Mengibaratkan --menganalogikan,
menyerupakan, mengumpamakan, membandingkan-- satu kejadian dengan kejadian
lain, merupakan sebuah cara untuk mempermudah dalam memahami suatu perkara.
Dengan kata lain, menganalogikan hanyalah sebatas mengambil kemudahan untuk memahami, bukan mengambil hukum atau menyamakan hukumnya.
Satu hal yang tadinya samar-samar, bisa menjadi jelas setelah dianalogikan dengan hal lain yang sudah terlebih dahulu bisa dipahami.
Yang terlarang,
dalam masalah peribadatan, adalah menganalogikan dengan maksud menyamakan
hukumnya.
Begitu pula, kita tak boleh menganalogikan (dengan maksud
menyamakan) masalah peribadatan dengan masalah keduniawian.
Misalnya, solat itu tidak sama serta tak ada kaitannya dengan senam atau olahraga.
Berwudhu adalah berbeda dengan bersih-bersih mencuci badan dalam kehidupan sehari-hari.
Shaum tidak boleh diniatkan untuk berdiet melangsingkan badan.
Misalnya, solat itu tidak sama serta tak ada kaitannya dengan senam atau olahraga.
Berwudhu adalah berbeda dengan bersih-bersih mencuci badan dalam kehidupan sehari-hari.
Shaum tidak boleh diniatkan untuk berdiet melangsingkan badan.
MENGANALOGIKAN MUSLIM AWAM DENGAN PETANI BIASA
Faedah adanya ilmu pertanian terutama ditujukan untuk semua petani biasa,
atau semua petani umumnya.
Bukan hanya untuk penyuluh pertanian; bukan khusus
untuk profesor atau insinyur pertanian.
Demikian juga
manfaat agama yang diturunkan Allah, manfaatnya jelas untuk semua manusia yang
mayoritasnya adalah orang awam biasa; bukan khusus untuk kiai, ustadz, atau
ulama.
Karenanya, tuntunan agama sudah semestinya bisa diterapkan dan dilaksanakan oleh kebanyakan manusia; bisa dijalani oleh orang awam umumnya.
Dalam realita, apa
pun jabatan dan pekerjaannya --presiden atau lurah, buruh atau majikan--
kebanyakan manusia adalah orang awam biasa dalam beragama.
Dengan kata lain, mayoritas Muslim adalah orang yang pengetahuan tentang syariat agamanya pas-pasan.
Mustahil jika semua Muslim
harus bisa memiliki ilmu pengetahuan agama yang sama hebatnya dengan yang
dipunyai seorang ustadz atau kiai.
Mewajibkan seorang
arsitek bangunan atau seorang insinyur ahli penerbangan untuk menguasai ilmu
agama setarap dengan seorang kiai adalah hal yang berlebihan.
Sama berlebihannya dengan mewajibkan seorang kiai, yang hanya mendalami ilmu agama, untuk bisa membangun jembatan atau membuat pesawat terbang.
Sama berlebihannya dengan mewajibkan seorang kiai, yang hanya mendalami ilmu agama, untuk bisa membangun jembatan atau membuat pesawat terbang.
Jadi, karena tiap
orang memiliki kelebihan dan kekurangan serta kesibukan sesuai bidangnya, maka
kemampuan setiap orang dalam menguasai perkara agama tidaklah akan sama.
Karenanya, selama tidak melanggar tuntunan agama, selama tetap berusaha melaksanakan yang diwajibkan Allah dan menjauhi laranganNya, setiap Muslim bisa memilih karir apa saja sesuai dengan yang disukainya; boleh menjadi birokrat, pedagang ataupun olahragawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar