Empat tipe pemimpin jamiah (partai,
organisasi, majlis) :
1. Pemimpin yang mau menang sendiri,
sekaligus pemahamannya tidak sejalan dengan Qur’an dan sunnah. Ia taklid,
mengikuti dengan membabi-buta karena hawa nafsu. Arogan dan tidak toleran.
Senang memperbudak temannya selama dibutuhkan, dan akan menendang temannya itu
jika dianggap saingan. Pemecah belah dan sumber perselisihan. Pemimpin serupa
ini harus ditinggalkan.
2. Pemimpin yang menghargai orang lain, tapi
pemahamannya tidak sejalan dengan Qur’an atau sunnah. Pemimpin seperti ini
biasanya taklid kepada pemahaman yang dianutnya, semata-mata karena rasa
hormatnya kepada guru-gurunya. Biasanya lemah lembut, namun tidak memanfaatkan
logika dan nuraninya semaksimal mungkin. Pemimpin yang
ini, jika tak bisa diluruskan, boleh ditinggalkan.
3. Pemimpin yang mau menang sendiri, tapi pemahamannya sejalan dengan
Qur’an dan sunnah. Walau niat sebenarnya baik yaitu ingin menjaga kesucian
agama, biasanya emosional dan sering tidak toleran. Bisa menimbulkan perpecahan
dan sulit mempersatukan umat. Walau sungguh disayangkan, ia boleh ditinggalkan.
4. Pemimpin yang menghargai orang lain, sekaligus pemahamannya sejalan
dengan Qur’an dan sunnah. Ini contoh pemimpin yang ikhlas. Tidak perlu komentar
untuknya. Wajib bagi kita untuk membelanya; baik dengan harta maupun jiwa,
jika perlu. [1]
Tidak salah untuk
meninggalkan pemimpin yang arogan, yang mau menang sendiri.
Pemimpin serupa ini
lebih mendekatkan kepada kerusakan dan kehancuran.
Namun, betapapun jeleknya kepemimpinan seseorang dalam sebuah jamiah (partai, organisasi), tidaklah layak kita mencerca atau menghujatnya.
Kewajiban kita, Muslim awam, adalah memohon kepada Allah agar memberinya petunjuk dan mohon ampunan untuknya.
Namun, betapapun jeleknya kepemimpinan seseorang dalam sebuah jamiah (partai, organisasi), tidaklah layak kita mencerca atau menghujatnya.
Kewajiban kita, Muslim awam, adalah memohon kepada Allah agar memberinya petunjuk dan mohon ampunan untuknya.
Sebaliknya, jangan pula mengultuskan.
Jangan memuja pemimpin berlebih-lebihan.
Selain mematikan akal pikiran kita untuk berbeda pendapat, juga akan menimbulkan akibat buruk bagi orang yang kita kultuskan.
Kebanyakan pengalaman sejarah membuktikan hal
tersebut. [2]
RESIKO PEMIMPIN YANG PEMAHAMANNYA BENAR
Realitanya, orang yang menentang sesuatu itu bisa karena dua sebab:
Pertama, bisa jadi karena ia pintar; ia tahu yang ditentangnya bukan sebuah kebenaran.
Kedua, bisa juga karena ia bodoh; ia tidak mengetahui bahwa yang ditentangnya adalah sebuah kebenaran.
Yang harus jadi pertanyaan, apakah ketika kita menentang sesuatu itu karena kita pintar, atau karena kita bodoh?
Yang jelas, pemimpin
yang pemahamannya benar bisa saja hanya memiliki sedikit pengikut.
Sebab, realitanya, ketika seseorang
mengemukakan kebenaran, banyak orang yang tidak mau menjadi temannya.
Ketika seseorang mengemukakan kebenaran, justru banyak orang lainnya yang merasa tersindir dan tersinggung; dan malah menjauh.
Ketika seseorang mengemukakan kebenaran, justru banyak orang lainnya yang merasa tersindir dan tersinggung; dan malah menjauh.
Sebaliknya, pemimpin
yang memiliki banyak pengikut belum tentu orang yang pemahamannya benar. Sebab,
agar banyak yang mengikutinya, bisa saja ia lebih mengedepankan kejahilan dan
ketidakbenaran. [3]
Catatan:
- “Setiap orang yang diberi Allah kesempatan berkuasa untuk memimpin manusia, dan tidak memerintah dengan cara yang jujur (lurus) maka ia tidak akan mencium harumnya surga.” (HR. Bukhari) [4]
- Salah satu ciri orang yang diberi hidayah oleh Allah adalah orang yang mau menerima kebenaran, walau kebenaran yang datang itu pahit. Sebaliknya, orang yang jauh dari hidayah Allah adalah orang yang menolak sebuah kebenaran hanya dikarenakan kebenaran yang datang itu dinilai merugikannya, atau menyinggung keburukan dirinya.
- Thomas Alva Edison bukan seorang profesor, tapi apa yang diciptakannya melebihi apa yang dihasilkan seorang profesor. Artinya, apa yang dilakukan atau dihasilkan seseorang jauh lebih bernilai ketimbang gelar yang dimilikinya. Lagi pula, tidak semua gelar didapat dengan cara yang benar. Gelar itu tidak bisa dijadikan jaminan kecerdasan atau ketinggian ilmu yang dimiliki seseorang. Gelar itu tidak bisa dijadikan jaminan keluhuran akhlak seseorang.
(Alfa Qr)
TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar