Sampai sekarang, asal muasal istilah
tasawuf dan sufi, tidak terdapat keseragamannya pada pendapat para pakar.
Begitu pula definisi dari istilah tasawuf dan sufi, para ulama berbeda mengartikannya.
Begitu pula definisi dari istilah tasawuf dan sufi, para ulama berbeda mengartikannya.
Hanya saja arti yang sering dipahami Muslim awam, tasawuf berarti perilaku atau perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sedangkan sufi
ditujukan untuk mereka yang melakukan praktek tasawuf tersebut.
Sayangnya, tak
sedikit ajaran para sufi tempo dulu itu yang tidak sesuai dengan tuntunan
Rasulullah Muhammad Saw.
Yang sering terjadi justru penghormatan dan pujian yang berlebih-lebihan kepada para guru sufi tersebut.
Perlu diketahui, gelar yang disandangkan kepada para tokoh sufi biasanya diterapkan, oleh para pemujanya, sesudah mereka wafat.
Yang sering terjadi justru penghormatan dan pujian yang berlebih-lebihan kepada para guru sufi tersebut.
Perlu diketahui, gelar yang disandangkan kepada para tokoh sufi biasanya diterapkan, oleh para pemujanya, sesudah mereka wafat.
Realitanya, perilaku
tasawuf amat sulit untuk
dipraktekkan oleh kita yang hanya orang awam biasa.
Sebab seorang Muslim yang
betul-betul mendekatkan diri kepada Allah akan selalu berusaha menjauh dari
pujian manusia, dan hanya mengharap ridha Allah.
Dari sebab itu, jika kita merasa tersinggung dikarenakan gelar kita tidak disebut, rasanya layak dipertanyakan keikhlasan hati kita sebagai pelaku tasawuf.
Begitu pula, mesti
diwaspadai adanya hal-hal terselubung yang tidak kita sadari.
Kadang, tanpa sadar, kita dililit kemunafikan.
Kadang, tanpa sadar, kita dililit kemunafikan.
Contohnya,
sikap rendah hati yang kita lakukan, tanpa kita menyadarinya, bisa jadi
karena kita ingin orang lain menilai kita sebagai orang yang tawadhu.
BEBERAPA UNGKAPAN TASAWUF
- “Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia, dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”
- “Ikhlas berarti engkau tidak memanggil siapa pun selain Allah Swt. sebagai saksi atas perbuatanmu.”
- “Hubungan antara sabar dan iman adalah seperti hubungan antara kepala dengan badan.”
- “Sabar adalah tidak membedakan keadaan bahagia dan menderita.”
- “Kesedihan dan rasa gelisah menjadi panjang bagi orang yang matanya mengejar apa yang dimiliki orang lain.”
- “Qana’ah adalah sikap tenang dalam menghadapi hilangnya sesuatu yang biasa ada.”
- “Ridha bukan berarti bahwa engkau tidak mengalami cobaan, ridha adalah engkau tidak keberatan terhadap hukum dan qadha (takdir) Allah Swt.”
Kalau direnungkan, apa yang salah pada pemahaman sufi di atas?
Bukankah bagi Muslim yang tak punya kemampuan meraih kekayaan duniawi bisa diambil manfaatnya; sebagai rem pengendali dari nafsu melihat gemerlapnya harta duniawi yang dimiliki orang lain?
HAL YANG BISA DIPUNGUT
Mendekatkan diri kepada Allah bukan berarti menghapus kodrat manusia untuk
tertarik kepada hal-hal yang duniawi.
Sebab tidak ada faedahnya bumi dan isinya
diciptakan Allah bila tidak boleh dinikmati; padahal mustahil Allah Swt menciptakannya dengan sia-sia.
Materi duniawi justru dihadirkan Allah sebagai ujian bagi ketakwaan manusia
kepadaNya; selain diuji cara mendapatkannya, juga diuji pemanfaatannya.
Selama hanya merupakan alat supaya bisa mendekatkan diri kepada Allah, [ilmu] tasawuf itu bermanfaat.
Sebab tidak bisa dipungkiri, pengetahuan tasawuf yang lurus mampu memperkaya kebahagiaan batin. Menghilangkan keresahan, meredam kecemasan.
Mencegah ketamakan, menyingkirkan kesombongan.
Mendorong untuk selalu rendah hati, menilai dan menganggap orang lain selalu lebih baik ketimbang dirinya.
Menumbuhkan sifat sabar yang jauh dari sifat iri dengki.
Begitu pula sakit dan ajal dihadapinya senantiasa dengan ‘tersenyum’.
Namun tasawuf yang
keluar jalur tuntunan agama harus dihindari, sebab ajaran seperti ini sudah
terkena virus kotoran buatan manusia yang disisipkan ke dalam agama.
Tasawuf
yang sesat adalah yang tak bisa meletakkan ajaran agama pada tempat yang
sebenarnya.
Yang memutarbalikkan arti istilah-istilah agama dari makna lafaz
zahir kalimat yang mudah dimengerti kepada arti batin yang malah jadi sulit
dipahami orang awam.
Tasawuf, seperti
juga ilmu fikih dan ilmu kalam (yang semuanya merupakan disiplin ilmu hasil
ijtihad manusia), jelas memiliki kekurangan dan kelebihan.
Karenanya, tidak
salah jika kita memungut yang berfaedahnya, dan mengenyampingkan yang tidak
bergunanya.
Dari hal-hal di
atas, jika kita belum mendalami masalahnya, jangan begitu saja menilai tasawuf
itu sebagai sesuatu yang salah atau buruk.
Tapi juga jangan begitu saja
menerimanya sebagai sesuatu yang baik atau bagus.
Realitanya, banyak
orang yang bisa memilah mana batu berharga dan mana yang bukan.
Tapi hanya yang
benar-benar ahlinya yang bisa menilai cacat tidaknya sebutir intan.
Karenanya, kita jangan sombong.
Jangan begitu saja menilai orang lain salah.
Jangan begitu saja menilai orang lain salah.
Catatan:
- Tasawuf pada hakekatnya mengajarkan kepada kita untuk mengintrospeksi diri kita sendiri. Mengajarkan untuk melihat kenyataan akan adanya sisi-sisi munafik pada diri kita. Salah satu ucapan yang dinisbatkan kepada tokoh sufi Rabi’ah Al-Adawiyah (semoga ampunan dan rahmat Allah senantiasa melimpahi beliau) amat sangat pantas untuk direnungkan: “Aku memohon ampun kepada Allah karena sedikitnya kejujuranku dalam mengucapkan astaghfirullah (aku memohon ampun kepada Allah).”
- Tidak sedikit orang yang berjihad --juga bersedekah, solat, saum atau berhaji-- yang ternyata pahalanya di akhirat tidak sebesar seperti yang diharapkannya. Itu disebabkan semua yang dilakukannya terkontaminasi oleh keinginan dipuji atau dinilai oleh manusia; dan bukan karena semata-mata mengharap ridha Allah.
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar