BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Kamis, 23 Februari 2012

Bermegah-megah dalam peribadatan


Bisa dipastikan, karena mustahil Allah melakukan perkara yang sia-sia, penyebab dari mengapa Allah menurunkan risalah Nasrani menggantikan risalah Yahudi ialah adanya penyimpangan dari ajaran Yahudi yang asli. 
Salah satu di antaranya adalah sikap bermegah-megah para pemuka agama (rahib, rabi dan serupanya) dalam upacara keagamaan.

Mereka lebih menonjolkan kemegahan seremonial tata-cara ibadatnya daripada mengedepankan kebenaran ajaran agamanya. 
Yang menjurus kepada penghormatan yang berlebihan kepada para rahib atau pendetanya. 
Sehingga para pemuka agama ini seakan-akan wakil Tuhan dengan segala keluarbiasaan wewenangnya. 

Mereka berperilaku seakan-akan bisa menentukan masuk tidaknya seseorang ke dalam surga. 

Sudah mati pun patung-patung pemuka agama ini menjadi berhala yang dikira bisa membawa berkat. 
Begitu pula kuburannya, menjadi tempat ziarah dan peribadatan.


Ironisnya, bermegah-megah dalam cara peribadatan tersebut, justru ditiru oleh para pemuka agama yang menggantikan agama Yahudi ini. 
Yang dalam prakteknya dikarang oleh manusia sendiri, karena tak ada perintahnya dari Tuhan bahwa bentuk peribadatan tersebut mesti serupa itu. [1]


Hal seperti di ataslah --selain mengembalikan kepada akidah tauhid--  yang termasuk jadi penyebab risalah Islam diturunkan Allah menggantikan risalah Nasrani. 
Karenanya, Islam melarang Muslim berpakaian menyerupai mereka. 
Terlebih ketika melaksanakan ritus ibadat, tidak boleh menentukan seragam khusus bagi imam maupun mamum. 
Artinya, dalam ajaran Islam, tak ada mahkota atau jubah kebesaran khusus yang menunjukkan seseorang itu pemuka agama. 
Tidak ada model busana khusus untuk imam. 
Termasuk saat melaksanakan ibadah haji, pakaian imam dan umat tidak boleh dibeda-bedakan.


Dalam Islam, selama tidak melanggar etika kesopanan, setiap orang bagaimana pun bentuk dan jenis pakaiannya bisa melaksanakan peribadatan, termasuk jadi imam solat. 
Artinya, imam boleh memakai gamis, sarung, maupun baju loreng. 
Dan selama dahi dan hidung bisa menyentuh lantai saat sujud, imam solat boleh memakai sorban, kopiah, maupun baret.


Dalam Islam tidak ada asesoris, simbol-simbol, ornamen-ornamen, atribut-atribut, atau lambang-lambang khusus yang menunjukkan kemegahan dalam peribadatan. 

Termasuk tidak adanya perlengkapan ibadat seperti jubah, tongkat, mahkota, lilin, pedupaan, patung, sesaji makanan, buah-buahan, bunga rampai, air di botol, air di baskom, dan serupanya.

Jadi, Islam adalah satu-satunya agama yang ketika umatnya melakukan ritus ibadat tidak memerlukan tetekbengek perlengkapan apa pun.






FIGUR DALAM ISLAM JANGAN DIKULTUSKAN
Islam mengajarkan untuk menghindari pengkultusan kepada para pemimpin atau pemuka agama, karena dalam Islam yang harus dijalankan adalah sistem dan bukan mengutamakan figur (imam atau tokoh). 

Malah dalam praktek solat berjamaah, tempat berdiri imam tidak boleh lebih tinggi daripada mamum, tapi justru boleh lebih rendah. 
Kalau pun imam mau solat di atas undakan, mesti disertai beberapa mamum.

Karenanya, para tokoh agama (ulama, kiai, atau apapun namanya) mesti mengingatkan pengikutnya untuk tidak mengultuskannya; terlebih sesudah dirinya meninggal (seperti mengeramatkan kuburannya). 

Jika seorang ulama membiarkan terjadinya pengkultusan serupa itu, maka ulama tersebut tidak ubahnya dengan para pemuka agama Yahudi dan Nasrani yang dicela dalam Al Qur’an, surat At Taubah [9]:31,

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah...” 


Mesti diingat, dalam masalah ritus peribadatan seorang Muslim bisa dijadikan imam, selain pertimbangan kelebihan ilmunya, terutama karena ketakwaannya. 

Yang pasti, seseorang menjadi imam karena persetujuan bersama, dan bukan mengangkat diri sendiri sebagai imam. 
Artinya, siapa pun bisa jadi imam, karena imam di sini bukan jabatan keduniawian.
Menjadi imam tidak perlu surat pengangkatan dari siapa pun atau institusi mana pun. 

Begitu pula seorang imam, jika menyimpang dari Qur’an dan sunah Nabi Saw, bisa ditinggalkan tanpa perlu surat pemecatan.

Mesti dicamkan, manusia dimasukkan ke neraka karena tidak taat kepada tuntunan Allah dan Rasul; bukan karena tidak taat kepada (yang mengaku) imam atau pemimpinnya di dunia. 









TAK ADA SERAGAM KHUSUS BUAT IMAM

Memperlihatkan kebanggaan sebagai Muslim dengan memakai baju takwa adalah satu hal yang bagus. 
Yang tidak pantas bila pemakaian atribut-atribut itu dicederai oleh niat yang kurang baik.

Yang jelas, dalam berpakaian, sopan dan bersih adalah sunah Nabi.   
Sedangkan model, warna, atau bentuk pakaian bukanlah sunah. 
Selain orang Arab, sesuai dengan zamannya maka orang Romawi ataupun orang Cina pada masa itu juga memakai pakaian yang mirip gamis.

Begitu juga rabi Yahudi dan pendeta Nasrani, umumnya memakai seragam serupa gamis (baju terusan). Termasuk Abu Lahab dan Abu Jahil, juga memakai pakaian khas lingkungannya, yaitu surban dan gamis.


Belajar dari apa yang menimpa agama Yahudi dan Nasrani, maka menentukan seragam khusus dalam peribadatan sebaiknya dihindari. 

Seragam atau atribut khusus tersebut bisa menjadi salah satu cikal bakal ke arah pengsakralan para kiai, yang berujung kepada pengkultusan.
Kita percaya, baik dalam peribadatan atau bukan, ulama panutan yang ikhlas tidak memerlukan atribut-atributan. 
Tidak butuh asesoris.



(Alfa Qr)

[1] Ajaran Yahudi cenderung kepada balas dendam; orang yang berbuat salah harus dihukum seberat kesalahan yang dilakukannya. Ajaran Nasrani mewajibkan untuk memaafkan; yang realitanya jarang bisa dipraktekkan. Tuntunan Islam ada di pertengahan; orang boleh membalas kejahatan, tapi seutamanya memaafkan .

Tidak ada komentar: