BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Kamis, 23 Februari 2012

Toleran dan tidak toleran


Ada kesalahpahaman atau kesalahan pemahaman dalam masalah toleransi dan tidak toleran; yang kadang menimbulkan pandangan yang kurang baik terhadap seorang Muslim. 

Hal ini sebenarnya tak sepatutnya terjadi, jika kita bisa menerangkan hal-hal tersebut dengan benar. 
Bisa menjelaskan di bagian mana kita tidak boleh bertoleransi, dan di bagian mana kita boleh atau malah harus bertoleransi. 
Artinya bisa menempatkan masalahnya dengan benar.


Dalam konteks akidah (keyakinan agama), ritus ibadat atau penyembahan, memang tidak boleh ada toleransi; dan ini pasti berlaku di semua agama mana pun
Artinya, seorang Muslim tidak boleh terlibat dalam acara yang bersifat penyembahan atau ritus dari agama lain. 

Begitu pula seorang nonmuslim tidak perlu melibatkan diri dalam acara atau kegiatan yang bersifat ritual atau penyembahan yang dilaksanakan umat Islam.

Lain halnya dalam masalah yang bersifat hubungan sosial kemasyarakatan atau hubungan antar manusia dalam kehidupan umum sehari-hari; Islam bukan hanya mengajarkan bertoleransi atau saling menghormati, tapi juga keharusan untuk saling tolong menolong.






HAL MENGUCAPKAN SELAMAT

Ucapan selamat biasanya ditujukan kepada seseorang yang mendapatkan apa yang diinginkannya. 
Selain sebagai rasa ikut gembira, ucapan selamat biasanya untuk menunjukkan rasa hormat. 
Hanya orang yang iri,  atau yang sedang bermusuhan, yang tidak saling mengucapkan selamat.


Boleh dan tidak bolehnya seorang Muslim mengucapkan selamat kepada nonmuslim tergantung dari maksud ucapan selamat tersebut. 
Jika maksudnya sebagai tanda ikut bergembira ataupun sebagai mendoakan keberhasilan di dunia dan bersifat keduniawian pula, maka ucapan selamat serupa itu dibolehkan

Apalagi jika ucapan selamat itu sekadar sapaan atau etika sopan santun dalam bermasyarakat. 
Contohnya ucapan selamat pagi, selamat tahun baru, selamat jalan, ataupun selamat ulang tahun. [1]


Yang tidak boleh, dan memang tidak perlu karena merupakan satu hal yang mubazir, jika ucapan selamat dimaksudkan sebagai mendoakan ampunan atau keselamatan di akhirat bagi nonmuslim. 
Sebab seseorang akan selamat di akhirat jika ia seorang Muslim. 


Karenanya, selama tidak berkaitan dengan akidah agama, dan selama tidak dalam suasana permusuhan, tidak salah kita mengucapkan selamat kepada rekan sekerja kita yang naik jabatan, yang diangkat jadi ketua RW, jadi camat, jadi gubernur, ataupun jadi presiden; walau ia nonmuslim. 





HAL YANG BERKAITAN DENGAN MENDOAKAN ORANG LAIN

Apa pun agamanya, jelas seseorang tak perlu berdoa kepada Tuhannya agar orang lain (yang berbeda agamanya) diampuni dosanya  atau agar dimasukkan ke dalam sorga di akhirat kelak.
Jika doa orang lain (yang berbeda agama) yang serupa itu dikabulkan tuhannya, maka kita tak perlu beragama; tapi cukup minta didoakan orang yang beragama agar kita masuk sorga. 
Apa begitu?

Kalau doa serupa itu hanya sekadar basa-basi toleransi, berarti orang itu telah menipu kita

Padahal Islam agama yang mengajarkan kejujuran, bukan agama basa-basi. 
Buat apa mendoakan orang lain (yang berbeda agama) dengan doa serupa itu, jika doa itu tidak akan dikabulkan Allah?


Lain halnya dalam masalah duniawi, di masa damai seorang Muslim boleh mendoakan kebaikan untuk orang lain. 
Masalah dikabulkan atau tidak adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Contohnya, sebagai pegawai sebuah perusahaan, tidak salah kita berdoa agar perusahaan bisa memperoleh untung atau bisa maju, walau perusahaan itu milik nonmuslim atau patungan Muslim dan nonmuslim. 

Didoakan atau tidak, sebuah perusahaan bisa maju atau bangkrut. 
Usaha si manusia-manusia itu sendiri, dengan praktek nyata, hakekatnya merupakan aplikasi dari sebuah harapan atau doa.


