Berbeda dengan
hukum Islam yang mengatur hubungan atas-bawah (vertikal, antara manusia dengan
Allah), sekaligus hubungan kiri-kanan (horizontal, antara manusia dengan
lingkungannya di dunia), hukum negara yang dibuat manusia, biasanya hanya
mengatur kehidupan antar manusia di dunia saja.
Akibatnya, suka atau tidak suka, ada kalanya seorang Muslim menjumpai peraturan yang sebenarnya bagus dalam bernegara, tapi dinilai bertentangan dengan aturan syareat Islam.
Akibatnya, suka atau tidak suka, ada kalanya seorang Muslim menjumpai peraturan yang sebenarnya bagus dalam bernegara, tapi dinilai bertentangan dengan aturan syareat Islam.
Dalam banyak kenyataan, rasa gengsi buta
--sesuatu yang wajar dimiliki manusia, tapi jarang ada orang yang mau
mengakuinya-- sering menyebabkan kita menolak pemahaman orang lain yang benar.
Rasa malu, kita dudukkan pada tempat yang salah.
Dampaknya, kita tidak mau menerima sesuatu yang sebenarnya berfaedah.
Rasa malu, kita dudukkan pada tempat yang salah.
Dampaknya, kita tidak mau menerima sesuatu yang sebenarnya berfaedah.
Realitanya, hanya
dikarenakan ada beberapa hal yang tak berkenan, banyak perkara kita tolak tanpa
pertimbangan yang matang.
Rasionalitas kita tercampuradukkan dengan argumentasi kefanatikan buta, sehingga sesuatunya menjadi tidak jelas.
Rasionalitas kita tercampuradukkan dengan argumentasi kefanatikan buta, sehingga sesuatunya menjadi tidak jelas.
Akibatnya, kita tak bisa lagi menempatkan boleh-tidak, benar-salah, dan baik-buruk secara obyektif.
Seperti juga kerancuan kita dalam mencampuradukkan antara sistem dan tujuan, disebabkan ketidakmampuan kita dalam mendudukkan masing-masing jenisnya pada proporsinya.
Kalau sudah begitu, apa bedanya kita dengan masyarakat jahiliyah, yang menolak sebelum mengkaji lebih dalam.
Kita memang melihat
ada sisi hitam dari demokrasi ala Barat, tapi kita juga tidak boleh menutup
mata akan sisi baiknya.
Dalam beragama kita memang tak boleh mengambil aturan
sebagian-sebagian, tapi sistem atau cara berdemokrasi tidak ditentukan secara
mutlak oleh agama.
Karenanya, kita boleh mengambil sepotong dan membuang yang sepotong lagi.
Tak ada jeleknya kita memungut potongan yang merupakan sisi baiknya.
Karenanya, kita boleh mengambil sepotong dan membuang yang sepotong lagi.
Tak ada jeleknya kita memungut potongan yang merupakan sisi baiknya.
Namun biasanya kita
malu berbuat begitu, karena kita menganggap demokrasi sebagai produk non-Islam.
Padahal cara berdemokrasi sudah dilaksanakan Islam pada masa Nabi Saw dengan apa yang disebut syura, yaitu
musyawarah cara Islam yang melahirkan kepemimpinan yang dipilih.
Yang jelas, tindakan
otoriter seorang pemimpin merupakan perbuatan tercela; sebab prinsip
bermusyawarah atau berdemokrasi hukumnya wajib dijalankan oleh para pemimpin
Muslim.
“..dan (bagi) orang-orang yang mematuhi
seruan Tuhan dan melaksanakan solat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka..” (Quran, Asy Syura [42]:38)
Anehnya, saat ini ada Muslim yang lebih senang berada di bawah pemerintahan
diktator, atau yang berperilaku seperti thogut, daripada berada di bawah
pemerintahan yang mempraktekkan demokrasi, hanya karena anggapan bahwa
demokrasi merupakan produk non-Islam.
LEBIH BANYAK BERTEORI KETIMBANG MENGAPLIKASIKAN
Boleh dikata, sejak berakhirnya Kekhalifahan Umar bin Abdul Azis Ra [1] sampai dengan penghujung abad ke duapuluh
ini, kita terbiasa menyaksikan pemimpin-pemimpin yang beragama Islam --baik di
partai maupun di pemerintahan, baik di negara yang mengklaim negara Islam
maupun bukan-- saling jegal dengan tanpa malu mengatasnamakan Islam.
Dengan isu-isu
kebobrokan moral generasi muda Barat, para pemimpin Muslim ini menumbuhkan
sikap anti demokrasi ala Barat; tapi menutup-nutupi sistem kepemimpinannya yang
demokratis.
Jelas, semua ini dilakukan agar kursi mereka di pemerintahan, di parlemen atau di partai tidak diganggu gugat.
Sementara rakyatnya, yang mayoritas Muslim, menjadi setara dengan bebek-bebek yang siap digiring ke mana saja.
Jelas, semua ini dilakukan agar kursi mereka di pemerintahan, di parlemen atau di partai tidak diganggu gugat.
Sementara rakyatnya, yang mayoritas Muslim, menjadi setara dengan bebek-bebek yang siap digiring ke mana saja.
Tanpa sadar, para
politikus Muslim sudah terdidik untuk mengucapkan “Pandai-pandailah memilah dan memilih”, demi kepentingan si
pembicara dan bukan untuk kepentingan si pendengar (rakyat).
Tak sedikit Muslim,
termasuk diri kita barangkali, lebih sering berpikiran negatip ketimbang
positip.
Lebih pintar berbicara manis dan pandai memberi petuah, tapi perilaku kita jauh dari teladan.
Realitanya, orang hanya menghormati di depan kita, tapi menghujat di belakang kita.
Orang tersenyum menyenangkan kita, dan menertawakan di sebaliknya.
Lebih pintar berbicara manis dan pandai memberi petuah, tapi perilaku kita jauh dari teladan.
Realitanya, orang hanya menghormati di depan kita, tapi menghujat di belakang kita.
Orang tersenyum menyenangkan kita, dan menertawakan di sebaliknya.
Pola pikir kita
menjadi mandul, karena disibukkan dengan perkara remeh-temeh, termasuk
kebiasaan membikin istilah yang berbeda-beda padahal hakekatnya itu-itu juga.
Kenyataannya, kita lebih pintar berslogan daripada membuktikannya, lebih pandai berteori ketimbang mengaplikasikannya, mengutamakan retorika padahal yang lebih penting implementasinya.
Kita piawai membahas syura dan demokrasi sampai kepada hal-hal yang tetek-bengek; tapi hakekat kedua-duanya, yaitu kebebasan berpendapat dan saling menghormati, jauh panggang dari api dalam prakteknya.
Padahal hakekat dari
sebuah usaha adalah meraih hasil akhir dari usaha itu, bukan sekadar sistem
dari pekerjaannya itu sendiri.
Yang penting, caranya harus halal.
Bukan menghalalkan segala cara.
Bukan menghalalkan segala cara.
Catatan:
- Hanya yang mampu beradaptasi dengan keadaan --apa pun bentuknya; manusia, organisasi, atau sistem-- yang bisa bertahan hidup. Semestinya diingat, di dunia ini, segala sesuatu bisa saja berubah. Yang tidak bisa berubah adalah adanya perubahan itu sendiri.
- Kebencian kepada demokrasi biasanya timbul dikarenakan kebanyakan rakyat di negara serupa itu sudah terbiasa terkungkung oleh sikap pengkultusan kepada figur pemimpin.
(Alfa Qr)
[1] Khalifah yang teramat soleh selain khalifah
yang empat: Abu Bakar bin Abi Quhafah, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan,
dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar