Selama ini, kita --umat pilihan-- lebih
sering hanya menyibukkan diri dengan masalah-masalah remeh. Bertele-tele untuk
hal yang sepele, malah dengan perkara-perkara yang sama sekali tak
diperintahkan agama.
Kenyataannya kita lebih pandai membuat masalah daripada menyelesaikan persoalan.
Lebih suka mengorek-ngorek keburukan, ketimbang mencari yang baiknya.
Mengabaikan sikap toleransi dan menghargai.
Lebih mengedepankan sikap mau menang sendiri,
ketimbang mengutamakan persatuan umat.
Membesar-besarkan perbedaan paham yang
tidak sepatutnya dijadikan perselisihan.
Salah kaprah dalam menempatkan
sesuatu yang dibolehkan dan yang dilarang, yang hak dan yang wajib. Mengaburkan
tuntunan agama; menyuruh orang lain untuk rajin bersedekah, sementara pada
kenyataannya kita sendiri menunggu untuk disedekahi.
Dan yang lebih
parah, kita suka mempersulit perkara-perkara yang sebenarnya ringan, tapi
menganggap enteng perkara-perkara yang jelas dilarang.
Memperumit definisi istilah-istilah syareat, dan bukan mencari hakekat yang mudah dipahami orang awam. Menganggap agama seakan-akan hanya milik orang-orang pintar, yang berdampak orang awam jadi menjauh dari tuntunan agama.
Contohnya, karena
ditakut-takuti seakan-akan kesalahan membaca Qur’an merupakan dosa yang tidak
terampuni, tidak sedikit orang awam biasa malah menjadi malas membaca Qur’an.
Padahal tujuan agama adalah untuk kemanfaatan seluruh manusia, yang
kebanyakannya adalah orang awam biasa.
Seharusnya disadari bahwa yang paling
penting adalah meresapi dan mengamalkan isi Qur’an tersebut.
Semoga hal-hal di
atas menyadarkan kita. Sudah
saatnya kita keluar dari keterbenaman kita selama ini di lautan ketidaksadaran;
dari perasaan superhebat yang mengharuskan orang lain mesti hebat seperti
kita.
Begitu pula, semoga kita bisa melepaskan diri dari lumpur perselisihan yang tidak ada akhirnya; berjiwa besar untuk saling memaafkan.
Begitu pula, semoga kita bisa melepaskan diri dari lumpur perselisihan yang tidak ada akhirnya; berjiwa besar untuk saling memaafkan.
Realitanya, kita
hanya bisa menilai keburukan orang lain.
Padahal jika kita berada dalam situasi dan kondisi seperti orang tersebut, bisa jadi kita lebih jahat dari orang itu.
Padahal jika kita berada dalam situasi dan kondisi seperti orang tersebut, bisa jadi kita lebih jahat dari orang itu.
Semestinya diingat, kalau kita tidak suka pada keburukan yang dilakukan orang
lain, seharusnya kita lebih tidak suka kepada kejelekan yang ada di diri kita
sendiri.
Lagi pula, jika kita tak bisa memaafkan, apa bedanya kita dengan
mereka.
Semoga mulai hari
ini, kita bukan hanya sekadar mimpi jadi umat ‘pilihan’.
Bukan sekadar berharap jadi umat yang penuh rahmat, penuh berkah; tapi dalam realitanya penuh musibah.
Bukan sekadar berharap jadi umat yang penuh rahmat, penuh berkah; tapi dalam realitanya penuh musibah.
“Seseorang hendaklah menolong saudaranya yang
zalim
maupun yang dizalimi. Jika dia zalim cegahlah dia,
dan jika dia dizalimi bantulah dia.”
(HR. Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar