Bisa dipastikan, karena mustahil Allah
melakukan perkara yang sia-sia, penyebab dari mengapa Allah menurunkan risalah
Nasrani menggantikan risalah Yahudi ialah adanya penyimpangan dari ajaran
Yahudi yang asli.
Salah satu di antaranya adalah sikap bermegah-megah para pemuka agama (rahib, rabi dan serupanya) dalam upacara keagamaan.
Salah satu di antaranya adalah sikap bermegah-megah para pemuka agama (rahib, rabi dan serupanya) dalam upacara keagamaan.
Mereka lebih menonjolkan kemegahan seremonial tata-cara ibadatnya daripada mengedepankan kebenaran ajaran agamanya.
Yang menjurus kepada penghormatan yang berlebihan kepada para rahib atau pendetanya.
Sehingga para pemuka agama ini seakan-akan wakil Tuhan dengan segala keluarbiasaan wewenangnya.
Mereka berperilaku seakan-akan bisa menentukan masuk tidaknya seseorang ke dalam surga.
Sudah mati pun patung-patung pemuka agama ini menjadi berhala yang dikira bisa membawa berkat.
Begitu pula kuburannya, menjadi tempat ziarah dan peribadatan.
Ironisnya,
bermegah-megah dalam cara peribadatan tersebut, justru ditiru oleh para pemuka
agama yang menggantikan agama Yahudi ini.
Yang dalam prakteknya dikarang oleh manusia sendiri, karena tak ada perintahnya dari Tuhan bahwa bentuk peribadatan tersebut mesti serupa itu. [1]
Yang dalam prakteknya dikarang oleh manusia sendiri, karena tak ada perintahnya dari Tuhan bahwa bentuk peribadatan tersebut mesti serupa itu. [1]
Hal seperti di
ataslah --selain mengembalikan kepada akidah tauhid-- yang termasuk jadi penyebab risalah Islam
diturunkan Allah menggantikan risalah Nasrani.
Karenanya, Islam melarang Muslim berpakaian menyerupai mereka.
Terlebih ketika melaksanakan ritus ibadat, tidak boleh menentukan seragam khusus bagi imam maupun mamum.
Artinya, dalam ajaran Islam, tak ada mahkota atau jubah kebesaran khusus yang menunjukkan seseorang itu pemuka agama.
Tidak ada model busana khusus untuk imam.
Termasuk saat melaksanakan ibadah haji, pakaian imam dan umat tidak boleh dibeda-bedakan.
Karenanya, Islam melarang Muslim berpakaian menyerupai mereka.
Terlebih ketika melaksanakan ritus ibadat, tidak boleh menentukan seragam khusus bagi imam maupun mamum.
Artinya, dalam ajaran Islam, tak ada mahkota atau jubah kebesaran khusus yang menunjukkan seseorang itu pemuka agama.
Tidak ada model busana khusus untuk imam.
Termasuk saat melaksanakan ibadah haji, pakaian imam dan umat tidak boleh dibeda-bedakan.
Dalam Islam, selama
tidak melanggar etika kesopanan, setiap orang bagaimana pun bentuk dan jenis
pakaiannya bisa melaksanakan peribadatan, termasuk jadi imam solat.
Artinya, imam boleh memakai gamis, sarung, maupun baju loreng.
Dan selama dahi dan hidung bisa menyentuh lantai saat sujud, imam solat boleh memakai sorban, kopiah, maupun baret.
Artinya, imam boleh memakai gamis, sarung, maupun baju loreng.
Dan selama dahi dan hidung bisa menyentuh lantai saat sujud, imam solat boleh memakai sorban, kopiah, maupun baret.
Dalam Islam tidak
ada asesoris, simbol-simbol, ornamen-ornamen, atribut-atribut, atau
lambang-lambang khusus yang menunjukkan kemegahan dalam peribadatan.
Termasuk tidak adanya perlengkapan ibadat seperti jubah, tongkat, mahkota, lilin, pedupaan, patung, sesaji makanan, buah-buahan, bunga rampai, air di botol, air di baskom, dan serupanya.
Jadi, Islam adalah satu-satunya agama yang ketika umatnya
melakukan ritus ibadat tidak memerlukan tetekbengek perlengkapan apa pun.
FIGUR DALAM ISLAM JANGAN DIKULTUSKAN
Islam mengajarkan untuk menghindari pengkultusan kepada para pemimpin atau
pemuka agama, karena dalam Islam yang harus dijalankan adalah sistem dan bukan
mengutamakan figur (imam atau tokoh).
Malah dalam praktek solat berjamaah, tempat berdiri imam tidak boleh lebih tinggi daripada mamum, tapi justru boleh lebih rendah.
Kalau pun imam mau solat di atas undakan, mesti disertai beberapa mamum.
Karenanya, para
tokoh agama (ulama, kiai, atau apapun namanya) mesti mengingatkan pengikutnya
untuk tidak mengultuskannya; terlebih sesudah dirinya meninggal (seperti
mengeramatkan kuburannya).
Jika seorang ulama membiarkan terjadinya pengkultusan serupa itu, maka ulama tersebut tidak ubahnya dengan para pemuka agama Yahudi dan Nasrani yang dicela dalam Al Qur’an, surat At Taubah [9]:31,
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah...”
Mesti diingat, dalam masalah ritus peribadatan seorang Muslim bisa
dijadikan imam, selain pertimbangan kelebihan ilmunya, terutama karena
ketakwaannya.
Yang pasti, seseorang menjadi imam karena persetujuan bersama, dan bukan mengangkat diri sendiri sebagai imam.
Artinya, siapa pun bisa jadi imam, karena imam di sini bukan jabatan keduniawian.
Yang pasti, seseorang menjadi imam karena persetujuan bersama, dan bukan mengangkat diri sendiri sebagai imam.
Artinya, siapa pun bisa jadi imam, karena imam di sini bukan jabatan keduniawian.
Menjadi imam tidak
perlu surat pengangkatan dari siapa pun atau institusi mana pun.
Begitu pula seorang imam, jika menyimpang dari Qur’an dan sunah Nabi Saw, bisa ditinggalkan tanpa perlu surat pemecatan.
Mesti dicamkan, manusia dimasukkan ke neraka karena tidak taat kepada tuntunan Allah dan Rasul; bukan karena tidak taat kepada (yang mengaku) imam atau pemimpinnya di dunia.
TAK ADA SERAGAM KHUSUS BUAT IMAM
Memperlihatkan kebanggaan sebagai Muslim dengan memakai baju takwa adalah
satu hal yang bagus.
Yang tidak pantas bila pemakaian atribut-atribut itu dicederai oleh niat yang kurang baik.
Yang tidak pantas bila pemakaian atribut-atribut itu dicederai oleh niat yang kurang baik.
Yang jelas, dalam berpakaian, sopan dan bersih adalah sunah Nabi.
Sedangkan model, warna, atau bentuk pakaian bukanlah sunah.
Selain orang Arab, sesuai dengan zamannya maka orang Romawi ataupun orang Cina pada masa itu juga memakai pakaian yang mirip gamis.
Begitu juga rabi Yahudi dan pendeta Nasrani, umumnya memakai seragam serupa gamis (baju terusan). Termasuk Abu Lahab dan Abu Jahil, juga memakai pakaian khas lingkungannya, yaitu surban dan gamis.
Belajar dari apa
yang menimpa agama Yahudi dan Nasrani, maka menentukan seragam khusus dalam
peribadatan sebaiknya dihindari.
Seragam atau atribut khusus tersebut bisa menjadi salah satu cikal bakal ke arah pengsakralan para kiai, yang berujung kepada pengkultusan.
Seragam atau atribut khusus tersebut bisa menjadi salah satu cikal bakal ke arah pengsakralan para kiai, yang berujung kepada pengkultusan.
Kita percaya, baik
dalam peribadatan atau bukan, ulama panutan yang ikhlas tidak memerlukan
atribut-atributan.
Tidak butuh asesoris.
Tidak butuh asesoris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar