BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Sabtu, 25 Februari 2012

Muslim dan lingkungan sosialnya


Ada dua hukum, yang suka atau tidak suka, harus dihadapi setiap individu Muslim.  
Pertama, hukum yang berlaku dalam lingkungannya setempat (komunitas atau negara), yang ketetapan undang-undangnya dibuat berdasar persetujuan mayoritas penduduk setempat;  
Kedua, hukum yang berlaku dalam agama yang dianutnya.

Untuk itu, seorang Muslim harus bisa menyesuaikan diri dengan hukum yang berlaku di tempat ia tinggal. Artinya, selama hukum tersebut tidak bertentangan dengan tuntunan Islam, ia harus berusaha untuk mematuhinya. 
Malah boleh mengambil manfaat dari hukum negara tersebut bila  berdampak kebaikan. 


Jika ada hukum setempat yang bertentangan dengan tuntunan Islam, seorang Muslim harus berusaha untuk merubahnya. 
Hanya saja caranya juga harus cara yang baik. 
Cara yang justru tidak melanggar hukum itu sendiri. 
Artinya, perubahan hukum itu harus berdasar kehendak mayoritas. 
Jika aturan hukum yang buruk itu tetap dikehendaki mayoritas penduduk setempat, seorang Muslim harus menerima realitanya.

Jika tidak, lebih baik ia pindah ke tempat atau negara lain. 
Atau ia tetap tinggal di tempat itu, tapi tidak ikut melibatkan diri dalam keburukan tersebut. 

Sebab, dalam Islam, berbuat kebaikan dan mencegah kemunkaran bukan saja harus dengan cara yang baik, tapi juga harus menghasilkan yang baik. 

Mencegah kemunkaran tapi membuahkan keburukan yang lebih parah, apalagi caranya juga cara yang munkar, bukanlah tuntunan Islam. 

Oleh karenanya, agar hukum yang buruk itu bisa dirubah oleh mayoritas penduduk setempat, yang paling utama adalah lebih dahulu mengupayakan mayoritas penduduk setempat menjadi Muslim (yang baik).






TATACARA DUNIAWI DI LINGKUNGAN KITA

Setiap perkara yang tidak diatur agama dan sepanjang tidak disandarkan kepada balasan pahala dari sesuatu yang gaib, jadi cuma basa-basi formalitas kemasyarakatan, dikategorikan sebagai perkara duniawi; dan kita dibolehkan untuk mengikutinya atau melakukannya.

Contohnya, sikap hormat murid dengan menganggukkan kepala kepada gurunya, atau cara menghormat prajurit dengan mengangkat tangan kepada atasannya; semua perbuatan ini sama sekali tak ada balasan pahala.

Begitu pun menghormati bendera, selama hanya dianggap sebagai lambang dan bukan sebagai tuhan, dibolehkan. 

Seorang warga negara Irak atau Iran berhak marah jika melihat bendera negaranya dibakar orang lain, walau bendera itu cuma selembar kain yang tak ada artinya.

Karena itu, gambar bulan bintang --walau sama sekali tidak dikenal sebagai lambang Islam di masa Nabi-- selama tidak dianggap sakti, boleh digunakan sebagai lambang atau bendera. 

Lambang atau simbol pengenal, hanyalah perkara duniawi. 
Begitu juga KTP, Surat Nikah, atau Akte Kelahiran; hanyalah tatacara duniawi. 

Termasuk perkara duniawi adalah memperingati hari kemerdekaan, hari ibu, ataupun hari pahlawan.





MEMATUHI HUKUM DI LINGKUNGAN KITA

Minuman keras, walau dibolehkan oleh negara, hukum Islam mengharamkannya untuk diminum oleh seorang Muslim. 
Karenanya, walau nonmuslim dibolehkan minum khamer tersebut, Muslim yang taat kepada aturan agamanya dipastikan tidak akan meminumnya.

Lain halnya dengan narkotika; narkotika tidak ditemukan larangan haramnya dalam Islam. 
Dalam situasi tertentu, sebagai obat, narkotika boleh dipakai seorang Muslim. 

Realitanya, ketika perang, penggunaan morphin sebagai penghilang rasa sakit bagi perajurit yang terluka merupakan suatu yang umum. 

Tapi, dalam kehidupan sehari-hari, seorang Muslim harus menjauhi narkotika dengan mematuhi hukum negara; karena hukum negara tersebut berakibat baik bagi seorang Muslim. 
Malah, pelarangan oleh negara terhadap narkotika untuk digunakan secara bebas, dengan sanksi hukum yang sangat berat, amatlah penting.

Realitanya, merasa amat menyesal setelah melakukan kesalahan merupakan satu kebiasaan. 

Karenanya, jauhi ego mau menang sendiri, usahakan berpikir jernih sebelum melakukan suatu perbuatan. 

Usahakan menghindari perilaku yang melawan hukum di tempat kita tinggal. 
Sebab perbuatan melanggar hukum, sekecil apapun, selain merugikan orang lain, juga akan membuat kita dan keluarga kita terperangkap dalam ketidak tenteraman dan masalah yang berkepanjangan.






KEAMANAN LINGKUNGAN MERUPAKAN KEWAJIBAN PEMERINTAH

Dalam kehidupan bermasyarakat, orang jahat --walau dia muslim-- wajib dibasmi. 
Sebaliknya, walau dia kafir atau atheis sekalipun, jika dia tidak merugikan orang lain maka wajib bagi negara untuk melindunginya. 

Mesti diingat, salah satu kondisi yang mendukung seorang manusia untuk merasa tenteram adalah jika lingkungannya aman, terbebas dari kejahatan. 
Karenanya, semua bentuk kejahatan yang meresahkan harus dibasmi.


Memang, orang yang berbuat keburukan wajar diberi kesempatan untuk insyaf, pantas diberi peluang untuk menyadari kesalahannya. 
Tapi kesempatan itu ada batasannya dan bukan terus-terusan dimaafkan. 

Artinya, orang jahat layak mendapat kesempatan kedua, atau paling tidak ketiga, tapi tak layak diberi kesempatan keempat atau kelima. 
Sebab, pada kebanyakan realita, tidak sedikit orang berhenti melakukan kejahatan bukan karena kesadaran tapi karena sudah tidak mampu berbuat jahat.


Yang jelas, membuat lingkungan yang aman merupakan kewajiban pemerintah. 
Orang yang tak mau berhenti berbuat jahat, yang menimbulkan keresahan di masyarakat, wajib dibasmi oleh negara. 

Sedangkan pemerintahan yang tidak bisa menjamin keamanan dan ketenteraman rakyatnya, pemerintahan tersebut tak patut didukung.

Realitanya, di negara mana pun, yang namanya kejahatan pasti ada. 
Hanya saja ada negara yang mampu menegakkan hukumnya dengan tegas, dan ada juga pemerintahan yang tidak becus menegakkan hukumnya; yang para pemimpinnya hanya pandai berteori dan berpidato. 


(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: