BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Senin, 27 Februari 2012

Sedekah kebajikan


Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk” (Qur’an, Huud [11]:114)

Satu hal yang sangat adil jika sebuah kebajikan diberi imbalan pahala dengan nilai yang berlipat-lipat, dan sebuah kejahatan cukup dibalas hukuman senilai dosa dari kejahatan itu sendiri.

Realitanya, keinginan untuk berbuat baik muncul dari diri kita sendiri; dan jalan ke arah berbuat baik itu sulit karena setan selalu berusaha menghalang-halanginya. 
Sedangkan keinginan berbuat jahat tidak terlepas dari dorongan si iblis laknatullah; dan jalan ke arah kejahatan itu mudah karena dibukakan setan selebar-lebarnya. 






TAK PERLU MENENTUKAN BENTUK KEBAJIKAN

Niat melakukan kebajikan adalah satu hal yang terpuji. 

Namun sebaiknya tidak menentukan bentuk atau jenis dari kebajikan yang akan kita lakukan untuk orang lain itu; sebab jika niat baik tersebut tidak bisa atau belum terlaksanakan, justru akan membebani kita. 

Kita malah akan merasa berdosa, atau merasa bersalah; padahal tadinya kita mau berbuat baik dengan ikhlas. 

Jadi, kita tak perlu menentukan bentuk kebajikannya itu sendiri, tapi cukup berniat akan bersedekah.


Arti yang umum dipahami dari bersedekah adalah mendermakan harta --baik uang maupun barang-- untuk membantu orang lain. 
Sedekah dalam pengertian yang lebih luas adalah semua kebajikan yang dilakukan seseorang, yang dengan sebab itu Allah membalasnya dengan kebajikan pula. 
Tersenyum dan tutur kata yang baik adalah sedekah. 
Langkah kaki saat menuju masjid adalah sedekah. 
Menafkahi anak isteri, infak dan zakat pun, dalam pengertian yang lebih luas adalah sedekah.


Sedekah hukumnya sekadar keutamaan; zakat hukumnya wajib.  

Karenanya, orang yang menerima sedekah wajar berterimakasih kepada orang yang memberinya. 
Orang yang menerima zakat tidak perlu berterima kasih kepada orang yang mengeluarkan zakat; sebab zakat yang diterima merupakan hak bagiannya yang dititipkan Allah kepada orang lain







NADZAR

Tidak ada nadzar (niat atau janji melakukan sesuatu) kecuali dengan maksud mendekatkan diri atau mencari ridha Allah semata-mata.

Berniat mengadakan pesta bila lulus ujian sekolah, tidak apa-apa jika dibatalkan; tapi bila berniat untuk bersedekah, maka bersedekah itu jadi wajib untuk dipenuhi. 

Begitu pun orang yang berniat untuk piknik bila sembuh dari penyakit, tidak berdosa jika membatalkannya. 
Tapi bila berniat akan mewakafkan tanahnya untuk kepentingan agama, ia harus memenuhi nadzarnya ini. 

Jika tidak, ia harus membayar denda (kafarat).

Karenanya, seutamanya hindari bernadzar. 

Lakukan amal ibadah dengan ikhlas, tanpa harus menuntut Allah melakukan sesuatu kebaikan.









MEMBERSIHKAN HARTA

Upaya ‘membersihkan’ harta kita dari kemungkinan adanya ‘kotoran’ yang menyertainya, adalah sangat utama.  
Artinya, mengeluarkan harta hak bagian orang lain dari kelebihan harta yang kita punyai, sudah sepantasnya dilaksanakan. 
Oleh karenanya, akan lebih baik jika setiap kali kita mendapat tambahan harta kekayaan (pendapatan, penghasilan), kita membersihkannya dengan menyerahkan bagian hak orang miskin tersebut.

Namun jika harta tambahan itu jangankan ada kelebihan, untuk kebutuhan hidup keluarga sendiri pun malah masih kurang --termasuk belum mampu memiliki sendiri rumah tinggal-- tentunya tidak perlulah dikeluarkan zakatnya. 

Lagi pula, besarnya penghasilan tiap orang tidaklah sama. 
Begitu pun standar minimal kebutuhan hidup setiap keluarga, tentunya berbeda. 

Contohnya, kebutuhan hidup keluarga dengan satu anak berbeda dengan keluarga yang memiliki tujuh anak. Jadi, kelebihan harta dari harta yang dimilikinya juga menjadi bersifat relatif.


Pertanyaannya, berapa banyaknya dari kelebihan harta tersebut yang harus dikeluarkan? 
Seperempatpuluh, sepersepuluh atau seperlima bagian? 
Waktu dikeluarkannya apa mesti pada tiap saat mendapatkannya, atau boleh dikumpulkan jumlahnya dulu sampai satu tahun?

Bagi kita, Muslim awam, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tampaknya diserahkan kembali pada ketulusikhlasan hati kita. 

Jadi, mengenai besarannya maupun waktunya, karena masing-masing orang lebih mengetahui akan besar-kecilnya ‘kelebihan harta’ dari kekayaan yang dimilikinya, jelas diserahkan pada keikhlasan masing-masing Muslim.

Mahasuci Allah yang menguji kadar keikhlasan hambaNya. 






SEDEKAH, INVESTASI YANG MUSTAHIL MUBAZIR

Orang yang berkurang hartanya karena musibah, dicuri atau ditipu, beda nilainya dengan orang yang berkurang hartanya karena bersedekah. 

Orang yang bersedekah, hakekatnya tidak kehilangan apa-apa;  sebab harta yang disedekahkannya merupakan investasi yang mustahil mubazir, yang akan diganti dengan pahala yang lebih berlipat.

Jadi jelas, ditipu itu rugi. 
Karenanya, daripada ditipu, lebih baik diinvestasikan dalam bentuk bersedekah. 

Anehnya, kebanyakan orang lebih menunggu dulu untuk ditipu ketimbang bersedekah. 
Atau, baru muncul niat bersedekah jika sudah sakit. 

Padahal ingat, kotoran bisa jadi penyakit. 
Sedekah yang benar-benar ikhlas bisa mencuci kotoran; bisa jadi penawar dari penyakit yang kita derita. 

Yang pasti, kita harus berinvestasi.



“Sedekahkanlah ala kadarnya sesuai dengan kemampuanmu,
dan jangan menghitung-hitung,
karena Allah akan menghitung-hitung pula pemberianNya kepadamu, 
dan akan kikir kepadamu.” 
(HR. Muslim)


(Alfa Qr)

1 komentar: