Seorang Muslim tidak dibebani kewajiban
untuk mengetahui berbentuk apa dzat yang disebut ruh manusia, karena
keterangan yang rinci tentang ruh tidak dijabarkan kepada kita.
Ruh bersifat halus,
gaib dan tidak kasat mata.
Bentuk dan dzatnya tidak bisa kita lihat dan tidak diketahui.
Pengetahuan tentang ruh hanyalah kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata.
Bentuk dan dzatnya tidak bisa kita lihat dan tidak diketahui.
Pengetahuan tentang ruh hanyalah kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata.
Karena
itu, kita tidak boleh mereka-rekanya, seperti kita juga tidak perlu
memperbincangkan perihal dzat Allah itu sendiri.
Seorang Muslim tidak
perlu membuang-buang waktu, menyelidiki atau mengadakan riset untuk mengetahui
dzatnya ruh.
Kita hanya wajib meyakini bahwa tiap-tiap ruh tatkala ditiupkan ke dalam jasad manusia ada dalam keadaan suci.
Kita hanya wajib meyakini bahwa tiap-tiap ruh tatkala ditiupkan ke dalam jasad manusia ada dalam keadaan suci.
Kita meyakini Allah Yang Mahasuci
Mahatinggi, Mahakuasa dan Mahaadil, telah menyediakan hak yang sama dan
kewajiban yang sama untuk setiap ruh.
Di antara hak-hak
yang diberikan kepada ruh yang ditiupkan ke dalam jasad manusia (dan lahir ke
dunia), adalah hak kembali ke akhirat (hak mati) dan hak memilih mau ke surga
atau ke neraka.
Sedangkan kewajiban pokok ruh manusia hanya satu, yaitu
beribadah (tunduk) kepada Allah.
HAK MEMILIKI HARKAT YANG SAMA
Kapan, di mana, dan kepada jasmani manusia yang mana ruh itu akan ditiupkan
Allah, tidak ada keterikatan sedikit pun bagi Allah untuk melakukannya.
Tidak ada kekuasaan ruh untuk menolak tatkala akan ditiupkan ke anak pengemis, seperti juga tak ada kekuasaan ruh untuk minta ditiupkan ke anak raja.
Artinya,
semua manusia memiliki harkat yang sama; baik yang fisiknya dilahirkan sempurna
maupun yang cacat.
Jelas, jasmani
seorang manusia bisa saja jasad seorang Yahudi atau jasad seorang Yunani, tapi
ruh yang ditiupkan ke dalamnya jelas sama (yakni suci); mustahil ruh salah
satunya merupakan ruh yang kotor.
Jasad itu hanya sekadar cangkang buat ruh
tatkala di dunia.
Hakekatnya, ruh itulah yang dihadapkan kepada cobaan dan ujian.
Tatkala ruh dimasukkan ke dalam cangkang yang cantik dan (anak orang) kaya, ruh itu diuji untuk tidak sombong.
Manakala ruh dimasukkan ke dalam cangkang yang tidak cantik dan (anak orang) miskin, ruh itu diuji untuk sabar.
Ada imbalan yang adil dari Allah untuk semua ujian ini.
Hakekatnya, ruh itulah yang dihadapkan kepada cobaan dan ujian.
Tatkala ruh dimasukkan ke dalam cangkang yang cantik dan (anak orang) kaya, ruh itu diuji untuk tidak sombong.
Manakala ruh dimasukkan ke dalam cangkang yang tidak cantik dan (anak orang) miskin, ruh itu diuji untuk sabar.
Ada imbalan yang adil dari Allah untuk semua ujian ini.
Begitu juga,
hakekatnya ruh itulah yang merasakan pemberian Allah. Baik itu berupa harta yang zahir (materi duniawi yang kasat mata
yang dapat dirasakan indera fisik, termasuk kesenangan biologis atau lezatnya
makanan) maupun berupa harta yang batin (rasa gembira yang tidak kasat mata).
Hanya saja kegembiraan duniawi tidak identik dengan kebahagiaan yang hakiki.
Kebanyakan kebahagiaan duniawi hanyalah semu.
Dan kebahagiaan yang semu --yang palsu-- bisa dirasakan semua manusia, termasuk oleh orang yang perilakunya jahat sekalipun.
Dan kebahagiaan yang semu --yang palsu-- bisa dirasakan semua manusia, termasuk oleh orang yang perilakunya jahat sekalipun.
HAK MENDAPAT HIDAYAH
Bila Allah berkehendak, kebahagiaan bisa diraih siapapun.
Realitanya, tidak sedikit konglomerat yang bergelimang harta tapi kehilangan ketenteraman jiwa.
Sebaliknya, ada Muslim yang jauh dari keresahan, padahal kehidupan materi duniawinya amat sangat sederhana.
Di sini jelas, harta dari Allah --berbentuk kasat mata maupun tak kasat mata-- diberikan kepada setiap ruh dengan seimbang; dengan adil.
Begitupun dengan
hidayah; hidayah bisa diraih siapapun.
Namun, walau setiap manusia dilengkapi
kalbu atau nurani, belum tentu ia mendapat hidayah Allah.
Sebab hidayah Allah hanya dimungkinkan untuk dikaruniakan kepada orang --baik orang beriman maupun orang kafir-- yang banyak melakukan kebajikan.
Sebab hidayah Allah hanya dimungkinkan untuk dikaruniakan kepada orang --baik orang beriman maupun orang kafir-- yang banyak melakukan kebajikan.
Kafir yang banyak
melakukan kebajikan dimungkinkan mendapat hidayah Allah dengan menjadikannya
sebagai Muslim.
Sedang Muslim yang banyak melakukan kebajikan akan mendapat hidayah Allah dengan menjadikannya sebagai Muslim yang lebih baik, yang jauh dari khurafat dan jauh dari kebodohan.
Muslim yang lebih tenteram.
Sedang Muslim yang banyak melakukan kebajikan akan mendapat hidayah Allah dengan menjadikannya sebagai Muslim yang lebih baik, yang jauh dari khurafat dan jauh dari kebodohan.
Muslim yang lebih tenteram.
HAK MATI, HAK KEMBALI KE AKHIRAT
Setiap manusia diberi hak untuk kembali ke akhirat.
Hanya saja, seperti juga
untuk semua perkara, hak mati ini diberikan Allah sesuai kehendakNya.
Kapan dan di mana, cepat atau lambat, serta bagaimana caranya mati, tidak ada keterikatan sedikit pun bagi Allah dalam menentukannya.
Tidak ada keterikatan sedikit pun bagi Allah dalam berkehendak.
Yang jelas, mati
adalah hak kita yang mustahil dicuri orang lain.
Realitanya, rumah kita bisa
disita negara, jabatan bisa direbut teman dekat, tapi hak mati kita tidak bisa
dirampok orang lain.
Tidak ada yang dapat mengambil hak mati kita, sehingga kita tidak mati-mati.
Tidak ada yang dapat mengambil hak mati kita, sehingga kita tidak mati-mati.
HAK MEMILIH MAU KE SURGA ATAU MAU KE NERAKA
Tiap (ruh) manusia yang diberi kesempatan hidup di dunia, diberi hak untuk
memilih tempat kembali di akhirat: mau ke neraka atau ke surga.
Jika mau ke neraka,
manusia tidak perlu taat kepada
aturan Allah.
Jika mau ke surga, manusia harus taat kepada aturan Allah.
Dengan sendirinya, manusia harus melaksanakan apa yang diperintahNya dan menghindar dari yang dilarangNya.
Jika mau ke surga, manusia harus taat kepada aturan Allah.
Dengan sendirinya, manusia harus melaksanakan apa yang diperintahNya dan menghindar dari yang dilarangNya.
Jadi, selama di
dunia, manusia diberi kebebasan berperilaku dan berbuat; mau mengikuti pedoman
tuntunanNya atau tidak.
Artinya, manusia bebas untuk memilih; mau bersenang-senang
tanpa batas di surga dunia yang semu, atau mau bersukacita di surga akhirat
yang kekal.
Pahala dan balasan telah dijelaskan; tak ada alasan bagi manusia
untuk memungkirinya di akhirat kelak. Terserah (ruh) manusia mau memilih yang
mana.
Yang pasti, Allah mustahil sewenang-wenang.
Perjalanan terakhir (ruh) seorang manusia, masuk ke surga atau masuk ke neraka
di akhirat, dipastikan terkait dengan semua perbuatannya di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar