BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Sabtu, 25 Februari 2012

Ketetapan dan kehendak Allah


Salah satu sebab di antara kerancuan memahami takdir adalah karena menyamakan pengertian ‘ketetapan’ dengan ‘kehendak’. 
Padahal ‘ketetapan’ berbeda dengan ‘kehendak’.

Ketetapan Allah atau sunatullah adalah sesuatu yang sifat-sifatnya telah dibakukan secara tetap; artinya bersifat lebih dahulu. 
Kehendak Allah --iradah atau takdir atau apa pun namanya-- adalah sesuatu yang akan diberlakukan; artinya bersifat baru, bersifat kemudian. 

Jadi, sunatullah --walau sudah ditetapkan, sudah dibakukan sifat-sifatnya-- bisa saja menyimpang jika Allah menghendakinya.
Contohnya: api. 
Berdasar sunatullah, api memiliki sifat yang sudah distandarkan yaitu panas dan membakar; baik api itu berasal dari kompor gas, kayu bakar, maupun lilin.  
Namun dengan kehendak Allah, bisa saja menjadi tidak panas dan tidak membakar. 

Yang jelas, kita dimungkinkan menghindar dari ketetapan Allah  (sunatullah, hukum alam), tapi tidak bisa mengelak dari kehendak Allah.

Contohnya, sesuai ketetapan Allah, orang yang kehujanan pasti basah.  
Untuk menghindar dari basah, kita bisa menggunakan payung atau berusaha berteduh. 
Tapi jika Allah menghendaki kita tetap basah, payung itu bisa jadi tak berfungsi; atau kita tak menemukan tempat berteduh. 






TAK ADA YANG BISA MENOLAK KEHENDAK ALLAH

 Ada dua kemungkinan kehendak Allah, yaitu:
1.      Kehendak bersifat mutlak Allah menentukan sesuatu.
 Contohnya, tatkala Allah berkehendak meniupkan ruh ke jasad manusia. 
Ruh tersebut bisa ditiupkan ke anak orang beriman atau ke anak orang kafir.  
Bisa ditiupkan ke pria atau ke wanita. [1]
2.      Kehendak bersifat hanya sekadar menghalangi (menghindarkan, mencegah), atau sekadar membiarkan sesuatu terjadi.
Contohnya, tatkala Allah berkehendak mencegah atau membiarkan seseorang terperosok pada keburukan. Atau berkehendak menutup atau membukakan jalan ke arah kebaikan. 
Termasuk berkehendak membukakan jalan bagi orang kafir untuk menjadi orang yang beriman. 
Atau sebaliknya, berkehendak membiarkan orang yang tadinya beriman terjerumus pada kekafiran; na ‘udzubillah.


Yang mana pun ‘kehendak’ Allah diberlakukan, semuanya dipastikan tidak terlepas dari sifat Allah Yang Mahaadil dan Mahakuasa. 







MAHAADIL DALAM BERKEHENDAK

Jika orang jahat menderita merupakan hal yang wajar, tapi jika orang baik menderita kita sering menganggap kehendak Allah itu sebagai tidak adil. 
Padahal bukan mustahil orang yang kita nilai baik itu juga pernah berbuat kekeliruan.
Artinya, Allah itu pasti Mahaadil; hanya saja kita tidak memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Pertanyaan yang sering dilontarkan: “Untuk apa manusia harus berdoa meminta tolong --atau harus berbuat-- jika segala sesuatunya sudah kehendak Allah?” 

Pertanyaan serupa ini hanya muncul dari orang-orang yang melupakan (atau pura-pura lupa) bahwa selain memiliki sifat Maha kuasa, Allah mempunyai sifat Mahaadil.
Mahakuasa berarti tidak ada satu keterikatan sedikit pun bagi Allah dalam melakukan kehendakNya. Mahaadil berarti tidak ada satu perkara pun yang dilakukan Allah itu sewenang-wenang

Dengan kata lain, semua perkara bisa terjadi --baik atau buruk-- selain karena kemahakuasanNya, juga karena ada pertimbangan kemahaadilanNya. [2]







DI ANTARA CIRI KEMAHAADILAN ALLAH

Allah itu pasti Mahaadil, ketika seseorang diberi tambahan ‘kelebihan’ dalam satu hal, maka ada ‘kelebihan’ lainnya yang dikurangi dari orang tersebut. 
Contohnya, semakin seseorang bertambah keintelekannya maka kesensitifannya kepada hal yang lucu biasanya semakin berkurang. 
Artinya, ada kesenangan yang berkurang pada orang yang diberi kelebihan intelektual. 
Walau, memang, ada juga humor yang hanya bisa dipahami orang intelek; tapi humor serupa ini jumlahnya hanya sedikit. 

Begitu juga, bahagianya orang miskin dalam mendapatkan sesuatu biasanya lebih besar ketimbang kebahagiaan orang kaya yang mendapatkan hal yang sama. [3]

Jelas, apapun takdir yang ditentukan Allah, Allah itu pasti Mahaadil
Dengan kata lain, jika kita memiliki kekurangan dalam satu hal, dalam hal lainnya Allah pasti memberi kita kelebihan. 
Hanya saja, kita sering tidak menyadari dan tak mensyukuri kelebihan yang diberikan Allah itu. [4]







KEPASTIAN DAN KETIDAKPASTIAN

Garis batas antara kepastian dan ketidakpastian kadang sepertinya tidak jelas. 
Karena ada kalanya suatu ketetapan yang sudah ditentukan atau dipastikan ternyata tidak sesuai dengan ketetapan itu. 
Artinya, kehendak Allah bisa membuat sebuah ketetapan menjadi tidak pasti. 

Contoh, berdasar ketetapan Allah (sunatullah), setiap anak yang lahir ke dunia dipastikan merupakan buah dari hubungan sex. 
Namun dengan kehendak Nya, Nabi Isa Alaihis salam lahir ke dunia tanpa ayah kandung. 
Artinya bukan hasil dari sebuah hubungan sex.


Namun, secara umum, kita bisa memisahkan apakah suatu perkara itu termasuk perkara yang bisa dipastikan atau tidak bisa dipastikan. 

Sekadar untuk membedakan mana yang termasuk kepastian dan mana yang termasuk ketidakpastian, kita bisa ambil contoh perihal Allah yang telah berjanji akan membalas orang yang berbuat kejahatan dengan keburukan yang akan menimpa orang tersebut.

Jika tak mau bertobat, membalas keburukan dengan keburukan merupakan satu ketetapan yang pasti. 
Sedangkan waktu balasan keburukan tersebut akan tiba, mustahil kita memastikannya; bisa hari ini, lusa, atau tujuhbelas tahun yang akan datang. Atau malah baru akan ditimpakan nanti di akherat. 
Begitu pun bentuk keburukan yang akan menimpa orang tersebut, kita mustahil memastikannya, sebab Allah bebas menentukannya. 
Yang pasti, Allah akan membalas setiap perbuatan manusia.

Cukuplah bagi kita untuk memahami, perbuatan kita yang baik pasti membuahkan kebaikan, perbuatan kita yang buruk pasti membuahkan keburukan pula. 
Tapi berupa apa atau berbentuk apa balasan dari perbuatan kita itu, karena merupakan ‘kehendak’ Allah, tidak ada seorang pun yang bisa memastikannya
Artinya, ia termasuk (hukum) ketidakpastian.


Karenanya, dalam perkara-perkara seperti di atas, membalas kebaikan maupun keburukan merupakan ‘ketetapan’ Allah yang bisa dipastikan. 
Sedangkan kapan dan dimana, begitupun bentuk balasannya merupakan ‘kehendak’ Allah yang tak bisa dipastikan. 


Jadi jelas, Allah pasti membalas setiap amal kebajikan yang diperbuat manusia. 
Hanya saja kapan, di mana, dan berupa atau berbentuk apa pertolongan atau pahala Allah itu, tidak ada satu manusia pun yang tahu. 

Begitu pula Allah bisa menghukum manusia kapan saja dan di mana saja. 
Tapi tidak seorang pun bisa memaksa Allah untuk melakukannya hari ini, besok atau lusa, maupun hari-hari tertentu atau tempat-tempat tertentu. 

Yang pasti, mustahil Allah Swt menghukum manusia bila manusia itu sendiri tidak berbuat dosa. 
Mustahil Allah berlaku sewenang-wenang dalam berkehendak. 
Dengan kata lain, semua musibah, malapetaka, atau apa pun namanya yang menimpa kita --jika itu merupakan hukuman yang menebus dosa-- itu dipastikan karena kesalahan kita sendiri

“..Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu..” (Qur’an, An Nisaa [4]:123)



(Alfa Qr)


[1]  Wanita dan pria memiliki peran yang disesuaikan dengan fitrahnya, sebagai isteri dan sebagai suami; sebagai ibu dan sebagai ayah. Sedangkan waria tak ada tempat dalam Islam, sebab ia tak bisa berfungsi sebagai ibu atau sebagai ayah. Wanita dan pria yang berperilaku menyimpang harus kembali kepada fitrahnya sebagai wanita atau sebagai pria normal (sesuai jenis alat kelaminnya). Jika tidak, dinilai sebagai melawan kehendak Allah.

[2]   Realitanya, kita adalah makhluk yang rapuh; yang mustahil bisa menghindar dari yang dikehendaki Allah. Jadi, yang bisa kita lakukan hanya berharap agar apa yang dikehendaki Allah itu bersesuaian dengan yang kita kehendaki. 

[3]   Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing; jalan hidup kita mustahil harus mesti sama persis seperti yang dilakoni orang lain. Yang penting, kita harus bisa menikmati apapun dan bagaimanapun jalan hidup kita itu. Realitanya, anak orang kaya --atau anak orang terkenal-- menanggung beban yang lebih berat ketimbang anak orang biasa-biasa saja; selain harus menjaga reputasi nama orang tuanya, mereka juga dituntut harus bisa lebih berhasil. 

[4]   Hanya Muslim yang ikhlas, yang mau menerima apapun yang dikehendaki Allah, yang bisa menikmati lakon dan perjalanan hidup di dunia ini. Yang jelas, orang yang dibelenggu oleh sifat iri dan dengki   --yang emosional, yang cepat marah, yang terburu-buru menilai buruk segala sesuatu, yang terperangkap oleh dendam dan kebencian--   mustahil hidupnya tenang tenteram. 

1 komentar:

Sisca mengatakan...

Thx infonya