BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Sabtu, 25 Februari 2012

Menyatukan jamiah-jamiah


Betapa pun dalamnya seseorang berenang dalam lautan agama, di negara manapun dan di agama manapun, ada setetes kodrat manusiawinya yang sulit dihilangkan; yaitu keinginan untuk dijadikan pemimpin[1]
 
Untuk memenuhi kecondongan serupa itu, maka sebuah jamiah yang besar sebaiknya merupakan gabungan (afiliasi) dari jamiah-jamiah kecil yang otonom. 
Yaitu jamiah kecil yang memiliki kebebasan mengatur sendiri manajemennya. 
Yang bebas memilih ketuanya secara demokratis, tanpa perlu restu atau intervensi dari atas. 

Sehingga kesempatan untuk jadi pemimpin, walau cuma dalam lingkup yang kecil, bisa tersalurkan[2]


Lagi pula, dalam prakteknya, jamiah kecil lebih mudah berkomunikasi dengan lingkungannya; lebih mengetahui apa yang diperlukan dan tidak dibutuhkan jamaahnya. 

Jamiah kecil lebih efektif dan efisien dalam mengelola kegiatannya, seperti sekolah atau rumah sakit; sebab tidak terkait dan terikat dengan birokrasi dari atas yang berbelit-belit

Begitu pun zakat atau infaq bisa ditampung lewat jamiah kecil ini, walau pemanfaatannya bisa dilakukan bersama dalam afiliasi jamiah-jamiah.


Alangkah indahnya, jika afiliasi jamiah kecil ini bersatu lagi dalam aliansi Muslim yang lebih besar. 

Dan aliansi Muslim ini kemudian bergabung lagi dalam satu-satunya Majelis Permusyawaratan Muslim di negara tersebut; yang menjembatani kebutuhan umat dengan kepentingan negara.

Hanya orang-orang ikhlas yang berpribadi mulia, yang semata-mata mengharap ridha Allah, yang bisa membangun Majelis Permusyawaratan Muslim serupa itu di sebuah negara. 

Andai betul bisa begitu, karena melihat Islam yang demokratis, toleran, adil dan jujur, Islam bisa diterima di negara (sekular) mana pun tanpa perlu keradikalan


Sayangnya, pada banyak kenyataan, dalam menyamakan visi dan misi, menyatukan tujuh ‘tokoh agama’ lebih sulit ketimbang menyatukan tujuh puluh penjahat. [3]


(Alfa Qr)


[1]  Pemimpin formal adalah orang yang punya jabatan struktural, yang memiliki kekuasaan dan tanggungjawab penuh yang formal. 
Pemimpin tidak formal adalah orang yang tidak memiliki kekuasaan dan tidak dibebani tanggung jawab secara formal, namun dihormati dan diakui kelebihannya; contohnya orang yang dituakan, yang aktif atau yang memiliki inovasi, namun tak memegang jabatan resmi.  
Sesungguhnya, dalam kelompoknya, setiap Muslim bisa memberikan kontribusi bermanfaat tanpa harus punya jabatan tertentu.

[2]  Bagi seorang Muslim, jabatan dan kekuasaan adalah sarana dan bukan tujuan
Jabatan dan kekuasaan adalah sarana untuk berbuat kebajikan; amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jadi satu hal yang wajar jika Muslim yang tawadhu justru berusaha menghindar dari jabatan tersebut. 
Karenanya, dalam bernegara, Muslim yang berakhlak mulia justru akan mensuport Muslim lainnya untuk menjadi pemimpin; dan bukannya saling sikut atau saling menjatuhkan.

[3]  Dalam Islam, pemimpin itu bukan mencalonkan diri tapi dicalonkan alias dipaksa oleh umat. 
Karenanya, seorang tokoh Muslim sejati justru akan bergembira jika tokoh lain yang terpilih jadi pemimpin.

Tidak ada komentar: