Si Jahil menjual barang kepada si A secara
kredit dua kali bayar.
Dengan cicilan sebesar 1500 rupiah perbulan, maka total harga barang tersebut adalah 3000 rupiah.
Si A kemudian langsung menjual lagi barang tersebut kepada isteri si Jahil, secara kontan, dengan harga 2000 rupiah.
Dengan cicilan sebesar 1500 rupiah perbulan, maka total harga barang tersebut adalah 3000 rupiah.
Si A kemudian langsung menjual lagi barang tersebut kepada isteri si Jahil, secara kontan, dengan harga 2000 rupiah.
Kalau diperhatikan selintas, perkara jual beli di atas merupakan hal yang wajar.
Sebab bolak-balik membuka dalil agama, tidak akan ditemukan pengharaman transaksi jual beli ini.
Begitu pun tidak akan ditemukan pengharamannya, jika istri si Jahil kemudian memberikan lagi barang itu kepada suaminya; untuk nanti dikreditkan kembali kepada orang lainnya.
Dalam kasus di atas,
pada hakekatnya si Jahil menjadikan dirinya sebagai makhluk yang tak tahu
berterimakasih kepada Allah Swt.
Jasmani dan akalnya yang sehat tidak digunakan untuk hal-hal yang diridhaiNya.
Keunggulannya berpikir justru dimanfaatkan untuk mencurangi sesamanya.
Pada puncaknya malah untuk mengelabui Tuhannya.
Si Jahil berusaha menghindar dari hukum riba yang diharamkan Allah.
Jasmani dan akalnya yang sehat tidak digunakan untuk hal-hal yang diridhaiNya.
Keunggulannya berpikir justru dimanfaatkan untuk mencurangi sesamanya.
Pada puncaknya malah untuk mengelabui Tuhannya.
Si Jahil berusaha menghindar dari hukum riba yang diharamkan Allah.
Bila dikaji dengan
cermat, pada kasus tersebut si Jahil hakekatnya memberi pinjaman, melalui
istrinya, kepada si A sebesar 2000 rupiah. Dan menerima pendapatan sebesar 3000
rupiah.
Jadi memperoleh keuntungan sebesar 1000 rupiah, atau limapuluh persen sebagai bunga pinjaman. [1]
Jadi memperoleh keuntungan sebesar 1000 rupiah, atau limapuluh persen sebagai bunga pinjaman. [1]
Hikmah dari kasus di
atas: Kebenaran, keadilan dan kejujuran, lebih utama dari bentuk aturan hukum
yang zahir.
Sebab zahir suatu peraturan hukum bisa saja berpihak pada orang yang sesungguhnya salah.
Sementara keadilan dan kejujuran sudah pasti, karena sudah semestinya, berpihak kepada yang betul-betul benar.
Karenanya, aturan hukum fikih --yang hakekatnya, dalam hal ini, disahkan dan ditentukan oleh ijtihad manusia-- boleh dikesampingkan jika bertentangan dengan keadilan dan kejujuran dalam pandangan agama (pada hakekat syareat yang sesungguhnya).
Sebab zahir suatu peraturan hukum bisa saja berpihak pada orang yang sesungguhnya salah.
Sementara keadilan dan kejujuran sudah pasti, karena sudah semestinya, berpihak kepada yang betul-betul benar.
Karenanya, aturan hukum fikih --yang hakekatnya, dalam hal ini, disahkan dan ditentukan oleh ijtihad manusia-- boleh dikesampingkan jika bertentangan dengan keadilan dan kejujuran dalam pandangan agama (pada hakekat syareat yang sesungguhnya).
Hukum dari kredit
gaya si Jahil di atas, secara zahir hukum fikih memang halal; tapi secara
hakekat syareat adalah haram.
Masalahnya, apa yang disebut riba itu yang sebenarnya?
Apa sekadar bentuk zahir, yaitu membungakan uang yang dipinjamkan; atau yang dimaksud dengan riba itu dari sifatnya, yaitu kesewenang-wenangan pemilik uang --terlepas bagai-mana pun caranya-- terhadap orang yang membutuhkan uang?
Masalahnya, apa yang disebut riba itu yang sebenarnya?
Apa sekadar bentuk zahir, yaitu membungakan uang yang dipinjamkan; atau yang dimaksud dengan riba itu dari sifatnya, yaitu kesewenang-wenangan pemilik uang --terlepas bagai-mana pun caranya-- terhadap orang yang membutuhkan uang?
Bagi Muslim yang
ikhlas, tanpa perlu berdebat panjang lebar dengan argumentasi dalil, akan
menemukan jawaban yang tidak berbelit-belit:
Tujuan pengharaman riba yang sebenarnya jelas untuk menghindarkan kesewenang-wenangan para pemilik uang, yang mengambil kesempatan mengeruk keuntungan di atas penderitaan orang lain.
Tujuan pengharaman riba yang sebenarnya jelas untuk menghindarkan kesewenang-wenangan para pemilik uang, yang mengambil kesempatan mengeruk keuntungan di atas penderitaan orang lain.
ANTARA KEBUTUHAN KELUARGA DAN MODAL DAGANG
Ada dua kemungkinan seseorang meminjam uang:
Pertama, untuk mempertahankan hidup keluarga; seperti untuk membeli makanan pokok.
Kedua, untuk modal berdagang.
Pertama, untuk mempertahankan hidup keluarga; seperti untuk membeli makanan pokok.
Kedua, untuk modal berdagang.
Bukan mustahil kasus-kasus riba yang terlarang itu berkaitan dengan pinjaman uang karena kebutuhan keluarga; dan bukan pinjaman untuk modal usaha.
Sebab dalam ayat Qur’an yang menyangkut masalah riba, pada kalimatnya menyabit juga masalah zakat dan sedekah.
Ini jelas ada kaitan dengan masalah orang miskin yang membutuhkan bantuan.
Karenanya, kepada si peminjam yang kesulitan hidup, lebih utama kita menyedekahkan sisa hutang yang ia tidak dapat membayarnya.
Jadi pantas sekali, jika Islam memasukkan orang yang punya hutang --tapi bukan hutang konglomerat yang milyaran-- ke dalam kelompok yang mendapat bagian zakat.
Sebaliknya, jika sebagai orang yang menerima bantuan pinjaman modal, satu hal yang wajar bila kita memberi keuntungan pula kepada orang yang membuat kita mendapat keuntungan.
Realitanya, dalam situasi normal, bunga bank berkisar sekitar dua persen per bulan.
Diandaikan kita memerlukan modal, mana yang kita pilih: Meminjam kepada bank dengan bunga dua persen perbulan, atau melakukan cara jual-beli gaya si Jahil yang hakekatnya kita membayar uang kelebihan duapuluh lima persen per bulan?
Memang, ijtihad bukan berarti pembenaran terhadap semua realita yang ada.
Tetapi bersembunyi dari realita pun, apalagi jika di sana memang ada keburukan, bukanlah sikap yang diajarkan agama kita.
Bersembunyi dari realita sama dengan berenang dalam mimpi.
Karenanya, mau melihat kepada kenyataan, adalah suatu hal yang mutlak dipraktekkan bila kita ingin keluar dari keterbelakangan.
Diakui atau tidak, selama ini kita sering rancu dalam menempatkan atau membedakan antara sistem dan tujuan.
Contohnya, tujuan berperang dalam Islam jelas berbeda dengan yang bukan Islam, namun sistem berperang bisa saja mengadopsi dari golongan yang bukan Islam. Seperti pembuatan parit pada perang Khandaq di masa Nabi Saw.
Undang-undang perlindungan konsumen dan antimonopoli di Barat (termasuk pengawasan terhadap bank, agar bank tidak seenaknya memungut bunga), hakekatnya pencegahan terjadinya kesewenang-wenangan pemilik uang.
Satu hal yang selaras dengan tujuan pengharaman riba, tanpa menafikan kodrat manusia untuk mendapat keuntungan.
Yang jelas, mengutang hanya enak pada saat awal meminjamnya.
Tapi amat menyiksa pada saat ditagihnya.
Apalagi jika yang meminjamkannya memperdaya dengan ketentuan yang menjebak, dengan persyaratan yang sebenarnya licik; yang merugikan.
Dari sebab itu, sebelum melakukan transaksi peminjaman, perhatikan persyaratannya dengan seksama.
Baca dan pahami ketentuan-ketentuannya dengan teliti; jangan sampai terbujuk rayuan beracun, jangan sampai terjebak sistem bunga-berbunga.
Yang terbaik, usahakan jangan mengutang.
JANGAN MENGELABUI ALLAH
Allah Yang Maha Melihat tidak sekadar memantau bentuk zahir sebuah amalan,
sesuatu yang di balik itu (berupa hakekat, sifat sebenarnya) Allah lebih
mengetahui.
Karenanya, setiap amal seorang Muslim semestinya didasarkan kepada niat ibadah mengharap keridhaan Allah.
Karenanya, setiap amal seorang Muslim semestinya didasarkan kepada niat ibadah mengharap keridhaan Allah.
Mengelabui atau menyiasati Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menghindar dari hukumNya secara zahir, tapi dalam sifat atau hakekat adalah identik sama, harus dijauhi seorang Muslim.
“Yang halal dan yang haram telah jelas, namun sebagian besar umat manusia
tak mengetahui bahwa di antara keduanya terdapat syubhat (yang meragukan). Siapa pun yang meninggalkannya,
ia telah menyelamatkan agamanya dan
kehormatannya.” (HR. Bukhari)
Penghapusan hakekat riba, yaitu kesewenang-wenangan yang punya modal,
adalah lebih utama ketimbang sebatas melihat bentuk zahirnya.
Terlebih, seorang Muslim mustahil menari di atas penderitaan orang lain; sebab kapitalisme yang sewenang-wenang bukanlah tuntunan Islam.
Terlebih, seorang Muslim mustahil menari di atas penderitaan orang lain; sebab kapitalisme yang sewenang-wenang bukanlah tuntunan Islam.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Qur’an,
An Nisaa’ [4]:29)
Bukan mustahil, balasan dosa perilaku licik bin batil dalam perniagaan sama
besarnya dengan dosa bunuh diri; yaitu neraka.
Semestinya diingat pesan Nabi Saw, “Allah tak menerima iman tanpa amal perbuatan, dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.”
SESUAIKAN DENGAN KEMAMPUAN
Semahal apa pun sebuah barang tak ada salahnya kita membelinya jika kita
memang menyukainya dan kita punya uang.
Tapi semurah apa pun sebuah barang, usahakan jangan sampai kita mendapatkannya dengan berutang.
Kecuali amat terpaksa, usahakan jangan mengutang; terlebih untuk sesuatu yang sama sekali tidak sangat penting.
Hendaknya diingat, kepuasan yang semu hanya akan menyenangkan kita sementara waktu; tapi akan membuat kita susah untuk waktu yang jauh lebih lama.
Tapi semurah apa pun sebuah barang, usahakan jangan sampai kita mendapatkannya dengan berutang.
Kecuali amat terpaksa, usahakan jangan mengutang; terlebih untuk sesuatu yang sama sekali tidak sangat penting.
Hendaknya diingat, kepuasan yang semu hanya akan menyenangkan kita sementara waktu; tapi akan membuat kita susah untuk waktu yang jauh lebih lama.
Dalam bercita-cita wajar melihat ke atas, mencontoh orang-orang yang sukses.
Namun dalam memenuhi kebutuhan kita sehari-hari, sudah seharusnya menyesuaikan diri dengan kemampuan yang ada.
Dan bukan sebaliknya; tidak optimal dalam berusaha tapi cara hidup malah sok kaya.
Padahal, mesti dicamkan, orang paling kaya yang sesungguhnya adalah orang yang tidak punya utang. Sebab, walau perutnya keroncongan, ia bisa tidur nyenyak karena tidak dikejar-kejar kewajiban membayar utang.
Yang jelas, nikmatilah apa yang bisa kita nikmati; jangan memaksakan ingin menikmati apa yang tak bisa kita nikmati.
[1] Dalam Islam yang penting bukan jenis mata uangnya; tapi akhlak
para pelaku bisnisnya harus jujur dan adil. Harap maklum, dinar dan dirham di
masa Nabi Saw adalah uang yang diterbitkan pemerintahan kafir Romawi dan Persia.
Jadi, walau namanya dinar dan dirham, jika pelaku bisnisnya munafikun tetap
saja tak ada artinya.