BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Rabu, 22 Februari 2012

Sikap moderat..


Dalam berperilaku, manusia bisa dibagi dalam tiga golongan (jenis, macam, kategori) :
1.    Yang berlebihan, baik berlebihan dalam amat mempersulit maupun berlebihan dalam terlalu mempermudah suatu masalah (paham, ajaran, hukum).
2.    Yang sama sekali bermasa-bodoh, yang cenderung mengabaikan masalah.
3.    Yang pertengahan, biasa disebut moderat, tidak berlebihan dan tidak bermasa-bodoh. Tidak mempersulit tapi juga tidak keterlaluan dalam mempermudah persoalan. Kalaupun mempermudah semata-mata berpegang pada dalil, dan sesuai dengan yang memang diperintahkannya begitu.
Siapa pun orangnya, selama memiliki hati bersih, ia akan berpihak kepada pemahaman yang bersikap moderat; tidak keras (radikal, ekstrim) tapi juga tidak bermasa-bodoh. Ia netral tapi tidak menutup diri. Jika memihak, ia tidak melepaskan diri dari kebenaran.


Dalam realita, ada kesalahan penilaian mengenai sikap moderat. 
Orang menyalahtafsirkannya dengan mengidentikkannya atau menyamakannya dengan sikap kaum oportunis. Ini sama sekali tidak betul.

Oportunis adalah orang yang berubah pemahamannya disebabkan adanya kepentingan pribadi yang menyertainya. 
Ketika si A berkuasa ia ikut pemahaman si A, ketika si B yang berkuasa ia ikut pemahaman si B. 
Oportunis adalah orang yang tidak punya pendirian tetap alias plin-plan. 
Pendiriannya berubah tergantung kepada kepentingan pribadinya; dan lebih sering, dalam politik, untuk menyelamatkan diri.

Berbeda dengan moderat; kalaupun ia berubah pendirian --berubah pendapat atau pemahamannya-- semata-mata karena menemukan kebenaran pada pemahaman barunya itu
Ia berprinsip tidak memihak penguasa, tidak memihak oposisi, tidak memihak si kaya, tidak memihak si miskin; tapi konsekwen memihak kebenaran. 
Siapa pun yang benar akan dibelanya; namun cara yang ditempuh adalah cara yang halus. 
Cara yang lembut, yang menghindar dari kekerasan dan kerusakan.


Karena sikapnya itu pula, orang condong menilai orang moderat sebagai orang yang lemah. 
Sebenarnya tidak begitu. 
Tidak sedikit orang moderat yang mempertahankan prinsipnya dengan menebusnya di penjara; suatu hal yang biasanya dihindari oleh seorang oportunis. 
Padahal banyak orang yang suka bersikap keras, kasar, sok jago dan sok pahlawan, justru memiliki sifat oportunis.

Yang pasti, sikap berlebihan cenderung membuat kita mencari-cari keburukan dan kesalahan yang ada pada orang lain, tapi melengahkan kita akan kekurangan yang ada pada diri kita sendiri. 




SEORANG MUSLIM ADALAH SEORANG MODERAT..

Berani dan takut berdampak negatif jika dilakukan berlebihan. 
Berani tanpa perhitungan akal adalah ngawur dan bunuh diri; artinya nekad. 
Sementara takut yang berlebihan menyebabkan segala sesuatunya menjadi seperti orang mati, diam dan stagnan.

Pemikiran moderat atau pertengahan mengendalikan keberanian pada tempatnya, dan menjadikan rasa takutnya untuk bertindak hati-hati dan bukan lari. 
Demikian pula dengan kekuatan dan kelemahlembutan, seakan-akan dua kata ini tidak akan pernah bisa seiring. 
Padahal bagi seorang Muslim moderat, yang senantiasa berpikir positip, kekuatan akidahnya selalu berdampingan dengan kelemahlembutan akhlaknya.


Yang jelas, Muslim moderat adalah seorang demokrat, seorang yang menyukai musyawarah; ia tidak ngotot memaksakan pendapatnya kepada orang lain. 
Bukanlah seorang demokrat jika ia tidak siap menerima kekalahan secara ksatria dalam suatu pertandingan yang jujur dan adil. 
Dan bukan pula seorang demokrat jika ia mengharapkan kemenangan dari suatu pertandingan yang tidak secara ksatria, tidak jujur dan tidak adil. 


Karenanya, jadilah Muslim ksatria yang menerima realita. 
Sebab, hanya pecundang yang selalu mencari-cari alasan dari kegagalan dan kekalahannya
Padahal, semakin kita membela diri, orang lain akan semakin menertawakan (kebodohan dan kesialan) kita di belakang kita. 


Mesti diingat, agama berkaitan dengan kebenaran. 
Politik lebih berkaitan dengan kepentingan. 
Dalam tuntunan agama, semua yang kita lakukan harus berkaitan dengan kebenaran;  siapa pun yang berjalan di atas kebenaran ia adalah kawan kita, terlepas apapun golongannya. 
Dalam perpolitikan yang kotor, yang mengabaikan keadilan dan kejujuran, kita hanya berbicara masalah kepentingan
Karena itu, kawan bisa menjadi lawan; sebaliknya, lawan bisa menjadi kawan.


Dengan mengetahui hal-hal di atas, diharapkan saudara-saudara sesama Muslim yang awam bisa membedakan mana pemikiran yang selayaknya diikuti, dan mana pemikiran yang sebaiknya dihindari. 
Sebab, faktanya, ada juga orang yang mengklaim sebagai tokoh muslim, tapi lebih cenderung pada hawa nafsu meraih materi duniawi dan ketenaran, ketimbang mengedepankan kemuliaan akhlak dan kebenaran.


Catatan:
  • Harus selalu dicamkan, Muslim adalah orang yang mengajarkan kebajikan dengan tidak merugikan orang lain; bukan munafikun yang ucapannya sering tak sesuai dengan perbuatannya.
  • Satu pertanyaan yang hendaknya kita tanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita tidak bisa berjalan di tengah-tengah? Tidak berlebihan tapi juga tidak bermasa-bodoh.
  • Rasulullah Saw mengingatkan: “Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahannya (moderat)”  (HR. Baihaqi)


(Alfa Qr)

Kebenaran dan Kebaikan


Perkara benar-salah hanya mempunyai satu nilai: benar atau salah
Oleh karenanya, perkara benar-salah harus disandarkan kepada suatu hukum; ia bersifat pasti karena ada satu tolok ukurnya (parameter, batasan yang dijadikan ukuran).

Perbedaan pendapat dalam menilai benar atau salah, semata-mata karena sandaran hukumnya berbeda
Mustahil ada perbedaan pendapat jika sandaran hukumnya sama.


Perkara baik-buruk memiliki banyak nilai: Sangat baik, baik, kurang baik, buruk, agak buruk, sangat buruk dan seterusnya. 
Penilaian perkara baik-buruk biasanya tergantung kepada kepentingan si penilai, baik bersifat kepentingan individu maupun kepentingan kelompok. 
Dan terkadang dipengaruhi pula oleh situasi dan kondisi saat membandingkannya. 
Jadi, sifatnya sering tidak pasti atau relatif.

Perbedaan pendapat dalam menilai baik atau buruk, tergantung dari sudut mana suatu kepentingan berpihak. 
Mustahil ada kesamaan pendapat bila kepentingannya berbeda.



Yang jelas, dalam perkara agama (Islam), sesuatu yang baik belum tentu benar, sesuatu yang benar pasti baik.

Karenanya, bagi seorang Muslim, yang paling penting harus berpegang pada kebenaran. 

Orang baik yang tidak benar biasanya seorang penipu; kebaikannya hanyalah kepura-puraan.









YANG DIAJARKAN MESTI BENAR, BUKAN SEKADAR BAIK

Perkara yang berkaitan dengan benar atau salah, haruslah didasarkan pada satu kaidah hukum. 

Kebenaran tidak bisa dipisahkan dari dalil-dalil hukum tersebut. 
Tanpa dalil hukum tidak ada kebenaran.

Contoh, sebuah batu berbentuk bulat dengan sebuah batu berbentuk kotak. 
Dilihat dari jenis benda, kedua-duanya disebut batu. 
Bentuk yang berbeda tidak menjadikan salah satunya disebut bukan batu. 

Jadi, dilihat dari sudut hukum jenis benda, kedua-duanya adalah benar (benar batu).


Hal di atas patut diambil contoh; sebab dalam suatu ritus ibadat, kita sering melihat beberapa perbedaan kecil dalam pelaksanaannya. 
Jika masing-masing perbedaan itu ditunjang dalil agama, maka kedua-duanya benar dalam pandangan agama. 

Perbedaan pelaksanaan itu merupakan hikmah kemudahan dalam mengerjakan ritus ibadat. 
Jika tidak ditunjang dalil agama, perbuatan itu salah; itu bukan kemudahan, tapi kerusakan.


Mesti dicamkan, menurut hadits, orang yang membangun jalan yang benar dalam Islam akan menerima pahala dari orang-orang yang mengikutinya, tanpa ada pengurangan dalam pahala mereka. 
Sebaliknya, orang yang membangun jalan yang sesat dalam Islam akan menanggung beban dosa dari orang-orang yang mengikutinya, tanpa pengurangan beban (dosa orang-orang) tersebut.   

Renungkan.









JANGAN MEREKAYASA RITUS IBADAT

Jangan membuat ketentuan agama hanya dengan alasan tidak ada larangannya dari Nabi Saw ataupun di dalam Al Qur’an.

Kalau segala sesuatu --yang serupa ritus-- boleh dilakukan hanya karena tak ada larangannya dari Nabi atau dalam Al Qur’an; apa boleh kita melaksanakan salat zuhur menjadi satu rakaat saja, atau menambahnya menjadi enam rakaat?  
Tokh, tak ada larangannya dari Nabi? 

Apa boleh melaksanakan akekah dengan kodok, dan bukan dengan kambing? Tokh, tak ada larangannya? 

Atau, apa boleh qurban itu dilaksanakannya pada hari Idul fitri?  Tokh, tak ada larangannya?


Memang di antara yang dijadikan sunah ada perkara ibadah yang tidak dicontohkan Nabi Saw, namun dilakukan para sahabat Ra
Hanya saja perkara tersebut sepengetahuan Nabi; dan Nabi Saw mengizinkannya atau tidak melarangnya. 


Jadi jelas, dalam masalah ritus ibadat, kita melakukannya harus berdasar contoh atau izin dari Nabi; bukan sekadar tidak ada larangannya. 

Kalau semata-mata hanya tidak ada larangannya --padahal Nabi tidak mengalami atau melihat hal serupa itu-- tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk membuat sebuah ketentuan yang menyerupai ritus ibadat. 

Lain halnya kalau Nabi melihat sebuah perbuatan, tapi Nabi tidak melarangnya, maka boleh saja perbuatan tersebut dilakukan.

Contohnya, Nabi pernah melihat orang berdoa sambil mengangkat tangan, dan Nabi membiarkannya. Artinya, Nabi tidak melarangnya. 
Jadi, walau Nabi tidak memerintahkan orang berdoa harus sambil mengangkat tangan, berdoa sambil mengangkat tangan itu tidak apa-apa bila dilakukan.


Yang jelas, dan pasti, kita tidak boleh membuat sesuatu yang menyerupai ritus ibadat jika tidak ada izin atau contohnya dari Nabi Saw; termasuk contoh bahwa Nabi tidak melarang

Kalau sekadar tidak ada larangan tapi tidak ada contohnya, itu bukan dalil; itu hanya akal-akalan

Dan setiap akal-akalan harus dipertanggungjawabkan di akhirat.










BUKAN URUSAN MUSLIM YANG BERIMAN

Melakukan ritus dengan menanam kepala kambing saat mendirikan rumah, dengan maksud menolak bala atau mengusir setan, membuat orang lain mengejek kebodohan kita. 
Jangankan mengusir setan atau menolak bala, menghindarkan dirinya sendiri dari disembelih dan kepalanya ditanam, si kambing itu tidak bisa melakukannya.

Tentu saja, perbuatan tersebut tidak apa-apa jika dilakukan oleh non-muslim. 
Sebab itu bukan urusan kita, bukan urusannya orang-orang yang beriman, bukan urusannya orang yang hanya percaya pada kuasa Allah.


Mesti dicamkan, Muslim harus mengharap berkah semata-mata hanya dari Allah; bukan dari penghuni gunung atau penguasa laut yang sekadar mitos atau legenda khayalan. 

Sebab, ritus ibadat yang tidak sesuai contoh dari Nabi, seperti upacara tolak bala, malah bisa mendatangkan malapetaka yang lebih dahsyat di kemudian hari; na ‘udzubillah.
 

(Alfa Qr)

Menolak hadis..


Banyak faktor, di antaranya kemampuan akal atau sudut pandang berbeda, yang membuat seseorang menolak suatu hadis. 

Namun menolak hadis secara keseluruhan, merupakan satu tindakan berlebihan yang keluar dari tuntunan beragama (Islam) secara benar.


Dalam menjalankan syareat Islam secara benar, Qur’an dan sunnah Nabi tidaklah dapat dipisahkan satu sama lainnya. 
Artinya, setiap Muslim mestilah mengacu kepada Qur’an sebagai sumber utama syareat, dan merujuk kepada hadis untuk mendapatkan penjelasannya yang lebih rinci.

Tanpa hadis mustahil kita melaksanakan praktek solat, baik yang di tempat ataupun yang dalam perjalanan; sebab Qur’an hanya memerintahkan solat, tapi untuk mengetahui hukum dan rincian cara solat yang dimaksud mestilah kita merujuk kepada hadis. 

Demikian juga untuk banyak perkara-perkara lain, rujukan kepada sunnah dalam mendapatkan pondasi fatwa hukum suatu masalah tidaklah mungkin dihindarkan.


Pesan Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan sunnahku (sunnah Rasulullah).”








MENERAPKAN HADIS

Memang seutamanya kita mencontoh semua cara dan perilaku Nabi. 

Namun tak berarti mutlak harus sama persis; sebab banyak isi hadits tidak terlepas dari situasi dan kondisi yang dihadapinya. 

Contohnya bila kita sakit, cara pengobatannya tidak mutlak harus seperti yang dilakukan Nabi.


Begitu pun dengan memakai gamis dan serban seperti Nabi adalah bagus; tetapi jika kita mewajibkan memakainya agar perbuatan kita persis seperti Nabi, maka kita pun harus menyedekahkan semua pakaian kita dan hanya menyisakan dua stel saja. 
Sebab, ada yang bercerita, Nabi hanya memiliki dua stel pakaian saja. 

Padahal coba tengok lemari pakaian kita, berapa banyak kita punya pakaian?


Begitu pun jika menghadiri undangan standing party, kita tak perlu berlebihan dengan makan sambil duduk bersila yang menarik perhatian orang lain. 
Tindakan semacam ini hanya akan menimbulkan antipati terhadap ajaran Islam. 

Karenanya, jika tak setuju dengan cara makan sambil berdiri, carilah kursi; bila tidak menemukannya, tak usah makan di sana. 
Lagi pula, makan sambil berdiri itu sekadar makruh, bukan haram.


Anehnya, orang yang memaksakan sebuah sunah --padahal jelas bukan wajib-- justru menutup mata pada sunah yang lainnya, jika sunah yang lainnya itu tidak berkenan buat dirinya.

Dari sebab itu, kalau memang hendak melaksanakan sunah secara sangat sempurna, jangan kepalang tanggung. 

Termasuk tidak boleh tinggal di rumah yang berdinding tembok atau batu-bata; sebab, menurut hadits, Nabi Saw tidak menyukainya.









MENILAI DENGAN BIJAK

Dalam realita, kita temukan orang tua yang secara sinis mengeritik, malah kadang mengecam, anak-anak muda yang mencoba meluruskan keber-agama-an orang-orang tua yang masih berpikiran tradisional.

Padahal kita seharusnya mensyukuri, bahwa ternyata masih ada anak muda Muslim yang tetap memikirkan kesucian agama ini, di saat anak-anak muda lainnya menghabiskan waktunya di tempat-tempat hiburan.


Tapi, tentu saja, kita juga tidak menutup mata bahwa di antara anak-anak muda itu ada yang merasa paling tahu Islam, hanya semata-mata banyak membaca Qur’an dan hadis secara tekstual (harfiah), tanpa mengkaji lebih dalam; baik dari tujuan sebab turunnya ataupun dari situasi dan kondisi saat diturunkannya, dan terlebih dari keabsahan hadis itu sendiri.

Untuk itu, pendekatan yang bijak diperlukan; bukan mengecamnya.








KEPANDAIAN SESUAI ILMU YANG DIMILIKI, BUKAN SESUAI USIA

Fulanah usianya duapuluh tahun, Fulani umurnya empatpuluh tahun; tapi kueh buatan Fulanah jauh lebih enak daripada kueh buatan Fulani. 

Ternyata membuat kueh yang enak bukan tergantung umur si pembuatnya, tapi sebanding dengan ilmu yang dimiliki orang tersebut.

Begitu juga dalam berbagai bidang masalah lainnya; kemampuan menguasai suatu ilmu bukan semata-mata karena usia orangnya, tapi bagaimana si orang tersebut rajin dan ulet dalam mempelajari ilmu itu.


Dari hal di atas, kita tidak perlu malu untuk menerima pemahaman agama yang benar, yang datang dari seorang anak muda yang usianya jauh di bawah usia kita. 

Sebab, bisa jadi, ia mendapatkan kebenaran pemahamannya itu karena ia rajin dan ulet mempelajari pengetahuan agama dari berbagai sumber. 

Sedangkan kita, selama ini, hanya berkutat dengan pemahaman seadanya seperti yang sudah terbiasa kita jalani. 




Catatan:
  • Orang yang senantiasa berpikir positif, akan menilai seseorang dari apa yang diucapkan dan dilakukannya; dan bukan sekadar dari penampilan atau baju yang dikenakannya.
  • Sering kita jumpai orang yang kadar ilmu dan cara berpikirnya amat sederhana. Ada yang menganggap parfum yang beralkohol sebagai haram untuk dipakai, baik di baju atau di badan. Padahal sebenarnya dibolehkan; yang tidak wajar itu meminum parfum, baik beralkohol atau tidak.
  • Untuk mengetahui ibukota negara bagian Massachussets, orang tidak perlu repot-repot mencarinya di ensiklopedi Amerika Serikat yang tebal dan berjilid-jilid; tapi cukup di buku pelajaran geografi yang tipis dan hanya satu jilid. Jadi tidak salah, untuk mengetahui hadis shahih, seorang Muslim cukup membaca buku kumpulan hadis sohih buah karya pakar terpercaya. Buku ini dengan susah payah diusahakan sang pakar, untuk dibaca, agar memudahkan kita mempelajarinya. Jangan disia-siakan.



(Alfa Qr)

Hadits dan Sunnah


Arti yang umum, yang mudah dipahami oleh kita yang awam, hadis adalah riwayat yang berkaitan dengan Nabi, baik berupa ucapan maupun perbuatan beliau, yang dikabarkan para Sahabat ra  dan dituturkan orang-orang terkemudian. 
Sunah adalah pola hidup (perilaku, baik ucapan maupun perbuatan) Nabi Muhammad Saw yang dijadikan contoh. 


Untuk mengenali hadis soheh atau lemah, serta tingkatannya (mutawatir, ahad, maushul, mursal, dsb.) seorang pakar harus mengetahui ilmu hadis. 
Sedangkan bagi kita yang awam, cukuplah dengan mengikuti hasil penelitian para pakar tersebut; tentu saja kita harus berusaha mengikuti yang benar-benar pakar terpercaya.
Demikian pula dengan kedudukan hadits itu --berkaitan dengan penyampaian syareat atau tidak-- hanya yang benar-benar pakar hadis yang bisa menjelaskannya dengan benar.

Di antara kaidah utama dari kesahihan hadis adalah kemustahilan isi atau matan hadis bertentangan secara mutlak dengan Al Qur’an, karena Qur’an yang merupakan wahyu Allah pasti terjaga kesuciannya. 

Sementara pada hadis, karena berupa riwayat atau kabar yang disampaikan dari orang per orang, adanya perubahan susunan kalimat atau masuknya pemahaman (termasuk kepentingan si periwayat itu sendiri ke dalamnya) pada saat proses penyampaian atau transmisi periwayatan, bukanlah hal yang mustahil.


Harap dimaklum, ada perbuatan Nabi yang disunnahkan, atau malah diwajibkan, yaitu yang berupa penjelasan dari perintah dalam Qur’an yang tidak ada rinciannya (seperti salat, zakat, haji). 
Ada pula perbuatan Nabi yang tidak disunahkan untuk menirunya; karena hanya sekadar kebiasaan (berpakaian, makan-minum, berjalan); sebagai kodrat manusia (ngantuk, tidur); dan yang ‘dikhususkan’ kepada Nabi atau karena terkait dengan situasi dan kondisi tertentu.

Jadi, yang dilakukan Nabi tanpa motivasi sengaja (dalam syareat), seperti duduknya Nabi di suatu tempat yang sekadar beristirahat, bukanlah suatu ketentuan yang wajib ditiru.

Begitu pun dalam masalah selera seseorang, tidak berarti menjadi sunah yang harus diikuti. 
Bahwa Nabi menyukai daging kambing, tidak berarti orang yang tidak suka daging kambing melawan sunah. 
Atau orang yang senang makan bawang putih, tidak boleh diartikan menentang Nabi, hanya dikarenakan Nabi tidak menyukai bawang.


Termasuk yang bukan sunnah adalah semua yang dilakukan Nabi  Shallallahu Alaihi wa Sallam sebelum masa kenabian, walaupun perbuatan itu disengaja.  
Contohnya, bertahanut di gua Hira.

Karenanya, jika ada Muslim yang mencari ilham dengan cara bertapa di gua atau di tempat keramat, perbuatan ini menyimpang dari ajaran Islam. 
Hendaknya dicamkan, tempat itikaf seorang Muslim adalah di masjid;  bukan di gua, bukan di kuburan, bukan di tempat keramat.






HARUS BISA MEMISAHKAN ANTARA HADIS DAN DONGENG

Situasi dan kondisi yang berlainan memungkinkan terjadinya perbedaan pemahaman atas suatu hadis, malah dalam menerima atau menolak hadis. 
Terlebih dengan adanya dongeng yang dikira hadis, yang dilansir orang tak bertanggungjawab, seperti kaum zindik, atheis maupun orientalis.

Seratus atau limapuluh tahun yang silam, dongeng tentang langit pertama yang terbikin dari perak murni dengan bintang-bintang yang digantungkan dengan rantai-rantai emas (ini jelas bukan kiasan atau perumpamaan, dan tidak bisa ditafsirkan lain melainkan sesuai bunyi zahir kalimat), bisa saja disambut dengan mulut terperangah penuh kekaguman dan diterima dengan penuh keyakinan. 
Namun bila diceritakan sekarang, saat pesawat ruang angkasa sudah melanglang ke Mars dan Jupiter, dongeng tersebut disambut dengan senyum sinis oleh pendengarnya.

Salahkah perilaku orang-orang terdahulu? Tidak. 
Situasi dan kondisi masa itu memungkinkan untuk diterimanya dongeng semacam itu. 
Mereka mengkhayalkan bintang dan benda langit lainnya serupa dalam mitos Yunani atau Romawi, semacam dongeng Icarus yang sayapnya meleleh karena terbang terlalu dekat ke matahari.

Banyak dongeng-dongeng, yang dikira hadis, yang isinya terpasung khayal mitologi seperti itu; yang wajar saja dipercayai Muslim zaman baheula, tapi sama sekali tidak untuk Muslim zaman sekarang.


Kita, Muslim awam biasa, patut berterimakasih kepada para ulama (semoga balasan pahala dan rahmat Allah senantiasa melimpahi mereka) yang telah bekerja keras meneliti, memilah, memisah-misahkan, sampai dengan mengelompokkan hadits shahih dan lemah sendiri-sendiri; disertai dengan penjelasannya. 
Sehingga, untuk mengetahui kebenaran suatu hadis, kita cukup membaca buku buah tangan para pakar hadis tersebut.


Sebagai pegangan, selama tidak menentukan hukum --berkaitan dengan perintah wajib dan larangan haram--  hadis lemah bisa saja dipakai sekadar nasihat pada kebaikan. 

Contohnya, ada yang beranggapan bahwa anjuran ‘tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina’ bukan berasal dari Nabi Saw
Namun disebabkan ungkapan tersebut tidak berkaitan dengan masalah peribadatan dan akidah Islam --dan kalimat tersebut sesuai dengan tuntunan Islam yang menganjurkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu-- maka ungkapan serupa itu tidaklah salah untuk disampaikan.

Sedangkan cerita dongeng yang tak bermanfaat, dan condong kepada hal yang takhayul, harus disingkirkan.





Catatan:
  • Ada satu pengertian yang sudah terbiasa selama ini bahwa yang dimaksud sunah adalah hadis Nabi yang harus diikuti, yang bukan sunah adalah hadis Nabi yang tidak mengikat untuk diikuti. Sedangkan definisi baru yang lebih ngetren sekarang, sunnah dibagi dua jenis:  Sunnah yang berkaitan dengan penyampaian risalah agama, dan sunnah yang tidak berkaitan dengan penyampaian risalah agama.


(Alfa Qr)

TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..

AL QUR'AN


Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qur’an, Al Hijr [15]:9)

Kitab suci Al Qur’an diturunkan secara bertahap kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam melalui malaikat Jibril As.

Yang dimaksud dengan kitab suci Al Qur’an   --yang isinya tak ada perubahan walau satu hurufpun--   adalah kitab yang ditulis dengan bahasa dan huruf aslinya seperti saat diturunkannya yaitu bahasa Arab. 

Kitab Qur’an yang ditulis dalam bahasa selain Arab, lebih tepat disebut sebagai terjemahan Qur’an.


Tujuan terpenting diturunkannya Al Qur’an, selain mengembalikan akidah manusia kepada akidah tauhid, juga sebagai pedoman bagi semua manusia dalam menapaki arah hidupnya di dunia. 
Tidak pelak lagi, mengkaji isi Qur’an dan menerapkannya sebagai petunjuk berperilaku, untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat, merupakan keutamaan.

Sayangnya, disiplin ilmu yang dikarang manusia secara rancu telah mengalihkan fungsinya; dari kitab petunjuk menjadi sekadar buku keramat, yang sekadar dibaca merdu dan diharapkan barokahnya.

Wujudnya berubah dari petunjuk yang penuh rahmat menjadi sejajar dengan jimat; sementara ayat-ayatnya yang semestinya dihayati, berganti rupa menjadi mantera pengobral khurafat. 

Kitab yang seharusnya jadi pedoman bagi yang hidup, menjadi sekadar kitab yang dibaca bila ada yang wafat. 
Kitab yang hanya sekadar pajangan di lemari buku, dan bukannya pegangan dalam berperilaku; yang ayat-ayatnya lebih mudah dijadikan hiasan untuk ditempel di dinding, ketimbang diresapi maknanya dan dilekatkan di dalam kalbu kita.







TUNTUNAN LENGKAP

Al Qur’an berisi tuntunan yang lengkap bagi kehidupan manusia. 

Sungguh menyedihkan bila ada Muslim yang mengambil buku lain sebagai tuntunan hidup tenang tenteram, padahal ia bisa mendapatkan yang jauh lebih sempurna di dalam Al Qur’an.

Hanya saja, Qur’an (seperti umumnya semua kitab suci agama manapun) bukanlah buku yang berisi teori-teori praktis dalam teknologi atau ilmu keduniawian. 
Karenanya perlu disadari, keberadaan agama Islam tidak dimaksudkan mengajarkan tata cara praktek pertanian, pengobatan, dan semacamnya. 
Hakekatnya selama ada kemauan, ilmu keduniawian dan teknologi bisa diraih siapa pun, baik beragama maupun tidak.

Perlu dimaklumi, ayat atau tuntunan Allah yang dihapuskan, dan digantikan dengan yang lebih baik, adalah kitab-kitab sebelumnya (Taurat, Zabur, Injil) yang digantikan dengan Al Qur’an. 
Tak ada ayat-ayat  Qur’an yang dihapuskan; masing-masing ayat Al Qur’an berfungsi sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya.








KITAB-KITAB LAIN

Jika ada buku yang menceritakan kematian Putri Diana, dapat dipastikan penulisnya bukan Putri Diana. 
Mustahil orang yang sudah wafat bisa membuat atau menyampaikan buku hal ikhwal kematiannya sendiri.

Taurat yang ada sekarang menceritakan Nabi Musa As telah wafat, demikian pula Injil yang ada sekarang mengabarkan wafatnya Nabi Isa As
Bagaimana mungkin Taurat dan Injil yang kita kenal sekarang itu asli berasal dari Nabi Musa dan Nabi Isa. 
Mustahil orang yang sudah wafat menceritakan dirinya sendiri.


Kitab-kitab itu merupakan kisah tentang Nabi Musa As (Moses) dan Nabi Isa As (Jesus) yang dikarang orang lain. 
Yang namanya cerita karangan manusia, ada kemungkinan tercemar pemahaman penulisnya. 

Jadi, walau seorang Muslim wajib mengimani kepada semua kitab suci yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun Taurat dan Injil yang kita kenal sekarang bukanlah yang asli lagi.

Dibandingkan dengan hadits dalam agama Islam, validitas (derajat untuk bisa dipercaya) kitab-kitab itu jauh di bawah hadits-hadits Nabi Muhammad Saw yang kita kenal. 

Padahal, walau sudah melalui seleksi yang ketat sekalipun, ada orang menilai   --dan ini wajar saja--   beberapa isi hadis diragukan keotentikannya berasal dari Nabi Saw.





Catatan:
  • Allah yang menurunkan Al Qur’an, dan Allah pula yang menjaganya. Menjaga dari perubahan isinya dan dari perubahan fungsinya; terpelihara dari penambahan ataupun pengurangan walau hanya satu huruf pun. Juga terpelihara dari penyelewengan tujuan tuntunannya. Realitanya, tak ada satu kitab suci sebuah agama yang lebih sering dan lebih banyak dibaca (serta dihapal) oleh umatnya kecuali Al Qu’ran.
  • Tidak ada kewajiban bagi Muslim awam biasa seperti kita untuk membicarakan Qur’an itu makhluk atau bukan. Kewajiban kita hanyalah mengikuti petunjuk yang ada di dalamnya.  Seharusnya kita bisa menyadari mana yang mesti diprioritaskan, mempraktekkan isinya atau sekadar meributkan bentuknya, yang berakibat timbulnya perselisihan yang tidak perlu.
  • Kadang terjadi penyalahtempatan dari sebuah pemahaman. Pemahaman bahwa Qur’an lebih mulia dari materi duniawi seperti emas, membuat orang mengutamakan [kitab] Qur’an sebagai mahar. Padahal dalam masalah nikah, maskawin yang paling utama berupa emas atau perhiasan yang bisa dipakai si mempelai wanita; Qur’an itu justru alternatif terakhir.
  • Tak ada ayat-ayat Qur’an yang bertentangan (kontradiksi, antagonis). Yang ada hanyalah ayat-ayat yang tampaknya bertentangan (paradoks), tapi sebetulnya tidak bertentangan; sebab tiap ayat sesuai dengan perkara yang dihadapinya. Penempatan ayat pada sikon yang tidak tepatlah yang menimbulkan kesalahpahaman. Karenanya, menghayati terjemahannya adalah lebih baik ketimbang tidak memahaminya sama sekali..





(Alfa Qr)

MUHAMMAD SAW


Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”  (Qur’an, Al Anbiyaa’ [31]: 107)


Tugas Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah menyampaikan risalah Allah yang mengarahkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Selain mengajarkan syareat dan mengembalikan manusia kepada akidah tauhid, tugas Nabi Saw adalah mengajak manusia untuk mengedepankan keadilan dan mengutamakan kejujuran. 
Yang menuntun seorang Muslim memiliki akhlak yang baik dan perilaku yang lembut.  
Perilaku yang mustahil dimiliki orang yang suka memaksakan, yang mustahil dimiliki oleh orang yang condong pada kekerasan.


Realitanya, tuntunan Islam pasti bisa dilaksanakan oleh semua manusia biasa. 

Sebab ajaran Islam disampaikan oleh orang yang dalam kehidupan sehari-harinya pun berperilaku tidak ubahnya sebagai manusia biasa yang tak terlepas dari kesibukan duniawi. 
Seperti menyapu rumah, menjahit pakaian dan menambal sandalnya sendiri; menengok orang sakit; memberi minum unta dan memerah susu kambing; malah belanja kebutuhan keluarga dengan pergi sendiri ke pasar

Yang jelas, seorang Muslim seharusnya meyakini kerasulan Nabi Saw karena meyakini kebenaran ajaran yang disampaikannya, dan bukan semata-mata karena ‘kesaktian’ atau ‘kemukjizatan’. [1]






NABI BIASA MENGHORMATI KELEBIHAN ORANG LAIN 

Berbeda dengan beberapa pemimpin Muslim zaman sekarang   --yang suka memaksakan kehendak; yang suka bersikap otoriter, yang merasa paling benar dan paling soleh--   Nabi Muhammad Saw, walau beliau seorang rasul utusan Allah, adalah orang yang mau menerima saran dari orang lain; jika pada pendapat itu ada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.

Dalam strategi berperang beliau tidak sungkan untuk mengikuti saran dari Salman yang orang Persia. 
Begitupun dalam masalah penyerbukan kurma, beliau dengan jujur mengakui bahwa para petani kurma itu lebih pandai ketimbang Nabi. 

Artinya, dalam perkara yang terkait dengan sistem dan ilmu keduniawian, Nabi membolehkan seorang Muslim mempraktekkan keahlian dengan cara yang sesuai bidangnya.

Berbeda dengan perkara ritus peribadatan, seorang Muslim harus mengikuti hanya yang dituntunkan oleh Nabi Saw saja.






TUNTUNAN NABI SELAIN MUDAH JUGA MENENTERAMKAN

Tuntunan Muhammad Saw bukan sekadar mengarahkan pada perilaku yang baik dan benar, tapi juga memberi ketenteraman hati. 
Ibarat air yang bening; bukan hanya membersihkan bagian luar badan, tapi juga jadi penawar haus yang menyegarkan di dalam tubuh. 

Realitanya, pola hidup kafir, yang jauh dari tuntunan Islam, lebih dominan kepada hal yang berkaitan dengan material tapi mengabaikan spiritual; cenderung kepada kesenangan duniawi yang semu (hedonis) tapi jauh dari ketenteraman hati.

Tuntunan Nabi Saw mengarahkan seorang Muslim untuk menapaki masa depannya dengan berbekal pengalaman masa lalu. 
Yang idealis tapi realistis; yang mampu beradaptasi dengan kenyataan yang harus dihadapi, dan bukan yang nekad tanpa berpikir panjang. 

Yang menuntun  seorang Muslim untuk meraih kepuasan yang bersifat material dengan tidak mengorbankan ketenteraman spiritualnya; yang tekun berusaha di kehidupan duniawinya sambil tetap rajin mencari bekal untuk kehidupan akhiratnya. 


Yang pasti, tuntunan Nabi itu tidak boleh memberatkan umatnya. 

Contohnya, saat menjadi imam salat yang diikuti orang banyak (masyarakat umum), mempersingkat salat adalah keutamaan. 
Kecuali jika salat sendiri, atau jika makmumnya sudah memakluminya atau sudah mengenalnya (karena anggota jamiah, anggota keluarga, anggota majelis).

“Wahai umatku! Sebagian orang dari kalian membuat yang lainnya menjadi tidak menyukai shalat. Oleh karena itu, siapa pun yang memimpin shalat harus mempersingkatnya karena di antara mereka ada orang yang sakit, lemah, dan yang punya keperluan (pekerjaan yang harus diselesaikan).” (HR Bukhori)

Yang jelas, dalam menyampaikan tuntunannya, Nabi lebih mengedepankan kelembutan. 
Sebab, realitanya, orang lebih mudah menerima jika tuntunan tersebut disampaikan dengan cara yang menyenangkan.





MENCINTAI NABI

 “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya mengucapkan shalawat untuk Nabi. Hai, orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”  (Qur’an, Al Ahzab [33]:56)

Salah satu ciri kita mencintai Nabi, selain mengikuti pola hidup dan tuntunan risalah yang disampaikannya, adalah dengan memperbanyak shalawat untuk Nabi dan keluarganya (dengan tidak usah menentukan jumlahnya dalam hitungan tertentu). 

Karenanya, Muslim yang ikhlas pasti mengucapkan shalawat mana kala ingat, membaca, atau mendengar nama Nabi disebut. 

Shalawat yang utama adalah shalawat yang lengkap yaitu mendoakan Nabi beserta seluruh keluarganya.

Yang pasti, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam akan memberi syafaat (pembelaan) berupa permohonan ampunan untuk umatnya kepada Allah, hanya jika umatnya mencintai Nabi pula.



(Alfa Qr)


[1]    Dalam menjalani kehidupan duniawi, manusia harus punya harapan. Tapi bukan sekadar harapan; yang dalam realitanya hanya harapan kosong. Dan Islam tidak menawarkan harapan kosong serupa itu. 
Dalam realita, kebanyakan orang yang tunanetra (atau orang yang sakit parah) tidak bisa sembuh dengan mujizat
Mereka, orang sakit dan orang yang menderita, selain harus berusaha merubah nasibnya sendiri, dianjurkan untuk ikhlas dan sabar; karena keikhlasan dan kesabaran mereka akan berbuah balasan pahala yang besar di surga akhirat.

ALLAH SWT


Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui.”  
(Qur’an, [2]:115)

Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang tidak membebankan kewajiban di luar jangkauan kemampuan manusia, adalah satu-satunya Tuhan yang diyakini oleh seorang Muslim. 

Beriman kepadaNya berarti hanya Allah yang kita sembah; yang kita ikuti perintahNya dan kita jauhi laranganNya.
Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya. 
Tidak ada satu pun yang menyamaiNya atau dapat dipersamakan denganNya. 
Tidak ada, dan tidak boleh ada, satu makhluk pun yang bisa atau pantas dipersekutukan denganNya. 

Dan oleh karena tidak ada keterangannya yang sohih, tidak ada seorang pun yang mengetahui dzatNya maupun wujudNya.


Orang yang membayangkan Tuhan sebagai makhluk serupa manusia dengan memakai atribut seperti jubah, mahkota, ikat pinggang atau gelang emas --kenapa bukan memakai jas dan dasi?-- adalah orang yang terobsesi dengan kisah-kisah zaman baheula, seperti mitologi Yunani dan Romawi. 

Mereka adalah para pembohong yang merendahkan derajat Tuhan setara dengan makhluk ciptaanNya. 

Karenanya, seorang Muslim tak perlu repot-repot membayangkan dzat dan wujudNya. 
Kita cukup meyakini keberadaanNya, dan meyakini sifat-sifatNya yang Mahasuci Mahatinggi. 
Yang pasti benar dan mustahil salah, yang pasti positif dan mustahil negatif.


Realitanya, ada kesalahpahaman atau kesalahan pemahaman mengenai Allah, yang disebabkan penyampaian ajaran agama Islam yang tidak tepat; yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa berbuat kebajikan, tapi dalam realitanya malah melebarkan jalan ke arah kerusakan. 

Yang cenderung menimbulkan kesan bahwa Tuhan adalah penghukum, dan bukan Maha Pengasih
Yang lebih menonjolkan Tuhan sebagai jaksa penuntut yang garang, dan bukan sebagai hakim yang bijaksana. 

Yang berdampak kepada pengidentikan [agama] Islam dengan sebuah negara tirai besi; yang penuh aturan hukum, tapi justru tidak memberi ketenteraman pada penganutnya. 
Yang membuat orang condong melihat hukum Allah sebagai ancaman, dan bukan melindungi.

Padahal mesti selalu diyakini seorang Muslim: ada dua sifat Allah yang senantiasa menyertai dan tidak terpisahkan dengan sifat-sifat Allah yang lainnya, yaitu sifat Mahakuasa dan Mahaadil

Mahakuasa berarti Allah tidak terikat dengan sesuatu apa pun, dan tidak ada sesuatu apa pun yang bisa mencegah Allah dalam berkehendak. 
Sedangkan Mahaadil berarti segala sesuatu yang dikehendaki Allah tidaklah sewenang-wenang.

Karenanya, tak boleh terlintas dalam pikiran seorang Muslim bahwa Allah terikat dengan suatu keharusan, yang membatasi sifatNya yang Mahakuasa. 
Atau menganggap Allah menentukan segala sesuatu dengan sewenang-wenang, yang mengingkari sifat Allah yang Mahaadil. 








ADA SEBAB YANG TIDAK KITA KETAHUI

Tatkala Allah memberlakukan sifatNya Yang Maha Menjatuhkan, tidak ada satu kekuatan pun yang bisa mencegah Allah Yang Mahakuasa menjatuhkan seseorang. 

Namun, dalam menjatuhkan orang tersebut, Allah Yang Mahaadil tidaklah sewenang-wenang; ada sebab atau faktor [1] yang membuat orang itu dijatuhkan. 

Demikian pula saat Allah memberlakukan sifatNya Yang Maha Mengangkat, sifat Allah Yang Mahakuasa dan Mahaadil senantiasa disertakanNya.


Jelas, sifatNya Yang Mahaadil memustahilkan Allah menghukum manusia   --Muslim maupun bukan--   yang tidak merugikan makhluk lain; yang tidak berbuat kerusakan kepada manusia maupun lingkungannya. 

Karenanya, jika ada kejadian buruk atau kegagalan yang menimpa kita, selain disebabkan kekurangan kita (kebodohan dan kemalasan kita), bisa saja sebagai balasan dari perbuatan jahat yang telah kita lakukan. 
Dan mustahil karena kesewenang-wenangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.  


Karenanya, hindari semua pikiran jahat atau niat jahat; apalagi perbuatan jahat yang merusak lingkungan dan merugikan orang lain.   
Sebab, dengan tidak sewenang-wenang, Allah pasti akan memberi balasan.










TAUHID, KEESAAN ALLAH DALAM SEMUA HAL

Akidah adalah keyakinan dalam ajaran suatu agama. 
Tauhid, dasar pokok akidah Islam, adalah keyakinan akan ke-esa-an Allah. 

Makna tauhid, yang mudah dipahami orang awam, adalah: Kita meyakini tidak ada yang pantas kita sembah kecuali hanya Allah, karena kita meyakini tidak ada yang menciptakan dan memelihara segala sesuatu kecuali hanya Allah Azza wa Jalla, Yang Maha Agung dan Maha Luhur.

Dalam praktek, ada beberapa istilah tauhid. 
Tauhid Uluhiyyah yaitu keesaan dalam dzatNya; tauhid rububiyyah yaitu keesaan dalam pengaturanNya; tauhid ubudiyyah yaitu keesaan dalam penyembahanNya; tauhid mulkiyyah yaitu keesaan dalam kekuasaanNya; tauhid hukmiyyah yaitu keesaan dalam hukumNya. 

Istilah-istilah tauhid seperti di atas barang kali belum/tidak dikenal oleh banyak para Sahabat salaf ra

Yang pasti, mereka bukan hanya mengenal makna tauhid, tapi juga benar-benar melaksanakannya.




“Perumpamaan orang yang mengingat Allah
 dengan orang yang tidak mengingat Allah
 adalah seperti orang hidup dengan orang mati.”
 (HR. Bukhari)
(Alfa Qr)


[1] Yang namanya sebab atau faktor di sini, bisa berupa (balasan) perbuatan yang pernah dilakukan orang yang bersangkutan, bisa juga sekadar Allah menguji keimanan orang tersebut. Kita tidak bisa dan tidak boleh menentukan apalagi memastikan sebab-sebab atau faktor tersebut.

ISLAM


Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam..” (Qur’an, Ali Imran [3]:19)

Islam berarti:  
Berserah diri (kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala),  
Damai (dengan semua manusia), 
dan Selamat (di dunia dan akhirat). 


Yang dimaksud dengan agama Islam, yang sebetulnya, adalah semua ajaran (risalah) yang berasal dari Allah Swt sejak nabi pertama yaitu Adam Alaihis Salam sampai nabi terakhir yaitu Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam

Sedangkan kebanyakan orang sekarang mengkhususkan yang disebut Islam itu hanyalah ajaran yang berasal dari Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad saja. 
Tapi, tentu saja  --sebagai tuntunan Allah yang terakhir, yang sempurna--   risalah yang disampaikan lewat Nabi Muhammad inilah yang harus kita ikuti saat ini.


Patut diingat, Allah menurunkan risalahNya sebagai bukti kemahaadilanNya. 

Seandainya balasan yang seimbang tidak diadakan di akhirat, amat beruntung orang yang dilahirkan sebagai anak orang kaya, yang sehat, yang berbahagia, atau yang berbuat kejahatan di dunia. 
Dan alangkah sialnya yang dilahirkan sebagai anak orang miskin, yang berpenyakit, yang menderita, atau yang dianiaya di dunia. 


Jadi jelas, adanya balasan surga dan neraka merupakan pengejawantahan dari sifat Allah Yang Mahaadil. 

Lagi pula, dengan diturunkannya Islam, orang yang terlanjur berbuat dosa dapat menebusnya sesuai ajaran agama. 
Sebab, jika tidak ada tuntunan agama, bagaimana mereka menebus kesalahannya?


Hakekatnya, ajaran Islam sama dengan risalah yang diturunkan Allah sebelumnya (agama Yahudi dan Nasrani) yaitu membawa kebenaran. 
Hanya saja dikarenakan agama yang sebelumnya sudah tercemar, dengan sisipan hasil rekayasa manusia, Islam mengembalikannya ke jalan lurus. 

Oleh karenanya, dalam Islam yang sesungguhnya, tidak boleh ada ritus ibadat atau upacara agama yang direkayasa dan disisipi buatan manusia.




Catatan:
  • Merupakan satu hal yang berlebihan jika memprediksikan Islam di masa depan sebagai musuh (orang-orang) Barat. Islam di masa yang akan datang justru akan menjadi panutan orang-orang di Barat, dan di seluruh muka bumi, yang masih memiliki akal pemikiran yang bersih, yang cenderung pada kebajikan. Islam hanya akan menjadi musuh orang-orang, baik di Barat maupun di Timur, yang dibelenggu kedengkian; yang akal pikirannya condong pada kerusakan dan kejahatan.
  • Cara yang paling mudah, dan lebih pendek, untuk menghubungkan satu titik dengan titik lainnya adalah dengan membuat sebuah garis lurus. Hanya orang ‘bingung’ yang akan membuat garisan yang berkelok-kelok. Sebuah jalan yang lurus, berbeda dengan jalan berkelok, memungkinkan kita melihat apa yang ada di hadapan kita dengan jelas. Islam adalah jalan lurus dalam mencapai tujuan kita, di dunia dan di akherat.



(Alfa Qr)

KEBEBASAN MEMILIH


Jika dari Bandung kita mau ke Jakarta, kita bisa bebas memilih naik bus --dengan berbagai merek perusahaan-- atau naik kereta api. 
Hanya saja kalau kita memutuskan untuk naik kereta api, cuma ada satu merek kereta api (karena hanya ada satu perusahaan kereta api) yang bisa kita naiki.

Terpaksa itu bila tak ada pilihan lain. 
Masuk Islam itu tidak dipaksa.  Manusia bebas untuk memilih: Masuk Islam atau tidak
Kalaupun terpaksa, itu karena Islam satu-satunya agama yang benar; andai ada dua atau tiga agama yang benar, kita tentunya bebas memilih yang lain.

“Tidak ada paksaan untuk masuk Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (Qur’an, Al Baqarah [2]:256)

“Serulah manusia pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.. (Qur’an, An Nahl [16] :125)

“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”  (Qur’an, Al Kahfi [18]:29)


Jelas, memaksa orang lain minum obat supaya sembuh, hanya dilakukan kepada orang yang kurang akal pikirannya. 
Orang yang normal akal pikirannya, yang tahu manfaat obat, tidak usah dipaksa minum obat.





TAK PERLU MEMAKSAKAN PEMAHAMAN

Mengajak, beda artinya dengan memaksa. 

Mengajak berarti menawarkan lebih dari satu pilihan, orang boleh menolak atau menerima ajakan.

Memaksa artinya mengharuskan dengan kekerasan. 
Kalaupun ada pilihan, maka pilihannya: Mau dipaksa atau --biasanya-- babak belur.


Mahasuci Allah yang menurunkan Islam dalam kelemahlembutan; yang membuat orang menganutnya karena kesadaran dan bukan karena ketakutan. 
Yang menjadikan penganutnya seharusnya memiliki jiwa besar, yang jauh dari sifat negatip; yang jauh dari sifat iri dengki apalagi kejam. 

Namun anehnya, ada saja orang yang tetap suka memaksakan kemauan dan pemahamannya kepada orang lain. 
Padahal Sang Penciptanya sendiri tidak memaksakan kehendakNya.

Munafiknya, satu saat dalam kehidupan duniawi ia menolak permintaan orang yang membutuhkan bantuan; sementara di lain waktu ia memaksa orang lain, dalam beragama, dengan alasan demi kebaikan.

Memang, kesamaan pemahaman bisa dipaksakan; namun kesamaan pemahaman serupa itu tidak akan berumur panjang. 
Sebagian orang akan menerimanya sebagai suatu keterpaksaan dan bukan karena kesadaran. 

Perjuangan, atau apapun namanya, untuk menegakkan suatu paham dengan paksaan semacam itu hanya akan merupakan kesia-siaan. 



(Alfa Qr)

SEKADAR MENGAJAK


Tiap orang normal mempunyai dua keinginan untuk sukses.   
Pertama, sukses dalam materi yaitu meraih kekayaan di dunia;  
Kedua, sukses dalam beragama yaitu mencapai surga di akhirat.

Orang yang tidak sukses dalam materi, mustahil mendapatkan limpahan harta dunia. 
Begitu juga orang yang tidak sukses dalam beragama, tidak mungkin mendapatkan kenikmatan surga akhirat.


Orang yang berhasil meraih kekayaan dunia adalah orang yang tahu kiat mencari nafkah. 
Orang yang tidak tahu kiat sukses dalam mencari nafkah, tidak akan mendapatkan kekayaan tersebut.

Orang yang meraih kenikmatan surga adalah orang yang berada dalam agama yang benar. 
Orang yang berada di dalam agama yang salah, tidak akan meraih kenikmatan surga.


Dari sebab itu, orang yang tidak menginginkan kekayaan, tidak perlu bekerja. 
Orang yang tidak mengharapkan surga --atau kasarnya: ingin masuk ke neraka--  ia tidak perlu beragama.






LAZIMNYA KITA TAK INGIN ORANG LAIN LEBIH BERUNTUNG

Di kehidupan sehari-hari, dalam memajukan usaha bisnisnya, kita biasa melihat seorang pengusaha bersaing keras dengan usahawan lainnya.   
Segala kiat, terkadang dengan cara licik sekalipun, dilakukan untuk mengalahkan dan menghancurkan saingan bisnisnya. 

Dalam kenyataan sehari-hari, seorang pengusaha menutup rapat rahasia suksesnya.  
Jangan harap kita bisa masuk ke dapur tempat kerjanya.   
Pintu untuk mencapai kekayaan bagi orang lain ditutup-tutupi; orang lain tidak boleh sama berhasilnya dengan dia.
Tidak heran lagi kita menemukan orang yang bergembira melihat orang lain jatuh bangkrut. 
Orang yang gagal malah disoraki. 


Realitanya, kita senang melihat orang lain susah; susah melihat orang lain senang.

Jelas sekali, manusia tidak ingin orang lain mencapai sukses. 
Sifat manusia kebanyakan, berarti tidak semuanya, adalah suka menyingkirkan atau mencelakakan orang lain yang dianggap saingan. 






LOGIKA ANEH ORANG MUNAFIK

Dalam kehidupan sehari-hari, orang lain tidak boleh sama dengan kita. 
Artinya, orang lain tidak boleh menyamai kita (apalagi melebihi kita) dalam meraih ketenaran, jabatan, atau kekayaan materi.

Tapi dalam beragama, kita memaksa orang lain untuk harus sama pemahamannya dengan kita. 
Artinya, harus sama-sama masuk surga.


Logika macam apa yang dipakai untuk pendapat serupa ini?
Di satu sisi ia menghalangi orang lain untuk sukses (untuk gembira); di sisi lain mengharuskan orang lain untuk berhasil (masuk surga).
Bukankah ini logika orang yang munafik?





SEHARUSNYA KASIHAN, BUKAN MARAH

Kalau kita yakin agama yang kita anut agama yang benar, maka kita yakin akan masuk surga. 
Dan kita akan berpendapat bahwa orang lain yang berbeda keyakinan agamanya dengan kita, akan masuk ke neraka.

Yang jadi pertanyaan: Mengapa kita harus marah jika orang lain ingin ke neraka?   
Alasan apa yang harus membuat kita membenci orang yang akan ke neraka?   
Bukankah seharusnya kita mengasihani mereka?


Di dunia ini, ada teman-teman kita yang berbeda agamanya dengan kita. 
Berarti, di akhirat mereka akan ke neraka. 
Bukankah seharusnya kita sedih karena tak akan bertemu lagi dengan mereka di surga kelak?


Dalam kenyataannya, kita suka membenci orang lain yang berbeda keyakinan atau agamanya dengan kita. Ini sungguh sangat aneh. 
Padahal dalam kehidupan sehari-hari, kita bukannya marah, malah gembira jika orang lain gagal mencapai sukses. 

Sekarang, jika orang lain gagal masuk ke dalam surga, kenapa kita harus marah?






BEDA AJARAN MANUSIA DAN AJARAN TUHAN

Ajaran manusia --terlepas disandarkan kepada sebuah agama atau tidak-- yang biasa disebut paham, isme atau politik, umumnya mengajarkan agar orang lain mesti menjadi sama seperti kita. 
Baik dalam menganut ajaran tersebut maupun dalam memahaminya; baik dengan cara halus atau pun dengan memaksanya.

Dan karena ajaran tersebut rekayasa manusia, maka tuhan yang disembahnya juga biasanya berupa manusia. Yaitu firaun-firaun dan thogut yang gila kekuasaan; seperti ketua partai, pimpinan organisasi, ataupun yang mengaku imam jemaat.


Lain halnya dengan ajaran Tuhan atau biasa dikenal dengan istilah agama. 
Ajaran Tuhan, yang sebenarnya, mustahil memaksa orang lain untuk menganut agama yang sama dengan yang kita anut
Sebab mesti diingat, Tuhan tidak membutuhkan cinta manusia; manusialah yang membutuhkan cinta Tuhan. 
Banyak atau sedikit manusia yang menyembah atau taat kepadaNya, tidak ada pengaruhnya pada kemuliaan Tuhan.


Jika Tuhan mau, semua manusia di muka bumi ini bisa dijadikan hanya satu umat saja. 
Tetapi Tuhan, sesuai sifatNya yang tidak sewenang-wenang, memberi kesempatan kepada manusia untuk menggunakan akalnya dalam menentukan keinginannya: Mau ke surga atau ke neraka.

Karenanya, kita harus mengajak orang lain menganut agama atau keyakinan yang benar, dengan cara yang benar. 
Jelas dan tegas dalam pendapat, tapi halus dan lembut dalam mengajak.


Kita bersyukur jika orang lain menerima ajakan kita untuk menganut agama yang benar; karena, dengan sebab itu, berarti kita akan berkumpul lagi dengannya di surga. 
Kita bersedih jika orang lain menolak ajakan kita untuk menganut agama yang benar; karena, dengan sebab itu, berarti kita tidak akan bertemu lagi dengannya di surga. 






KERAGAMAN SITUASI DAN KONDISI

Orang buta tidak bisa melihat apa yang ada di hadapannya; namun orang yang tidak buta pun, disebabkan penyakit, belum tentu melihat suatu obyek dengan kejelasan yang sama. 

Malah satu obyek yang disepakati kebanyakan orang sebagai berwarna hijau, bisa saja disebut merah oleh seorang penderita buta warna. 
Dan orang ini tidak bisa disalahkan, karena kemampuan matanya untuk melihat memang seperti itu.


Jelas, satu kemustahilan jika harus ada kesamaan pendapat pada semua orang; seperti juga ketidakmungkinan ada manusia biasa yang terluput dari kesalahan.   
Sebab situasi dan kondisi yang kompleks, yang tidak sama, memungkinkan pula ketidaksamaan kemampuan. 

Karenanya, satu perkara yang bisa dilakukan seseorang belum tentu dapat dikerjakan oleh orang lainnya; termasuk menerima pemahaman ajaran agama.


Agama Islam, sebagai rahmat bagi seluruh penghuni alam ini, hakekatnya adalah anugerah Allah untuk dirasakan manfaatnya oleh tiap individu atau masing-masing pribadi
Oleh karenanya, Muslim yang berpikiran jernih, tidak akan memaksakan pemahaman agamanya kepada orang lain
Terlebih dengan kebencian dan kekerasan.

Lagi pula, dalam masalah keyakinan agama, pantas diperhitungkan pertanyaan orang lain, yang tidak mengganggu kita, kepada kita: “Mengapa kamu harus marah; apa urusanmu jika aku tetap memilih masuk neraka?






MASALAH JAHAT DAN TIDAK JAHAT

Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, yang harus dibela dan dilindungi adalah orang yang tidak merugikan orang lain. 
Bukan hanya semata-mata karena dia Muslim atau orang miskin.


Islam, seperti agama manapun, mengajarkan seorang Muslim untuk bersimpati kepada orang miskin. 
Namun dalam masalah jahat atau tidak jahat, seorang Muslim harus berpihak kepada orang yang tidak jahat; terlepas dia miskin atau kaya, Muslim atau bukan.

Artinya, orang yang jahat (penindas, zalim) --walau dia miskin dan muslim-- jika tidak mau sadar harus dibasmi. 
Sebaliknya, orang yang baik (yang ditindas, dizalimi) --walau dia kaya dan nonmuslim-- wajib dibela.




Catatan:
  • Dalam mencari materi di kehidupan duniawi, Muslim harus berusaha menghilangkan sifat ingin mencelakakan orang lain. Seorang Muslim harus gembira jika orang lain sama tenarnya atau sama kayanya dengan dirinya, dan akan lebih gembira bila melihat orang lain lebih tenar atau lebih kaya ketimbang dirinya.
  •  Pikirkanlah diri sendiri, baru berpikir tentang orang lain. Urus keluarga sendiri dengan seksama, baru mengurusi keluarga tetangga. Utamakan lingkungan sendiri, baru perhatikan lingkungan yang lebih luas. Yang penting, jadilah orang yang bermanfaat; bukan yang mengganggu dan merugikan orang lain. Tak perlu sok soleh atau sok pahlawan.


(Alfa Qr)

TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..

Menilai ketidakadilan Tuhan..


Ada orang yang menjadi tidak percaya kepada tuntunan agama, dan menjadi atheis, disebabkan ia melihat apa yang menurutnya sebagai ketidakadilan tuhan atau dewa penguasa alam. 

Realitanya, ada orang yang dilahirkan sebagai anak konglomerat; sementara di bagian dunia yang lain, ada yang dilahirkan sebagai anak orang amat melarat. 
Masa mudanya pun, yang satu berkelebihan dalam kemewahan, yang satunya lagi amat sangat menderita dalam kesengsaraan. 

Realitanya, ada orang yang mendapat akses kemudahan dalam menjalani kehidupannya; sementara di sisi lain, ada orang yang untuk hidup layak sebagai manusia saja amat sulit untuk meraihnya. 

Realitanya, ada orang yang dilimpahi banyak kebaikan; sementara di sisi lain, ada orang yang tampaknya ditimpa kemalangan yang tiada hentinya.

Jelas, kalau kita bertanya lewat kaca mata zahir, maka kita tidak akan menemukan apa yang namanya keadilan pada hal-hal di atas tadi. 
Sebab, bagaimana dikatakan adil jika satu orang mendapat kelebihan, sementara yang lain tidak. 

Bagaimana dikatakan adil jika ada orang yang begitu berbahagia; sementara di sisi lain, ada orang yang begitu menderita.


Tapi mesti diingat, jika manusia harus menuntut keadilan berdasar prasangka manusia, maka manusia yang dilahirkan di zaman dulu akan merasa diperlakukan tidak adil; karena di masa lampau akses untuk hidup yang layak, jauh lebih sulit dibandingkan manusia di zaman ini.

Karenanya, yang namanya kemahaadilan Tuhan bukan berarti semua manusia harus mendapat kemudahan dan kesenangan yang sama
Sebab jika kemahaadilan harus distandarkan serupa itu, orang-orang di masa lampau --yang tak pernah menikmati listrik, radio, televisi, mobil, dan kemudahan lainnya-- tentunya merasa diperlakukan tidak adil jika dibandingkan dengan orang-orang di masa sekarang. 
Orang-orang di masa lampau yang tak pernah mendapat kemudahan makanan enak seperti di zaman sekarang, tentunya akan menuntut Tuhan sebagai tidak adil.


Jadi jelas, bagi seorang Muslim, kemahaadilan Allah bukan semata-mata dari apa yang hanya diberlakukan Allah di dunia, tapi juga termasuk dengan apa yang akan diberikan Allah sebagai balasan nanti di akhirat

Ketidaksamaan dalam mendapat kekayaan dan kemudahan di dunia, adalah sesuatu yang wajar dan pantas terjadi. 
Sebab jika semua manusia harus mengalami kesenangan dan penderitaan yang sama, kehidupan di dunia ini menjadi tak ada maknanya; tak ada romantikanya.

Satu hal yang semestinya diwaspadai, ketika kita mengharuskan apa yang kita inginkan mesti dikabulkan Allah   --atau kita mengharuskan segala sesuatu yang terjadi itu mesti sesuai dengan keinginan kita--   maka secara sadar atau tidak, kita sepertinya sedang menguji akan keberadaan dan kekuasaan Allah Azza wa Jalla

Padahal manusia tidak layak menguji Allah, Allah-lah yang sesungguhnya berhak menguji kita.



BAGIKAN/SHARE tulisan ini kepada teman-teman Anda yang lain.
SEMOGA BERKAH dan RIDHA ALLAH SWT terlimpah ruahkan kepada Anda sekeluarga.

(Alfa Qr)