Dalam Islam tidak ada penggolongan manusia
ningrat atau cacah, berdarah biru atau berdarah merah.
Yang ada hanyalah manusia bertakwa atau manusia berperangai bejat.
Yang ada hanyalah manusia bertakwa atau manusia berperangai bejat.
Ningrat dan cacah hanyalah
tingkatan yang diada-adakan manusia di dunia; di surga, si cacah bisa saja
lebih mulia dari si ningrat.
Juga, dalam Islam, tidak ada ras yang lebih hebat dari ras lainnya.
Semuanya, pada akhirnya, tergantung pribadinya masing-masing. [1]
Juga, dalam Islam, tidak ada ras yang lebih hebat dari ras lainnya.
Semuanya, pada akhirnya, tergantung pribadinya masing-masing. [1]
Zaid bin Sa’nah ra, yang mati syahid pada perang Tabuk,
adalah keturunan etnis Yahudi; sementara Muslim bin ‘Uqbah, panglima tentara
Yazid bin Muawiyah yang memporakporandakan Madinah, yang melakukan perampokan
dan perkosaan terhadap wanita muslim, bukan seorang Yahudi.
Dari apa yang dilakukannya, bukan mustahil Zaid bin Sa’nah lebih dimuliakan Allah Swt.
Jadi, dimuliakannya [ruh] seseorang di surga bukan karena ras atau etnisnya, melainkan karena ketakwaannya. [2]
Dari apa yang dilakukannya, bukan mustahil Zaid bin Sa’nah lebih dimuliakan Allah Swt.
Jadi, dimuliakannya [ruh] seseorang di surga bukan karena ras atau etnisnya, melainkan karena ketakwaannya. [2]
Dalam sebuah
riwayat, Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam pernah menegur Abu Dzar ra
yang mengejek Bilal bin Rabbah ra
karena keturunannya (keturunan budak dan berkulit hitam).
Jadi, amat salah menghina atau memusuhi manusia karena ras atau keturunannya.
Jadi, amat salah menghina atau memusuhi manusia karena ras atau keturunannya.
Amat salah menghukum
suatu etnis karena kebiasaan atau perilaku nenek moyang mereka pada suatu masa
yang telah lewat; atau menghukum satu etnis karena perilaku dari sebagian
mereka.
Amat tak jujur menghukumkan sifat bangsa Jerman sekarang dengan membandingkannya sebagai bangsa Jerman di masa Nazi Hitler.
Amat tak jujur menghukum suatu etnis di Indonesia sebagai lintah darat, hanya karena perilaku sebagian dari mereka; padahal tidak sedikit ulama yang berasal dari etnis tersebut justru lebih soleh dan lebih bersih dalam melaksanakan syareat Islam.
Perlu selalu
diingatkan, bahwa kemuliaan seseorang bukan karena keturunan.
Tidak ada jaminan anak orang soleh akan menjadi anak yang soleh pula.
Seperti juga tidak semua anak orang jahat akan menjadi orang tercela.
Begitu pula, kemuliaan seseorang tidak bisa dinilai hanya karena banyaknya orang yang mengantarkannya --saat wafat-- ke kuburan.
Tidak ada jaminan anak orang soleh akan menjadi anak yang soleh pula.
Seperti juga tidak semua anak orang jahat akan menjadi orang tercela.
Begitu pula, kemuliaan seseorang tidak bisa dinilai hanya karena banyaknya orang yang mengantarkannya --saat wafat-- ke kuburan.
Yang jelas, di surga
akhirat seorang manusia dimuliakan Allah bukan berdasar etnisnya atau
tingkatan kekayaan materi duniawinya.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat
kepada rupamu (asal-usul, suku bangsa) dan hartamu (kekuasaan, jabatan); Tetapi
Allah melihat kepada hati dan amalmu.” (HR. Muslim)
[1]
Camkan, gelar-gelar kehormatan maupun bintang dan medali penghargaan
yang dibanggakan di dunia, sama sekali tak ada nilainya di akhirat. Sultan atau raja di dunia, bisa saja hanya
jadi seorang pelayan di akhirat.
[2]
Tak semua penghuni surga di akhirat bisa menikmati harumnya surga.
Seperti juga di dunia ini, tak semua orang yang tinggal di gedung mewah adalah
‘pemilik’ rumah tersebut; bisa jadi ia hanyalah seorang pelayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar