BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Senin, 27 Februari 2012

Jalan ke arah ketidakbahagiaan



Prasangka jelek (a priori), iri hati (dengki), dan perasaan tidak yakin (pesimis), merupakan sifat kodrati yang dimiliki manusia normal. 
Biasanya, sifat buruk ini lahir sebagai kompensasi dari kekurangan kita. 

Usaha untuk menghilangkan ketiga sifat itu, yang merupakan sumber penyebab ketidakbahagiaan, sudah seharusnya dijadikan prioritas. 

Namun, karena dalam prakteknya tak semudah bicara, hanya sebagian kecil manusia saja yang mungkin bisa menghilangkan sifat-sifat buruk tersebut secara total. 
Artinya, satu hal yang amat sulit bagi kita untuk meyakini bahwa ketiga sifat tersebut sudah tidak ada di dalam diri kita. 






SEBODOH-BODOHNYA ORANG BODOH

Kebahagiaan seseorang tak bisa dinilai oleh orang lain.  

Kesenangan seorang kutu buku tidak bisa diperbandingkan dengan sukacitanya orang yang gemar mendaki gunung. 

Tiap kesenangan memiliki kepuasan yang hanya bisa dirasakan oleh masing-masing orang; malah bahagianya seorang seniman bisa berbeda dengan bahagianya seniman yang lain. 

Karenanya, hanya orang yang teramat bodoh --yang suka usil-- yang suka mencela terhadap apa yang sedang dinikmati orang lain. 
Sementara ia sendiri tidak mampu menikmati apa-apa yang sudah ada dalam genggamannya, tidak mampu menikmati apa-apa yang sudah dimilikinya.


Apa sih untungnya mencela atau meributkan hobi dan kesenangan orang lain? 

Selama tidak diharamkan oleh syareat agama, biarkan orang lain menikmati apa yang disukainya
Jangan karena kita tidak bisa main catur, lantas mencela orang yang hobi catur. 
Jangan karena kita tidak mampu beli mobil, lantas mencela orang yang mengoleksi banyak mobil. 

Paling banter kita cukup mengingatkan; bahwa selain menikmati yang indahnya, jika ada akibat buruk dari apa yang dilakukannya, setiap orang harus siap juga untuk menanggung resikonya.


Faktanya, sikap suka mencela apa yang disukai orang lain, lebih sering muncul karena sifat iri hati yang terpendam dalam hati kita. Dan bukan karena keikhlasan kita untuk melihat orang lain hidup lebih baik. 

Padahal, mesti diingat, orang miskin yang selalu iri bila melihat orang yang kaya, sampai akhir hayatnya akan tetap melarat. 
Orang yang iri hati melihat keberhasilan dan kebahagiaan orang lain, hanya akan membuat dirinya sendiri lebih menderita. 
Ia menjadi sebodoh-bodohnya orang yang bodoh. 

Karenanya, jangan menyalahkan orang lain yang bisa jadi kaya, salahkan diri sendiri kenapa tetap melarat. 
Jangan menyalahkan orang lain yang bisa bahagia, salahkan diri sendiri kenapa tetap menderita.


Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit Muslim yang iri melihat keberhasilan orang lain tapi tetap malas
Padahal kalaupun rasa iri tak terhindarkan untuk hadir dalam kehidupan kita, seharusnya rasa iri ini mendorong kita untuk bekerja keras agar bisa melebihi orang lain. 

Bukan berusaha menjatuhkan orang lain.






TERPERANGKAP KEINGINAN YANG DI LUAR KEMAMPUAN

Satu hal yang wajar, dan sudah seharusnya, jika seorang Muslim memiliki rencana untuk masa depan kehidupannya yang lebih baik. 
Namun hendaknya disadari, tidak semua yang terjadi kemudian bisa atau mesti bersesuaian dengan rancangan atau keinginan kita itu.

Semestinya disadari, kita harus lebih siap untuk gagal, bukan harus siap untuk berhasil; karena menikmati keberhasilan tidak terlalu memerlukan persiapan. 
Jadi, kita harus lebih berharap dalam doa, dan bukan dalam kenyataan. 
Sebab dalam realita kita harus menerima apa pun yang terjadi; termasuk harus siap untuk kalah, harus siap untuk sengsara.

Memang, tidak salah berusaha untuk lebih dari yang sudah ada; tapi kita harus berusaha sesuai kemampuan, bukan sekadar berdasar ambisi.


Pada banyak kenyataan, motto “gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit” hanya akan menambah beban orang yang sedang berusaha; dan bukan jadi pendorong semangat. 
Realitanya, motto serupa itu baru bisa diucapkan --dan hanya layak diucapkan-- oleh orang yang sudah sukses. 
Karenanya, berusahalah untuk membiasakan diri bekerja keras; dan bukan membiasakan diri terhanyut dengan semboyan kosong.

Menginginkan secara berlebihan --dan ternyata tak tercapai-- hanya akan membuat kita berburuk sangka kepada Allah.


Realitanya, banyak Muslim yang rajin berdoa tapi hatinya tetap tidak tenteram, tidak bahagia. 
Mengapa? 
Karena mereka menilai kebahagiaan harus semata-mata berbentuk seperti yang mereka inginkan. 

Padahal, jika tidak waspada, kekayaan duniawi --termasuk jabatan dan kekuasaan-- bisa mencelakakan. 

Ibarat mawar; ia bukan hanya harum, tapi juga berduri.








SEGERA BERCERMIN

Ketika melihat kepada orang yang lebih kaya dari kita, kita merasa kecil dan merasa Tuhan tidak adil. 

Tapi ketika pada saat itu juga Allah menyadarkan kita akan adanya orang yang lebih menderita dari kita, maka kita merasa diri kita amat bersalah karena kita tidak mensyukuri apa yang sudah ada. 

Pada saat serupa itu kita sering terjebak dalam suasana bias, dalam perasaan tidak menentu. 
Tidak tahu yang terbaik harus berbuat apa.

Pada saat serupa itu kadang kita jadi orang munafik yang sok suci. 
Berpura-pura ikhlas padahal hati kita tetap ngedumel. 


Jika sudah begitu, bersegeralah mengambil cermin. 

Pandanglah diri kita yang ada di sana.

Tataplah bibir, hidung dan mata yang indah itu selagi kita masih sempat menikmatinya. 
Sebab, duapuluh atau tigapuluh tahun yang akan datang, ia akan tua dan berkeriput; itupun bila masih diberi umur
Jika tidak, wajah itu akan berupa tengkorak di dalam kuburan yang gelap gulita; yang bau dan dikerubuti belatung.

Bisa jadi, duapuluh atau tigapuluh tahun lagi wajah kita itu tidak memerlukan lipstik, bedak maupun celak mata.
Pertanyaannya, di saat itu, masihkah kita ingin harta duniawi? 







BALASAN DARI KESABARAN ITU PASTI ADIL

Merupakan hal yang wajar, jika seseorang hidupnya menderita dikarenakan malas. 
Namun dalam realita, kadang kita menjumpai orang yang sudah berusaha sekuat mungkin, dengan sejujur dan sehalal mungkin, tetap dalam keadaan serba kekurangan. 
Satu keadaan yang hanya bisa diterima oleh seorang Muslim yang benar-benar sabar dan tawakal.

Yang sering jadi pertanyaan, kapan penderitaan itu akan berakhir?  

Kenapa semakin berusaha sabar, kecemasan itu semakin kerap mengintai? 
Apakah ujian keimanan itu harus bertubi-tubi? 
Dimana batasannya ujian keimanan itu? 
Kalau sampai jadi tidak beriman, apa orang tersebut  patut disalahkan begitu saja? 
Apa sama nilai hukumannya orang yang jadi tidak beriman karena dua-tiga cobaan, dengan orang yang jadi tidak beriman karena enam-tujuh kali cobaan yang menimpanya? 

Mahasuci Allah, orang yang tetap beriman maupun orang yang jadi tidak beriman --sebanyak apapun cobaannya-- akan mendapat balasan yang pasti amat sangat adil.


Semestinya diingat, sifat sabar bukan hanya mendatangkan ketenteraman, tapi juga melahirkan sikap tak mudah panik bila secara mendadak menghadapi perkara yang sulit. 
Padahal, dalam keadaan ruwet, memiliki sikap tetap tenang merupakan keharusan. 
Sebab ketenangan memungkinkan untuk menemukan jalan keluar yang lebih baik, yang lebih selamat dan lebih cepat.  

Sayangnya, sikap sabar atau sikap mampu menahan emosi, seperti juga sikap memberi maaf, hanya mudah dalam teori.


Yang jelas, penderitaan yang hadir tidak semuanya merupakan ujian atau cobaan. 
Musibah yang datang bisa saja merupakan tebusan dari keburukan yang kita lakukan terhadap orang lain di masa lampau. 












SEMUANYA HANYA SEKADAR TITIPAN

 “(yaitu) orang-orang yang ketika ditimpa musibah, mereka berkata Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un  (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepadaNya kita kembali)”  (Quran, Al Baqarah [2]:156)

Kehilangan sesuatu memang bisa membuahkan penderitaan; tapi merasa sakit karena kehilangan, hanya akan menambah penderitaan tersebut. 

Karenanya, jangan terlalu memikirkan (terikat) dengan kehilangan yang sudah terjadi. 
Sebab orang yang terjerat dengan penderitaan adalah orang yang terlalu memikirkan penderitaan itu sendiri.


Harap dicatat, perasaan sedih yang muncul ketika kehilangan sesuatu dikarenakan orang tersebut menganggap yang hilang itu kepunyaannya; padahal semua yang ada pada kita hanyalah titipan. 

Karenanya, jika mobil kita hilang atau gigi kita tanggal, kita tidak patut tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut; sebab gigi kita ini pun sekadar titipan.


Dari sebab itu, sekali lagi, jangan melipatgandakan penderitaan dengan memikirkan terlalu dalam sebuah kehilangan. 
Hidup ini harus di-jalani --jika bisa dinikmati-- bukan diratapi. 

Setiap musibah itu harus jadi bahan introspeksi, dan bukan lahan untuk ditangisi.








KADANG BARU SADAR JIKA SUDAH DITIMPA MUSIBAH

Tidak semua penderitaan harus ditangisi; ada kalanya penderitaan menjadi kunci yang membukakan jalan ke arah kebaikan. 

Dengan sakit kita menjadi ingat; sebaliknya kesehatan kadang melalaikan kita untuk sadar, lupa bahwa kita akan mati. 

Jika tidak waspada, kesenangan duniawi tak ubahnya racun bagi ruhani kita. 
Sebaliknya, penyakit jasmani justru bisa menjadi obat bagi penyakit batin yang mengendap di diri kita.


Realitanya, kecemasan bisa hadir disebabkan bencana alam, lingkungan yang tidak aman, masa depan yang tidak pasti, ataupun penyakit, baik itu berupa penyakit fisik maupun psikis (seperti banyak pikiran). 
Yang jelas, apapun jenis penyakitnya, yang namanya penyakit sering membuat kita mengeluh. 
Terlebih jika penyakitnya sulit disembuhkan dan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat.

Di saat serupa itu, kita baru menyadari betapa berharganya sebuah kesehatan. 
Sayangnya, ketika sehat kita jarang mensyukurinya, jarang kita berterimakasih kepada Allah

Di saat sehat, selain tidak mensyukuri, kita menyianyiakannya dengan banyak berbuat keburukan.  
Di saat sehat kita bergembira ria melampaui batas. 
Di saat sehat kita mabuk-mabukan. 

Di saat sehat kita tak punya kepekaan sosial, tak punya tenggang rasa.  
Kita berjoget ria secara berlebihan, lupa kepada orang yang sedang menderita. 
Lupa kepada orang lain yang sedang kena musibah.

Di saat sakit kita mengeluh dan menuduh Tuhan tidak adil. 
Ketika sakit, kita menjerit. 
Padahal seharusnya mengucapkan alhamdulillah, sebab Allah masih memberi kebaikan kepada kita dengan menebus kesalahan kita dengan penyakit di dunia

Betapa malangnya kita, bila kita harus menebus keburukan itu dengan azab pedih di neraka; na ‘udzubillah.









KETIDAKBAHAGIAAN DIALAMI SEMUA ORANG

Kadang kita menipu diri sendiri; mengatakan bahagia --atau mengaku bahagia-- padahal sebenarnya tidak.  

Artinya, ada ketidakbahagiaan yang sulit untuk kita hindarkan; atau malah tak bisa kita hindarkan.


Allah itu Mahaadil; tak seorang pun terluput dari ketidakbahagiaan. 

Betapa pun kita sudah berserah diri kepadaNya, ada ketidakbahagiaan yang tak bisa kita hapuskan; yaitu perasaan tidak bahagia ketika melihat orang lain tidak bahagia. 

Dan kita sering tak bisa --tidak mau-- menerima realita seperti ini; apalagi jika orang yang tidak berbahagia itu adalah orang yang kita kenal atau dekat dengan kita. 

Kesalahan kita, dalam hal serupa itu, karena kita menuntut agar semua orang harus berbahagia.

Pertanyaannya, supaya kita terluput dari ketidakbahagiaan serupa ini, apakah kita harus tidak peduli dengan ketidakbahagiaan orang lain?

Rasanya, itulah satu-satunya ketidakbahagiaan yang kita tidak bisa menghindarinya.




“Ada dua anugerah yang disia-siakan manusia:
kesehatan dan waktu luang.”
(HR. Bukhari)


(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: