Betapa pun dalamnya seseorang berenang
dalam lautan agama, di negara manapun dan di agama manapun, ada setetes kodrat
manusiawinya yang sulit dihilangkan; yaitu keinginan untuk dijadikan pemimpin. [1]
Untuk memenuhi
kecondongan serupa itu, maka sebuah jamiah yang besar sebaiknya merupakan
gabungan (afiliasi) dari jamiah-jamiah kecil yang otonom.
Yaitu jamiah kecil
yang memiliki kebebasan mengatur sendiri manajemennya.
Yang bebas memilih
ketuanya secara demokratis, tanpa perlu restu atau intervensi dari atas.
Lagi pula, dalam
prakteknya, jamiah kecil lebih mudah berkomunikasi dengan lingkungannya; lebih
mengetahui apa yang diperlukan dan tidak dibutuhkan jamaahnya.
Jamiah kecil lebih efektif dan efisien dalam mengelola kegiatannya, seperti sekolah atau rumah sakit; sebab tidak terkait dan terikat dengan birokrasi dari atas yang berbelit-belit.
Begitu pun zakat atau infaq bisa ditampung lewat jamiah kecil ini, walau pemanfaatannya bisa dilakukan bersama dalam afiliasi jamiah-jamiah.
Alangkah indahnya,
jika afiliasi jamiah kecil ini bersatu lagi dalam aliansi Muslim yang lebih
besar.
Dan aliansi Muslim ini kemudian bergabung lagi dalam satu-satunya Majelis Permusyawaratan Muslim di negara tersebut; yang menjembatani kebutuhan umat dengan kepentingan negara.
Hanya orang-orang
ikhlas yang berpribadi mulia, yang semata-mata mengharap ridha Allah, yang bisa
membangun Majelis Permusyawaratan Muslim serupa itu di sebuah negara.
Andai
betul bisa begitu, karena melihat Islam yang demokratis, toleran, adil dan
jujur, Islam bisa diterima di negara (sekular) mana pun tanpa perlu
keradikalan.
Sayangnya, pada banyak kenyataan, dalam menyamakan visi dan misi,
menyatukan tujuh ‘tokoh agama’ lebih
sulit ketimbang menyatukan tujuh puluh penjahat. [3]
(Alfa Qr)
[1] Pemimpin
formal adalah orang yang punya jabatan struktural, yang memiliki kekuasaan dan
tanggungjawab penuh yang formal.
Pemimpin tidak formal adalah orang yang tidak memiliki kekuasaan dan tidak dibebani tanggung jawab secara formal, namun dihormati dan diakui kelebihannya; contohnya orang yang dituakan, yang aktif atau yang memiliki inovasi, namun tak memegang jabatan resmi.
Sesungguhnya, dalam kelompoknya, setiap Muslim bisa memberikan kontribusi bermanfaat tanpa harus punya jabatan tertentu.
Pemimpin tidak formal adalah orang yang tidak memiliki kekuasaan dan tidak dibebani tanggung jawab secara formal, namun dihormati dan diakui kelebihannya; contohnya orang yang dituakan, yang aktif atau yang memiliki inovasi, namun tak memegang jabatan resmi.
Sesungguhnya, dalam kelompoknya, setiap Muslim bisa memberikan kontribusi bermanfaat tanpa harus punya jabatan tertentu.
[2] Bagi seorang Muslim, jabatan dan
kekuasaan adalah sarana dan bukan tujuan.
Jabatan dan kekuasaan adalah sarana untuk berbuat kebajikan; amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jadi satu hal yang wajar jika Muslim yang tawadhu justru berusaha menghindar dari jabatan tersebut.
Karenanya, dalam bernegara, Muslim yang berakhlak mulia justru akan mensuport Muslim lainnya untuk menjadi pemimpin; dan bukannya saling sikut atau saling menjatuhkan.
Jabatan dan kekuasaan adalah sarana untuk berbuat kebajikan; amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jadi satu hal yang wajar jika Muslim yang tawadhu justru berusaha menghindar dari jabatan tersebut.
Karenanya, dalam bernegara, Muslim yang berakhlak mulia justru akan mensuport Muslim lainnya untuk menjadi pemimpin; dan bukannya saling sikut atau saling menjatuhkan.
[3] Dalam
Islam, pemimpin itu bukan mencalonkan diri tapi dicalonkan alias dipaksa oleh
umat.
Karenanya, seorang tokoh Muslim sejati justru akan bergembira jika tokoh lain yang terpilih jadi pemimpin.
Karenanya, seorang tokoh Muslim sejati justru akan bergembira jika tokoh lain yang terpilih jadi pemimpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar