BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Senin, 27 Februari 2012

Tergantung hati dan amal


Dalam Islam tidak ada penggolongan manusia ningrat atau cacah, berdarah biru atau berdarah merah. 
Yang ada hanyalah manusia bertakwa atau manusia berperangai bejat. 
Ningrat dan cacah hanyalah tingkatan yang diada-adakan manusia di dunia; di surga, si cacah bisa saja lebih mulia dari si ningrat. 


Juga, dalam Islam, tidak ada ras yang lebih hebat dari ras lainnya. 
Semuanya, pada akhirnya, tergantung pribadinya masing-masing. [1]

Zaid bin Sa’nah ra, yang mati syahid pada perang Tabuk, adalah keturunan etnis Yahudi; sementara Muslim bin ‘Uqbah, panglima tentara Yazid bin Muawiyah yang memporakporandakan Madinah, yang melakukan perampokan dan perkosaan terhadap wanita muslim, bukan seorang Yahudi. 
Dari apa yang dilakukannya, bukan mustahil Zaid bin Sa’nah lebih dimuliakan Allah Swt.  

Jadi, dimuliakannya [ruh] seseorang di surga bukan karena ras atau etnisnya, melainkan karena ketakwaannya. [2] 


Dalam sebuah riwayat, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menegur Abu Dzar ra yang mengejek Bilal bin Rabbah ra karena keturunannya (keturunan budak dan berkulit hitam). 
Jadi, amat salah menghina atau memusuhi manusia karena ras atau keturunannya.

Amat salah menghukum suatu etnis karena kebiasaan atau perilaku nenek moyang mereka pada suatu masa yang telah lewat; atau menghukum satu etnis karena perilaku dari sebagian mereka. 

Amat tak jujur menghukumkan sifat bangsa Jerman sekarang dengan membandingkannya sebagai bangsa Jerman di masa Nazi Hitler. 

Amat tak jujur menghukum suatu etnis di Indonesia sebagai lintah darat, hanya karena perilaku sebagian dari mereka; padahal tidak sedikit ulama yang berasal dari etnis tersebut justru lebih soleh dan lebih bersih dalam melaksanakan syareat Islam.


Perlu selalu diingatkan, bahwa kemuliaan seseorang bukan karena keturunan.  
Tidak ada jaminan anak orang soleh akan menjadi anak yang soleh pula. 
Seperti juga tidak semua anak orang jahat akan menjadi orang tercela. 

Begitu pula, kemuliaan seseorang tidak bisa dinilai hanya karena banyaknya orang yang mengantarkannya --saat wafat-- ke kuburan.


Yang jelas, di surga akhirat seorang manusia dimuliakan Allah bukan berdasar etnisnya atau tingkatan kekayaan materi duniawinya.
 “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupamu (asal-usul, suku bangsa) dan hartamu (kekuasaan, jabatan); Tetapi Allah melihat kepada hati dan amalmu.” (HR. Muslim)


(Alfa Qr)


[1]   Camkan, gelar-gelar kehormatan maupun bintang dan medali penghargaan yang dibanggakan di dunia, sama sekali tak ada nilainya di akhirat. Sultan atau raja di dunia, bisa saja hanya jadi seorang pelayan di akhirat.

[2]  Tak semua penghuni surga di akhirat bisa menikmati harumnya surga. Seperti juga di dunia ini, tak semua orang yang tinggal di gedung mewah adalah ‘pemilik’ rumah tersebut; bisa jadi ia hanyalah seorang pelayan.

Tidak ada komentar: