BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Sabtu, 25 Februari 2012

Komunis, facis, dan paham radikal


Semuanya setali tiga uang, artinya sama saja. 
Sistem pemerintahannya otoriter, menutup hak berbicara bagi orang atau kelompok lain yang berbeda pendapat dengan pemerintah. 

Membasmi orang yang berbeda pendapat adalah hal lumrah dalam sistem para diktator. 
Sistem Machiavelli [1] amat dominan di sini. 
Sikap kultus individu atau penghormatan yang berlebihan kepada pemimpin, yang memasung kebebasan akal warganegaranya, merupakan salah satu ciri khas dalam sistem totaliter ini. 


Kesejahteraan memang bisa saja didapat semua rakyat --artinya cukup sandang, pangan, dan tempat tinggal-- namun perlindungan hukum atau rasa aman dalam mengemukakan pendapat atau hak asasi biasanya diabaikan. 
Parahnya, dan ini yang lebih sering terjadi, selain kesejahteraan rakyat tak tercapai, rasa aman bagi warganegaranya hanya sekadar impian.

Itu dimungkinkan karena adanya peraturan atau undang-undang yang membuka kesewenang-wenangan pimpinan pemerintahan, sementara peraturan yang membatasi kesewenang-wenangan itu tidak ada.


Ciri khas orang komunis adalah menuntut hak hidup bila partai lain berkuasa, tapi tak mau memberi hak hidup kepada partai lain bila mereka berkuasa. 
Kalaupun memberi hak hidup, itu hanya sekadar basa-basi demokrasi. 
Mereka pun suka berdalih membebaskan buruh dari perbudakan majikan, namun dalam prakteknya menjerumuskan buruh pada penindasan yang justru lebih busuk oleh penguasa atau pemerintah.


Para pemimpin pemerintahannya punya kebiasaan menyalahtempatkan dalil-dalil etika moralitas untuk kepentingannya. 
Sikap hormat kepada yang lebih tua diartikan rakyat tidak layak mengungkit kejelekan pimpinan pemerintahan. 
Sikap sabar dan tawakal dicekokkan kepada rakyat miskin agar ‘tidak macam-macam’ melihat para pemimpin bergelimang harta.


Malah, jahat dan liciknya sosok komunis ini, mereka justru sengaja menciptakan atau membuat rakyat yang bodoh, yang pendidikannya kurang, menjadi miskin.  
Sebab kemiskinan dan kebodohan merupakan pijakan utama bagi mereka untuk mendirikan kekuasaan.

Cara komunis serupa itu biasanya ditiru oleh para diktatoris dan kaum radikal, walau mereka menyebut dirinya bukan komunis.






PENGIKUT KELOMPOK RADIKAL, UMUMNYA ORANG YANG LABIL

Boleh saja orang radikal berkata: “Saya masuk gerakan ini karena idealisme. Karena melihat ketidakadilan di masyarakat.” 

Niatnya memang bagus. Hanya saja, apakah masuk partai radikal itu satu-satunya alternatif? 
Apakah niatnya cuma itu? 
Apa tidak ada maksud lain?

Dalam realitanya, tidak sedikit orang yang menjadi pengikut partai atau kelompok radikal adalah orang yang frustasi dan depresi. 
Orang-orang yang gagal dalam persaingan secara jantan. 
Yang gagal dalam berusaha secara ksatria, yang gagal dalam ekonomi, yang gagal dalam pendidikan. 

Malah yang gagal dalam hal yang sepele, hal remeh temeh. 
Yang lebih dilatarbelakangi oleh kekecewaan dan rasa iri kepada orang lain.


Sebagai kompensasi, orang-orang yang tersisihkan ini menutupi kekecewaan atau kegagalannya dengan masuk menjadi antek gerakan radikal. 
Bersedia jadi budak untuk menyembunyikan muka badaknya, dan yang lebih memalukan: sekadar demi isi perutnya. 
Padahal mesti diingat, siapa bermain pedang, ia harus siap untuk tersayat; orang yang masuk gerakan radikal, satu saat harus siap pula untuk digebuk.


Tapi mengapa olahraga di negara facis atau komunis bisa hebat?

Salah satu ciri sifat manusia waras di muka bumi ini semuanya sama: menginginkan kehidupan yang lebih baik dari yang sedang dilakoni. 
Sedangkan cara yang aman di negara facis atau komunis untuk bisa memiliki kelebihan materi, selain jadi penjilat, ya jadi olahragawan.






PAHAM SAMA RATA SAMA RASA, PAHAM PARA PEMIMPI

Tidak ada satu paham pun yang melawan kodrat manusia (yaitu hak untuk mendapatkan kebebasan berpendapat dan hak memiliki kekayaan materi), akan bisa bertahan hidup.

Keinginan untuk membatasi hak milik perorangan ini, hanya lahir pada orang yang di hatinya ada benih rasa iri dengki. 

Seorang yang betul-betul Muslim, hanya akan ‘tersenyum’ melihat orang lain sekaya apa pun atau setinggi apa pun pangkatnya.  
Seorang Muslim yang ingin kaya raya, akan berusaha bekerja keras. 
Dan bukan memelihara iri dengki.


Paham sama-rata sama-rasa, hanyalah paham para pemimpi dan penipu. 

Allah membedakan dan melebihkan sebagian orang atas sebagian yang lainnya (baik dalam jasmani, materi, ilmu, atau pangkat), agar tiap manusia bisa mengambil manfaat dari manusia lainnya. 
Ibarat supir taksi dan penumpangnya, masing-masing saling membutuhkan.


Dalam realita, kaya dan miskin (seperti juga cantik dan jelek, sukses dan gagal, sehat dan sakit), mustahil dihilangkan. 
Orang kaya bisa jatuh menjadi miskin; sebaliknya, jika ulet dan mau berusaha, orang miskin bisa menjadi kaya. 
Artinya, kaya dan miskin mustahil dihapuskan.


Di zaman modern ini, hanya orang yang teramat sangat bodoh saja yang masih memiliki paham sama rata sama rasa.  
Hanya orang yang teramat picik yang bisa tertipu dan mau ditipu paham yang ekstrim.






ISLAM SESUAI KODRAT MANUSIA

Adalah kodrat manusiawi untuk memiliki kekayaan yang lebih banyak daripada yang dipunyai orang lain. 

Memiliki kekayaan sebanyak apa pun tak ada larangannya dalam Islam, asal cara mendapatkannya mesti halal. 
Islam hanya mengingatkan kepada orang yang diberi kesempatan jadi kaya, bahwa ada hak (bagian) orang miskin pada kekayaan tersebut. 
Allahu Akbar, betapa mulianya agama ini.

Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Andai manusia telah mempunyai harta sebanyak dua lembah, mereka masih ingin mendapatkan satu lembah lagi. Tidak ada yang dapat mengisi perutnya sampai penuh, melainkan hanya tanah (kematian). Dan Allah menerima tobat orang yang tobat kepadaNya.” (HR. Muslim).


Teorinya, komunis hendak membangun masyarakat tanpa kelas (buruh dan majikan). 
Namun prakteknya melahirkan kelas baru (bawahan dan penguasa), yang ternyata lebih menindas dan lebih tidak adil. [2]


Dalam Islam, adanya orang miskin dan orang kaya --seperti juga adanya musibah dan anugerah, adanya penderitaan dan kebahagiaan-- merupakan realita ujian

Dalam keadaan seperti apa pun, miskin atau kaya, menderita atau bahagia, seorang Muslim yang ikhlas hanya akan menganggapnya sebagai ujian untuk mendapatkan kenikmatan surga di akhirat.





MENGHAPUS ATHEISME

Untuk menghapus atheisme, selain dengan pelajaran agama yang benar, harus dengan memberi contoh berperilaku beragama yang benar; bukan dengan membunuhi orang atheis. 

Seperti juga dengan menghapus kemiskinan, kita harus mengajarkan ilmu kepada orang miskin untuk rajin berusaha; bukan dengan membunuhi orang miskin.

Yang jelas, bagaimana mungkin orang atheis mau beragama, jika orang beragama itu sendiri kehidupannya tidak lebih baik dari orang atheis.





Catatan:
  • Seandainya Engels [3] berkenalan dengan ajaran Islam yang benar, ia akan menjadi seorang Muslim dan mustahil jadi seorang komunis.
  • Yang pasti, merampok orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin hanya dilakukan oleh Robinhood; dan itu bukan tuntunan Islam.

(Alfa Qr)


[1] Niccolo Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke enambelas. Hendaknya dimaklumi, kajian Machiavelli adalah politik dan cara meraih kekuasaan, bukan agama atau moralitas. 
Sesuai realitanya, Machiavelli bukanlah seorang yang sok suci, ia jujur dalam mengemukakan keberengsekan manusia. 
Tidak sedikit orang yang menuduh Machiavelli amoral justru mempraktekkan ajarannya
Salah satu ajaran Machiavelli adalah menyingkirkan orang ‘pandai’ yang dianggap saingan, walau teman dekat sekalipun; Kenyataannya, tidak perlu menutupi realita, jauh sebelum Machiavelli dilahirkan, praktek seperti ini pernah dilakukan Muawiyah bin Abu Sufyan (semoga Allah memaafkannya) dengan menyingkirkan sahabat dekatnya yaitu Abdurrahman bin Khalid bin Walid.

[2]  Menjadi apa pun --jadi pemimpin atau jadi rakyat biasa, jadi majikan atau jadi buruh-- tidaklah penting. Yang penting, tidaklah zalim. Dan yang lebih penting, dengan menjadi apa pun, setiap orang bisa hidup tenang dan tenteram.

[3]  Friedrich Engels, sekondan Karl Marx, adalah anak pengusaha Jerman yang kaya raya, yang memiliki pabrik di Inggris pada abad ke 19. 
Kecenderungannya untuk berpihak kepada buruh, murni bukan karena ia memiliki suatu kepentingan dalam mencari materi. Ia mungkin melihat ketidakadilan sosial yang diakibatkan kapitalisme maupun agama di lingkungannya. Sayangnya, ia menemukan dan memilih ajaran yang dalam kenyataannya justru berdampak lebih buruk.

Tidak ada komentar: