepada Tuhannya akan menjadikan seorang Muslim menyikapi penyakit dan musibah yang datang kepadanya sebagai tanda kasih sayang Allah kepadanya; karena dengan sebab itu ia percaya Allah mengampuni di antara dosa-dosanya di masa lalu. 

Dan dengan kedekatan kepada Tuhannya pula, seorang muslim akan mawas diri manakala kemuliaan dan kesenangan duniawi melimpah datang kepadanya; karena dengan sebab itu ia percaya Allah sedang mengujinya.






TAK PERLU JAWABAN

Saat kain penutup tubuh kita bukan lagi stelan jas dan dasi, melainkan hanya sehelai kain kafan; dan mobil mahal yang kita banggakan, digantikan dengan sebuah kereta jenazah
Maka rumah yang kita tuju pun bukan lagi rumah mewah seluas puluhan hektar, melainkan hanya sebuah lubang berlumpur kotor yang berukuran hanya satu kali dua meter.

Di saat itu, rumah kita hanyalah sebuah bilik sempit yang gelap; yang dinding dan lantainya hanyalah tanah. 

Bukan rumah yang memiliki belasan kamar yang indah, yang berdinding dan berlantai marmer. 
Bukan lagi rumah yang dilengkapi kolam renang yang asri dan ruang istirahat yang mewah. 

Rumah kita hanyalah sebuah bilik yang sunyi sepi; sebuah ruangan yang pengap dan lembab.  

Di saat itu, satu-satunya pelita yang ada hanyalah amalan-amalan kita; dan bukan lampu hias yang mahal.


Ketika saat serupa itu tiba, apalagi yang kita harapkan? Bertobat? 
Atau keinginan untuk berbuat baik kepada orang lain?

Pertanyaan serupa itu, pada saat serupa itu, tak perlu jawaban.








BERTOBAT SELAGI SAAT ITU BELUM TIBA

Selagi kita masih diberi kemampuan, tidaklah salah jika kita tetap berusaha meraih ilmu dan kekayaan duniawi sebanyak mungkin. 

Namun selalu harus dicamkan, yang akan menjadi bekal yang akan kita bawa ke akhirat bukanlah harta dan ilmu yang banyak, tapi manfaat dari harta dan ilmu kita itu dalam menolong orang lain.


Yang jelas, satu hal yang harus diwaspadai, hidup ini sering tersamarkan oleh kemunafikan yang tidak kita sadari. 

Menolong orang lain itu satu hal yang mulia, tapi menghindar dari merugikan orang lain itu lebih penting
Seperti juga memperbanyak zikir itu satu perkara yang baik, namun senantiasa beristighfar merupakan hal yang utama; sebab ibarat badan yang kotor, ia lebih membutuhkan sabun mandi ketimbang parfum. 

Dari sebab itu, utamakanlah bertobat lebih dahulu

Berhentilah merugikan, mengganggu dan membohongi orang lain.

Pesan Rasulullah Saw: “Allah Ta’alla sangat gembira menerima tobat seseorang, melebihi kegembiraan seseorang yang menemukan kembali barangnya yang hilang.”  (HR Muslim)






TIDAK MERUBAH KEADAAN

Bangunan di atas kuburan tidak akan membuat bahagia orang yang sudah mati; bangunan di atas kuburan hanya menyenangkan mata orang yang masih hidup. 

Bangunan di atas kuburan tidak merubah ruangan di bawahnya --yang berlumpur kotor dan penuh dengan cacing-- menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali. 

Karenanya, tidak ada gunanya anak dan cucu kita mendirikan bangunan di atas kuburan kita. 
Sebab semewah apapun bangunan itu, tidak merubah ruang kuburan yang jasad kita tempati menjadi hangat dan menyenangkan. 
Artinya, bilik yang kita tempati tetap saja sebuah ruang sempit yang gelap dan bau, yang dingin dan getir.


Yang bisa membuat kita hangat dan nyaman adalah doa ampunan yang berkesinambungan yang dipanjatkan anak dan cucu kita, dan bukan mendirikan bangunan yang malah membebani kuburan kita. 

Apalagi jika biaya mendirikan bangunan itu tercampur uang yang didapat secara haram; bangunan itu malah akan lebih menghimpit menyesakkan kita, akan lebih menyengsarakan kita. 


Begitu juga tangis kesedihan anak dan cucu kita hanya akan membuat kita lebih tersiksa; membuat kita malah bersedih melihat mereka sedih. 

Yang bisa membuat kita gembira justru ketika kita menyaksikan mereka tawakal dengan kematian kita; melihat mereka ikhlas dengan kehendak Allah Azza wa Jalla.


Jadi, tidak ada gunanya memamerkan cinta kasih dengan mendirikan bangunan mewah di atas kuburan sesudah mereka meninggal; tunjukkanlah cinta kasih itu selagi mereka masih hidup

Kalau mau menunjukkan cinta kasih kepada orang yang sudah wafat, perbanyaklah doa permohonan supaya Allah mengampuni mereka. 

Perlihatkanlah (cinta kasih kita kepada orang yang kita sayangi) kepada Allah; tidak perlu memamerkan (cinta kasih kita kepada orang yang kita sayangi) kepada manusia.





Bagikan blog BEBAS MERDEKA PISAN ini kepada teman-teman Anda dengan meng-klik 'bagikan'/'share'...
Semoga balasan pahala akhirat yang kekal menjadi imbalan yang terbaik buat Anda...

(Alfa Qr)

Apakah engkau tidak ikhlas?



Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa dahaga dengan keinginan untuk memberi; karenanya, kebahagiaan beliau yang terbesar adalah saat beliau bisa menolong orang lain.
Bagi beliau yang harus diraih adalah ridha Allah  Subhanahu wa Ta’ala; bukan semata-mata kekayaan, ketenaran dan kekuasaan. 

Beliau --pembawa rahmat, sekaligus orang yang paling dicintai Allah--  adalah pemimpin umat. 
Namun rumah beliau, tempat tinggal isteri-isteri beliau, yang terletak di samping masjid, hanyalah berupa bilik-bilik sederhana yang dindingnya terbuat dari anyaman pelepah kurma; yang pintu-pintunya juga hanya ditutupi sehelai kain hitam yang kasar. 


Begitu sederhananya kehidupan beliau, sampai di saat sakitnya uang yang dimilikinya hanyalah tujuh dinar; itu pun kemudian disedekahkan buat umatnya sehari menjelang beliau wafat. 

Satu hal yang sungguh jauh berbeda dengan kehidupan para pemimpin kita di zaman sekarang.



Satu ketika, Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berkunjung ke rumah beliau.

Saat itu Nabi Saw baru saja bangun dari tidurnya di atas tikar anyaman pelepah kurma, sehingga tampak bekasnya di badan beliau.
Melihat keadaan serupa itu Umar menangis.

“Mengapa engkau menangis?” sapa Nabi.

“Anda telah ceritakan kemegahan Kisra dan kerajaannya. Hurmuz dengan kerajaannya, dan Raja Habasyah dengan kerajaannya. Tapi anda sendiri, ya, Rasulullah, tidur di atas tikar pelepah kurma”, jawab Umar berlinang air mata.

Rasul pun berujar dengan lembut, “Apakah engkau tidak ikhlas, dunia bagi mereka dan bagi kita akhirat?”


Sebuah pertanyaan singkat, yang selayaknya ditujukan ke lubuk hati kita yang paling dalam.

Menangislah, hai, insan.[1]


“Seorang anak Adam sebelum menggerakkan kakinya
pada hari kiamat akan ditanya tentang lima perkara:
Tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya.
Tentang masa mudanya, apa yang dilakukkannya.
Tentang hartanya, dari sumber mana dia peroleh
dan dalam hal apa dia membelanjakannya.
Dan tentang ilmunya, mana yang dia amalkan.”
(HR Ahmad)



BAGIKAN/SHARE tulisan ini kepada teman-teman Anda yang lain.

(Alfa Qr)


[1]   Kisah di atas berdasar hadits yang dianggap menjadi asbab nuzul atau sebab turunnya ayat ke 20 surat Al Insan, ‘Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai kenikmatan dan kerajaan yang besar’.   

Nabi wafat dalam usia 63 tahun berdasar perhitungan tahun hijriah (qamariyah) atau 61 tahun lebih tiga bulan berdasar perhitungan tahun masehi (syamsiyah).

Keikhlasan


Doa itu zikir, tapi zikir belum tentu berupa doa. 
Zikir adalah setiap ucapan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah.

Selain doa permohonan ampunan Astaghfirullah, rangkaian zikir yang diucapkan seorang Muslim umumnya berupa pengagungan. 
Seperti Subhanallah (Mahasuci Allah), Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah), La ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah), Allahu Akbar (Allah Mahabesar), La haula wa la quwwata illa billahil aliyyil azhim (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi Mahaagung).


Seutamanya niat berzikir harus semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan mengharap ridhaNya. 
Jika dicemari dengan niat mengharap keuntungan duniawi, niat tersebut bisa mengurangi nilai keikhlasan kita, malah bisa merusak keikhlasan kita.


Yang sering terjadi, orang melakukan zikir karena menuntut balasan yang berbentuk keduniawian; seperti ingin kaya atau ingin meraih kekuasaan

Dampaknya, jika bentuk keinginan yang dituntut tidak menjadi kenyataan, ada kemungkinan lahirnya prasangka buruk kepada Allah. 
Sebab, biasanya, orang yang melakukan zikir serupa itu mengharuskan Allah untuk mengabulkan keinginannya; padahal manusia tak punya hak mengatur Allah, Allah-lah yang berhak mengatur manusia. 

Karenanya, untuk masalah keinginan yang bersifat keduniawian, selain disertai ikhtiar, kita cukup meminta kepada Allah dengan berdoa yang sungguh-sungguh.  

Masalah dikabulkan sesuai keinginan atau tidak sesuai keinginan, pasti ada maksud Allah Swt untuk kebaikan kita.

Lagi pula mesti dicamkan, harta yang bersifat keduniawian ibarat ular atau kalajengking.  
Hanya jika kita punya penawar racunnya, kita bisa aman bermain-main dengannya.  
Jika tidak, pasti melahirkan masalah.





APA YANG SEBENARNYA KITA CARI?

Inti kecintaan kita kepada Allah adalah ikhlas. 


Perbuatan ibadah kita bisa dinilai ikhlas jika perbuatan yang kita lakukan sesuai dengan yang dituntunkan atau diperintah Allah dan RasulNya.

Yang jelas, amal sedikit yang ikhlas jauh lebih baik daripada amal yang banyak tapi tidak ikhlas. 

Karena itu, dalam masalah balasan pahala dari Allah, jangan sekali-kali kita menuntut imbalan dari kebaikan yang kita lakukan dalam bentuk seperti yang kita inginkan.  
Sebab bentuk dari balasan sebuah kebaikan merupakan hak mutlak Allah. [1]


Yang lebih penting, keikhlasan itu seharusnya bukan hanya sekadar ucapan atau teori saja. 

Karenanya, usahakan kita melakukan kebajikan, terlebih dalam memperjuangkan kemuliaan Islam, semata-mata karena kita benar-benar sedang mencari --dan mengharap-- ridha Allah.




Bagikan/Share tulisan ini kepada teman-teman Anda yang lain.
SEMOGA BERKAH dan RIDHA ALLAH SWT terlimpah ruahkan kepada Anda sekeluarga.

(Alfa Qr)


[1]  Ikhlas bukan berarti kita tidak boleh mengharap balasan, bukan berarti dilarang meminta. Ikhlas artinya kita tak perlu menuntut, tak perlu memaksa Allah.

Sedekah kebajikan


Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk” (Qur’an, Huud [11]:114)

Satu hal yang sangat adil jika sebuah kebajikan diberi imbalan pahala dengan nilai yang berlipat-lipat, dan sebuah kejahatan cukup dibalas hukuman senilai dosa dari kejahatan itu sendiri.

Realitanya, keinginan untuk berbuat baik muncul dari diri kita sendiri; dan jalan ke arah berbuat baik itu sulit karena setan selalu berusaha menghalang-halanginya. 
Sedangkan keinginan berbuat jahat tidak terlepas dari dorongan si iblis laknatullah; dan jalan ke arah kejahatan itu mudah karena dibukakan setan selebar-lebarnya. 






TAK PERLU MENENTUKAN BENTUK KEBAJIKAN

Niat melakukan kebajikan adalah satu hal yang terpuji. 

Namun sebaiknya tidak menentukan bentuk atau jenis dari kebajikan yang akan kita lakukan untuk orang lain itu; sebab jika niat baik tersebut tidak bisa atau belum terlaksanakan, justru akan membebani kita. 

Kita malah akan merasa berdosa, atau merasa bersalah; padahal tadinya kita mau berbuat baik dengan ikhlas. 

Jadi, kita tak perlu menentukan bentuk kebajikannya itu sendiri, tapi cukup berniat akan bersedekah.


Arti yang umum dipahami dari bersedekah adalah mendermakan harta --baik uang maupun barang-- untuk membantu orang lain. 
Sedekah dalam pengertian yang lebih luas adalah semua kebajikan yang dilakukan seseorang, yang dengan sebab itu Allah membalasnya dengan kebajikan pula. 
Tersenyum dan tutur kata yang baik adalah sedekah. 
Langkah kaki saat menuju masjid adalah sedekah. 
Menafkahi anak isteri, infak dan zakat pun, dalam pengertian yang lebih luas adalah sedekah.


Sedekah hukumnya sekadar keutamaan; zakat hukumnya wajib.  

Karenanya, orang yang menerima sedekah wajar berterimakasih kepada orang yang memberinya. 
Orang yang menerima zakat tidak perlu berterima kasih kepada orang yang mengeluarkan zakat; sebab zakat yang diterima merupakan hak bagiannya yang dititipkan Allah kepada orang lain







NADZAR

Tidak ada nadzar (niat atau janji melakukan sesuatu) kecuali dengan maksud mendekatkan diri atau mencari ridha Allah semata-mata.

Berniat mengadakan pesta bila lulus ujian sekolah, tidak apa-apa jika dibatalkan; tapi bila berniat untuk bersedekah, maka bersedekah itu jadi wajib untuk dipenuhi. 

Begitu pun orang yang berniat untuk piknik bila sembuh dari penyakit, tidak berdosa jika membatalkannya. 
Tapi bila berniat akan mewakafkan tanahnya untuk kepentingan agama, ia harus memenuhi nadzarnya ini. 

Jika tidak, ia harus membayar denda (kafarat).

Karenanya, seutamanya hindari bernadzar. 

Lakukan amal ibadah dengan ikhlas, tanpa harus menuntut Allah melakukan sesuatu kebaikan.









MEMBERSIHKAN HARTA

Upaya ‘membersihkan’ harta kita dari kemungkinan adanya ‘kotoran’ yang menyertainya, adalah sangat utama.  
Artinya, mengeluarkan harta hak bagian orang lain dari kelebihan harta yang kita punyai, sudah sepantasnya dilaksanakan. 
Oleh karenanya, akan lebih baik jika setiap kali kita mendapat tambahan harta kekayaan (pendapatan, penghasilan), kita membersihkannya dengan menyerahkan bagian hak orang miskin tersebut.

Namun jika harta tambahan itu jangankan ada kelebihan, untuk kebutuhan hidup keluarga sendiri pun malah masih kurang --termasuk belum mampu memiliki sendiri rumah tinggal-- tentunya tidak perlulah dikeluarkan zakatnya. 

Lagi pula, besarnya penghasilan tiap orang tidaklah sama. 
Begitu pun standar minimal kebutuhan hidup setiap keluarga, tentunya berbeda. 

Contohnya, kebutuhan hidup keluarga dengan satu anak berbeda dengan keluarga yang memiliki tujuh anak. Jadi, kelebihan harta dari harta yang dimilikinya juga menjadi bersifat relatif.


Pertanyaannya, berapa banyaknya dari kelebihan harta tersebut yang harus dikeluarkan? 
Seperempatpuluh, sepersepuluh atau seperlima bagian? 
Waktu dikeluarkannya apa mesti pada tiap saat mendapatkannya, atau boleh dikumpulkan jumlahnya dulu sampai satu tahun?

Bagi kita, Muslim awam, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tampaknya diserahkan kembali pada ketulusikhlasan hati kita. 

Jadi, mengenai besarannya maupun waktunya, karena masing-masing orang lebih mengetahui akan besar-kecilnya ‘kelebihan harta’ dari kekayaan yang dimilikinya, jelas diserahkan pada keikhlasan masing-masing Muslim.

Mahasuci Allah yang menguji kadar keikhlasan hambaNya. 






SEDEKAH, INVESTASI YANG MUSTAHIL MUBAZIR

Orang yang berkurang hartanya karena musibah, dicuri atau ditipu, beda nilainya dengan orang yang berkurang hartanya karena bersedekah. 

Orang yang bersedekah, hakekatnya tidak kehilangan apa-apa;  sebab harta yang disedekahkannya merupakan investasi yang mustahil mubazir, yang akan diganti dengan pahala yang lebih berlipat.

Jadi jelas, ditipu itu rugi. 
Karenanya, daripada ditipu, lebih baik diinvestasikan dalam bentuk bersedekah. 

Anehnya, kebanyakan orang lebih menunggu dulu untuk ditipu ketimbang bersedekah. 
Atau, baru muncul niat bersedekah jika sudah sakit. 

Padahal ingat, kotoran bisa jadi penyakit. 
Sedekah yang benar-benar ikhlas bisa mencuci kotoran; bisa jadi penawar dari penyakit yang kita derita. 

Yang pasti, kita harus berinvestasi.



“Sedekahkanlah ala kadarnya sesuai dengan kemampuanmu,
dan jangan menghitung-hitung,
karena Allah akan menghitung-hitung pula pemberianNya kepadamu, 
dan akan kikir kepadamu.” 
(HR. Muslim)


(Alfa Qr)