BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Sabtu, 25 Februari 2012

Menolak demokrasi ala Barat


Berbeda dengan hukum Islam yang mengatur hubungan atas-bawah (vertikal, antara manusia dengan Allah), sekaligus hubungan kiri-kanan (horizontal, antara manusia dengan lingkungannya di dunia), hukum negara yang dibuat manusia, biasanya hanya mengatur kehidupan antar manusia di dunia saja. 
Akibatnya, suka atau tidak suka, ada kalanya seorang Muslim menjumpai peraturan yang sebenarnya bagus dalam bernegara, tapi dinilai bertentangan dengan aturan syareat Islam.

Dalam banyak kenyataan, rasa gengsi buta --sesuatu yang wajar dimiliki manusia, tapi jarang ada orang yang mau mengakuinya-- sering menyebabkan kita menolak pemahaman orang lain yang benar. 

Rasa malu, kita dudukkan pada tempat yang salah. 
Dampaknya, kita tidak mau menerima sesuatu yang sebenarnya berfaedah.


Realitanya, hanya dikarenakan ada beberapa hal yang tak berkenan, banyak perkara kita tolak tanpa pertimbangan yang matang. 
Rasionalitas kita tercampuradukkan dengan argumentasi kefanatikan buta, sehingga sesuatunya menjadi tidak jelas.

Akibatnya, kita tak bisa lagi menempatkan boleh-tidak, benar-salah, dan baik-buruk secara obyektif
Seperti juga kerancuan kita dalam mencampuradukkan antara sistem dan tujuan, disebabkan ketidakmampuan kita dalam mendudukkan masing-masing jenisnya pada proporsinya. 

Kalau sudah begitu, apa bedanya kita dengan masyarakat jahiliyah, yang menolak sebelum mengkaji lebih dalam.


Kita memang melihat ada sisi hitam dari demokrasi ala Barat, tapi kita juga tidak boleh menutup mata akan sisi baiknya. 
Dalam beragama kita memang tak boleh mengambil aturan sebagian-sebagian, tapi sistem atau cara berdemokrasi tidak ditentukan secara mutlak oleh agama. 

Karenanya, kita boleh mengambil sepotong dan membuang yang sepotong lagi. 
Tak ada jeleknya kita memungut potongan yang merupakan sisi baiknya.

Namun biasanya kita malu berbuat begitu, karena kita menganggap demokrasi sebagai produk non-Islam. Padahal cara berdemokrasi sudah dilaksanakan Islam pada masa Nabi Saw dengan apa yang disebut syura, yaitu musyawarah cara Islam yang melahirkan kepemimpinan yang dipilih.


Yang jelas, tindakan otoriter seorang pemimpin merupakan perbuatan tercela; sebab prinsip bermusyawarah atau berdemokrasi hukumnya wajib dijalankan oleh para pemimpin Muslim.

“..dan (bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan dan melaksanakan solat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka..” (Quran, Asy Syura [42]:38)

Anehnya, saat ini ada Muslim yang lebih senang berada di bawah pemerintahan diktator, atau yang berperilaku seperti thogut, daripada berada di bawah pemerintahan yang mempraktekkan demokrasi, hanya karena anggapan bahwa demokrasi merupakan produk non-Islam.







LEBIH BANYAK BERTEORI KETIMBANG MENGAPLIKASIKAN

Boleh dikata, sejak berakhirnya Kekhalifahan Umar bin Abdul Azis Ra [1] sampai dengan penghujung abad ke duapuluh ini, kita terbiasa menyaksikan pemimpin-pemimpin yang beragama Islam --baik di partai maupun di pemerintahan, baik di negara yang mengklaim negara Islam maupun bukan-- saling jegal dengan tanpa malu mengatasnamakan Islam.

Dengan isu-isu kebobrokan moral generasi muda Barat, para pemimpin Muslim ini menumbuhkan sikap anti demokrasi ala Barat; tapi menutup-nutupi sistem kepemimpinannya yang demokratis. 

Jelas, semua ini dilakukan agar kursi mereka di pemerintahan, di parlemen atau di partai tidak diganggu gugat. 
Sementara rakyatnya, yang mayoritas Muslim, menjadi setara dengan bebek-bebek yang siap digiring ke mana saja.

Tanpa sadar, para politikus Muslim sudah terdidik untuk mengucapkan “Pandai-pandailah memilah dan memilih”, demi kepentingan si pembicara dan bukan untuk kepentingan si pendengar (rakyat).


Tak sedikit Muslim, termasuk diri kita barangkali, lebih sering berpikiran negatip ketimbang positip. 
Lebih pintar berbicara manis dan pandai memberi petuah, tapi perilaku kita jauh dari teladan. 

Realitanya, orang hanya menghormati di depan kita, tapi menghujat di belakang kita. 
Orang tersenyum menyenangkan kita, dan menertawakan di sebaliknya.

Pola pikir kita menjadi mandul, karena disibukkan dengan perkara remeh-temeh, termasuk kebiasaan membikin istilah yang berbeda-beda padahal hakekatnya itu-itu juga.

Kenyataannya, kita lebih pintar berslogan daripada membuktikannya, lebih pandai berteori ketimbang mengaplikasikannya, mengutamakan retorika padahal yang lebih penting implementasinya. 

Kita piawai membahas syura dan demokrasi sampai kepada hal-hal yang tetek-bengek; tapi hakekat kedua-duanya, yaitu kebebasan berpendapat dan saling menghormati, jauh panggang dari api dalam prakteknya.

Padahal hakekat dari sebuah usaha adalah meraih hasil akhir dari usaha itu, bukan sekadar sistem dari pekerjaannya itu sendiri. 
Yang penting, caranya harus halal. 
Bukan menghalalkan segala cara.





Catatan:
  • Hanya yang mampu beradaptasi dengan keadaan --apa pun bentuknya; manusia, organisasi, atau sistem-- yang bisa bertahan hidup. Semestinya diingat, di dunia ini, segala sesuatu bisa saja berubah. Yang tidak bisa berubah adalah adanya perubahan itu sendiri.
  • Kebencian kepada demokrasi biasanya timbul dikarenakan kebanyakan rakyat di negara serupa itu sudah terbiasa terkungkung oleh sikap pengkultusan kepada figur pemimpin.


(Alfa Qr)


[1] Khalifah yang teramat soleh selain khalifah yang empat: Abu Bakar bin Abi Quhafah, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhum.

Tidak ada komentar: