Diakui atau tidak --tapi biasanya kita
lebih sering untuk tidak mau mengakui-- terkadang kita cenderung emosional
(cepat marah, mudah tersinggung) bila ada orang yang mengeritik membuka
kekurangan kita. Satu kebiasaan yang sebenarnya borok yang sudah menahun.
Biasanya, sebelum memahami lebih dalam kritikan orang itu, kita langsung menggebrak meja; dan bukannya introspeksi.
Menganggap orang lain buta dan tuli, sementara kita sendiri menutup mata pada kenyataan.
Biasanya, sebelum memahami lebih dalam kritikan orang itu, kita langsung menggebrak meja; dan bukannya introspeksi.
Menganggap orang lain buta dan tuli, sementara kita sendiri menutup mata pada kenyataan.
Sesungguhnya ada
perkara-perkara fikih, yang tentu saja berkaitan dengan syareat agama, yang
pantas dan perlu adanya penelaahan dengan hati yang tenang.
Terlebih dalam perkara-perkara yang dalam kenyataannya menyebabkan umat Islam tertinggal jauh, baik di bidang teknologi maupun dalam kesejahteraan ekonominya.
Malah dalam hal-hal yang tampak sepele sekalipun; seperti olahraga dan efisiensi birokrasi.
Terlebih dalam perkara-perkara yang dalam kenyataannya menyebabkan umat Islam tertinggal jauh, baik di bidang teknologi maupun dalam kesejahteraan ekonominya.
Malah dalam hal-hal yang tampak sepele sekalipun; seperti olahraga dan efisiensi birokrasi.
Selama puluhan tahun
terakhir ini, tidak sedikit Muslim yang berjuang mengharap tegaknya syareat Islam
dengan paripurna.
Tapi jangankan merambah keluar dari negerinya, semangat ini di negerinya sendiri, baik di Arab maupun bukan, sulit berhasil untuk ditegakkan.
Penyebabnya adalah strategi yang dikedepankan, kalau tidak bisa dibilang menakutkan, tidak menarik bagi kebanyakan orang untuk mendukungnya.
Tapi jangankan merambah keluar dari negerinya, semangat ini di negerinya sendiri, baik di Arab maupun bukan, sulit berhasil untuk ditegakkan.
Penyebabnya adalah strategi yang dikedepankan, kalau tidak bisa dibilang menakutkan, tidak menarik bagi kebanyakan orang untuk mendukungnya.
Padahal, realitanya, tidak ada satu perjuangan pun yang berhasil tanpa
partisipasi yang tulus dari orang banyak.
Memang komitmen mereka terhadap Islam tidak disangsikan, tapi mereka tidak mampu beradaptasi dengan realita; tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan situasi dan kondisi.
Memang komitmen mereka terhadap Islam tidak disangsikan, tapi mereka tidak mampu beradaptasi dengan realita; tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan situasi dan kondisi.
Secara langsung atau
tidak, kemunafikan, kejumudan dan perselisihan di antara tokoh-tokoh Muslim
turut menimbulkan akibat negatip, berupa lahirnya sosok-sosok sekular diktatoris
di negara yang justru penduduknya mayoritas Muslim.
Seperti juga munculnya diktator militeris, lebih disebabkan kebobrokan moral dan mental para politisi sipil; yang berlanjut pada ketidakmampuan menegakkan demokrasi.
Seperti juga munculnya diktator militeris, lebih disebabkan kebobrokan moral dan mental para politisi sipil; yang berlanjut pada ketidakmampuan menegakkan demokrasi.
Realitanya,
melahirkan tokoh Muslim yang berakhlak mulia sekaligus memiliki kepemimpinan
yang hebat, dan bukan hanya piawai dalam berpidato dan berwacana, amatlah
sulit.
Faktanya, tidak sedikit negara berpenduduk mayoritas Muslim merupakan negara miskin dengan sistem pemerintahan yang menjurus ke arah firaunisme, yang menjadikan musyawarah sekadar gambar tempel.
Faktanya, tidak sedikit negara berpenduduk mayoritas Muslim merupakan negara miskin dengan sistem pemerintahan yang menjurus ke arah firaunisme, yang menjadikan musyawarah sekadar gambar tempel.
Biasanya, kalau bukan hasil
perebutan kekuasaan dengan makar atau kekerasan, para firaun ini berkuasa
melalui pemilihan umum yang curang atau cara yang direkayasa.
Dan seperti di
negara komunis atau facis, kalau tidak mati sekarat karena penyakit, para
thogut ini pun mengakhiri kekuasaannya dengan buruk pula: digulingkan.
Kalaupun ada negara
berpenduduk mayoritas Muslim yang kaya, biasanya karena memiliki sumber alam
yang berlimpah --yang kalau dikelola orang lain, bukan mustahil menghasilkan
yang lebih banyak dan lebih bermanfaat-- dan bukan karena kehebatan sistem
ekonominya.
KETIMPANGAN SOSIAL PENYEBAB KERUNTUHAN
Seorang Muslim bisa disebut berlaku adil jika ia bisa memenuhi tuntutan
keadilan dari orang yang menuntut keadilan.
Dengan catatan, tuntutan keadilan
itu harus sesuai dengan kebenaran
yang diridhai Allah.
Karenanya, sebuah
pemerintahan belum disebut berlaku adil jika belum mampu memenuhi kebutuhan
pokok rakyatnya untuk hidup layak.
Jika belum mampu mensejahterakan rakyatnya dengan papan maupun kesehatan dalam batas yang wajar, dalam batas minimal yang manusiawi.
Jika belum mampu mensejahterakan rakyatnya dengan papan maupun kesehatan dalam batas yang wajar, dalam batas minimal yang manusiawi.
Harap dicamkan oleh
para pengelola negara, di antara penyebab runtuhnya sebuah kekuasaan adalah
ketika negara membebani dan memungut pajak dari rakyatnya hanya untuk
mensejahterakan sebagian kecil aparat negaranya; dan bukan untuk kesejahteraan rakyat jelata umumnya.
Padahal, ketika pemerintah tidak amanah, berlaku tidak adil dan tidak jujur, hakekatnya sedang memancing sebuah perilaku anarkis dari rakyatnya.
Realitanya,
kebanyakan lahirnya gerakan radikal dan pemberontakan sering dipicu oleh
ketimpangan sosial yang tidak berkeadilan.
Lebih sering disebabkan akumulasi kekecewaan yang berlarut-larut.
Lebih sering disebabkan akumulasi kekecewaan yang berlarut-larut.
Contohnya, keruntuhan Tsar Nicholas dari
kekaisaran Rusia ataupun kekhilafahan Turki Ottoman menunjukkan ketidakbecusan
pengelola negaranya, terlepas apa pun agama yang dianut, dan jangan menyalahkan pihak atau sebab
lain. [1]
PERUSAHAAN NEGARA
Jangan mimpi membuat perusahaan yang dikelola negara bisa lebih unggul dari
perusahaan swasta, jika fasilitas dan modalnya sama.
Mendirikan perusahaan negara semacam ini tidak lebih dari sekadar memberi peluang kepada seseorang untuk berbuat jahat, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Terkecuali jika manajernya betul-betul berakhlak.
Sialnya, dalam
realita sulit mencari manajer yang paripurna.
Yang sering dijumpai adalah manajer yang memang
pintar tapi tidak berakhlak.
Atau memang berakhlak, tapi bukan ahlinya.
Akibatnya, perusahaan pun kocar-kacir.
Akibatnya, perusahaan pun kocar-kacir.
Yang lebih jelek lagi, sudah bukan ahlinya ditambah --walau merasa berakhlak karena mengaku beragama-- tidak berakhlak.
Akibatnya, jangankan perusahaan, malah negara sekalipun: Hancur lebur!
Perlu dicatat,
seseorang akan lebih serius mengelola perusahaan miliknya sendiri ketimbang
mengurus perusahaan milik negara.
Walau, tentu saja, untuk perusahaan yang
memiliki nilai strategis yang vital, yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak
--agar tidak dimonopoli negara asing-- bisa saja negara ikut terlibat di
dalamnya.
YANG SALAH, SISTEMNYA ATAU MANUSIANYA?
Satu hal yang perlu diwaspadai, ketika kita gagal dalam bernegara atau
sebuah perjuangan, bukan mustahil ada cara atau sistem kita yang salah; yang
membuat ridha Allah Swt tidak
berpihak pada cara kita itu.
Realitanya, saat
ini, sistem pendidikan --baik pendidikan keduniawian maupun keagamaan-- kurang
menghasilkan seperti yang diharapkan.
Sistem pendidikan keduniawian hanya menghasilkan sedikit sekali Muslim yang benar-benar memiliki keahlian dalam bidangnya.
Sementara pendidikan keagamaan, selain tak mampu
menghapus kebodohan Muslim (yang tetap percaya pada takhayul), hanya sedikit
sekali menghasilkan muslim yang benar-benar menghayati kejujuran dan keadilan.
Dalam kenyataannya,
disebabkan nepotisme dan ketidakberesan birokrasi, tidak sedikit orang yang
bodoh dan berakhlak buruk justru bisa duduk di lembaga perwakilan rakyat atau
dalam jabatan-jabatan di instansi pemerintah.
Padahal mesti diingat, salah satu kunci utama keberhasilan bernegara adalah ditegakkannya kebenaran, kejujuran dan keadilan hukum, mulai dari atas sampai ke bawah dengan merata.
Jadi jelas, sebagus
apa pun suatu teori atau sistem, akhirnya terpulang kepada kemampuan dan
akhlak manusia pelaksananya juga.
SETIAP ORANG MENGINGINKAN KEHIDUPAN LEBIH BAIK
Dalam beberapa abad terakhir ini hampir tidak ada, atau memang tidak ada,
penemuan-penemuan teknologi yang bisa dibanggakan yang dihasilkan seorang
Muslim yang bermanfaat bagi umat manusia.
Dalam bidang ekonomi pun orang Islam hanya bergelut dalam bidang jual-beli, paling banter jadi distributor atau penyalur, dan bukan pemilik pabrik.
Memang tidak jadi
masalah siapa ‘penemu’ teknologi; yang lebih utama tentunya bisa menikmati
hasil teknologi itu sendiri.
Ibarat orang kaya yang menikmati tinggal di gedung mewah, tentunya ia tak perlu membangun sendiri gedungnya; biarlah orang lain (buruh-buruh bangunan) yang membangunnya.
Ibarat orang kaya yang menikmati tinggal di gedung mewah, tentunya ia tak perlu membangun sendiri gedungnya; biarlah orang lain (buruh-buruh bangunan) yang membangunnya.
Yang menyedihkan,
kalau umat Islam tidak bisa ikut menikmati hasil teknologi itu; dan hanya
sekadar jadi penonton yang hokcay,
bengong sambil keluar air liurnya.
Sebab tidak terpungkiri, betapa pun apatisnya atau jumudnya seorang manusia, kodrat manusiawinya senantiasa menginginkan kehidupan yang lebih baik dari yang sedang dijalaninya.
Amat wajar, di zaman yang penuh dengan godaan ini, bila kebanyakan manusia mengharap kehidupan yang lebih menyenangkan.
Banyak sebenarnya
perkara-perkara untuk direnungkan, tapi untuk sementara coba renungkan dan telaah
dengan benar hal-hal di atas.
Jangan sampai orang lain menilai kita --orang Islam-- hanya bisa berteori tanpa praktek.
Terlebih jangan sampai mereka, di
belakang kita, justru menertawakan kita sebagai orang-orang munafik yang sok soleh.
Hanya kajian yang
obyektif, yang jujur, yang benar-benar memahami realita yang ada, yang
memungkinkan kita tahu kesalahan kita.
[1] Mustahil muncul gerakan makar
Vladimir Lenin di Rusia atau Kemal Ataturk di Turki bila pemerintahannya tidak
bermasalah.
Realitanya, di negara bobrok serupa itu militer justru jadi alat penguasa membungkam rakyatnya sendiri yang kritis; tapi kedodoran kalau melawan musuh dari luar.
Padahal ketidakadilan melahirkan lingkaran setan keburukan; melahirkan kemiskinan dan kekecewaan, yang kalau tak membuat seseorang putus asa dan bersikap apatis, mengarahkan seseorang --walau tadinya orang baik sekalipun-- untuk berperilaku jahat kepada kita.
Realitanya, di negara bobrok serupa itu militer justru jadi alat penguasa membungkam rakyatnya sendiri yang kritis; tapi kedodoran kalau melawan musuh dari luar.
Padahal ketidakadilan melahirkan lingkaran setan keburukan; melahirkan kemiskinan dan kekecewaan, yang kalau tak membuat seseorang putus asa dan bersikap apatis, mengarahkan seseorang --walau tadinya orang baik sekalipun-- untuk berperilaku jahat kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar