BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Sabtu, 25 Februari 2012

Sistem pemerintahan


Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terdiri dari dua kategori.
Pertama, sunnah yang berkaitan dengan penyampaian risalah. Artinya, contoh Nabi tersebut sangat utama untuk diikuti.  
Kedua, sunnah yang tidak berkaitan dengan penyampaian risalah. Artinya, contoh Nabi tersebut bila tidak diikuti tidak apa-apa.

Kalau kita kaji dengan hati yang ikhlas, maka akhlak Islami yang tinggi yang harus dimiliki seorang pemimpin merupakan sunnah yang berkaitan dengan penyampaian risalah. 

Sedangkan sistem atau tatatertib bermusyawarah dalam pemerintahan, bisa dikategorikan sebagai sunnah yang tidak berkaitan dengan penyampaian risalah. 

Karenanya, berlainan dengan syareat agama yang tidak boleh ada perubahan karena sudah sempurna, tatacara musyawarah maupun administrasi pemerintahan dimungkinkan untuk mengikuti sikon yang berkembang di lingkungannya.


Realitanya, belajar dari pengalaman, segala sesuatu itu akan berkembang lebih baik dari yang sebelumnya. 
Begitu pula sistem atau cara bermusyawarah, tiap kekurangannya digantikan dengan yang lebih baik.

Lagi pula, dalam prakteknya, sistem musyawarah di lingkungan kecil (desa), kebutuhan dan manfaatnya belum tentu sama dengan sistem pemerintahan di lingkungan yang lebih luas (provinsi atau negara).

Dalam lingkungan kecil, parlemen sama sekali tidak diperlukan; musyawarah bisa dilakukan kapan saja di antara tokoh-tokoh masyarakat yang tidak dipilih langsung oleh masyarakat, tapi diakui legitimasinya. 

Lain halnya dalam lingkungan yang luas, keberadaan sebuah parlemen yang dipilih rakyat sangat diperlukan. 
Sebab, dalam sebuah negara, kebutuhan Hak Asasi Manusia di tiap daerah amat beragam; termasuk yang mewakili golongan profesi, yang kepentingannya jelas berlainan.


Tentu saja hak bermusyawarah seutamanya diberikan kepada orang yang menghargai demokrasi; orang yang tidak menghargai demokrasi tidak layak diajak bermusyawarah. 
Seperti juga tidak perlu berbicara masalah prikemanusiaan dengan orang yang sama sekali tak punya prikemanusiaan. 
Sama tidak pantasnya dengan menuntut orang lain untuk bertoleransi kepada kita, bila kita sendiri tidak mau bertoleransi kepada orang lain.

Yang jelas, jika musyawarah tidak diberlakukan dalam negara atau organisasi, maka tiap orang bisa seenaknya mengklaim sebagai pemimpin.


Sesungguhnyalah, sistem khilafah (pemerintahan Islam) seperti apa pun --republik atau monarkhi, presidentil atau parlementer-- tak perlu dijadikan patokan keharusan. 
Yang penting pelaksananya memiliki akhlak Islami; memiliki kejujuran dan rasa tanggungjawab.

Realitanya, mempelajari sejarah adalah hal yang mudah, belajar dari sejarah itu yang sulit. 
Betapa banyak pemimpin yang tadinya baik kemudian lupa sejarah, akhirnya tergusur dengan cara yang hina. 
Kursi kekuasaannya telah menyulap akhlak mulianya menjadi lupa daratan.

(anehnya, kejadian serupa ini berulang dan berulang)







SISTEM MUSYAWARAH SESUAI SITUASI

Sesuai situasinya, yang berupa lingkungan jamaah yang masih kecil, sistem musyawarah pemerintahan --biasa disebut syura-- di masa Nabi Saw juga masih sangat sederhana. 

Musyawarah dilakukan di antara Nabi dan para sahabat yang dianggap sebagai tokoh. 
Kriteria tokoh tidak didasarkan kepada hasil pemilihan umum, tapi pada komitmennya kepada Islam.


Sistem musyawarah pemerintahan di masa Nabi berjalan mulus; karena Nabi adalah pemimpin yang memiliki akhlak yang sempurna, yang mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan kelompok. Yang mustahil lepas dari kebenaran, kejujuran dan keadilan. 

Begitu pun sistem musyawarah setelah Nabi wafat, yang dilaksanakan khalifah yang empat, masih berjalan mulus. 
Sebab, walau tidak sesempurna Nabi, para pemimpinnya masih memiliki akhlak yang tinggi. 

Siapa pun yang hatinya ikhlas, akan melihat bahwa kunci sukses sistem musyawarah pemerintahan Islam adalah akhlak yang tinggi, betapa pun sederhananya sistem tersebut.


Tentu saja, disebabkan atmosfir lingkungan yang berbeda dan berubah setiap saat, maka sistem musyawarah pemerintahan moderen tidak akan sama persis dengan syura di masa Nabi. 

Kesamaannya hanyalah, bahwa sebuah keputusan merupakan hasil musyawarah.








YANG PENTING BUKAN SEKADAR SISTEMNYA

Apapun sistem pemerintahannnya, hanya negara yang mampu menegakkan kejujuran dan keadilan yang bisa menciptakan kemakmuran untuk rakyatnya; yang bisa memberi kesejahteraan dan memberi rasa aman.

Faktanya, ketidakjujuran dan ketidakadilan yang merajalela di semua lapisan masyarakat adalah penyebab utama hancurnya sebuah negara.

Karenanya, jika ingin menyelamatkan negara dari kehancuran, harus ada orang yang mampu menghancurkan ketidakjujuran dan ketidakadilan yang merajalela tersebut.  
Harus ada pemimpin yang berani menindak semua orang, terutama aparat negara, yang tidak jujur dan tidak adil. 
Harus ada pemimpin yang mampu memotivasi semua rakyatnya untuk membiasakan diri berdiri di atas kebenaran, untuk berlaku jujur dan adil.


Realitanya, kita hanya bisa melihat keburukan yang dilakukan orang lain tapi kita sendiri tidak berlaku jujur dan adil. 

Kita sering tidak merasa melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. 
Kita sering merasa tidak pernah mengambil hak orang lain. 

Padahal Allah mustahil tidur. 

Karenanya, kalau negeri tempat kita tinggal suatu saat hancur lebur, hakekatnya karena andil buruk kita juga.



Catatan:
  • Hak azasi manusia harus ditempatkan sesuai proporsinya. Artinya, tuntutan HAM itu tidak boleh mengganggu dan merugikan orang lain di sekitarnya.  Contohnya, wanita berbikini wajar berada di tempat renang atau di tepi pantai; tapi belum tentu wajar jika berada di sekolah. Apa dianggap melanggar HAM jika seorang rabi (pendeta) melarang wanita berbikini di sinagog?

(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: