BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Rabu, 22 Februari 2012

TIDAK MENGANUT AGAMA

 Ada banyak sebab mengapa seseorang tidak menganut kepercayaan kepada suatu agama. 
Tidak percaya adanya Tuhan, tidak percaya adanya kehidupan sesudah mati, tidak percaya adanya surga dan neraka. [1]



BEBERAPA SEBAB YANG MEMBUAT MEREKA MENILAI AGAMA DENGAN SINIS

             
  • Mereka menilai agama sekadar kesinambungan dari dongeng khayalan manusia zaman dahulu. Menurut mereka, pada awalnya agama lahir dari kebutuhan manusia kepada hukum, yang tidak tertulis, yang memisahkan antara kejahatan dan kebajikan. Yang berkembang pada pembentukan ‘makhluk yang mengatur’ dari kejahatan dan kebajikan itu sendiri.

  • Mereka melihat ketidakjujuran tokoh agama dalam mengemukakan sejarah agamanya maupun kitab suci agamanya kepada umatnya. Tidak berani mengemukakan kepada umat bahwa kitab sucinya adalah karangan manusia yang tidak dikenal identitasnya. Mereka menilai kitab-kitab suci agama tidak lebih sebagai kisah tentang dewa, nabi, malaikat, atau jin. Menurut mereka, para peri dan ‘orang suci’ yang biasa naik kereta terbang hanyalah dongeng khayalan; yang mendustai anak-anak dengan memberikan hadiah yang sebenarnya hadiah itu berasal dari orangtuanya atau orang lain, dan bukan berasal dari ‘Tuhan’. Bagaimana mungkin sebuah agama, yang seharusnya mengajarkan kebenaran yang berasal dari Tuhan, membiarkan atau malah membudayakan suatu kebohongan?


  • Adanya agama yang memang ajarannya tidak masuk akal; yang dipengaruhi mitos Yunani dan Romawi. Yang ternyata hanya khayalan dan karangan manusia yang bertentangan dengan kenyataan ilmu pengetahuan moderen; seperti malaikat berselubung matahari, naga bertanduk berlidah api, atau kuda berkepala singa. Yang tak bisa dibedakan antara kiasan atau dongeng. Padahal, bagaimana mungkin Tuhan yang memberikan akal kepada manusia untuk berpikir, mengajarkan tuntunan serupa itu?  [2]

  • Mereka memandang agama tak lebih sebagai sarana bagi para tokoh untuk mengumpulkan orang bodoh. Ajaran agama ternyata bisa dimodifikasi oleh para tokoh, dengan memasukkan pemahaman si tokoh itu sendiri, yang memunculkan aliran yang berbeda. Bagaimana mungkin sebuah agama (dengan nama yang sama, dengan tuhan atau dewa yang sama) memiliki pemahaman, akidah dan tatacara ibadat yang berbeda-beda?   

  • Mereka menilai agama tidak lebih sebagai alat bagi para tokoh agama untuk melanggengkan kekuasaan atas umat. Agama menjadi tidak ada bedanya dengan ajaran politik (isme, paham) buatan manusia, yang lebih bertumpu kepada figur (tokoh atau makhluk) dan bukan mengutamakan kebenaran ajarannya. Mereka melihat ajaran agama yang di awalnya berdasarkan pada pemisahan kebajikan dengan kejahatan, berubah menjadi sekadar mendasarkan kepada banyak pengikut. Tidak perduli orangnya tetap jahat, yang penting jadi pemeluk agama yang bersangkutan. Seperti tokoh-tokoh geng --mafia, triad, atau yakuza-- yang bergelimang kejahatan, tapi sekaligus jadi pemeluk agama yang soleh, yang ‘rajin’ beribadat. Jelas, agama tidak lebih sebagai sarang kemunafikan.

  • Mereka melihat agama, atau keyakinan pada yang gaib, tidak lebih sebagai kedok untuk melegalisir penipuan. Sebagai sarana yang bisa dikomersilkan, yang bisa dijadikan kamuflase. Realitanya, selain dukun atau paranormal, tak sedikit orang yang mengaku tokoh agama atau ulama terlibat dengan upacara-upacara rekaan manusia. Tak sedikit (yang mengaku) kiai atau syeh yang berpraktek dengan mujizat-mujizat palsu, ramalan-ramalan dusta, jimat-jimat, mantera-mantera, dan kuburan keramat. 

  • Agama tidak lebih sebagai alat untuk menutupi kemalasan. Sarana untuk dijadikan kambing hitam dari kegagalan manusia. Takdir, karma, dan serupanya dijadikan alasan sebagai penyebab dari ketidakberhasilan. Mereka melihat, dalam banyak kasus, agama jadi penyebab kejumudan maupun kemiskinan. Menumbuhkan sikap taklid, sikap mengkultuskan membabi-buta yang menghilangkan sikap kritis. Kasus bunuh diri massal sebuah sekte, dinilai membuktikan kebohongan dan kelicikan tokoh agama.

  • Mereka melihat, di semua negara, dalam organisasi (partai maupun perkumpulan biasa) yang memakai nama agama, sering terjadi perseteruan di antara tokoh pimpinan yang berakibat perpecahan. Satu hal yang dianggap wajar bila terjadi pada organisasi sekular, atau organisasi yang dipimpin orang-orang atheis; namun tidak layak terjadi pada organisasi yang menyandarkan dirinya pada agama. Jika begitu, apa bedanya akhlak orang beragama dan orang tidak beragama? Kalau yang dicari sama saja yaitu kemasyhuran atau kedudukan, manfaat apa yang didapat dari agama?

  • Agama, pada kenyataannya sering jadi sarang kemunafikan. Ajaran kasih sayang dalam prakteknya adalah arogansi, kebencian, dan kekerasan. Ajaran kebebasan memilih dalam banyak praktek berubah menjadi pemaksaan dan anti toleransi. Bersikap santun, soleh, sabar, dan tawakal hanya ada dalam teori.  Sifat mudah tersinggung, cepat marah, dendam, licik, iri hati dan saling sikut, yang menurut ajaran agama harus dijauhi, dalam kenyataannya dipelihara dan dipraktekkan oleh para pemuka agama.  [3]


TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..

(Alfa Qr)


[1]  Dua kelompok yang menjadi atheis, yang merasa 'terpelajar' dan yang 'kecewa'. 
Yang 'terpelajar' menjadi atheis karena menganggap dirinya sebagai orang yang rasional; orang yang realistis. 
Yang 'kecewa' menjadi atheis karena menilai Tuhan telah berlaku tidak adil kepadanya; contohnya, sinterklas yang memberi hadiah yang lebih bagus kepada anak lain yang justru berperilaku lebih buruk.

[2]  Bukan satu hal yang kebetulan jika banyak orang yang menjadi atheis berasal dari kelompok pemikir, pengamat sosial, penulis dan pengarang. Semacam Jean Paul Sartre, filsuf dan penulis Perancis abad keduapuluh (1905-1980).

[3]  Seperti dinilai Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf Jerman (1844-1900) yang jadi terkenal dengan ucapannya ‘tuhan telah mati’, yang menganggap dua bahaya besar bagi manusia adalah minuman keras dan agama (alcohol and christianity).

3 komentar:

BEBAS MERDEKA BLOG (Alfa Qr) mengatakan...

Agama merupakan PILIHAN BEBAS bagi setiap individu untuk meyakininya..
Karenanya, mengapa harus ‘takut’ atau ‘marah’ JIKA ADA muslim yang berpindah keyakinan?
Begitu juga, mengapa nonmuslim harus ‘takut’ atau ‘marah’ JIKA ADA yang hijrah menjadi muslim..?
Biasanya OKNUM yang takut kehilangan umat atau jemaatnya, KALAU BUKAN gila hormat, adalah mereka yang takut kehilangan ‘sumbangan’ dari jemaatnya….
Oknum seperti ini biasanya NUMPANG HIDUP dari perkumpulan atau jemaatnya; dan BUKAN bekerja semata-mata mengedepankan ‘kebenaran’ ajaran agamanya..

Achbal cute mengatakan...

Agama hanya nya cerita jaman baheula dan layak di jadikan dongeng pengantar tidur...

Anonim mengatakan...

Jangan sekali2 membuat blog seperti ini kalian ingin masukin pola umat islam terhadap apa yang kau inginkan yakni murtad hhhhh?

Kami cerdas tapi seperti kalian ngaku krsiten dan ateis tapi kalian mwngkristenisasi dan mengateisasi untuk apa..kekurangan perpuluahan atau apa..

Sudah jangan sekali2 meminkan logika kami lagi,karna ending dari segala ending islam akan menang melawan kalian smua yang memusuhi islam.

Allahu akbarrrr