Realitanya, di antara kesalahan utama seorang manusia adalah menilai sebuah doa serupa dengan mantera. 

Memang, Tuhan menyukai orang yang berzikir dengan doa, tapi Tuhan akan lebih menyukainya lagi bila orang tersebut merealisasikannya dengan ‘berzikir’ dalam praktek nyata.

Berdoa mohon perusahaan bisa maju tapi tetap malas, sama saja dengan meremehkan Tuhan. 
Berdoa mohon keselamatan tapi tetap ngebut di keramaian lalu-lintas, sama saja dengan menantang Tuhan. 
Berdoa mohon keselamatan untuk negaranya tapi tetap saja korupsi, sama juga dengan memperolok-olok Tuhan. 
Dengan izin Tuhan, negara-negara dengan penghuni serupa ini akan hancur dengan sendirinya.





KELAZIMAN DALAM BERMASYARAKAT

Dalam masalah kemasyarakatan yang harus dilihat bukan sekadar soal Muslim dan nonmuslimnya, melainkan hukum kelaziman dalam kehidupan bermasyarakat itu sendiri.

Contohnya, ketika mau beli sepeda, kita cari toko yang menjualnya paling murah. 
Ketika mau beli kue atau roti, kita cari toko yang jualannya paling enak. 
Ketika mau menjual rumah atau mobil, kita pilih orang yang tawaran harganya paling tinggi.


Karenanya, wajar saja jika seorang Muslim berlangganan di toko yang ramah pelayannya, walau pemiliknya nonmuslim; ketimbang yang pemiliknya Muslim, tapi tidak ramah penampilannya. 

Juga wajar, ketika akan memasukkan anaknya ke sekolah, ada orang tua yang memilih sekolah dengan pertimbangan mutu belajarnya atau karena lokasinya. 





BOLEH DAN TIDAK BOLEH BERTOLERANSI

Jika kehadiran seorang Muslim bukan untuk melibatkan diri dalam ritus agama lain, artinya cuma sekadar melihat, maka itu hanya sekadar makruh. 
Tapi jika ikut melibatkan diri dalam ritus agama lain, seperti ikut mengucapkan amin ketika mereka berdoa, maka itu haram hukumnya.

Oleh karenanya, seorang Muslim tidak perlu hadir di upacara pernikahan temannya yang dilaksanakan di sinagog atau di gereja. 
Seperti juga kita memaklumi jika seorang nonmuslim tidak hadir di acara akad nikah temannya yang Muslim yang dilaksanakan di masjid (perlu diketahui nikah di masjid bukan keutamaan, akad nikah bisa di mana saja). 

Lain halnya dengan menghadiri pesta pernikahannya --yang biasanya dilaksanakan di rumah, di hotel atau di restoran, dan bukan di rumah ibadat-- itu tidak jadi masalah, walau agamanya memang berbeda.


Namun seandainya akan tetap hadir juga di sinagog atau di gereja, janganlah sekali-sekali ikut terlibat dalam acara ritualnya; cukup sekadar melihat atau menonton. 
Seperti juga dengan menonton pawai keagamaan yang dilakukan umat lain yang dilaksanakan di jalan-jalan, tidaklah dilarang. 
Lain halnya kalau kita ikut jadi peserta pawai, ini jelas haram.


Yang pasti, Muslim dilarang ikut kegiatan ritus paskah Yahudi atau ritus natalan Nasrani, tapi tidak dilarang menontonnya. 
Begitupun masuk sinagog, gereja, kuil, vihara dan serupanya tidaklah haram, jika masuknya kita ke sana bukan dengan maksud ikut ritus ibadat mereka.

Mengunjungi moseleum Lenin atau Mao, piramid atau kuil firaun, gereja Notre Dame atau candi Borobudur, tidak apa-apa jika maksudnya sekadar melihat peninggalan sejarah masa lalu. 
Tapi pergi ke gunung Kawi  dengan harapan bisa mendatangkan keberuntungan atau keselamatan, jelas haram bagi seorang Muslim

Lain halnya kalau sekadar berwisata.






SIKAP TOLONG MENOLONG DALAM BERMASYARAKAT

Di masa damai (bukan di masa peperangan), di kehidupan normal sehari-hari, seorang manusia --terlepas apa pun agamanya atau tidak percaya agama sekalipun-- sewajarnya saling menolong; tanpa perlu melihat siapa yang menolong atau yang ditolong.

Contohnya, jika ada kecelakaan orang yang terjatuh dari sepeda, kita harus berusaha menolongnya; tidak perduli dia Muslim atau bukan. 

Sebaliknya, ketika seorang dokter hendak menolong kita, kita tidak perlu bertanya apa dia Muslim atau bukan. 
Apa jika dia nonmuslim atau seorang atheis kita harus menolak pertolongannya?


Begitupun ketika melihat seorang anak terbawa arus sungai dan akan tenggelam, ketika akan menolongnya kita tak perlu bertanya apa dia muslim atau bukan
Memangnya kalau dia nonmuslim mau dibiarkan kelelep

Atau kalau kita melihat peristiwa penodongan, apa kita harus bertanya lebih dulu yang mana yang Muslim dan mana yang bukan? 
Apa jika yang menodongnya (mengaku) muslim, penodongan itu harus dibiarkan?






 MELETAKKAN TOLERANSI PADA TEMPATNYA

Di masa damai, selama menyangkut masalah bersosialisasi, walau berkaitan dengan suatu agama, kita tetap harus bertoleransi.

Contohnya, apa seorang supir taksi yang Muslim tak boleh mengantar penumpang yang akan pergi ke vihara, ke sinagog atau ke gereja? 
Bagaimana kalau supir taksinya nonmuslim, apa kita harus membatalkan pergi ke masjid? 

Apa pekerja bangunan yang Muslim tidak boleh membangun sinagog atau gereja? 
Kalau kita membangun masjid di Australia apa semua pekerja bangunannya harus jadi Muslim dulu? 
Apa bahan bangunannya harus buatan Muslim atau dibeli dari toko Muslim? 

Kalau kita yang punya toko bahan bangunannya, apa tidak boleh menjualnya kepada orang yang mau bikin kuil, vihara, sinagog, atau gereja?


Jelas, di masa damai, seorang Muslim boleh berjual-beli dengan non-muslim; malah boleh saling bekerja sama di dalam sebuah perusahaan. 

Seorang arsitek Muslim boleh bekerja pada perusahaan real estate kepunyaan nonmuslim, demikian pula sebaliknya. 
Begitupun, seorang Muslim berpangkat kopral tetap harus memberi hormat kepada atasannya yang kapten, walau si kapten seorang nonmuslim; sebab sikap menghormati di sini termasuk dalam masalah kelaziman sosial.


Khusus dalam masalah nikah --di mana seorang pria Muslim boleh menikahi wanita kafir yang termasuk ahli-kitab (Yahudi atau Nasrani), sementara wanita Muslimah haram menikah dengan pria kafir-- hendaknya para nonmuslim memaklumi bahwa itu aturan syareat agama Islam, bukan sekadar masalah toleransi atau tidak. 

Islam tidak pernah melarang pria kafir untuk menikah dengan wanita manapun, Islam hanya mengharamkan wanita Muslimah menikah dengan pria kafir. [2] 
Begitu pun ajaran Islam tidak memaksa wanita nonmuslim untuk menikah dengan pria Muslim.


Dari hal-hal di atas, seorang nonmuslim semestinya bisa memahami dan memaklumi mengapa ada saat-saat (atau kondisi tertentu) di mana seorang Muslim --tampaknya-- tidak bertoleransi. 

Begitu pula seorang Muslim mestinya bisa menempatkan kapan dan di mana ia tidak bisa (tidak boleh) bertoleransi, serta kapan dan di mana ia seharusnya bertoleransi. 



Catatan:
  • Kita tidak boleh mengkafirkan seorang Muslimah yang berbuat keburukan; temasuk Muslimah yang menikah dengan orang kafir. Selama tidak menyatakan dirinya keluar dari Islam, ia tetap seorang Muslimah. Hanya saja apa yang dilakukannya itu tak layak untuk ditiru.



TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN.. (Alfa Qr)


[1]  Seorang Muslim tak boleh mendoakan nonmuslim dengan memakai ayat atau surat Al Qur’an; Termasuk ucapan Assalamu’alaikum, karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam ritus ibadat (solat) umat Islam.. Bacaan ibadat hanya oleh, dari, dan untuk seorang Muslim...

[2]  Tuntunan Nabi Muhammad Saw berlaku sampai kiamat; tuntunan para nabi sebelumnya hanya berlaku pada masanya
Di masa Nabi Musa As, wanita beriman (contohnya, isteri firaun) boleh menikah dengan pria kafir... 
Di masa Musa, orang musyrik (menyekutukan Allah dengan mengeramatkan patung sapi) pertobatannya dengan membunuh dirinya sendiri. Saat ini, tobatnya orang musyrik cukup dengan menghentikan kemusyrikannya; tak perlu bunuh diri...

Tidak ada komentar: