Pertama, AMAL BIASA.
Perbuatan yang tidak
berkaitan atau tidak disandarkan kepada balasan pahala (dari sesuatu yang ghaib
yang dianggap berkuasa).
Dinilai sebagai masalah duniawi semata-mata; bisa
diatur maupun tidak diatur tatatertibnya.
Jadi, satu perbuatan yang tidak
mengharapkan atau tidak ada kaitannya
dengan balasan pahala, perbuatan tersebut bukanlah
amal ibadah; melainkan hanya amal duniawi semata.
Hukum melakukannya, selama tidak merugikan dan tidak menimbulkan kerusakan, adalah mubah(boleh).
Hukum tatacara pelaksanaannya haram (tidak boleh) dimasuki unsur peribadatan sebab bisa jadi ritus yang bid’ah.
Hukum tatacara pelaksanaannya haram (tidak boleh) dimasuki unsur peribadatan sebab bisa jadi ritus yang bid’ah.
Kedua, AMAL IBADAH.
Perbuatan kebajikan yang berkaitan atau
disandarkan kepada balasan pahala (dari sesuatu yang ghaib yang dianggap
berkuasa), tapi tidak mutlak diatur tatatertib dalam pelaksanaannya.
Hukum
melakukannya --umumnya-- sekadar keutamaan
dan bukan wajib (di kondisi tertentu, jihad dan mencari nafkah hukumnya adalah wajib).
Hukum tatacara pelaksanannya sekadar keutamaan
seperti yang dilakukan Nabi; tapi tidak mutlak harus persis seperti yang
dicontohkan Nabi.
Ketiga, RITUS IBADAT.
Perbuatan yang berkaitan atau disandarkan kepada balasan pahala (dari
sesuatu yang ghaib yang dianggap berkuasa); yang pelaksanaan kegiatannya
ditentukan caranya atau diatur tatatertibnya.
Hukum melakukannya ada yang wajib
dan ada yang sunat.
Hukum tatacara pelaksanaannya --tak bisa tidak-- dalam Islam wajib ada contohnya dari Nabi Saw.
AMAL BIASA
Amal biasa adalah setiap perbuatan yang tidak
disandarkan kepada harapan mendapat
balasan pahala dari Tuhan.
Amal biasa adalah perbuatan yang boleh dilakukan
seorang Muslim, baik ditentukan atau tidak ditentukan tata caranya.
Amal biasa
adalah sekadar perkara duniawi, yang tidak memiliki nilai pahala maupun dosa.
Seorang Muslim dibolehkan mengerjakannya, terkecuali jika ada dalil agama yang melarangnya.
Seorang Muslim dibolehkan mengerjakannya, terkecuali jika ada dalil agama yang melarangnya.
Mesti diingat, walau
diatur tata tertibnya, setiap perkara duniawi jika tidak disandarkan kepada
balasan pahala dari yang ghaib, ia tetap merupakan amalan biasa.
Olahraga (seperti basket, tenis, catur, dan lain-lain) walau ditentukan tata tertibnya, tetap merupakan perkara duniawi.
Olahraga (seperti basket, tenis, catur, dan lain-lain) walau ditentukan tata tertibnya, tetap merupakan perkara duniawi.
Perkara adat
istiadat, seni budaya (menyanyi, menari, melukis), sulap (ketangkasan yang
bukan sihir), ulang tahun (manusia, organisasi, negara), adalah perkara duniawi
yang dibolehkan.
Perkara-perkara tersebut sama sekali tidak memiliki nilai pahala maupun dosa jika dikerjakan.
Begitu juga dengan upacara adat di suatu daerah, yang biasanya ditentukan tatacaranya, selama tidak disandarkan kepada balasan pahala, dan hanya sekadar simbolistis keduniawian, tidak terlarang untuk diadakan.
Contohnya, menabur bunga jika sekadar sebagai simbol duka cita.
Atau salvo tembakan senapan sebagai simbol penghormatan bagi prajurit.
Namun jika merasa ragu akan kebolehannya, lebih utama untuk dihindari.
AMAL IBADAH
Amal ibadah adalah setiap perbuatan kebajikan, yang bermanfaat bagi dirinya
ataupun bagi orang lain, yang disandarkan kepada harapan mendapat balasan
pahala dari Allah Swt, namun tidak
mutlak harus terikat tatatertib dalam melaksanakannya.
Contohnya, mencuci baju atau mencuci ember; seutamanya seperti yang dilakukan Nabi, namun andaipun tak sepersis yang dicontohkan Nabi tidaklah menjadi berdosa.
Suatu perbuatan menjadi amal ibadah bila dalam pengerjaannya dikaitkan dengan adanya balasan pahala.
Contohnya mencari nafkah, ataupun menyingkirkan batu dari tengah jalan; perkara itu menjadi amal ibadah karena dalam perbuatan itu ada harapan balasan pahala dari Allah.
Seorang Muslim yang
mencari nafkah --untuk membiayai anak dan isterinya-- dengan menjadi pemain
sepakbola, maka perkara mencari nafkahnya itu merupakan amal ibadah.
Permainan sepakbolanya itu sendiri, secara zahirnya, tetap saja perkara duniawi yang tak memiliki nilai pahala atau dosa.
Permainan sepakbolanya itu sendiri, secara zahirnya, tetap saja perkara duniawi yang tak memiliki nilai pahala atau dosa.
Demikian pula dengan menyingkirkan batu tetap saja merupakan perkara duniawi; seorang Muslim mendapat pahala bukan karena semata-mata menyingkirkan batunya, melainkan karena niat baiknya agar tidak ada orang lain yang celaka atau tersandung. [1]
RITUS IBADAT
Mengucapkan zikir atau membaca Quran adalah amal ibadah; sedangkan
mendirikan solat dan saum adalah ritus ibadat.
Ritus ibadat atau ibadah ritual adalah setiap amal ibadah yang inti tatacaranya ditentukan atau ada yang dibakukan caranya.
Dalam Islam, ritus ibadat mesti berdasarkan kepada dalil agama yang
pasti dan benar (qoth’i, jelas dan tegas) yang ada dalam Qur’an atau sunnah
Nabi Saw.
Jadi, ritus ibadat
adalah perbuatan yang disandarkan kepada harapan mendapat balasan pahala dari
Allah, tapi ada bagian yang terikat
tatatertib syareat dalam pelaksanaanya.
Oleh karenanya, suatu ritus ibadat hanya boleh dikerjakan bila ada perintahnya atau izin dari Allah dan Rasul.
Oleh karenanya, suatu ritus ibadat hanya boleh dikerjakan bila ada perintahnya atau izin dari Allah dan Rasul.
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada
Allah dan Rasul- Nya..” (Qur’an, Al Anfaal [8]:20)
“Siapa yang mengamalkan suatu amal (ibadat
ritual) yang tidak pernah kami lakukan, maka amalnya ditolak.” (HR.
Muslim).
Jelas, dalam masalah ritus ibadat, Allah menyuruh kita harus patuh hanya
kepada apa yang diperintahkan Allah dan RasulNya; tidak diperintahkan taat
kepada tatacara buatan orang lain.
HARUS BISA MEMBEDAKAN PERKARA YANG BUKAN RITUS IBADAT
Melakukan amal ibadah yang dibakukan tata tertibnya
sehingga menyerupai ritus ibadat, padahal tidak pernah dilakukan Nabi maupun
para sahabatnya, maka perkara tersebut merupakan perbuatan terlarang.
Misalnya, membaca shalawat adalah amal ibadah yang sangat baik dilakukan di mana saja dan kapan saja; tapi menentukannya menyerupai ritus ibadat, dengan mengharuskan membaca shalawat setiap khatib naik mimbar masjid, mesti dipertanyakan ketentuannya.
Jika ada sunahnya, tidak apa-apa dilakukan; jika
tidak ada contohnya dari Nabi Saw,
pantas untuk ditolak. Sebab, merekayasa ritus ibadat yang tidak dicontohkan
Nabi sama saja dengan menganggap Nabi Saw
telah khilaf.
Padahal mustahil Nabi Saw melakukan kekhilafan dalam hal itu.
Padahal mustahil Nabi Saw melakukan kekhilafan dalam hal itu.
Namun seseorang
tidak boleh begitu saja menilai suatu perkara itu sebagai ritus ibadat atau
mirip ritus ibadat --dan kemudian melarangnya-- hanya karena didasarkan
prasangka saja (a priori).
Misalnya, pengajian dan pengkajian Qur’an yang
dilakukan sekelompok ibu-ibu rumahtangga tiap hari Ahad pagi.
Perkara ini
termasuk perbuatan ibadah semata, bukan ritus ibadat.
Perkara tersebut dibolehkan bila pengambilan waktu hari Ahad pagi karena pertimbangan di hari itu lebih memungkinan ibu-ibu bisa berkumpul secara lengkap.
Lain halnya kalau pengambilan hari Ahad itu dengan beranggapan hari Ahad, atau hari apa pun, sebagai hari penuh barokah atau membawa keberuntungan; maka ini tidak boleh.
Sebab penuh barokah dalam hal tersebut tidak ada keterangan dalilnya.
Demikian juga bila
sekelompok bapak-bapak mengadakan pertemuan untuk membahas agama di masjid
setiap selesai shalat Isya, dengan alasan praktis (karena tidak usah
repot-repot lagi mengundangnya), maka ini dibolehkan.
Ini tidak dikategorikan
ritus ibadat, tapi hanya sekadar amal ibadah saja.
Sebab perkara-perkara ini sekadar ditentukan waktu atau tempatnya, tapi tidak membakukan (mengatur secara mutlak tetap) tatacaranya.
Sebab perkara-perkara ini sekadar ditentukan waktu atau tempatnya, tapi tidak membakukan (mengatur secara mutlak tetap) tatacaranya.
Karena itu, kita tidak boleh gegabah menuduh bahwa sesuatu itu bid’ah, bila kita belum mengkaji masalahnya secara mendalam.
Realitanya, di
antara kelemahan kita yang amat menyolok adalah ketidakmampuan kita meletakkan
sesuatu pada tempatnya.
Sehingga kita sering rancu dan tidak bisa membedakan yang mana amal duniawi semata-mata, yang mana amal ibadah, dan yang mana ritus ibadat.
Sehingga kita sering rancu dan tidak bisa membedakan yang mana amal duniawi semata-mata, yang mana amal ibadah, dan yang mana ritus ibadat.
Contohnya, hadiah berbeda dengan sedekah atau zakat.
Hadiah termasuk dalam kategori amal keduniawian biasa yang tidak memiliki nilai pahala;
Sedekah termasuk dalam kategori amal ibadah yang berpahala.
Sedangkan zakat termasuk ritus ibadat, sebab ada tatatertib yang terkait dengan ketentuan Allah dalam pelaksanaannya.
Dari hal di atas,
selama tidak ada unsur ritus ibadat
agama dalam pelaksanaannya maka merayakan hari kelulusan sekolah, hari
ulang tahun, hari ibu, hari kasih sayang, atau hari pahlawan, dibolehkan.
Sebaliknya melakukan sesuatu dengan alasan ada pahalanya atau ada berkahnya, jelas tidak dibolehkan jika tidak ada dalilnya dalam tuntunan agama Islam.
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar