Permohonan ampun atau permohonan agar
keinginan (hajat) dikabulkan Allah, yang terbaik adalah yang dilaksanakan
secara langsung memintanya kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Namun tidak dilarang bila kita meminta Muslim lain untuk mendoakan kita.
Namun tidak dilarang bila kita meminta Muslim lain untuk mendoakan kita.
Wasilah (alat,
sarana) ada kalanya diartikan perantara, demikian juga dengan tawasul;
bertawasul diartikan berperantara.
Jika kita bertawasul, berarti kita minta
kepada seseorang (yang masih hidup) agar ia berdoa memohon kepada Allah supaya
keinginan kita dikabulkan Allah.
Bila kita mau ujian
sekolah, kemudian minta ibu-bapak kita untuk mendoakan agar kita lulus, pada
hakekatnya kita bertawasul kepada orang tua kita itu.
Demikian juga tatkala kita sakit, bila kita mendatangi seorang kiai dan meminta beliau untuk berdoa memohon kepada Allah agar kita sembuh, itu bisa disebut bertawasul; dan doa Pak Kiai itu bisa disebut barokah untuk kita.
Jadi, dalam Islam, yang dinamakan
barokah adalah doa kebaikan yang diberikan secara ikhlas tanpa mengharap
imbalan.
Jika mengharap imbalan dari manusia, namanya bukan barokah tapi
jual-beli.
Dan tiap jual beli balasannya sekadar materi duniawi, bukan pahala
akhirat.
TAWASUL YANG SALAH
Kalau kita minta obat kepada dukun atau ‘orang pintar’, yang berupa air putih
atau amalan jampi-jampi, kebanyakan pakar agama berpendapat bahwa hal serupa
itu tidak dibenarkan.
Malah ulama yang sangat keras, didorong rasa cintanya
untuk menjaga kemurnian ajaran Islam, menganggap perbuatan itu sebagai
tindakan munkar, syirik kepada Allah.
Perilaku serupa itu
tidak bisa disebut bertawasul.
Perbuatan serupa itu sama dengan menyetarakan
‘orang pintar’ itu sejajar dengan berhala di dalam Ka’bah yang dipuja-puja masyarakat Jahiliyah, sebagai perantara dalam
menyampaikan hajat mereka kepada Allah.
Perlu diketahui,
masyarakat jahiliyah percaya kepada Allah --dan bersumpah pun mereka sering
memakai nama Allah-- tapi mereka suka memakai berhala sebagai perantara dalam
menyampaikan hajat; karena itu mereka disebut musyrikin, kaum yang menyekutukan
Allah.
Jadi, kalau perilaku kita serupa itu, apa bedanya kita dengan masyarakat jahiliyah, ya?
Juga tidak ada
manfaatnya berhala-berhala --yang dipuja musyrikin Quraisy-- disingkirkan Nabi Saw dari dalam Ka’bah, bila kemudian
kita menjadikan [bangunan] Ka’bah itu serupa dengan berhala; dengan memujanya
secara berlebihan.
Semestinya diingat, kehadiran kita di Baitullah adalah untuk
menyembah Tuhan pemilik Ka’bah, bukan untuk menyembah Ka’bah.
Sesungguhnya [bangunan] Ka’bah itu sendiri sama sekali tidak memiliki kekuasaan untuk menimbulkan mudharat maupun manfaat.
Sesungguhnya [bangunan] Ka’bah itu sendiri sama sekali tidak memiliki kekuasaan untuk menimbulkan mudharat maupun manfaat.
Walau, tentu saja, tidak salah kita menghormati dan menjaga kesuciannya selama tidak ada sedikit pun maksud kita untuk menyekutukannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
BISA MEMBEDAKAN YANG BOLEH DAN YANG TIDAK BOLEH
Bertawasul kepada orang yang masih hidup, dibolehkan; bertawasul ke kuburan
(alias kepada mayat), haram hukumnya.
Realitanya, bertawasul kepada Nabi Saw hanya dilakukan ketika Nabi masih hidup.
Sesudah Nabi wafat, Umar bin Khaththab ra tidak bertawasul ke kuburan Nabi Saw, tapi kepada paman Nabi yaitu Abbas bin Abdul Muththalib ra.
Secara logika pun,
meminta orang yang sudah wafat agar berdoa kepada Allah untuk mengabulkan
keinginan kita yang masih hidup, adalah hal yang tak layak dilakukan Muslim
yang berpikiran jernih.
Jelas, memberikan
barokah --berupa doa kebaikan-- dibolehkan.
Memberikan barokah maknanya: kita
(atau seseorang) berdoa mohon kepada Allah agar keinginan orang lain, baik yang
kita kenal atau tidak, supaya dikabulkan Allah Swt.
Namun barokah berbentuk benda atau doa memohon kepada selain
Allah, tidak dibolehkan.
Artinya, tidak boleh
menganggap sesuatu --benda, manusia, tempat, atau apa saja-- sebagai memiliki
keutamaan, jika tidak ada keterangannya dalam agama.
Masjidil Haram punya keutamaan, karena ada dalilnya.
Tapi tidak ada keutamaan gua anu, gunung anu,
makam kiai anu, keris anu, karena tidak ada dalilnya di dalam Qur’an maupun
sunnah Nabi Saw.
MENGHORMATI ULAMA, BUKAN MEMBERHALAKAN ULAMA
Menghormati ulama adalah sikap seorang Muslim.
Tatkala beliau masih hidup: mempelajari tuntunannya, meneladani amal solehnya.
Manakala beliau sudah
wafat: mendoakannya, memohon agar Allah memaafkan semua kekurangannya, memohon
agar Allah merahmatinya serta melipat gandakan pahala amal solehnya.
Bukan
membangun kuburannya (hukumnya makruh yang amat sangat), apalagi memujanya
(hukumnya haram).
Realitanya, ada dua
jenis berhala.
Pertama, berhala yang dianggap tuhan.
Kedua, berhala yang
dijadikan perantara sebagai penghubung manusia dengan Tuhan.
Sedangkan dari
bentuknya berhala pun dibagi dua.
Pertama, berhala berupa benda mati
atau patung buatan manusia.
Kedua, berhala berupa makhluk
bernyawa, baik hewan atau manusia, termasuk tokoh agama yang dianggap sakti.
Haram hukumnya
menyekutukan berhala-berhala ini dengan Allah.
Catatan:
- Akidah dan akhlak adalah dua hal yang tak terpisahkan bagi seorang Muslim. Karenanya, saat ini, yang dibutuhkan bukan hanya ulama yang sekadar bisa mengajarkan masalah akhlak mulia atau budi pekerti. Tapi juga, terlebih lagi, ulama yang mampu mengajarkan akidah dan syareat yang benar dengan sikap yang tegas dan teguh tapi santun.
- Kita tidak boleh memasukkan unsur peribadatan ke dalam perkara duniawi --dengan ketentuan yang kita atur-atur-- sebab perkara duniawi tersebut bisa berubah menjadi perkara ritus ibadat. Dan membuat ritus ibadat baru hukumnya tidak boleh.
TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar