BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Sabtu, 25 Februari 2012

Ketidakjujuran dalam menilai


Salahsatu di antara kelemahan manusia yang paling menonjol adalah kebiasaannya berpikiran negatip, termasuk ketidakjujurannya dalam menilai suatu perkara. 
Sikap dan pandangannya terhadap satu persoalan sering tidak luput dari sikap memihak kepada suatu kepentingan yang menguntungkan dirinya. 
Artinya, untuk dua persoalan yang mempunyai bobot dan kriteria yang sama, ia akan memberikan pendapat yang berbeda.

Contoh perilaku ketidakjujuran seperti itu bisa dilihat dari kasus kehidupan duniawi sehari-hari. 
Seorang Indonesia, yang tinggal di Indonesia, sangat gembira bahwa warganegara Suriname asal Indonesia tidak melupakan budaya Indonesianya; tapi ia keberatan jika warganegara Indonesia asal Cina melestarikan adat budaya Cinanya.

Padahal kalau kita berharap orang Cina yang tinggal di Indonesia untuk melupakan budaya Cinanya, maka kita pun seharusnya menganjurkan orang asal Indonesia yang tinggal di negara lain untuk melupakan budaya Indonesianya. 
Dengan kata lain, kalau kita berharap orang Indonesia yang tinggal di negara lain untuk tetap memelihara budaya Indonesianya, maka kita pun seharusnya membiarkan warga negara Indonesia keturunan asing untuk tetap memelihara tradisinya.


Yang jelas, dalam Islam, manusia dinilai karena ketakwaannya --satu ungkapan yang lebih sering diucapkan ketimbang dihayati, apalagi dilaksanakan-- dan bukan karena ia asal Sunda, asal Cina, ataupun asal Aceh. 

Muka bumi ini kepunyaan Allah, siapa pun berhak mendiaminya selama ia juga mau merawatnya. Artinya, orang Indonesia berhak tinggal di Australia, seperti juga orang Australia berhak tinggal di Indonesia.


Hendaknya diingat, sikap rasis atau melakukan diskriminasi berdasar etnis atau ras, amat sangat dicela dalam Islam.
Dari mana pun asalnya dan apapun agamanya, tiap orang punya hak tinggal di suatu daerah atau negeri, selama ia mematuhi hukum dan aturan di tempat itu; serta menghormati adat istiadat orang-orang yang sudah terlebih dahulu ada di sana. 
Artinya, setiap pendatang seharusnya bisa menitipkan diri dan tahu diri. 
Jadi wajar saja, jika pendatang ditolak atau diusir oleh penduduk setempat, jika ia tidak tahu diri.


Realitanya, perilaku ketidakjujuran juga tampak pada sikap kita dalam masalah Bosnia, Palestina, Afghanistan dan Kurdistan.
Kita mendukung Bosnia untuk melepaskan diri dari Serbia. 
Kita pun mendukung Palestina untuk lepas dari penindasan Israel; padahal tidak semua orang Palestina adalah Muslim (misalnya tokoh Palestina bergaris keras, George Habbash, selain nonmuslim ia pun seorang marxis).

Kita pun turut berteriak tatkala Mujahidin Afghanistan menghadapi orang-orangnya Babrak Karmal atau Najibullah dukungan Soviet. 
Tapi ketika Soviet ditendang keluar Afghanistan, kita diam saja melihat Mujahidin saling berebut kekuasaan dan saling bunuh di antara sesama mereka.

Anehnya, kita pura-pura tidak tahu atau pura-pura tidak melihat orang-orang Kurdi yang memperjuangkan berdirinya negara Kurdistan. 
Seakan-akan kita lupa bahwa Sultan Saladin [1] --Shalahuddin Al Ayyubi (semoga rahmat Allah senantiasa tercurah kepada beliau), sultan yang benar-benar Islami, pahlawan dan pelindung Jerusalem, yang mengalahkan lawannya dengan cara yang amat sangat ksatria-- adalah seorang Kurdi.


Begitu pun dalam masalah kekerasan yang menimpa orang-orang sipil yang tak berdosa, kita sering tidak terluput dari ketidakjujuran alasan. 
Jika alasannya untuk memperjuangkan hak dan kemerdekaan, apa orang Kurdi tidak boleh merdeka lepas dari Irak, Iran atau Turki? 
Apa orang Kurdi dibenarkan melakukan teror dengan mengebom sasaran sipil?
Jika orang Kurdi meledakan bom di alun-alun Bagdad, Teheran, atau Ankara --dan anak serta istri kita mati jadi korban di sana-- apa orang yang melakukan tindakan itu disebut pahlawan hanya karena ia seorang Muslim? 


Seharusnya kita jujur, siapa pun pelakunya (kita atau orang lain), tindakan pengeboman terhadap sasaran sipil adalah perbuatan teroris yang amat pengecut. 
Terlebih Islam mencela pembunuhan terhadap anak-anak, wanita dan orang-orang yang sudah tua, dalam sebuah peperangan sekalipun.

Harap diingat, di akhirat orang tidak ditanya berasal dari negara mana; sebab di akhirat tidak ada negara Amerika, Rusia, Cina, Palestina, Israel, Basque, Moro, Kurdi, Tamil, Tibet, Kashmir, maupun Pasundan. 


Realitanya, saat ini, mendirikan negara baru tidak menjamin tegaknya keadilan buat rakyat miskin kebanyakan. 
Artinya, buat apa mendirikan negara baru yang hanya memuaskan orang-orang yang gila kekuasaan, orang-orang yang sok suci tapi sebenarnya lebih jahat dan tidak jujur.

Memang, merealisasikan mimpi itu tidak dilarang. Tapi, mesti diingat, tidak semua mimpi bisa dan harus jadi realita. Lagi pula, buat apa sebuah mimpi jadi realita jika hanya menyenangkan kita, tapi melahirkan penderitaan buat rakyat banyak. 


Realitanya, ketika terjadi peperangan, yang menderita dan menjadi korban justru rakyat jelata biasa yang tidak tahu apa-apa. 
Karenanya, ketika rakyat jadi korban, yang seharusnya disalahkan bukan hanya musuh, tapi juga para pemimpin kita yang arogan; yang tidak tahu diri, yang emosional, yang sok suci dan sok jago.


Anehnya, kita sering mengingatkan untuk bersolidaritas terhadap Muslim yang teraniaya di negara lain; tapi terhadap sesama Muslim di negeri sendiri kita saling ‘sikut’
Padahal sebelum mengurusi Muslim di negara lain seharusnya kita lebih dulu akur dengan sesama Muslim di negeri sendiri. 

Jelas, nuansa kepentingan kelompok lebih dominan ketimbang demi kemaslahatan yang mensejahterakan semua Muslim. 
Begitu pula yang namanya teror lebih terkait pada fanatisme golongan yang membabi-buta daripada menegakkan kebenaran tuntunan Islam.


(Alfa Qr)


[1] Saladin, Sultan Islam yang sangat dihormati keksatriaannya oleh orang Kristen. Sikap Saladin terhadap musuh yang ditawannya, merupakan cerminan sikap Islami yang sesungguhnya; bijak dan tidak sewenang-wenang.

Tidak ada komentar: