BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Kamis, 23 Februari 2012

Fikih dan Syareat


Fikih merupakan disiplin ilmu hasil pemahaman manusia. 

Fikih biasanya diartikan sebagai [pemahaman] hukum. 
Ilmu fikih diartikan ilmu hukum. 
Fikih Islam diartikan hukum dalam Islam. 
Fikih Maliki diartikan ketentuan hukum menurut pemahaman (madzhab) Imam Malik.


Syareat bisa diartikan ajaran, aturan, atau ketentuan agama.  
Syareat Islam artinya ketentuan dalam agama Islam. 
Syareat Islam mesti mengacu kepada Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.


Perlu diketahui, sebuah fikih (ketetapan hukum hasil pemikiran atau ijtihad manusia) bisa saja bertentangan dengan ketentuan syareat agama yang sebenarnya. 

Sebagai contoh, ketika Copernicus mengatakan bumi mengelilingi matahari, para ulama Nasrani menilainya sebagai melawan keyakinan gereja. 
Padahal apa yang disebut ‘keyakinan gereja’ itu tidak lebih sebagai disiplin ilmu dan bukan ketentuan syareat agama yang sebenarnya. 
Sebab mustahil syareat agama Nasrani, yang juga merupakan agama Allah, bertentangan dengan ketentuan Allah sendiri (yaitu bumi mengitari matahari, dan bukan matahari mengitari bumi).


Jadi, seseorang yang berbeda pendapat dengan hukum hasil suatu disiplin ilmu (yang merupakan hasil ijtihad manusia, baik ilmu fikih, kalam, tasawuf, atau ilmu apa pun namanya) belum tentu berlawanan dengan ketentuan syareat agama yang sebenarnya.







PEMAHAMAN FIKIH PADA PERKARA SHALAT

Syareat merupakan pondasi hukum Islam. 
Sedangkan fikih sekadar sarana penjabaran dari syareat dalam menetapkan hukum sebuah perbuatan; yang belum tentu sesuai seperti yang sebenarnya dikehendaki syareat.

Contohnya, syareat mengharuskan Muslim untuk melaksanakan salat fardu pada waktunya. 
Artinya, salat fardu itu boleh dilakukan di awal, di tengah, atau di akhir waktu salat, asal pada waktunya

Sementara itu, ada fikih yang mengharuskan salat wajib mesti dilaksanakan di awal waktu. 
Akibatnya Muslim awam biasa merasakan aturan agama jadi memberatkan. 
Walau, tentu saja, mengerjakan di awal waktu itu lebih utama; tapi mendirikan solat di awal waktu itu tetap saja bukan suatu kemestian.


Ada fiqih (pemahaman ulama) yang mengharuskan tiap salat fardhu mesti dilaksanakan secara berjamaah dan mesti di masjid. 
Syareat Islam, yang sebenarnya, membolehkan Muslim untuk mendirikan salat wajib sendirian. 

Dan tidak terlarang untuk mengerjakannya di rumah, di kantor, atau di tempat lain yang dinilai layak atau bersih.


Satu-satunya shalat fardu yang mesti dilakukan berjamaah dan seutamanya dilaksanakan di masjid adalah shalat Jumat; yaitu shalat dua rakaat pada hari Jumat yang diawali dengan khotbah oleh imam. 
Salat wajib Jumat merupakan pengganti salat zhuhur bagi pria Muslim dewasa yang sehat dan tidak sedang dalam bepergian. 

Jika jauh dari masjid, salat Jumat bisa didirikan di mana saja selama tempatnya layak.






FIKIH PADA MASALAH WUDHU

Dalam masalah wudhu, tidak sedikit Muslim yang was-was, takut salah, takut tak sah, takut salatnya tidak diterima, yang diakibatkan disiplin ilmu yang kaku, yang memberlakukan batasan mesti begini mesti begitu. 

Karena merasa terbebani, akhirnya orang tidak wudhu dan tidak solat; orang jadi lebih takut kepada disiplin ilmu daripada takut kepada Allah.


Begitupun dengan keharusan membaca niat wudhu atau niat salat, syareat agama --yang sebenarnya-- menilai orang yang hendak berwudhu berarti sudah berniat untuk wudhu dan orang yang hendak melaksanakan salat berarti sudah berniat untuk salat tersebut. 
Jadi tidak perlu melisankan niat. 

Sebagai contoh, orang yang pergi ke pasar hendak berbelanja berbeda dengan orang yang pergi ke pasar hendak berjualan, atau orang yang pergi ke pasar hendak mencopet. 
Kata ‘hendak’ telah menunjukkan niat orang tersebut yang sebenarnya, baik niatnya dilisankan atau tidak.


Orang yang terikat disiplin ilmu, yang merasa ragu apa saat berwudhu membaca niat atau tidak, salatnya dipenuhi pikiran apa diterima apa tidak. 
Ia lebih diliputi rasa waswas karena teringat wudhunya daripada ingat kepada Allah yang sedang dihadapinya.

Pada masa Nabi, jika sudah berwudhu di rumah, para Sahabat yang pergi ke masjid tanpa alas kaki melaksanakan salat tanpa berwudhu lagi. 
Padahal tanah yang diinjak tak mustahil bercampur debu bekas kotoran manusia, karena di masa itu banyak orang membuang hajat di tempat terbuka; sebab kakus di dalam rumah belum begitu dikenal pada saat itu.

Seperti juga dalam mengawali semua perbuatan baik, mengawali wudhu dengan membaca basmalah adalah keutamaan. 
Namun jika sama sekali lupa, tidaklah membatalkan wudhu. 








HARUS ADA DALIL

Solat adalah pokok (ushul), perintah untuk mendirikannya tegas ada di dalam Qur’an. 
Cara-cara mengangkat tangan, menaruh tangan, ruku, sujud, duduk antara dua sujud, termasuk cabang (furu).

Shalat, karena merupakan pokok (ushul), harus berlaku umum bagi semua Muslim; artinya tidak boleh ada shalat yang hanya dikenal di suatu kaum (golongan) tapi tidak dikenal keberadaannya oleh kaum yang lain.

Tidak boleh mendirikan solat yang direkayasa, yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
Sedangkan perbedaan dalam masalah furu, bisa ditolerir bila memang ada dalilnya.

Contohnya, ada hadis yang mewajibkan membaca Al Fatihah bagi orang yang shalat, dan ada ayat Qur’an yang mengharuskan kita diam ketika ayat Qur’an dibacakan. 

Karenanya, saat shalat di belakang imam, seorang Muslim --sesuai keyakinannya-- boleh diam dan mendengarkan imam membaca Al Fatihah. 
Atau boleh juga --sesuai keyakinannya-- membaca Al Fatihah mengikuti bacaan Al Fatihah yang dibaca imam.

Yang pasti, setiap perbuatan akan ditanya dalilnya. 








SELAMA ADA DALILNYA SETIAP PERBEDAAN ADALAH HIKMAH

Ada hadits yang menceritakan orang melihat Nabi Saw. menggerak-gerakkan telunjuknya saat tasyahud. 
Di hadits lain, diberitakan ada orang melihat Nabi tidak menggerak-gerakkan telunjuknya saat tasyahud.

Ada beberapa kemungkinan dari kasus ini: Salah satunya berbohong; kedua-duanya berbohong; atau kedua-duanya tidak berbohong. 

Yang patut dipertanyakan, buat apa orang berbohong dalam perkara yang serupa ini? 
Keuntungan apa yang didapat dari berbohong dalam perkara semacam ini?

Kemungkinan yang paling masuk akal adalah kedua-duanya tidak berbohong


Masing-masing melihat pada waktu yang berbeda atau pada sholat yang tidak sama
Artinya, pada waktu tasyahud ada kalanya Nabi menggerak-gerakkan telunjuknya, ada kalanya tidak. 



Begitu pun dengan menaruh tangan, bisa saja di satu saat di atas dada, di lain waktu di bawah dada; satu ketika bersidekap, di lain waktu cukup menaruh tangan kanan di atas punggung tangan kiri. 

Karenanya, selama ada dalilnya (mengacu kepada Qur’an atau merujuk kepada hadis), setiap perbedaan fiqih dalam masalah cabang (furu) merupakan rahmat kemudahan, yang menjadikan ibadah sebagai sesuatu yang dinamis dan tidak kaku. 
Tidak menegangkan. 
Dan tidak perlu dipertengkarkan. 

Lain halnya kalau tanpa dalil, atau asal bicara. [1]


Mohon diingat, dalam masalah ketakwaan, tidak seorangpun berhak mengklaim dirinya sebagai Muslim yang lebih unggul --lebih taat, lebih soleh-- dari Muslim lainnya. 
Tak seorangpun berhak merendahkan Muslim lainnya; sebab, dalam masalah ketakwaan, ia tidak punya legitimasi dari Allah untuk menilai Muslim lainnya. 

Ia hanya boleh memberi penjelasan dan peringatan, tapi tidak perlu memvonis; sebab masalah pemahaman dan ketakwaan seorang Muslim hanya Allah yang lebih mengetahuinya.


Lagi pula, tak perlu sombong merasa jadi orang baik. 
Seseorang menaruh respek kepada kita karena orang itu tak tahu keburukan kita. 

Padahal, kalau saja ia tahu kebobrokan kita, ia tidak akan menghormati kita.




Catatan:
  • Islam, yang sebenarnya, tidak mengenal madzhab fikih. Tidak ada, dan tidak boleh ada, masjid khusus untuk mazhab tertentu. Masjid, sebagai rumah Allah, harus terbuka bagi semua Muslim. Tidak boleh ada masjid khusus untuk golongan yang melarang seorang Muslim untuk salat di masjid tersebut; Dan karena bisa menjadi sumber perpecahan, masjid serupa itu boleh --dan harus-- dibongkar. Yang jelas, masjid yang bagus tidak dinilai dari kemewahan bangunan fisiknya.



Bagikan blog BEBAS MERDEKA PISAN ini kepada teman-teman Anda dengan meng-klik 'bagikan'/'share'...
Semoga balasan pahala akhirat yang kekal menjadi imbalan yang terbaik buat Anda...
(Alfa Qr)


[1]  Karena ada dalilnya, tatkala hendak sujud lebih utama mendahulukan jatuhnya lutut baru kemudian tangan. Tapi juga dibolehkan mendahulukan telapak tangan baru kemudian lutut. 
Begitu pula saat bangun dari sujud lebih utama mendahulukan tangan kemudian lutut, tapi boleh lutut dulu kemudian tangan. 
Adanya perbedaan ini menunjukkan Nabi memudahkan umatnya dalam melaksanakan ritus ibadat, disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Tidak ada komentar: