BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Jumat, 24 Februari 2012

Kesewenang-wenangan yang punya modal



Si Jahil menjual barang kepada si A secara kredit dua kali bayar. 
Dengan cicilan sebesar 1500 rupiah perbulan, maka total harga barang tersebut adalah 3000 rupiah. 
Si A kemudian langsung menjual lagi barang tersebut kepada isteri si Jahil, secara kontan, dengan harga 2000 rupiah.

Kalau diperhatikan selintas, perkara jual beli di atas merupakan hal yang wajar. 
Sebab bolak-balik membuka dalil agama, tidak akan ditemukan pengharaman transaksi jual beli ini.
Begitu pun tidak akan ditemukan pengharamannya, jika istri si Jahil kemudian memberikan lagi barang itu kepada suaminya; untuk nanti dikreditkan kembali kepada orang lainnya.

Dalam kasus di atas, pada hakekatnya si Jahil menjadikan dirinya sebagai makhluk yang tak tahu berterimakasih kepada Allah Swt. 
Jasmani dan akalnya yang sehat tidak digunakan untuk hal-hal yang diridhaiNya. 
Keunggulannya berpikir justru dimanfaatkan untuk mencurangi sesamanya. 
Pada puncaknya malah untuk mengelabui Tuhannya. 
Si Jahil berusaha menghindar dari hukum riba yang diharamkan Allah.


Bila dikaji dengan cermat, pada kasus tersebut si Jahil hakekatnya memberi pinjaman, melalui istrinya, kepada si A sebesar 2000 rupiah. Dan menerima pendapatan sebesar 3000 rupiah. 
Jadi memperoleh keuntungan sebesar 1000 rupiah, atau limapuluh persen sebagai bunga pinjaman. [1]

Hikmah dari kasus di atas: Kebenaran, keadilan dan kejujuran, lebih utama dari bentuk aturan hukum yang zahir. 
Sebab zahir suatu peraturan hukum bisa saja berpihak pada orang yang sesungguhnya salah. 
Sementara keadilan dan kejujuran sudah pasti, karena sudah semestinya, berpihak kepada yang betul-betul benar. 

Karenanya, aturan hukum fikih --yang hakekatnya, dalam hal ini, disahkan dan ditentukan oleh ijtihad manusia-- boleh dikesampingkan jika bertentangan dengan keadilan dan kejujuran dalam pandangan agama (pada hakekat syareat yang sesungguhnya).


Hukum dari kredit gaya si Jahil di atas, secara zahir hukum fikih memang halal; tapi secara hakekat syareat adalah haram. 

Masalahnya, apa yang disebut riba itu yang sebenarnya? 
Apa sekadar bentuk zahir, yaitu membungakan uang yang dipinjamkan; atau yang dimaksud dengan riba itu dari sifatnya, yaitu kesewenang-wenangan pemilik uang --terlepas bagai-mana pun caranya-- terhadap orang yang membutuhkan uang?

Bagi Muslim yang ikhlas, tanpa perlu berdebat panjang lebar dengan argumentasi dalil, akan menemukan jawaban yang tidak berbelit-belit: 

Tujuan pengharaman riba yang sebenarnya jelas untuk menghindarkan kesewenang-wenangan para pemilik uang, yang mengambil kesempatan mengeruk keuntungan di atas penderitaan orang lain.








ANTARA KEBUTUHAN KELUARGA DAN MODAL DAGANG

Ada dua kemungkinan seseorang meminjam uang:  
Pertama, untuk mempertahankan hidup keluarga; seperti untuk membeli makanan pokok.  
Kedua, untuk modal berdagang.

Bukan mustahil kasus-kasus riba yang terlarang itu berkaitan dengan pinjaman uang karena kebutuhan keluarga; dan bukan pinjaman untuk modal usaha. 
Sebab dalam ayat Qur’an yang menyangkut masalah riba, pada kalimatnya menyabit juga masalah zakat dan sedekah. 
Ini jelas ada kaitan dengan masalah orang miskin yang membutuhkan bantuan. 

Karenanya, kepada si peminjam yang kesulitan hidup, lebih utama kita menyedekahkan sisa hutang yang ia tidak dapat membayarnya. 
Jadi pantas sekali, jika Islam memasukkan orang yang punya hutang --tapi bukan hutang konglomerat yang milyaran-- ke dalam kelompok yang mendapat bagian zakat.

Sebaliknya, jika sebagai orang yang menerima bantuan pinjaman modal, satu hal yang wajar bila kita memberi keuntungan pula kepada orang yang membuat kita mendapat keuntungan.


Realitanya, dalam situasi normal, bunga bank berkisar sekitar dua persen per bulan. 
Diandaikan kita memerlukan modal, mana yang kita pilih: Meminjam kepada bank dengan bunga dua persen perbulan, atau melakukan cara jual-beli gaya si Jahil yang hakekatnya kita membayar uang kelebihan duapuluh lima persen per bulan? 

Memang, ijtihad bukan berarti pembenaran terhadap semua realita yang ada. 
Tetapi bersembunyi dari realita pun, apalagi jika di sana memang ada keburukan, bukanlah sikap yang diajarkan agama kita. 
Bersembunyi dari realita sama dengan berenang dalam mimpi. 

Karenanya, mau melihat kepada kenyataan, adalah suatu hal yang mutlak dipraktekkan bila kita ingin keluar dari keterbelakangan.


Diakui atau tidak, selama ini kita sering rancu dalam menempatkan atau membedakan antara sistem dan tujuan. 
Contohnya, tujuan berperang dalam Islam jelas berbeda dengan yang bukan Islam, namun sistem berperang bisa saja mengadopsi dari golongan yang bukan Islam. Seperti pembuatan parit pada perang Khandaq di masa Nabi Saw.


Undang-undang perlindungan konsumen dan antimonopoli di Barat (termasuk pengawasan terhadap bank, agar bank tidak seenaknya memungut bunga), hakekatnya pencegahan terjadinya kesewenang-wenangan pemilik uang. 
Satu hal yang selaras dengan tujuan pengharaman riba, tanpa menafikan kodrat manusia untuk mendapat keuntungan.


Yang jelas, mengutang hanya enak pada saat awal meminjamnya
Tapi amat menyiksa pada saat ditagihnya. 

Apalagi jika yang meminjamkannya memperdaya dengan ketentuan yang menjebak, dengan persyaratan yang sebenarnya licik; yang merugikan. 

Dari sebab itu, sebelum melakukan transaksi peminjaman, perhatikan persyaratannya dengan seksama. 
Baca dan pahami ketentuan-ketentuannya dengan teliti; jangan sampai terbujuk rayuan beracun, jangan sampai terjebak sistem bunga-berbunga.

Yang terbaik, usahakan jangan mengutang.









JANGAN MENGELABUI ALLAH

Allah Yang Maha Melihat tidak sekadar memantau bentuk zahir sebuah amalan, sesuatu yang di balik itu (berupa hakekat, sifat sebenarnya) Allah lebih mengetahui. 
Karenanya, setiap amal seorang Muslim semestinya didasarkan kepada niat ibadah mengharap keridhaan Allah.

Mengelabui atau menyiasati Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menghindar dari hukumNya secara zahir, tapi dalam sifat atau hakekat adalah identik sama, harus dijauhi seorang Muslim.

“Yang halal dan yang haram telah jelas, namun sebagian besar umat manusia tak mengetahui bahwa di antara keduanya terdapat syubhat (yang meragukan). Siapa pun yang meninggalkannya, ia telah menyelamatkan agamanya dan kehormatannya.”  (HR. Bukhari)

Penghapusan hakekat riba, yaitu kesewenang-wenangan yang punya modal, adalah lebih utama ketimbang sebatas melihat bentuk zahirnya. 

Terlebih, seorang Muslim mustahil menari di atas penderitaan orang lain; sebab kapitalisme yang sewenang-wenang bukanlah tuntunan Islam.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Qur’an, An Nisaa’ [4]:29)

Bukan mustahil, balasan dosa perilaku licik bin batil dalam perniagaan sama besarnya dengan dosa bunuh diri; yaitu neraka.

Semestinya diingat pesan Nabi Saw, “Allah tak menerima iman tanpa amal perbuatan, dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.”







SESUAIKAN DENGAN KEMAMPUAN

Semahal apa pun sebuah barang tak ada salahnya kita membelinya jika kita memang menyukainya dan kita punya uang. 
Tapi semurah apa pun sebuah barang, usahakan jangan sampai kita mendapatkannya dengan berutang. 

Kecuali amat terpaksa, usahakan jangan mengutang; terlebih untuk sesuatu yang sama sekali tidak sangat penting. 
Hendaknya diingat, kepuasan yang semu hanya akan menyenangkan kita sementara waktu; tapi akan membuat kita susah untuk waktu yang jauh lebih lama.


Dalam bercita-cita wajar melihat ke atas, mencontoh orang-orang yang sukses. 
Namun dalam memenuhi kebutuhan kita sehari-hari, sudah seharusnya menyesuaikan diri dengan kemampuan yang ada. 
Dan bukan sebaliknya; tidak optimal dalam berusaha tapi cara hidup malah sok kaya.

Padahal, mesti dicamkan, orang paling kaya yang sesungguhnya adalah orang yang tidak punya utang. Sebab, walau perutnya keroncongan, ia bisa tidur nyenyak karena tidak dikejar-kejar kewajiban membayar utang.

Yang jelas, nikmatilah apa yang bisa kita nikmati; jangan memaksakan ingin menikmati apa yang tak bisa kita nikmati.




(Alfa Qr)


[1]   Dalam Islam yang penting bukan jenis mata uangnya; tapi akhlak para pelaku bisnisnya harus jujur dan adil. Harap maklum, dinar dan dirham di masa Nabi Saw adalah uang yang diterbitkan pemerintahan kafir Romawi dan Persia. Jadi, walau namanya dinar dan dirham, jika pelaku bisnisnya munafikun tetap saja tak ada artinya.

BANK


Bank adalah institusi keuangan yang bersifat duniawi. 

Bank memerlukan pengelola yang mustahil tidak digaji. 
Bank wajar mencari keuntungan, seperti juga wajar memberi keuntungan bagi penyimpan uang di bank. 
Sebab mencari orang yang ikhlas untuk menyimpan uang di bank begitu saja, di zaman sekarang adalah sulit. 
Saat ini, selain memudahkan orang yang membutuhkan modal, bank berfungsi memudahkan transaksi bisnis internasional. 
Bank tidak sekadar alat simpan pinjam. 


Dalam prakteknya, karena harus mengembalikan pinjaman, orang yang diberi modal terpacu untuk berusaha sungguh-sungguh; dampak positifnya, ia akan mengembangkan kreativitas demi kemajuan usahanya. 

Realitanya, usahawan Muslim yang maju tak terlepas dari bekerja sama dengan bank. 
Kalaupun ada yang tak pernah berhubungan dengan bank, itu adalah pengecualian yang jumlahnya kecil. 

Jika usahanya bangkrut, bank wajar menuntut kembali pinjaman yang pernah diberikan. 
Jelas, di sini seorang Muslim diuji dalam menegakkan akhlak Islami; artinya, sudah selayaknya seorang Muslim membayar hutangnya di dunia. [1]


Anehnya, ada orang yang mengharamkan bank, tapi menggunakan jasa bank dalam mengirimkan uangnya ke luar negeri. 
Seharusnya, jika konsekwen, ia mengantarkan sendiri uang itu. 
Atau mungkin tidak tahu, bahwa memberi keuntungan kepada perusahaan yang dianggap haram merupakan sikap yang munafik. 

Sama anehnya dengan orang yang melarang bekerja sama dengan nonmuslim; tapi pakai arloji, kaca mata, tivi, dan komputernya --malah sajadahnya-- bikinan kafir. 
Padahal, hakekatnya, dengan menggunakan barang buatan kafir itu sama dengan memberi keuntungan, secara tak langsung, kepada kafir itu sendiri.

Tentu saja masalah ini tidak usah diperpanjang. 

Yang jelas, untuk zaman ini, mustahil ada kedinamisan bisnis tanpa adanya bank. 
Sama mustahilnya jika ada lembaga penyedia sumber modal yang pengelolanya tidak digaji; dan mustahil pengelolanya atau pegawainya digaji, jika lembaga itu tidak punya sumber keuntungan. 


Memang, mungkin saja mendirikan lembaga penyedia sumber modal yang dikelola yayasan keagamaan. 

Hanya saja, jangan sekadar teori di atas kertas. 
Sebab orang lain, di belakang kita (agar kita tak tersinggung), akan menertawakan kita. 

Terlebih jika lembaga itu hanya sekadar ganti nama
Jika dalam prakteknya tetap mengambil keuntungan, maka keberadaannya tidak berguna. [2]









FIKIH DALAM BEREKONOMI HARUS SESUAI REALITA

Di Barat, seorang nonmuslim yang memiliki ide bisnis, tapi tidak punya modal, mengajukan proposal ke bank. 
Bank mengkaji prospeknya, dan memberi pinjaman lunak dengan bunga lebih ringan dan tenggang waktu bebas bunga. 
Usaha si nonmuslim menjadi industri milyaran dollar; bank dan perusahaan serta buruh sama-sama diuntungkan.

Di belahan bumi yang lain, seorang Muslim yang punya ide bisnis luar biasa, tidak pergi ke bank; sebab berdasar pemahaman fikih ulama yang diikutinya, ia menilainya haram. 
Ia juga tak mau berbisnis bagi hasil, karena kodrat manusiawinya tidak ikhlas berbagi dua dalam keuntungan. 

Anehnya, tanpa melihat situasi dan kondisi sebenarnya yang menyebabkannya, banyak orang mengeritik Muslim sebagai tidak mau maju seperti orang di Barat. 
Padahal penyebabnya jelas, yaitu aturan fikih (hasil ijtihad ulama) yang salah, bukan syareat agamanya yang salah.


Kenyataannya, hukum fikih bisa berbeda atau berubah, tergantung ijtihad yang memahaminya. 
Artinya, hukum fikih hasil ijtihad manusia belum tentu sesuai dengan hukum syareat yang sebenarnya

Hukum syareat yang sebenarnya mustahil berubah-rubah, sebab mustahil Allah tidak tahu situasi masa depan. 
Yang haram menurut syareat, akan tetap haram sampai akhir zaman; begitu pula yang hukumnya wajib, mubah, atau makruh.

Mesti diperhatikan, sebagus apa pun suatu teori menjadi tidak ada manfaatnya jika tak dapat dilaksanakan dalam praktek nyata

Karenanya, aturan fikih yang sangat menyulitkan umat, apalagi yang tidak dapat dipraktekkan dalam realita kehidupan, harus diwaspadai sebagai aturan yang bertentangan dengan aturan syareat yang sebenarnya. 

Sebab mustahil  syareat Allah tidak bersesuaian dengan kodrat kemampuan manusia.


Realitanya, ekonomi yang berjalan baik adalah ekonomi yang perputaran uangnya secara dinamis merata di semua lapisan masyarakatnya. 
Artinya, kegiatan berekonomi yang baik sudah seharusnya menyentuh masyarakat paling bawah. 
Sehingga setiap orang bisa merubah kehidupan ekonominya menjadi lebih baik; dan bukannya makin terpuruk. 

Dari sebab itu, pemberian pinjaman permodalan --dengan bunga dan aturan yang tidak memberatkan-- harus menyentuh masyarakat bawah ini; sehingga permodalan itu tidak berputar hanya disekitar orang-orang yang sudah kaya saja.

Yang jelas, bagi seorang Muslim, modal serupa itu saja tidak cukup; selain kemampuan finansial, Muslim harus menyertai usaha bisnisnya dengan kejujuran dan keadilan. 
Sebab memiliki modal bukan berarti kita boleh berlaku sewenang-wenang merugikan orang lain. 

Contohnya, pada saat barang berkurang padahal dibutuhkan, amat wajar harga barang menjadi naik. 

Tapi menyengaja membuat pasokan berkurang, misalnya dengan menyabotase pengiriman barang di tengah perjalanan, hanya pantas dilakukan pebisnis yang tidak bermoral

Dan mustahil dilakukan pebisnis Muslim yang berakhlak mulia; yang jujur dan adil.

Yang pasti, karena sifatnya yang saling memakan, siapapun yang mendewakan kapitalisme ia akan dilahap kapitalisme orang (negara) lain.

(Alfa Qr)


[1]  Dalam tuntunan Islam, pedagang (pengusaha) Muslim yang rajin dan jujur mendapat nilai terhormat dan akan sangat dimuliakan di surga
Sebaliknya, birokrat (aparat) muslim yang tidak amanah --yang malas dan bermental korup-- dinilai sebagai orang-orang yang dihinakan, yang diancam dengan azab pedih di neraka.
[2]  Yang pasti, sistem bunga-berbunga yang mencekik merupakan riba yang haram; dan dipastikan membawa musibah dan kehancuran bagi semua pelakunya. 
Sistem bunga-berbunga membuat yang diberi pinjaman terlilit kesulitan; dan yang memberi pinjaman menjadi tidak berkah.

BISNIS


Sistem bagi hasil adalah sistem yang idealis. 
Sistem ini akan berjalan mulus sesuai teori, hanya jika si pemberi modal dan yang diberi modal adalah Muslim yang benar-benar ikhlas. 
Masalahnya, mencari orang-orang yang ikhlas dalam perkara yang menyangkut bisnis duniawi di masa sekarang adalah sulit, baik si pemberi maupun yang diberi modal.

Dalam banyak realita, hampir tidak ada --atau memang tidak ada-- si pemberi modal yang ikhlas bila usaha itu bangkrut dan modalnya tidak kembali atau menjadi berkurang; kecil sekali kemungkinannya kalau orang ini tidak menggerutu. 
Begitu juga, hampir tidak ada --atau memang tidak ada-- orang yang diberi modal, yang merasa sudah bekerja keras setengah mati, ikhlas memberikan setengah dari keuntungannya kepada si pemberi modal yang biasanya ongkang-ongkang menunggu keuntungan.


Sesuai kodratnya sebagai manusia, orang yang diberi modal akan memilih untuk memberi keuntungan yang lebih sedikit kepada si pemberi modal. 
Dalam hal ini wajar orang tersebut cenderung meminjam kepada bank, dengan persentase bunga yang lebih kecil, daripada harus membagi separuh keuntungan dengan cara bagi hasil.


Dalam kenyataan praktek, sering dijumpai dua orang yang bekerja sama dalam suatu perusahaan berakhir dengan perpecahan, terkadang malah dengan permusuhan

Lantas, apakah sistem bagi hasil ini suatu hal yang salah? 
Jelas tidak. Bagi hasil adalah sistem terbaik selama orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah Muslim-muslim yang ikhlas, yang lebih mengutamakan pahala akhirat ketimbang keuntungan duniawi.


Hakekatnya, selama disandarkan kepada keridhaan Allah semata-mata --ada keuntungan pada kedua pihak, dilaksanakan dengan kejujuran, ditegakkan di atas keadilan hukum-- semua usaha bisnis termasuk asuransi adalah boleh. 

Realitanya, kebanyakan orang mau berbisnis bagi hasil bila ada kemungkinan keuntungan pada usaha itu, dan bukan karena ikhlas demi Allah semata-mata. 
Ini, bagi kebanyakan manusia, kodrat yang wajar.

Contoh kasus: Si A, orang soleh yang merasa beragamanya hebat, menawarkan bisnis bagi hasil kepada si B yang prospek bisnisnya bagus. 
Si B secara halus menolak dan menganjurkan kepada si A untuk menawarkan bisnis bagi hasilnya kepada si C yang lebih memerlukan modal. 
Si A ternyata tidak bersedia berbisnis bagi hasil dengan si C, sebab walau si C orangnya jujur, prospek bisnisnya dinilai tidak menguntungkan!

Kalau sudah begitu, apa betul tawaran bisnis bagi hasilnya itu ikhlas karena Allah? 

Maaf, kalau ada yang menilai perilaku Muslim seperti ini sebagai munafik, maka akan terlalu banyak Muslim hipokrit saat ini. 
Barangkali, termasuk diri kita sendiri.


Jadi, yang penting bukan hanya bicara dan berteori
Sebab setiap orang bisa berteori masalah bisnis bagi hasil, bisa bicara masalah kejujuran dan berbuat baik, tapi tidak ada artinya jika tidak dipraktekkan.





BISNIS BERKAH

Selain dikelola oleh orang yang terampil dan profesional di bidangnya, perusahaan yang membawa berkah adalah perusahaan yang para buruhnya bekerja dengan jujur dan pemiliknya berlaku adil. 
Yang buruh maupun majikannya melaksanakan hak dan kewajibannya dengan benar. 

Karenanya, ketika mendirikan perusahaan, niat Muslim yang ikhlas bukan semata-mata untuk mencari keuntungan tapi karena ingin berbagi rezeki dengan buruhnya; sebab di antara kebahagiaan yang bisa dirasakan seorang Muslim adalah ketika ia bisa berbuat kebajikan kepada orang lain.


Seorang Muslim yang ikhlas akan memperlakukan buruhnya sebagai partner yang setara; yang sama-sama saling membutuhkan dan saling menguntungkan. 
Sebaliknya, sebagai buruh, seorang Muslim menjadikan majikan atau perusahaannya sebagai bagian dari keluarganya; ia loyal, jujur dan bertanggung jawab. 
Ia patuh bukan semata-mata kewajiban seorang buruh, tapi sebagai bukti akhlak seorang Muslim.

Karenanya, Muslim yang tidak puas sebagai buruh di sebuah perusahaan, ia akan keluar dari perusahaan tersebut secara baik-baik; dan mencari pekerjaan lain yang dinilai lebih baik. 
Ia tak akan melakukan protes dengan cara anarkis, yang tak sesuai tuntunan yang Islami; sebab seorang Muslim sejati akan mengutamakan otak dan ilmunya, bukan otot dan dengkulnya.


Realitanya, jika kita punya keahlian atau kelebihan, kita akan dibutuhkan orang lain
Karenanya, jika atasan atau majikan kita butuh --atau tergantung-- kepada kita, kita tak perlu takut dipecat majikan. 
Dari sebab itu, kita harus punya keahlian atau kelebihan
Dan keahlian atau kelebihan serupa itu hanya mungkin dimiliki bila kita membiasakan diri untuk tekun menuntut ilmu; bukan hanya mimpi rezeki turun dari langit begitu saja.


Yang jelas, pegawai yang atheis pasti malas dan tidak jujur; sebab ia berpikir, walau rajin atau tidak, ia akan digaji sama. 

Pegawai yang Muslim, pasti rajin dan jujur; sebab ia percaya Allah pasti melihat kerajinan dan kejujurannya. 
Dan Allah pasti akan memberikan rezekiNya yang lebih besar dengan cara dan dari jalan lain yang tidak terduga. 






HINDARI BISNIS PATUNGAN YANG SPEKULATIF

Patungan dalam bisnis bisa direalisasikan dengan menanam saham. 
Namun penanaman saham yang cenderung kepada spekulasi harus dihindari. 
Sebab sistem ekonomi yang mendorong orang untuk mencari keuntungan dalam usaha yang spekulatif, tidak akan membuat para pelakunya meraih ketenteraman batin.

Sistem ekonomi yang Islami seharusnya mendorong orang untuk berusaha secara produktif, usaha yang menghasilkan produk. 
Sebab ekonomi yang produktif akan membuat orang berbisnis dengan kegiatan yang nyata; dan bukan dengan duduk-duduk menunggu keuntungan yang sifatnya spekulatif. 

Karenanya, bisnis bagi hasil yang Islami adalah bisnis produktif yang melibatkan semua pemegang sahamnya dalam aktivitas bisnis perusahaan tersebut. 
Dan bukan sekadar jadi penonton.




(Alfa Qr)

Perihal alkohol


Minuman adalah benda cair yang umumnya diminum sebagai penawar haus, atau hanya untuk dinikmati kelezatan rasanya.
Contohnya, air teh atau air mineral umum dipakai untuk penghilang haus
Sementara kopi, susu, sirop, atau bir, biasa diminum untuk dinikmati kelezatan rasanya
Lain halnya dengan obat batuk atau obat maag, walau bentuknya cair, tidak wajar disebut sebagai minuman. Sebab ia tidaklah umum dipakai sebagai penawar dahaga ataupun untuk dinikmati rasanya
Dan fungsinya pun memang bukan sebagai minuman.

Realitanya, ada proses pembuatan obat ataupun essen pewangi dan pewarna makanan yang tidak terhindarkan menggunakan alkohol sebagai bahan pelarutnya.  
Proses ini biasanya terjadi di pabrik pembuat bahan dasar, dan jarang masyarakat awam mengetahuinya. Contohnya, di pabrik obat --atau es krim, limun, roti, kue-- alkohol bisa saja tidak digunakan. 
Namun bahan pewangi atau pewarnanya, di pabrik asalnya, mungkin saja memakai alkohol sebagai bahan pelarutnya. 

Oleh karenanya, selama bukan dan tidak dimaksudkan sebagai minuman keras yang memiliki sifat yang memabukkan, makanan dan minuman tersebut boleh saja dikonsumsi seorang Muslim. 
Walau secara tidak langsung ada kandungan alkoholnya.

Begitu juga dengan tapai singkong atau tapai ketan (peuyeum ketan), yang melalui proses peragian akhirnya mengandung kadar alkohol yang tinggi, boleh saja dikonsumsi seorang Muslim. 
Sebab tapai singkong atau tapai ketan bukan minuman, dan tidak umum disebut minuman keras. 

Namun bagi yang khawatir akan keharamannya, kita harus menghormatinya. 
Bagi mereka yang takut akan keharamannya, sepantasnya untuk tidak membeli obat-obatan atau makanan dan minuman yang sudah jadi (buatan pabrik) yang ada di pasaran. 
Sebab, adanya proses memakai alkohol pada salah satu bahan dasarnya amatlah mungkin.

Mohon dicatat, pemakaian obat-obatan (seperti aspirin, obat tidur, obat batuk, obat maag, atau malah vitamin sekalipun) secara berlebihan bisa berakibat memabukan. 
Yang jadi pertanyaan, apakah semua obat-obatan tersebut lantas harus dilarang? 
Jelas, yang diharamkan diminum hanyalah minuman yang lazimnya dipakai untuk mabuk-mabukan; baik mengandung alkohol maupun tidak.

Sesungguhnya hukum Islam tidaklah kaku. 
Tidak mempersulit, tidak dicari-cari atau diada-adakan. 
Namun, bila ada orang yang ingin mempersulit dirinya sendiri, tidaklah apa-apa. 
Sebab kita harus menghormati keyakinan dan kemauan orang tersebut.

Perlu diketahui, istilah alkohol (sebagai bahan) seperti yang kita kenal sekarang, justru tidak dikenal di masa Nabi; karenanya, mengidentikan alkohol dengan khamr, sebenarnya tidak tepat. 
Begitu pula dengan sebutan atom seperti yang dipahami di zaman ini, belum dikenal di masa Nabi. 
Jadi, tidak tepat jika kata zarah ditafsirkan sebagai atom seperti yang kita kenal sekarang.



KHOMER MINUMAN YANG MEMABUKAN

Khamr termasuk dalam jenis minuman untuk dinikmati rasanya. 
Di masa Nabi, yang dimaksud dengan khamr adalah cairan perasan kurma atau anggur yang disimpan berhari-hari, yang menimbulkan akibat yang memabukkan. 
Khamr dilarang oleh Islam dikarenakan memiliki sifat memabukkannya, dan bukan karena berasal dari kurmanya atau anggurnya. 
Jadi, apa pun namanya dan berasal dari bahan apa pun, setiap minuman keras yang memiliki sifat memabukkan haram hukumnya diminum oleh seorang Muslim, walau dengan alasan sebagai obat sekalipun.

Sedangkan setiap bahan, jika tidak ada dalil pengharamannya di dalam Al Qur’an, pada awalnya adalah halal. 
Karenanya, singkong, ketan, kurma, anggur, adalah halal. 
Begitu pun bensin, minyak tanah, alkohol, batu, pasir --jika memang ada yang punya kebiasaan memakannya-- pada awalnya adalah halal. 
Sebab tak ada dalil yang menyatakan bahan-bahan tersebut tidak boleh dimakan atau diminum.

Jadi, alkohol asli dengan kadar seratus persen, tidaklah umum disebut minuman
Alkohol hanyalah bahan, artinya bisa disetarakan dengan kurma atau tapai; dan hukum asalnya adalah halal. 
Tapi khamr (apa pun mereknya, dari bahan apapun asalnya, mengandung alkohol atau tidak) karena memiliki sifat memabukkan, harus dikategorikan sebagai minuman keras. 
Dan yang namanya minuman keras mestilah haram.



ADA KALANYA UNTUK TEGAS

Kemampuan yang berbeda dalam menangkap persoalan; subyektivitas yang mempengaruhi sudut pandang; daya nalar dan pola pikir yang tidak sama; serta faktor-faktor lainnya yang berbeda yang memungkinkan ketidaksesuaian pemahaman; adalah di antara hal-hal yang perlu dimaklumi dalam melihat adanya perbedaan pendapat.

Namun menghalalkan sesuatu yang secara tegas diharamkan agama, dengan alasan harus saling menghormati pendapat yang berbeda, adalah suatu kemungkaran bagi seorang Muslim. 
Ada saatnya bagi seorang Muslim untuk tegas, agar bisa memisahkan yang hitam dari yang putih.

Minuman keras --minuman yang mempunyai efek memabukkan-- apa pun mereknya dan berasal dari bahan apa pun, mengandung alkohol maupun tidak, hukumnya tetap haram diminum seorang Muslim.

Realitanya, tak sedikit Muslim yang gagal dalam suatu hal menyembunyikan kekurangan dan kegagalannya tersebut dengan minum minuman keras atau terlibat narkotika. 
Mereka --yang umumnya orang yang depresi dan frustasi, orang yang labil dan merasa terpinggirkan-- menutupi rasa rendah diri dan kekecewaannya dengan cara yang salah. 
Cara yang emosional, yang melawan tuntunan agama.

Walau begitu, tak boleh sedikit pun terbetik dalam benak kita untuk mengkafirkan seorang Muslim hanya karena ia melakukan perbuatan yang berdosa, kecuali jika ia sendiri menyatakan dirinya keluar dari Islam. 
Ia tetap seorang Muslim, hanya saja perilakunya tak patut dicontoh.

(Alfa Qr)

Menegakkan kebajikan


Hukum Islam memang tegas, tapi sebenarnya juga luwes. 
Tegas artinya tidak pilih bulu, luwes artinya tidak asal menghukum. 
Maknanya, ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang adil dan bijak sebelum sebuah hukum dijatuhkan.


Nabi Saw pernah menekankan, sekiranya putri beliau (Fatimah ra) mencuri, maka beliau tidak akan segan-segan untuk memotong tangan putrinya itu. 
Namun terhadap orang lain yang mencuri, dalam suasana perang, Nabi pernah melarang dijatuhkannya hukum potong tangan; dengan tidak bermaksud menghapus hukumnya secara umum.

Ini menunjukkan pelaksanaan hukum dalam Islam, selama tidak menyimpang dari tujuan utama syareat yaitu mencari ridha Allah semata-mata, bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 


Hanya saja keringanan hukum itu sama sekali tidak dibolehkan karena pertimbangan nepotisme atau pertalian kekerabatan. 
Artinya, hukum itu tetap harus tegas dilaksanakan tanpa pilih bulu

Pertimbangan keringanan semata-mata karena situasi dan kondisi yang melatar belakangi terjadinya kejahatan tersebut.

Contohnya, jika Muslim yang miskin mencuri karena terdesak oleh kebutuhan keluarga, maka yang sebenarnya lebih pantas disalahkan adalah lingkungannya; 
terutama para tokoh agama dan orang kaya di komunitas tersebut yang tidak peka terhadap masalah kemiskinan. 

Jadi amat wajar jika si pencuri tersebut diberi keringanan hukuman. 
Lain halnya jika di kemudian hari ia mencuri lagi, memotong kedua belah tangannya pun sudah sepantasnya dilaksanakan.


Realitanya, khalifah Umar bin Khaththab ra  pernah mengasingkan seorang peminum khamar sebagai hukuman; namun ketika kemudian orang tersebut pindah menganut agama lain, Umar tidak lagi mengasingkan peminum khamar sebagai hukuman. 

Di sini jelas, setiap pelaksanaan hukum dalam Islam hendaknya tidak mengabaikan manfaat dan mudharat yang akan terjadi dari dampak hukuman itu sendiri. 
Selain menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kejujuran, hukum Islam tak terlepas dari mengutamakan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan bagi orang banyak.

Karenanya, dalam pelaksanaan hukum yang berkaitan dengan kasus kejahatan antar manusia, dibolehkan adanya pertimbangan kemaslahatan oleh seorang hakim yang betul-betul bijak.  
Namun dalam masalah ritus ibadat tak boleh ada perubahan, melainkan harus ada contohnya dari Nabi.


Yang pasti, dalam Islam, jatuhnya sebuah keputusan hakim harus berpihak pada kebenaran yang diridhai Allah. 
Harus mengutamakan kejujuran yang selaras dengan rasa keadilan; bukan sekadar harus sesuai dengan undang-undang atau hukum yang tertulis. 

Sebab, hakim --termasuk juga para jaksa dan pengacara-- yang melahirkan jatuhnya hukuman yang tidak berpihak kepada kebenaran yang diridhai Allah, akan berhadapan dengan balasan hukum Allah yang lebih dahsyat di akhirat.








MEMBERI PELAJARAN KEBAJIKAN SEJAK MASA KANAK-KANAK

Sesuai dengan yang pertama diperintahkan dalam tuntunan Islam, yaitu membaca atau menuntut ilmu, semua kegiatan yang dilakukan seorang manusia harus berawal dari belajar.  

Orang yang terlambat belajar, ia akan tertinggal oleh orang lainnya. 
Yang tidak mau belajar, ia akan tersisihkan; ia akan keluar dari norma-norma yang berlaku di lingkungannya.


Itu sebabnya mendidik anak, malah dibolehkan dengan sedikit kekerasan, menjadi suatu keharusan bagi setiap orangtua Muslim. 

Memberi pelajaran tata krama, bisa membedakan hal yang baik dan buruk, merupakan satu hal yang amat penting untuk diterapkan sejak dini. 
Memberi pelajaran yang bermanfaat sejak masa kanak-kanak akan menjadi bekal bagi masa depan seorang manusia, sebab pembelajaran adalah pondasi dari semua yang akan dijalani dan dialami seorang manusia.

Faktanya, tak sedikit orang yang di masa mudanya berperilaku buruk kepada anak yang lain, di masa tuanya hidupnya terpuruk. 
Sementara anak yang jadi korban keburukannya justru jadi orang yang berhasil.


Dari sebab itu, orangtua serta guru di sekolah wajib mengingatkan anak-anak Muslim untuk menjadi anak yang berakhlak baik; untuk menjadi anak yang tidak emosional, yang tidak merugikan temannya. 

Sebab, jika si anak dibiarkan memiliki sifat buruk, yang bisa diprediksikan dari kehidupan di masa tuanya hanyalah keburukan-keburukan juga. 









KEBAJIKAN MEMBUAT SUASANA AMAN DAN DAMAI

Amat wajar jika orang yang  memiliki perilaku yang positip --seperti loyal, bertanggungjawab, penolong dan santun-- akan disukai orang lain. 

Sayangnya, dalam prakteknya, untuk menjadi seorang yang berakhlak mulia --penolong yang tulus, yang berempati kepada orang yang kesulitan, rendah hati, jujur dan bijak-- amatlah sulit

Namun, kalaupun tidak menjadi orang yang sarat dengan nilai plus, paling tidak kita jangan jadi orang yang merugikan orang lain


Memang, sama sekali terluput dari berbuat dosa adalah hal yang tidak mungkin; tapi berusaha menghindar dari melakukan keburukan bukanlah hal yang mustahil.


Realitanya, selain motivasi untuk bisa sukses dan bisa bahagia, motivasi paling utama saat ini yang mesti ditumbuhkan, dan semestinya ada pada seorang anak manusia, adalah motivasi untuk tidak berbuat jahat

Motivasi untuk tidak curang; motivasi untuk tidak berbuat kekerasan. 

Sebab, realitanya, kejahatan dan kekerasanlah yang membuat kehidupan di lingkungan kita ini menjadi tidak aman dan tidak tenteram. 

Dari sebab itu, dalam Islam, pelaku kejahatan haruslah dihukum berat, sehingga orang lain yang belum berbuat kejahatan berpikir dua kali sebelum berbuat jahat.


Jelas, andai setiap orang mampu membangun kebajikan dan mau membuang sifat-sifat buruknya, maka semua orang, apapun etnis atau agamanya, bisa hidup bersama dalam suasana damai. 

Karenanya, seorang Muslim harus berusaha jadi warganegara yang bermanfaat; jadi orang baik yang tidak mengganggu tetangga dan lingkungannya.




(Alfa Qr)

IJTIHAD


Ijtihad umumnya didefinisikan sebagai usaha keras memaksimalkan kemampuan akal pikiran, dalam mengambil satu keputusan (dari beberapa kemungkinan pemahaman). 
Ijtihad ulama bisa dimaksudkan sebagai menetapkan fatwa hukum atas suatu perkara yang kepastian hukumnya tidak ditemukan dengan tegas di dalam Qur’an dan sunnah Nabi Saw.

Yang namanya buah pikir manusia, walau pakar sekalipun, tentu saja sering membuahkan hasil pemahaman yang berbeda. 

Di antara pendapat yang tidak sama, adalah adanya ulama yang berpendirian bahwa ijtihad itu sendiri sudah tertutup; maksudnya, Muslim sekarang cukup mengikuti dengan memilih di antara pendapat yang sudah ada. 

Sementara ulama lainnya berkeyakinan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka; sebab banyak perkara baru, sesuai perkembangan zaman, yang memerlukan penjelasan hukumnya. 
Pencangkokan jantung, bayi tabung, asuransi jiwa, adalah masalah-masalah baru yang tidak dialami ulama baheula. 
Padahal hukum halal haramnya tidak dipahami oleh kita yang hanya Muslim awam biasa.

Tentu saja, akan sangat utama jika fatwa tentang satu masalah datang dari pakar yang benar-benar memahami perkara yang dihadapinya.  
Misalnya fatwa yang menyangkut tentang kedokteran, akan lebih baik bila datang dari pakar yang juga bergerak di bidang kedokteran. 
Begitu pun dalam masalah asuransi dan bank, pakar agama yang ahli ekonomi tentunya akan lebih memahami persoalannya sebelum berfatwa. 

Namun, pemahaman tiap orang tetap saja bisa berbeda; selain karena referensi yang dipakai tidak sama, bisa juga dikarenakan adanya hal baru yang ikut menunjang untuk dilakukannya penafsiran lain yang baru pula.[1]


Yang jelas, penafsiran yang mengada-ada tidaklah diperkenankan. 

Lagi pula sebuah penafsiran baru, tidak boleh begitu saja mencampakkan penafsiran ulama terdahulu. [2]

Yang pasti, ijtihad tidak dapat menghapus ketentuan hukum syareat yang sudah jelas dan tegas ada di dalam Qur’an. 
Seperti potong tangan untuk pencuri; Bagian waris anak laki-laki yang dua bagian; Kebolehan untuk berpoligami; Haramnya makan babi; Haramnya riba.







IJTIHAD MUSLIM AWAM

Sering kita temukan pengertian-pengertian yang sama, menggunakan istilah yang berbeda. 
Atau istilah yang sama, sering dirumuskan atau didefinisikan dengan pengertian yang berlainan. 

Hal itu wajar saja, sebab tidak ada keharusan semua pemikir mesti memiliki kesamaan pendapat. 

Namun, kalau kita perhatikan, antara satu definisi dengan definisi lainnya tidaklah terlalu berjauhan artinya. Terkecuali bagi orang yang mempunyai kepentingan tertentu, definisi yang dikemukakannya malah bisa bertolak belakang dengan yang dipahami orang lainnya.


Rumusan yang mudah dipahami Muslim awam, tanpa menyimpang dari hakekatnya, ijtihad adalah usaha maksimal seseorang dalam mengambil satu keputusan ketika memilih salah satu dari beberapa pemahaman para ulama pada sebuah perkara. 

Contohnya, jika seorang Muslim berkeyakinan pendapat Kiai X lebih baik daripada pendapat Kiai Y, karena ditunjang dalil yang lebih bisa dipertanggungjawabkan, dan kemudian ia ikuti pemahaman Kiai X tersebut, maka pada hakekatnya ia telah berijtihad.

Ijtihad, dalam pengertian seperti di atas, merupakan suatu keharusan bagi setiap Muslim yang diberi akal yang sehat. 
Artinya, sebelum melaksanakan satu fatwa seorang ulama, tiap Muslim seharusnya mengkaji dulu pendapat tersebut. 
Baik melalui perbandingan dengan pendapat ulama lainnya, maupun dengan pendapat yang terlebih dahulu ada pada dirinya. 







SIKON SERBA SALAH

Walau untuk dirinya sendiri orang cenderung pada kebaikan; tapi dalam menilai orang lain, seseorang justru lebih condong untuk melihat kekurangannya. 

Seperti kisah si Fulan, anaknya, dan keledai tuanya. [3]

Ketika keduanya berjalan kaki sambil menuntun keledainya, orang menertawakannya sebagai orang-orang bodoh; 
Ketika si anak naik keledai dan ayahnya yang menuntun, orang mencela si anak sebagai tidak tahu diri; 
Ketika si ayah yang naik keledai dan anaknya yang menuntun, orang mencela si ayah karena tega membiarkan anaknya berjalan kaki; 
Ketika si ayah dan si anak bersama-sama naik keledai, orang mencela mereka sebagai orang yang tak punya rasa kemanusiaan. 
Semuanya ‘serba-salah’.


Realitanya, manusia sering berada dalam kondisi atau situasi serba-salah. 
Contohnya, dengan pertimbangan takut menyinggung perasaan, ada kalanya kita tak bisa berlaku jujur; kita tak bisa berterus-terang mengemukakan sifat-sifat buruk atau kebodohan orang yang sedang kita hadapi. Dijelaskan, takut ia marah; tidak dikemukakan, dianggapnya kita membiarkannya terperosok pada keburukan.

Begitu pun tatkala hendak mengikuti pendapat para pakar, kita sering berada dalam situasi ‘serba-salah’. 

Terkadang, dengan melihat alasannya, kita merasa ijtihad para pakar yang berbeda itu ‘semuanya benar’.






MENGIKUTI PENDAPAT ORANG LAIN

Dalam kenyataannya, kalau kita hanya dihadapkan pada dua pilihan, untuk memilih ajaran yang akan membawa kita ke surga atau ke neraka, dengan mudah kita akan memilih ajaran yang akan membawa ke surga. 

Namun dalam kenyataannya pula, dalam hal ajaran yang akan membawa kita ke surga pun (yaitu Islam), kita masih dihadapkan kepada beberapa pilihan fatwa para ulama yang berbeda pendapatnya.

Contohnya dalam masalah zakat profesi (seperti dokter) atau zakat pada harta inventaris perniagaan (seperti kendaraan atau rumah tempat kita berjualan), kita temukan pendapat yang mewajibkan dan yang tidak. 
Yang masing-masing mengemukakan alasan yang ‘sama kuat’, yang membuat kita Muslim awam sulit untuk menentukan pilihannya.

Pakar agama yang berpendapat tidak wajib, berargumentasi dengan tak adanya dalil yang tegas (to the point) dalam Al Qur’an yang memerintahkan wajibnya zakat profesi atau zakat inventaris perniagaan tersebut. 
Malah dalam hadits yang lemah sekalipun. Yang tidak menjelaskan nisab, waktu dan besarnya zakat yang harus dikeluarkan. 
Mereka berpegang pada keyakinan bahwa semua perintah itu datangnya dari Allah; dan manusia tidak berhak menetapkan suatu syariat di sisiNya tanpa izinNya.

Sedangkan pakar agama yang mewajibkan zakat, berdalih dengan keumuman perintah yang menyatakan bahwa pada setiap [kelebihan] harta yang kita punyai ada hak bagian orang lain di dalamnya; padahal yang namanya hak orang lain, wajib untuk dikeluarkan. 
Sedangkan sebutan untuk setiap harta yang wajib dikeluarkan adalah zakat; sebab ada hadis yang menerangkan bahwa selain zakat tak ada harta yang wajib kita keluarkan.


Dari hal-hal di atas, maka kita meyakini, pada akhirnya, kemaha bijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala jugalah yang akan jadi pertimbanganNya dalam mengampuni kesalahan kita   --dan tentu saja kesalahan orang lain--   tatkala berijtihad memilih pendapat yang [dianggap] benar.







KECENDERUNGAN MENOLAK

Tidak sedikit orang condong untuk kena tipu; mudah terperangkap oleh rayuan orang lain yang disampaikan dengan cara halus dan menarik. 

Sebaliknya, orang juga condong untuk menolak nasihat atau ijtihad orang lain, jika orang yang menasihati itu dinilai ‘tidak ada apa-apanya’.


Realitanya, adakalanya kita salah dalam memilih orang untuk dimintai nasihatnya. 
Padahal saran yang tidak tepat bukannya menyelesaikan masalah tapi menambah masalah. 

Biasanya kita lebih mau menerima saran dari orang lain, ketimbang menerima nasihat dari orang yang dekat dengan kita. 

Karenanya, menjadi satu hal yang tidak aneh, jika nasihat kita pun lebih didengarkan oleh orang lain ketimbang didengarkan oleh kerabat kita. 
Sama tidak anehnya dengan dokter yang bisa menyembuhkan anak orang lain, tapi tak bisa menyembuhkan anaknya sendiri.

Realitanya, setingkat nabi pun (semisal Nuh, Ibrahim, Luth As) tak mampu mengajak semua anggota keluarganya untuk beriman. 

Apalagi kita.








IJTIHAD MEMUNGKINKAN HUKUM (FIKIH) JADI BERBEDA

Syareat adalah dasar pokok hukum Islam; sumber utamanya Qur’an dan Sunnah. 

Fikih adalah ketetapan hukum yang merupakan hasil ijtihad manusia atas syareat. 

Oleh karena merupakan hasil ijtihad ulama, kadang dijumpai ketetapan hukum fikih yang berbeda dari satu ulama dengan ulama lainnya untuk suatu perkara yang sama. 

Realitanya, penafsiran atau penawilan Qur’an dan sunnah Nabi Saw hakekatnya merupakan hasil ijtihad. Begitu pun ijma (kesepakatan), istihsan (pertimbangan), dan qiyas (penganalogian) para ulama, hakekatnya hasil ijtihad manusia.

Mesti diingat, karena banyak syarat bagi seorang pakar dalam berijtihad sebelum mengeluarkan pendapat, maka bagi kita Muslim yang awam cukuplah dengan mengkaji pendapat pakar-pakar agama yang sudah ada, dan tinggal memilihnya (mengikutinya, ittiba). 
Tentunya sesudah mengkajinya sungguh-sungguh. 

Yang pasti, ijtihad selalu terbuka untuk perkara yang ketentuan hukumnya tidak secara tegas ditekankan di dalam Qur’an. 
Sebab mustahil Allah Subhanahu wa Ta’ala lupa untuk mewajibkan atau mengharamkan sesuatu secara tegas dan jelas.


Yang jelas, seorang petani biasa yang cerdas, walau tidak dilarang, tidak akan bersusah payah mencoba-coba cara bertani yang belum pasti. 
Ia akan memilih di antara beberapa cara bertani yang sudah ada, yaitu cara bertani yang [dianggap] paling baik. 
Begitupun dalam perkara ijtihad.








MENGHORMATI PEMAHAMAN ORANG LAIN

Kita harus beriman dikarenakan ketulusikhlasan hati kita; dan bukan karena dipaksa oleh orang lain. 
Begitu pula orang lain, ia seharusnya menjadi seorang Muslim dikarenakan keikhlasan dan kesadarannya. Dan bukan karena dipaksa. 

Karenanya, walau kita merasa benar, kita sama sekali tidak boleh memaksakan pemahaman atau hasil ijtihad kita kepada orang lain.  
Sebab, kalau kita tidak mau dipaksa oleh orang lain, maka orang lain pun jelas tidak mau dipaksa oleh kita.


Realitanya, apapun kelompok atau mazhab yang kita ikuti, kadang oleh kelompok lainnya kita ini dinilai sebagai kelompok yang salah; sebagai kelompok yang akan masuk ke dalam neraka. 
Artinya, kita tidak akan masuk surga jika ketentuan mesti sama sekali terbebas dari kesalahan pemahaman sebagai satu syarat mutlak (untuk masuk surga). 

Padahal kita yakin Allah itu pasti Mahatahu dan Maha Pengampun. 
Mengetahui kemampuan kita, dan memaafkan kesalahan kita yang tidak disengaja.


Yang jelas, orang yang senantiasa berpikir positip akan menghormati hasil ijtihad orang lain yang berbeda atau malah yang berlawanan dengan pemahamannya, karena menyadari bahwa kemampuan akal atau sudut pandang memungkinkan terjadinya ketidaksamaan itu.  

Malah pendapat yang sama pun, bisa saja bertitik tolak dari alasan yang berbeda.

Yang pasti, setiap orang harus siap mempertanggungjawabkan pemahaman atau ijtihadnya di hadapan Allah kelak. 
Karena, hakekatnya, ijtihad kita itulah yang dimintai pertanggungjawaban.


(Alfa Qr)


[1] Dulu, ada fikih hasil ijtihad ulama yang melarang --secara mutlak haram-- foto, gambar,  nyanyian, catur, atau wanita bekerja keluar rumah. Sekarang, fikih serupa itu dikesampingkan orang. Jadi, fikih itu harus pada tempatnya. Jangan berlebihan.

[2] Mufasirin baheula ada yang mengartikan kulli syai’ dengan makna kebanyakannya (umumnya), sehingga ayat 49 surat Adz Dzaariyat diartikan “… kebanyakan Kami ciptakan berpasang-pasangan…” Sekarang, ada pakar yang mengartikan sesuai makna zahirnya “…segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan..” yakni diartikan semuanya berpasangan; ada betina ada jantan. Ternyata penakwilan lama lebih sesuai dengan fakta ilmu pengetahuan. Amuba contohnya, ia tak memerlukan pasangan untuk berkembang biak, tapi cukup membelah diri. Hidra sejenis hewan kecil di air, berbiak dengan menumbuhkan cabang di tubuhnya yang kemudian memisahkan diri. Tetumbuhan pun ada yang seperti itu.

[3]  Ada yang menilai kisah ini diceritakan Luqman kepada anaknya untuk diambil hikmahnya. Tapi ada juga yang menganggap sebagai kisah Luqman dan anaknya.

MEYAKINI AGAMA


Dalam realita, ada orang yang mengalami peristiwa aneh kemudian menjadikannya sebagai pembenaran terhadap agama yang dianutnya.   

Padahal kebenaran suatu agama tidak bisa ditentukan hanya oleh perkara aneh yang pernah kita alami. 
Sebab perkara aneh dapat dialami oleh siapa saja, baik beragama maupun tidak.

Sebagai contoh, ada seorang Muslim yang menderita penyakit yang parah, akhirnya sembuh oleh seorang nonmuslim; dan karena ia menganggapnya mukjizat, iapun jadi penganut agama nonmuslim itu. 
Sebaliknya, ada kasus yang sama terjadi pada nonmuslim, yang justru sembuh setelah berobat kepada seorang muslim (padahal cara pengobatannya tidak sesuai dengan tuntunan Islam); dan ia pun kemudian memeluk Islam.


Kasus-kasus mirip yang serupa dengan di atas banyak terjadi, walau masalahnya berbeda-beda.
Seperti kasus yang berkaitan dengan kemajuan usaha. 

Atau kasus sudah lama tak punya keturunan, akhirnya punya anak juga setelah berkonsultasi dengan kiai atau pendeta. 
Padahal Nabi Zakaria As pun baru mempunyai anak ketika sudah berusia lanjut.


Dari hal-hal di atas, jelas sekali, dalam masalah keduniawian segala sesuatu itu bisa diselesaikan dengan bantuan orang lain yang berbeda agamanya.  
Dengan kata lain, keberhasilan itu bukan semata-mata karena mukjizat; keberhasilan bukan tanda kebenaran ajaran sebuah agama.

Dalam realita, ada orang di Barat yang keluar dari agamanya dan pindah menganut kepercayaan lain semata-mata karena pengalaman mistis, dan bukan karena hasil menelaah kebenaran agama tersebut.  
Karenanya, mempelajari dan mengetahui mana agama yang benar amatlah penting.


Sesungguhnyalah, Islam tidak menyukai penerimaan pemahaman tanpa reserve; menerimanya tanpa menelusuri ajarannya lebih dulu dengan seksama. 

Artinya, seseorang menjadi Muslim semestinya karena meyakini kebenaran ajaran Islam, dan bukan sekadar ikut-ikutan orang lain. 
Bukan karena mukjizat atau hal-hal yang aneh; sebab tuntunan Islam ditujukan untuk orang yang berakal pikiran, dan memanfaatkan akal pikirannya.



Catatan:
  • Masih lebih beruntung orang yang pernah melakukan kesalahan, tapi menyadarinya dan kemudian menjadi orang yang baik; ketimbang orang baik yang terperosok pada keburukan. Karenanya, jangan terbelenggu dengan kesalahan di masa lalu. Belum terlambat untuk memulai dengan hal yang baru, dengan menjadi Muslim yang berusaha berbuat kebajikan.


(Alfa Qr)

MENGAPA HARUS MARAH?


Suatu saat, ketika kita akan pergi rekreasi ke Pantai Ancol, kita bertemu tetangga kita. 
Tatkala kita mengajaknya ikut, ternyata ia menolak.
Yang jadi pertanyaan, apakah dengan penolakan itu kita harus marah

Begitu pun ketika kita mengajak seseorang untuk ‘ikut ke sorga’ dan ternyata ia tidak mau, mengapa kita harus marah?   
Mengapa kita harus menggunakan kekerasan agar ia ikut bersama kita ke sorga

Padahal dalam realita hidup sehari-hari, ketika kita hendak pergi rekreasi semacam itu, dan melihat tetangga kita, justru kita akan berusaha menghindarinya agar tidak bertemu dengannya. 
Kita malah takut ia nanti mau ikut dengan kita, walau kursi kosong masih ada di mobil kita. 

Jadi, jangankan mengajak; kalaupun ia mau ikut kita akan menolaknya.


Anehnya, dalam masalah agama, kita memaksanya harus ikut dan mesti sama dengan pemahaman kita.  

Coba renungkan dengan hati yang bersih; mengapa kita harus marah ketika orang lain berbeda keyakinannya dengan kita? 
Seharusnya, ketika orang lain berbeda agamanya dengan kita, kita mengasihaninya dan bukan membencinya.

Lagi pula, orang mau ke surga atau tidak, sama sekali tidak ada ruginya bagi Allah. 


Mesti diingat, Allah dan RasulNya identik dengan kelemahlembutan. 
Sikap kasar kita malah melahirkan pandangan yang tidak baik terhadap agama kita. 
Satu hal, yang tanpa kita sadari, justru berakibat kita berbuat dosa karena telah menimbulkan citra yang negatif terhadap Tuhan dan Nabi kita itu.

Sudah sewajarnya, ketika orang lain berada dalam keyakinan agama yang tidak benar, kita harus mengajaknya ke dalam ajaran agama yang benar.  
Tapi caranya juga harus benar; sebab mustahil Islam mengharuskan umatnya untuk menghapus kemungkaran dengan cara yang munkar pula.


Realitanya, kita cenderung lebih mengharap adanya perubahan pada orang lain ketimbang berusaha merubah perilaku jelek yang ada di diri kita sendiri. 

Itu tidak lain karena kita merasa diri kita amat bersih.  
Merasa paling steril dari keburukan. 
Merasa ‘paling tampan’ 
Padahal? 

Allahu Akbar.  
Semoga Allah mengampuni kita semua.



Catatan:
  • Orang yang senantiasa mengutamakan kasih dan pemaafan akan lebih dimungkinkan untuk meraih ketenangan dan kesejahteraan. Sebaliknya, orang yang dikendalikan oleh sikap iri hati dan dendam, akan selalu dekat ke dalam lingkaran kekerasan dan kebencian; ke dalam lingkaran penderitaan dan ketidaktenteraman.
  • Pesan Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berbicara yang baik-baik atau diam.”  Dan bukan marah-marah, bukan gubak-gebuk.
  • Ingat, memberi dan menolong itu bukan wajib; hanya keutamaan. Yang lebih penting, tidak menggangu dan tidak merugikan orang lain.



 (Alfa Qr) 

TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..

 BAGIKAN/SHARE tulisan ini kepada teman-teman Anda yang lain.
SEMOGA BERKAH dan RIDHA ALLAH SWT terlimpah ruahkan kepada Anda sekeluarga.

Hakekat, syareat, ikhlas



Hakekat warganegara adalah orang yang cinta dan taat kepada aturan negara. 
Hakekat Muslim adalah orang yang cinta dan taat kepada aturan Allah. 
Bedanya, cinta kepada negara cukup hanya memiliki satu komponen yaitu komponen zahir; sedangkan cinta kepada Allah harus memiliki dua komponen, yaitu komponen zahir dan komponen batin.

Seorang warganegara yang memenuhi kewajiban membayar pajak kepada negara, terlepas dari ikhlas atau tidak ikhlas dalam mengeluarkannya, berarti ia seorang warganegara yang patuh.


Seorang Muslim yang mendirikan solat dinilai sebagai Muslim yang taat pada perintah Allah. 
Hanya saja berbeda dengan negara, yang tidak tahu apakah kita tulus atau tidak dalam melakukannya, Allah mengetahui benar kadar keikhlasan kita. 

Padahal ikhlas adalah komponen yang sangat penting yang tidak terelakkan dalam melaksanakan syareat agama. 
Ikhlas akan menjadi tolokukur dari besar kecilnya balasan pahala dari Allah. [1]








SYAREAT DAN IKHLAS, DUA HAL YANG TAK TERPISAHKAN

Taat membayar pajak kepada negara hanya memiliki satu aspek. 
Taat kepada Allah harus mengandung dua aspek yaitu yang zahir (contohnya melaksanakan ritus ibadat) dan yang batin (yaitu keikhlasan).

Jadi, kalau hakekat sama dengan taat dan cinta; melaksanakan syareat adalah pembuktian ketaatan dalam bentuk aspek zahir, menyertainya dengan keikhlasan adalah pembuktian kecintaan dalam aspek batin.


Pelaksanaan syareat seperti ritus ibadat yang zahir tanpa keikhlasan yang batin hanya akan melapangkan jalan pada kemunafikan

Sementara, penghayatan batin tanpa pelaksanaan syareat zahir --seperti ritus ibadat yang benar-- akan menjerumuskan kita pada klenik yang menyesatkan.


Jelas, pelaksanaan syareat dan menyertainya dengan sikap ikhlas merupakan suatu hal, yang tak bisa tidak, mesti dijalani secara bersamaan.  
Sebab, jika tidak, perbuatan baik yang dilakukan seseorang hanya sekedar kedok untuk menutupi sifat buruknya. 

Itu sebabnya, ada Muslim yang solat Subuh dengan khusyu, tapi di siang harinya dengan ringan ia menyontek ujian, menerima suap, atau memfitnah orang lain. 
Satu hal yang mustahil dikerjakan oleh Muslim yang melaksanakan ibadahnya disertai keikhlasan.

Sebaliknya, pendalaman penghayatan batin --walau dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah-- jika tanpa disertai kepatuhan melaksanakan syareat yang diperintahkanNya, hanya akan mengarahkan orang tersebut pada perbuatan mistis yang menyesatkan, yang melahirkan kiai dukun alias kiai paranormal atau malah wali palsu dan nabi palsu.







IKHLAS, TAK PERLU MENUNTUT HAK

Biasakan menuntut diri kita sendiri untuk melakukan kewajiban; tak perlu menuntut hak kita kepada majikan. 
Sebab, jika kita menunaikan kewajiban, majikan yang bijak akan memberikan apapun yang menjadi hak kita tanpa perlu kita menuntutnya. 
Malah, bisa jadi, majikan kita akan memberi tambahan bonus yang di luar perkiraan kita. 

Begitu pun sebagai Muslim, kita tak perlu menuntut apapun kepada Allah; sebab Allah itu jauh lebih bijak ketimbang seorang majikan.


Realitanya, kita melaksanakan peribadatan dikarenakan kita yakin dan takut kepada Allah. 
Artinya, kita beribadat karena kita yakin Allah itu ada, sebab kalau tidak yakin kita tak perlu beribadat. Begitu pun kalau kita tidak takut tentunya kita tidak akan beribadat. 
Karenanya, sebagai Muslim awam biasa, cukuplah kita mengatakan bahwa kita mendirikan salat fardhu dan saum di bulan ramadhan semata-mata karena kewajiban; bukan untuk menuntut. 

Patut dicamkan, walau salat dan saum merupakan sarana untuk mendapatkan pertolongan Allah, tapi kita jangan menjadikannya sebagai alat menuntut Allah harus mengabulkan keinginan kita. 
Sebab apapun yang kemudian terjadi, itulah yang terbaik yang dikehendaki Allah buat kita.

Bagi kita, Muslim awam, cukuplah kita melaksanakan perintah Allah itu sebagai bukti bahwa kita adalah pengikut Allah; bukan pengikut setan.  

Tidak perlu sombong mengaku cinta kepada Allah bila perilaku kita masih ada yang bertentangan dengan tuntunanNya.







TIGA HAL YANG MEMBUAT BERIBADAT JADI RINGAN

Pertama, menyadari hakekat dari melaksanakan ritus ibadat adalah semata-mata kewajiban Muslim yang cinta kepada Allah. 
Sehingga merasa ringan saat mendirikannya; sebab, terlepas dari kekurangsempurnaan dalam pelaksanaannya, meyakini Allah pasti menerima cinta kita itu.

Kedua, mengetahui dan meyakini kebenaran dari syareat yang kita kerjakan, dengan patokan yang memang ada dalilnya.  
Sehingga terhindar dari sesuatu yang diada-adakan manusia, terhindar dari yang sia-sia. 
Tidak membuang-buang waktu untuk perkara yang dikira ritus ibadat padahal tidak ada perintah agama untuk hal itu. 
Sehingga ritus ibadat yang dikerjakan tidak bertumpuk tapi mubazir.

Ketiga, mengerjakan apa yang  kita lakukan dengan ikhlas. 
Artinya, kepatuhan kita itu benar-benar karena Allah.


Seorang Muslim yang ihsan --yang meyakini Allah senantiasa melihat dan mengawasinya-- yang sudah menerapkan hakekat, syareat, dan ikhlas dengan benar, tak membutuhkan penilaian orang lain. 
Tidak memerlukan topeng dan kostum. 
Tidak memerlukan atribut apapun.

Yang jelas, Muslim yang ikhlas adalah Muslim yang gembira ketika ia melakukan apapun semata-mata mengharap ridha Allah; dan bukan karena ingin pujian dari manusia. 

Yang pasti, Muslim yang ikhlas akan dimuliakan Allah. 
Orang yang ingin dimuliakan manusia, ia akan menenggelamkan dirinya sendiri.


(Alfa Qr)

TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..

[1]  Ikhlas berarti kita melakukan sesuatu dengan harapan hanya Allah saja yang membalas. Ikhlas bukan berarti kita tidak boleh mengharap atau dilarang meminta. Ikhlas artinya tak perlu menuntut. Yang jelas, berusaha melaksanakan syareat yang benar dengan disertai hati yang ikhlas merupakan keharusan bagi setiap Muslim.

Benar-salah, baik-buruk


Tidak salah ketika ngobrol yang berkaitan dengan perkara agama (Islam), kita membicarakan tentang penilaian ‘baik atau buruk’. 
Sebab dengan itu kita jadi tahu mana yang baik, yang lebih baik, yang kurang baik, ataupun yang buruk. 
Namun perbincangan masalah agama tetap harus ditutup bukan dengan penilaian baik-buruk, tapi harus dengan penilaian benar-salah menurut syareat agama. 
Artinya, ‘boleh atau tidak boleh’ mau pun ‘berdosa atau tidak berdosa’ harus berdasar dalil Qur’an dan hadis.


Suatu obrolan biasanya menimbulkan ketidakpuasan pada salah satu pihak, jika obrolan itu diakhiri hanya dengan penilaian ‘baik atau buruk’. 
Sebab penilaian baik-buruk bersifat relatif

Akibatnya suatu obrolan jadi sulit berakhir, karena masing-masing pihak merasa yang lebih baik atau paling baik menurut versinya masing-masing.


Lain halnya jika diakhiri dengan penilaian benar-salah. 
Sebab penilaian benar-salah mesti disandarkan kepada dalil yang pasti, yaitu Qur’an dan Sunnah

Artinya, apakah perbuatan yang akan kita lakukan itu ‘boleh atau tidak boleh’ untuk dikerjakan; ‘berdosa atau tidak berdosa’ jika dilaksanakan; hukumnya wajib atau tidak, haram atau tidak. 

Bukan sekadar masalah baik atau buruk, bukan sekadar hukumnya sunat atau makruh.



Dalam hal mengakhiri obrolan ini pun, sebaiknya kita memberi penekanan lebih khusus kepada ‘berdosa atau tidak berdosa’,  ketimbang ‘berpahala atau tidak berpahala’. 
Sebab dalam masalah mendapat pahala seseorang memiliki pilihan: Mengerjakan atau tidak mengerjakan perbuatan itu. 
Sedangkan dalam hal dosa, kita tidak mempunyai alternatif selain dari harus menghindarinya.


Contoh, apakah sesudah selesai solat wajib yang lima waktu boleh langsung berdiri; tanpa perlu berzikir lagi atau membaca doa lainnya? 
Jika kita membahasnya dari sudut baik-buruk (berpahala atau tidak), maka pembicaraan akan berlanjut dengan argumen yang berkepanjangan. 

Tapi jika kita melihatnya dari dalil ‘boleh atau tidak boleh’ atau ‘berdosa atau tidak berdosa’, maka langsung berdiri setelah selesai salat adalah boleh dan tidak berdosa. 
Dan obrolan masalah ini pun bisa diakhiri di sini. 
Tidak bertele-tele serta tidak berargumentasi berkelanjutan.


Contoh lain, mengkosor solat dalam perjalanan --yang merupakan keringanan (rukhshah) yang diberikan Allah-- adalah keutamaan karena itulah yang biasa Nabi kerjakan
Namun, sebab tak ada sanksi bila menolak rukhshah dari Allah, jika dilaksanakan secara penuh pun (tam) dibolehkan.  
Jadi, obrolan masalah solat safar ini pun bisa diakhiri sampai di sini.


Oleh karenanya, usahakan obrolan itu ditutup dengan dalil ‘benar atau salah’ menurut ajaran Islam, bukan sekadar sudut pandang ‘baik atau buruk’ (yang cenderung hanya menurut ‘penglihatan’ manusia).


Ingat, si iblis laknatullah senantiasa berusaha membuat perkara atau kewajiban agama tampak menjadi berat dalam pandangan manusia.






TAK ADA HAK MEMBUAT RITUS PERIBADATAN

Dipasangnya rambu dilarang parkir atau lampu stopan, bertujuan untuk mencegah kemacetan lalu-lintas; namun bukan berarti jika lalu-lintas sepi kita boleh melanggar aturan tersebut. 

Dalam perkara agama, merasa jadi kekasih Allah bukan berarti kita boleh mengenyampingkan ritus ibadat yang sudah diperintahkan Allah.


Sebaliknya, kita pun dilarang membuat atau memasang rambu-rambu lalu-lintas seenak kemauan kita sendiri --walau kita menganggapnya baik-- karena kita tidak punya otoritas dalam hal ini. 

Dalam perkara agama, tatkala mendekatkan diri kepada Allah, kita pun dilarang membuat ritus ibadat baru --walau kita menganggapnya baik-- karena kita tidak punya kewenangan melakukan hal itu.


Kepatuhan kita menaati aturan lalu lintas, walau kita tidak melihat ada polisi di sana, namanya disiplin. 
Kepatuhan kita mengikuti syareat  Allah dengan benar, walau kita tidak melihat Allah, namanya keikhlasan.  


Yang jelas, seperti juga dalam masalah lalu-lintas, dalam perkara agama pun memang kadangkala ada pengecualian.
Dalam keadaan darurat, siapapun dimaklumi untuk tidak mengikuti rambu lalu-lintas; sementara mobil pemadam kebakaran atau ambulan biasanya diberi pengecualian khusus dalam mengikuti aturan lalu-lintas.

Dalam perkara agama, jika ada bahaya yang mengancam, seperti gempa bumi atau kebakaran, orang yang sedang solat bukan saja boleh tapi sudah seharusnya menghentikan dulu solatnya. 
Sementara orang sakit atau yang sedang safar, diberi keringanan dalam melaksanakan ritus ibadat. 






CINTA KEPADA ALLAH HARUS DISERTAI KETAATAN..

Cinta kepada Allah merupakan kewajiban. 
Namun ketaatan mengikuti perintah Allah lebih utama daripada sekadar mengaku cinta kepada Allah. 
Sebab cinta tanpa ketaatan maka cintanya tidak dinilai.

Dalam kisah tasawuf diceritakan ketika iblis ditanya kenapa menolak sujud kepada Adam, iblis berkata ‘Bagaimana mungkin aku harus sujud kepada selain Allah’. 
Jelas, iblis ‘mengaku’ dan ‘merasa’ dirinya pencinta Allah; tapi kenyataannya ia tidak patuh kepada perintah Allah.

Karenanya, menaati aturan Allah itu lebih utama dari sekadar mengaku cinta kepada Allah. 
Dengan kata lain, merasa mencintai Allah itu harus disertai dengan menaati syareat yang ditentukan Allah
Dan bukan menaati (ritus) yang diada-adakan oleh selain Allah.


Begitu juga, realitanya saat ini, banyak yang mengaku cinta kepada Nabi tapi beribadatnya tidak sesuai dengan yang dicontohkan Nabi Saw.



Umatku dibebaskan (dari tuntutan) disebabkan
kesalahan (yang tidak disengaja), lupa,
dan terhadap apa yang dipaksakan kepada mereka.”
(HR. Ath Thabari)

(Alfa Qr)