BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Minggu, 26 Februari 2012

FAKTOR PENYEBAB


Hukum kausalitas --atau hukum sebab-akibat yang terjadi-- dalam bahasa sehari-hari disebut hukum alam. 
Dalam Islam disebut sunatullah, yaitu standar sifat yang berkaitan dengan sebab-akibat yang telah dibakukan dengan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tiap sunatullah bersifat tetap atau permanen. 
Artinya sifat-sifat tersebut berlaku umum untuk perkara-perkara yang sama; seperti sifat dingin untuk es atau sifat panas pada api. 
Begitu pun rasa sakit, ngantuk, haus, semua terkait dengan hukum sebab-akibat yang sudah dibakukan Allah.

Sesuatu yang menyimpang dari kelaziman hukum alam ini sering dianggap keanehan. 
Dalam hal yang lebih ekstrim disebut sebagai mukjizat.


Yang pasti, setiap kejadian --yang positip maupun yang negatip, yang wajar maupun yang menyimpang-- mustahil terlepas dari kehendak Allah yang memiliki sifat Mahakuasa dan Mahabijaksana.


Termasuk peristiwa yang dianggap sebagai kebetulan (tidak disengaja), hakekatnya merupakan kehendak Allah juga. 

Dan mustahil bagi kita untuk menghindarinya jika Allah berkehendak membiarkannya terjadi. 







SEBAB-SEBAB YANG SALING BERKAITAN

Karena sifat dari hukum sebab-akibat itu berantai, maka satu sunatullah berkaitan dengan sunatullah lainnya atau sunatullah sebelumnya. 
Masing-masing saling melengkapi. 

Artinya, satu sebab bisa berasal dari sebab-sebab sebelumnya; dan sebab-sebab itu pun berkaitan dengan sebab-sebab yang lebih dahulu lagi.


Penemuan tabung katoda pada radio kuno yang berlanjut kepada penemuan-penemuan transistor, IC, mikrochip atau prosesor seperti yang kita kenal sekarang, hakekatnya adalah kesinambungan dari satu sunatullah ke sunatullah lainnya. 

Begitu pun tingkat kecerdasan dan kesehatan generasi manusia pada setiap masa, tidak terlepas dari mata rantai sunatullah.

Yang jelas, satu penyebab atau faktor, dimungkinkan untuk menimbulkan lebih dari satu akibat. 

Sebaliknya, beberapa faktor mungkin hanya akan menimbulkan satu akibat saja.







FAKTOR X, PENYEBAB YANG TIDAK DIKETAHUI

Dalam kehidupan kasat mata atau yang dapat diraba indera kita, kebanyakan yang namanya faktor penyebab bisa diketahui atau dikira-kira. 
Yang sebabnya tak diketahui atau belum diketahui, biasa disebut faktor X.

Contohnya, seorang yang berkhianat kepada negara dan kemudian dihukum tembak mati. 
Faktor penyebab kematiannya adalah ditembak. 
Faktor penyebab ia ditembak adalah karena berkhianat. 
Jadi, perbuatan berkhianat itulah yang merupakan faktor penyebab kematiannya.

Sedangkan apa yang menyebabkan ia berkhianat, selama belum diketahui, disebut faktor X. 

Yang jelas, faktor X termasuk akar penyebab dari suatu perkara. 

Ia merupakan rahasia dari sebuah rahasia.








FAKTOR X DALAM PERKARA YANG MENIMPA MANUSIA

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya....” (Qur’an, Al Baqarah [2]:286).

Walau belum diketahui yang sebenarnya, faktor X dalam kehidupan sehari-hari bisa dikira-kira. 
Lain halnya dalam masalah nasib atau takdir yang menimpa seseorang, faktor X sama sekali tak bisa kita ketahui.

Sebuah takdir yang menimpa seseorang, faktor X nya bisa berkaitan dengan perbuatan baik atau buruk yang pernah orang itu lakukan, atau bisa juga faktor X nya sekadar sebuah ujian dari Allah semata-mata. 


Jadi, faktor X di sini adalah ‘penyebab yang tidak kita ketahui’. 
Faktor X itu bisa berupa amalan di masa lalu, bisa juga hanya sekadar Allah menguji kita.

Pada suatu saat, agar tidak ada orang lain yang tersandung, si Fulan menyingkirkan sebuah batu kecil di tengah jalan. 
Lain waktu, bukan mustahil, Allah menghindarkan si Fulan dari suatu kecelakaan. 

Dengan kata lain, satu perbuatan yang kita lakukan hari ini, mungkin saja jadi faktor X untuk suatu kejadian yang akan menimpa kita duapuluh dua tahun yang akan datang. 
Atau, jika tidak dijadikan faktor X di dunia, ia akan jadi amalan (baik atau buruk) yang akan diperhitungkan di akhirat.


Yang jelas, setiap kebajikan yang dikerjakan seseorang akan menjadi faktor X yang akan menyebabkan Allah berbuat baik kepada orang itu; hanya saja bagaimana caranya tidak bisa kita duga atau kita tentukan. 

Contohnya, ada orang yang memaki-maki lampu merah lalu lintas yang menyala kelamaan yang membuatnya terlambat datang ke bandara, dan ketinggalan pesawat terbang. 
Tapi ia kemudian bersyukur, manakala tahu pesawat tersebut jatuh kecelakaan.

Lampu merah stopan itukah yang menghindarkannya dari kecelakaan? 
Jelas, lampu stopan itu hanya sekadar ‘alat’. 
Hakekatnya Allah yang (berkehendak) menghindarkannya dari kecelakaan tersebut.


Begitu pula, setiap amalan buruk yang dikerjakan seseorang bisa menjadi faktor X yang akan menyebabkan Allah berkehendak membiarkan orang itu tertimpa perkara yang buruk pula. 

Jelas, Allah itu tidak sewenang-wenang dalam berkehendak. 
Semua keburukan yang menerpa kita, kalau mau dibilang keburukan, bukan mustahil terkait dengan sebab perbuatan buruk kita juga di masa lalu.

“..Dia (Allah) adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.” (Qur’an, Al Kahfi [18]:44)

Jelas, tingkat keburukan yang akan kita dapatkan tergantung pula dari besar kecilnya akibat perbuatan kita di masa lampau itu (yang merugikan pihak lain). 

Begitu juga tingkat kebaikan yang akan kita dapatkan; pastilah sesuai dengan kebajikan yang pernah kita kerjakan.

Ingat, kita tak akan memanen jika kita tidak menanam. 
Ingat, hidup kita tidak akan limaratus tahun lagi.







FAKTOR X TERSERAH PADA KEHENDAK ALLAH

Amat wajar jika ada orang yang merasakan --dan menilai-- jalan ke arah keburukan itu lebih mudah terbuka. 
Penderitaan dan musibah lebih sering mengintai dan datang; sementara kesenangan dan kebahagiaan, walaupun telah berusaha dicarinya, rasanya sulit diraih. 
Jalan memperoleh keberuntungan, mencari nafkah yang halal, sepertinya dipersulit; sementara jalan yang haram malah sepertinya menganga lebar.

Semua penilaian serupa itu wajar hadir tatkala orang tersebut, selain tidak mensyukuri apa yang dimilikinya, tidak menyadari bahwa perilaku buruknya bisa berdampak pada perjalanan hidupnya di kemudian hari.


Yang jelas, selain bisa jadi karena semata-mata Allah Swt menguji kita, satu musibah yang kita hadapi hari ini bisa jadi karena beberapa faktor X nya adalah keburukan yang kita lakukan di masa lalu. 

Tapi apa pun yang terjadi, Allah berkehendak serupa itu tidaklah sewenang-wenang.

Kita hanya perlu mawas diri untuk introspeksi. 

Kita tak tahu kapan faktor X diberlakukan. 
Seperti juga kita tidak tahu mengapa seseorang diwafatkan tiba-tiba, padahal dua menit yang lalu ia masih main badminton. 

Kita baru tahu faktor X dalam tiap perkara takdir itu, nanti di akhirat.

Sesungguhnyalah, bagi manusia, tak ada daya dan kekuatan kecuali hanya dengan kehendak Allah.  

La haula wa la quwwata illa billah.







SEMUA KEBAJIKAN DAN KEBURUKAN AKAN DIBALAS

Sabda Nabi Saw: “Perbuatan-perbuatan baik akan melapangkan jalan bagi kebahagiaan, dan perbuatan-perbuatan buruk akan melapangkan jalan bagi ketidakberuntungan.”


Hakim bin Hizam ra, sebelum menjadi Muslim, adalah seorang kafir yang sering berbuat baik, suka memberi sedekah, pernah membebaskan budak, dan suka memelihara silaturahim dengan sanak kerabat. 

Kebaikan-kebaikan yang diperbuatnya --sebelum jadi Muslim-- menjadi sebab Allah mengaruniainya dengan hidayahNya, memberinya ‘petunjuk’ dan menjadikannya sebagai seorang Muslim. 
Seperti sabda Nabi Saw kepadanya: “Engkau menjadi seorang Muslim dengan (sebab) semua perbuatan-perbuatan baikmu (sendiri).”


Hadits di atas menunjukkan, kebaikan seorang manusia --Muslim maupun kafir-- dalam bermasyarakat di dunia, pasti akan dibalas.

Sebaliknya dengan seorang muslim yang sering berbuat keburukan, bisa saja hidayah yang ada pada dirinya dicabut oleh Allah. 
Hakekatnya, keburukan-keburukan orang itu sendirilah (yang menjadi faktor X) yang mencabut hidayah Allah, yang membuatnya jadi kafir; na ‘udzubillah.
 

 “Apakah perbuatan (baik) yang paling dicintai Allah?”
Nabi Saw bersabda, “Perbuatan (baik)
yang dilakukan secara  tetap meskipun sedikit.”
(Shahih Al-Bukhari)





(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: