BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Kamis, 23 Februari 2012

MEMAHAMI PERBEDAAN


Jangankan yang berbeda, manusia yang sama persis wajahnya sekalipun wajar memiliki keyakinan, pendapat, pemahaman maupun prinsip yang berlainan. 
Sebab banyak kemungkinan yang bisa membuat keyakinan atau pemahaman tiap orang berbeda, walau sumber asal ajarannya sama.

Satu realita yang sering luput dari pengamatan adalah adanya kenyataan bahwa sebuah sumber selalu beranakpinak. 
Hampir tidak ada sebuah ajaran pun yang tidak melahirkan cabang (madzhab) atau aliran-aliran, baik itu paham politik maupun keagamaan. 
Ada kalanya aliran itupun bercabang lagi berupa kelompok-kelompok yang lebih kecil (sekte), yang kadang ajarannya malah menyimpang jauh dari sumber asalnya.


Perbedaan dalam pelaksanaan ajaran Islam, bisa dibagi dua:
1)      Perbedaan variatif, disebabkan pengambilan dalil yang berbeda tapi dalilnya memang ada (ada sunahnya, ada contohnya dari Nabi); atau karena perbedaan dalam memahaminya atau menafsirkannya.
2)      Perbedaan kontradiktif, disebabkan adanya kontaminasi pemikiran manusia (oknum ulama) yang mengotori ajaran agama.

Perbedaan variatif lebih diakibatkan ketidaksamaan kemampuan tiap orang dalam memahami Qur’an atau sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
Bisa juga karena pengambilan dalil (hadis) yang berbeda, tapi dalil tersebut memang ada (ada contohnya dari Nabi). 
Dalam masalah perbedaan variatif, kita harus menghormati pemahaman yang berlainan ini. 
Karena kita memaklumi, selain daya nalar tidak sama, situasi dan kondisi yang dihadapi tiap ulama saat menafsirkannya adalah berbeda.

Sedangkan perbedaan kontradiktif lebih diakibatkan oleh kebatilan; dengan menganggap baik suatu perkara, padahal tidak ada dalil agama yang kuat yang mengharuskan adanya perbuatan serupa itu. 
Artinya, ada virus pemikiran manusia yang masuk ke dalamnya. 
Karenanya, untuk menjaga kemurnian agama, kita harus menghindari pemahaman yang kontradiktif ini. 


Hendaknya diingat, Islam diturunkan karena ajaran agama yang sebelumnya (Yahudi dan Kristen) sudah tidak murni lagi. 
Dengan kata lain, jika agama yang sebelumnya masih murni tidak tercampur rekayasa manusia, tidak perlulah Allah menurunkan agama Islam.

Namun, kenyataannya, ragam pendapat adalah suatu kemuskilan; satu perkara yang tidak mungkin dihindarkan. 
Usaha menyeragamkan pemahaman hingga seratus persen mesti sama, adalah upaya yang mustahil. 

Selama masih ada kesamaan dalam akidah tauhid --yaitu tiada Tuhan yang wajib kita sembah kecuali hanya Allah Swt dan mengakui bahwa Nabi Muhammad Saw adalah utusanNya yang terakhir-- beberapa perbedaan pada perkara yang tak prinsipil jangan sampai memutuskan silaturahim.

Hendaknya dicamkan, memahami perbedaan bukan berarti kita setuju atau membenarkan pemahaman orang lain; tapi kita memaklumi mengapa ia memiliki pemahaman serupa itu.






JANGAN SEKADAR MELIHAT KULITNYA

Adanya pohon yang dianggap bersejarah di masa Nabi Saw, yang dijadikan sarana penyembahan dan kemudian diperintahkan untuk ditebang oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra, bukan berarti --untuk mencegah dijadikan sesembahan-- semua pohon harus ditumbangkan. 
Begitu pun pelarangan membuat gambar atau patung, lebih ditujukan kepada upaya untuk menghindari timbulnya penyembahan selain kepada Allah.


Jika segala sesuatu dinilai sebagai sarana yang mengantarkan kepada kemudharatan dan kemudian diharamkan, maka banyak barang di zaman ini menjadi barang haram. 

Telepon menjadi haram karena memudahkan seseorang berhubungan dengan pelacur. 
Helikopter menjadi haram karena lebih memudahkan seseorang pergi ke tempat maksiat. 
Apa begitu?

Pantas direnungkan, tak ada manfaatnya menggambar atau membuat patung dilarang dan dilenyapkan dari muka bumi, jika pada kenyataannya manusia kemudian mengalihkannya dengan menyembah gelar; memberhalakan kuburan; menthogutkan kiai; dan menuhankan teknologi. 






TAK PERLU MEMAKSAKAN PEMAHAMAN

Dalam perkara apapun, memahami adanya perbedaan adalah hal yang penting. 
Sebab, setiap orang dikondisikan pada situasi yang berbeda; setiap orang punya kesukaan dan kemampuan yang berlainan. 

Orang lain tidak punya hak menuntut kita untuk harus bisa serupa dengannya.  
Begitu juga, kita tak perlu memaksa orang lain untuk harus bisa sama seperti kita.


Memang, satu hal yang tidak salah jika kita memberi tahu bahwa kemalasan adalah satu perkara yang buruk. 
Tapi kita tak perlu memaksa orang lain untuk tidak malas. 
Sebab apapun yang terjadi kemudian pada orang itu, orang itu sendiri yang akan merasakan akibatnya.

Begitu pula, kita cukup mengingatkan bahwa pelaku syirik --atau menyekutukan Allah-- itu diancam dengan neraka. 
Namun jika orang itu tetap musyrik, maka masuk neraka itu resiko yang harus dihadapinya. 

Buat apa kita ambil pusing. 
Yang penting, kita sudah mengingatkannya.


Yang jelas, dalam penyampaian tuntunan Islam, bersikap lembut dan benar adalah dua hal yang tidak terpisahkan.  
Penyampaian yang lembut tapi yang diajarkan tidak benar merupakan kezaliman. 

Begitupun, walau yang dituntunkan satu hal yang benar jika disampaikan dengan cara yang tidak lembut, bisa berdampak kezaliman.


Ingat, sebelum mengajak, berikanlah contoh yang baik dan benar; paling tidak, berupa perangai yang pantas diteladani. 
Sebab, bagaimana mungkin mengajak kepada kebenaran dengan cara yang kasar.  

Bagaimana mungkin membersihkan meja penuh debu dengan kain lap penuh oli.





Catatan:
  • “Siapakah Muslim yang paling baik?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab: “Muslim yang tidak merugikan Muslim lainnya, dengan lidah maupun dengan kedua tangannya.” (HR. Bukhari)




(Alfa Qr)

TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN INI, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..

2 komentar:

Jarx mengatakan...

saya orang non muslim, tpi melihat apa yg di tulis itu memang kebenaran dan saya menghargainya,, itupun sbagai komitmen saya juga walaupun kita beda , tapi kita tetap sama , hanya etemologi manusia yg membuat ini semua beda

BEBAS MERDEKA BLOG (Alfa Qr) mengatakan...

Pemahaman ajaran agama Islam merupakan PILIHAN BEBAS bagi setiap orang untuk mengikutinya..
Karenanya, MENGAPA harus ‘marah’ jika ada muslim yang berbeda pemahaman? Atau yang pemahamannya beralih mengikuti pemahaman orang lain..?
Biasanya OKNUM yang takut kehilangan umat atau jemaatnya, KALAU BUKAN gila hormat, adalah mereka yang takut kehilangan ‘sumbangan’ dari jemaatnya….
Oknum seperti ini biasanya NUMPANG HIDUP dari perkumpulan atau jemaatnya; dan BUKAN bekerja semata-mata mengedepankan ‘kebenaran’ ajaran Islam..
Jika betul-betul semata-mata demi Allah, MENGAPA harus marah kepada orang yang berbeda pemahamannya.. Tokh masing-masing akan mempertanggung-jawabkan pemahamannya kepada Allah, dan BUKAN kepada kita…
Ingat, kewajiban setiap muslim hanyalah ‘menyampaikan’, BUKAN ‘memaksakan’..