BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Kamis, 23 Februari 2012

Mengikuti pemahaman


Yang harus diikuti oleh kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah Nabi Saw
Nama madzhab yang disandarkan kepada ulama yang (dianggap) mendirikan mazhab tersebut tidaklah menurut keinginan ulama termaksud.

Selama berdalil kepada Qur’an dan sunnah, tak ada larangan dalam menghadapi satu perkara seorang Muslim mengikuti pemahaman dari Kiai X, dan dalam perkara lain ia mengambil pemahaman dari Kiai Y. 

Misalnya dalam perkara tidak batalnya wudhu jika bersentuhan, ia mengambil paham Kiai X karena selaras dengan akal dan keyakinannya. 
Sementara dalam hal tidak wajibnya zakat profesi, ia setuju dengan pemahaman Kiai Y karena dalil yang dikedepankan lebih meyakinkannya.


Yang tidak boleh, jika dalam satu perkara yang sama ia memakai dua pemahaman yang berbeda hanya karena ada kepentingan pribadi. 
Misalnya dalam hal zakat profesi, mewajibkannya tatkala jadi penampung zakat; tapi tidak mewajibkannya ketika seharusnya mengeluarkan zakat. 


Begitu pun dalam hal wanita jadi presiden, satu saat setuju pendapat Kiai X yang membolehkannya. 
Di lain waktu, hanya dikarenakan adanya kepentingan pribadi, memakai pendapat Kiai Y yang mengharamkannya. 

Jadi pemahamannya bukan karena keyakinan, bukan karena Allah. 
Ini pekerjaan pokrol bambu, namanya mempermainkan agama.

Memang seutamanya dihindari wanita jadi presiden, sebab hukumnya makruh yang amat sangat (walau tak ada pengharamannya dalam Al Qur’an namun Nabi Saw tidak menyukainya). 

Tapi Islam tidak mengharamkannya secara mutlak, terlebih bila ia memang memiliki kemampuan yang lebih. 
Muslim harus jujur, jika kita tidak setuju seseorang untuk jadi presiden --dikarenakan tak sejalan dengan paham politik yang dianutnya-- sebaiknya tidak memakai alasan karena masalah gendernya.








MENINGGALKAN PERKARA YANG MERAGUKAN

Islam sebenarnya agama yang mudah dan ringan. 
Tidak asal melarang, tidak asal menghukum. 
Malah, dalam kondisi darurat, sesuatu yang diwajibkan ataupun diharamkan bisa gugur. 

Perlu diketahui, jika ada pilihan, Nabi senantiasa mencari pilihan yang paling mudah. 
Terkecuali jika perkara yang mudah itu meragukan, karena ada kemungkinan keburukan, Nabi meninggalkannya dengan tegas.


Memang kadar tiap persoalan tidaklah sama. 
Ada perkara yang sulit, sedang, dan mudah. 

Untuk perkara yang sulit, dalam mengambil keputusan, sudah semestinya dibutuhkan waktu dan pemikiran yang lebih matang daripada perkara yang sedang atau biasa-biasa saja. 
Namun, memikirkan terlalu lama satu perkara yang sebenarnya bisa diselesaikan segera, sama dengan membuang waktu dan memubazirkan akal itu sendiri.

Mengambil sikap untuk meninggalkan perkara yang diragukan, bisa dilakukan sekarang juga. 
Artinya, sebelum menemukan dalil yang meyakinkan, hentikan dahulu melakukan hal-hal yang meragukan tersebut.










TETAPNYA JENIS HUKUM

Kecuali ada dalil yang memalingkannya, yang memberi pengecualian, satu hukum dalam Islam bersifat mutlak dan mengikat. 
Artinya, bersifat tetap dan berlaku pada semua orang; tidak boleh dirubah-rubah hanya berdasarkan penilaian baik-buruk menurut pendapat kita.

Yang makruh jangan dijadikan haram, yang haram jangan dijadikan makruh. 
Yang hukumnya wajib (seperti haji, saum Ramadhan, zakat) tetap wajib. 
Yang hukumnya sunat (seperti sedekah, infak, akekah) tetap sunat. 
Yang hukumnya haram (seperti minum khamr, makan daging babi) tetap haram. 
Yang hukumnya makruh (seperti merokok) tetap makruh.


Orang kaya yang tidak bersodakoh atau berakekah, tidaklah berdosa karena tidak bersodakoh atau berakekahnya. 
Tapi kekikirannya itu bisa menjadi satu sebab atau faktor yang membuat Allah [berkehendak] membiarkan   --bukan menghukum--   orang itu terperosok pada keburukan. 

Jadi, kalau kita tertimpa musibah atau mengalami kegagalan dalam suatu usaha, hakekatnya karena kesalahan sendiri. 
Allah hanya sekadar membiarkan peristiwa itu terjadi, dan tidak mencegahnya.


Sebaliknya bagi yang bersodakoh atau berakekah, dan semua perbuatan baik lainnya, Allah akan memberi balasan yang baik. 
Diantaranya, Allah [berkehendak] menghindarkannya dari musibah; mencegahnya dari berbuat mungkar; menghapus di antara dosa-dosanya; membukakan jalan ke arah rezeki yang lebih baik; mengabulkan apa yang diinginkannya; atau balasan pahala yang akan diperhitungkan kelak di akhirat.


Begitu pula orang yang melakukan hal-hal yang makruh tidaklah berdosa
Tapi, selain bisa menjadi faktor yang membuat Allah mengabaikan --tidak peduli-- terhadap apa yang diinginkan orang itu, perbuatan makruhnya bisa berakibat timbulnya hal yang merugikan dirinya

Artinya, setiap perbuatan makruh pasti memiliki nilai bahaya bagi pelakunya.

Contohnya, penyakit kanker yang diderita seseorang karena banyak merokok, merupakan buah dari perbuatan yang merugikan dirinya sendiri. 
Bukan hukuman (dosa) dari melakukan perbuatan makruh; karena perbuatan makruh hanya memiliki nilai ‘bahaya’, tapi tidak memiliki nilai dosa.



Catatan:
  • Satu perbuatan tidak boleh dikategorikan haram jika tidak ada larangan tegas (khusus, to the point) dalam Qur’an. Satu perbuatan tidak boleh dikategorikan wajib jika tak ada perintah tegas (khusus, to the point) dalam Qur’an. Sebab mustahil Allah Subhanahu wa Ta’ala lupa memerintahkan yang wajib atau lupa melarang sesuatu yang haram.
  • Gula bisa menyebabkan diabetes, garam bisa menimbulkan hipertensi, begitupun cuka dan cabe rawit bisa mengakibatkan sakit maag; apa semuanya harus diharamkan? Jelas, dalam hukum agama, masalah haram dan wajib harus karena perintah Allah, bukan semata-mata karena alasan adanya kemudharatan atau kemanfaatan pada perkara tersebut.
 (Alfa Qr)

Tidak ada komentar: