Seorang manusia boleh saja mengarang teori
yang muluk-muluk, atau berslogan dengan kata-kata yang puitis.
Begitu pula sebuah negara bisa saja mencantumkan aturan-aturan bagus, yang diuntai pernak pernik kata-kata yang indah di undang-undang dasar negaranya.
Namun apa pun teori atau sistem itu, baik menyangkut ekonomi maupun birokrasi pemerintahan, sama sekali tak akan berhasil alias cuma omong kosong besar, jika tidak didukung oleh salah satu dari dua hal di bawah ini.
Begitu pula sebuah negara bisa saja mencantumkan aturan-aturan bagus, yang diuntai pernak pernik kata-kata yang indah di undang-undang dasar negaranya.
Namun apa pun teori atau sistem itu, baik menyangkut ekonomi maupun birokrasi pemerintahan, sama sekali tak akan berhasil alias cuma omong kosong besar, jika tidak didukung oleh salah satu dari dua hal di bawah ini.
- 1) Tegaknya akhlak (mental dan moral) manusia ksatria yang lurus, yang benar-benar jujur dan adil.
- 2) Tegaknya hukum yang tegas yang tidak pandang bulu, yang benar-benar jujur dan adil.
Jika salah satu dari dua komponen di atas ikut mendukung, maka sistem bernegara yang bersangkutan kemungkinan bisa berhasil.
Apalagi jika kedua hal tersebut ikut mendukung.
Hanya negara yang
mampu menegakkan salah satu hal itu --akhlak atau hukum; artinya, manusianya
yang bertabiat baik atau hukumnya yang berjalan dengan baik-- yang kemungkinan
akan berhasil pemerintahannya.
Padahal jelas bagi kita semua, kedua hal itu (tegaknya akhlak dan tegaknya hukum) hanya mudah dibuat teorinya, tapi sangat sulit untuk dipraktekkannya.
Penyebabnya juga amat jelas: karena kita --kebanyakannya atau semuanya, tetapi tidak termasuk Anda-- terjerat dengan kemunafikan.
Yang membuat perilaku kita sering tidak sinkron dengan ucapan.
Jadi, kalau negeri
tempat kita tinggal morat-marit atau
amburadul, adalah karena ketidakberesan dan kesalahan diri kita sendiri.
Dalam skop kecil sama dengan jamiah (organisasi, partai) kita.
Bila jamiah kita kocar-kacir dan acakkadut, itu karena kesalahan dan ketidakmampuan kita.
Dalam skop kecil sama dengan jamiah (organisasi, partai) kita.
Bila jamiah kita kocar-kacir dan acakkadut, itu karena kesalahan dan ketidakmampuan kita.
Tidak perlu menyalahkan orang lain, atau negara lain, atau paham lain.
Jangan mencari kambing hitam.
Jangan menyalahkan penjajah; tanya diri sendiri kenapa bisa dijajah?
Jangan menyalahkan penjajah; tanya diri sendiri kenapa bisa dijajah?
Jangan menyalahkan yang
mengadu domba, salahkan diri sendiri kenapa bisa dan mau diadu domba?
Realitanya, sebagus
apa pun suatu teori (kajian, telaah sistem), walau sesuai dengan kebenaran,
menjadi tak ada manfaatnya bila tak bisa dilaksanakan dalam praktek nyata.
Jadi, jika ada negara yang pemerintahannya kacau balau, itu berarti banyak pengelola negaranya yang tidak berakhlak, yang pelaksanaan hukumnya tidak berjalan dengan jujur dan adil; dan bukan karena teorinya yang tidak bagus.
Sebaliknya, sesederhana apa pun suatu sistem, jika para pelaksananya berakhlak dan hukum ditegakkan, bisa saja pemerintahannya berhasil.
Jadi, jika ada negara yang pemerintahannya kacau balau, itu berarti banyak pengelola negaranya yang tidak berakhlak, yang pelaksanaan hukumnya tidak berjalan dengan jujur dan adil; dan bukan karena teorinya yang tidak bagus.
Sebaliknya, sesederhana apa pun suatu sistem, jika para pelaksananya berakhlak dan hukum ditegakkan, bisa saja pemerintahannya berhasil.
Karenanya, seperti
juga penjelasan yang harus disertai dengan bukti yang nyata, maka teori itupun
seharusnya ditindaklanjuti dengan praktek.
Sebab, kita baru bisa tahu dan bisa membedakan tikus dengan tupai, jika sudah melihatnya; dan bukan hanya dengan sekadar penjelasan.
Sebab, kita baru bisa tahu dan bisa membedakan tikus dengan tupai, jika sudah melihatnya; dan bukan hanya dengan sekadar penjelasan.
SUKA BERBEDA DALAM MENILAI SESUATU
Realitanya, perilaku ketidakjujuran dalam menilai itu tidak hanya
diperlihatkan orang yang keberagamaannya kurang, tapi juga oleh mereka yang
menganggap dirinya sebagai tokoh panutan dalam beragama.
Suatu sikap munafik
yang tak kelihatan, yang dilakukan justru oleh orang yang dari bibirnya sering
keluar hujatan untuk orang-orang munafik.
Cobalah kita tanya
pendapatnya tentang gempa bumi yang terjadi.
Kadang ada dua jawaban berbeda yang akan kita dengar dari beliau; satu gempa bumi yang merupakan ujian, satu lagi gempa bumi yang merupakan kutukan Tuhan.
Tergantung kepada siapa gempa bumi itu menimpa!
Kadang ada dua jawaban berbeda yang akan kita dengar dari beliau; satu gempa bumi yang merupakan ujian, satu lagi gempa bumi yang merupakan kutukan Tuhan.
Tergantung kepada siapa gempa bumi itu menimpa!
Yang jelas, salah
satu sebab dari ketidakmampuan kita untuk mengajak orang lain adalah karena
kita terbiasa berperilaku yang tak selaras dengan ucapan kita.
Karenanya, satu
keharusan bagi kita untuk mencari tahu, mengapa fatwa atau ajakan kita tidak
digubris orang banyak.
Semestinya disadari,
yang menilai kita --apakah kita ini orang mulia atau bukan, cecurut atau
bukan-- adalah orang lain, bukan diri kita sendiri.
Tapi yang lebih tahu
tentang kita --apakah kita ini cecurut atau bukan-- adalah Allah, bukan orang
lain.
Rasulullah Saw mengingatkan:
“Akan datang sesudahku, pemimpin (penguasa) yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana; Tetapi bila telah turun mimbar, mereka melakukan tipu daya (licik) dan pencurian (korup). Hati mereka lebih busuk dari bangkai.” (HR. Ath Thabrani)
“Akan datang sesudahku, pemimpin (penguasa) yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana; Tetapi bila telah turun mimbar, mereka melakukan tipu daya (licik) dan pencurian (korup). Hati mereka lebih busuk dari bangkai.” (HR. Ath Thabrani)
Pada kenyataannya, tidak sedikit tokoh Muslim yang pandai bicara tentang zuhud (hidup sederhana) hanya saat belum punya jabatan, hanya selagi belum punya kesempatan untuk korupsi.
Dengan kata lain, hidup zuhud para khalifah Muslim hanya tinggal sekadar dongeng; dan bukan suatu kenyataan yang bisa dipraktekkan.
Karenanya, amat wajar jika rakyat biasa tidak menaruh kepercayaan kepada tokoh Muslim manapun.
Catatan:
- Kita menuduh orang lain memakai standar ganda, sementara kita sendiri memakai dua penilaian untuk perkara-perkara serupa. Kita menuduh orang lain tidak jujur, sementara kita sendiri tidak jujur.
- Undang-undang atau hukum apa pun namanya, dan di negara mana pun, jika tidak dilaksanakan dengan tegas, tidak dilandasi kejujuran dan keadilan, hanya akan tinggal merupakan sebuah teori saja.
- Kejujuran sejarah biasanya baru dituliskan setelah para pelaku sejarah itu sendiri sudah meninggal dunia. Semestinya diingat, bagaimanapun cara wafatnya, orang mulia mewariskan nama yang harum. Cecurut, saat mati, meninggalkan bangkai bau yang lebih busuk ketimbang sampah.
- “Apabila penguasa (aparat negara) yang memerintah umat Islam mati dalam keadaan merugikan mereka (rakyatnya), Allah mengharamkan surga untuknya.” (HR. Bukhari)
Bagikan/Share tulisan ini kepada teman-teman Anda yang lain.
SEMOGA BERKAH dan RIDHA ALLAH SWT terlimpah ruahkan kepada Anda sekeluarga.
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar