BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Jumat, 24 Februari 2012

Benar-salah, baik-buruk


Tidak salah ketika ngobrol yang berkaitan dengan perkara agama (Islam), kita membicarakan tentang penilaian ‘baik atau buruk’. 
Sebab dengan itu kita jadi tahu mana yang baik, yang lebih baik, yang kurang baik, ataupun yang buruk. 
Namun perbincangan masalah agama tetap harus ditutup bukan dengan penilaian baik-buruk, tapi harus dengan penilaian benar-salah menurut syareat agama. 
Artinya, ‘boleh atau tidak boleh’ mau pun ‘berdosa atau tidak berdosa’ harus berdasar dalil Qur’an dan hadis.


Suatu obrolan biasanya menimbulkan ketidakpuasan pada salah satu pihak, jika obrolan itu diakhiri hanya dengan penilaian ‘baik atau buruk’. 
Sebab penilaian baik-buruk bersifat relatif

Akibatnya suatu obrolan jadi sulit berakhir, karena masing-masing pihak merasa yang lebih baik atau paling baik menurut versinya masing-masing.


Lain halnya jika diakhiri dengan penilaian benar-salah. 
Sebab penilaian benar-salah mesti disandarkan kepada dalil yang pasti, yaitu Qur’an dan Sunnah

Artinya, apakah perbuatan yang akan kita lakukan itu ‘boleh atau tidak boleh’ untuk dikerjakan; ‘berdosa atau tidak berdosa’ jika dilaksanakan; hukumnya wajib atau tidak, haram atau tidak. 

Bukan sekadar masalah baik atau buruk, bukan sekadar hukumnya sunat atau makruh.



Dalam hal mengakhiri obrolan ini pun, sebaiknya kita memberi penekanan lebih khusus kepada ‘berdosa atau tidak berdosa’,  ketimbang ‘berpahala atau tidak berpahala’. 
Sebab dalam masalah mendapat pahala seseorang memiliki pilihan: Mengerjakan atau tidak mengerjakan perbuatan itu. 
Sedangkan dalam hal dosa, kita tidak mempunyai alternatif selain dari harus menghindarinya.


Contoh, apakah sesudah selesai solat wajib yang lima waktu boleh langsung berdiri; tanpa perlu berzikir lagi atau membaca doa lainnya? 
Jika kita membahasnya dari sudut baik-buruk (berpahala atau tidak), maka pembicaraan akan berlanjut dengan argumen yang berkepanjangan. 

Tapi jika kita melihatnya dari dalil ‘boleh atau tidak boleh’ atau ‘berdosa atau tidak berdosa’, maka langsung berdiri setelah selesai salat adalah boleh dan tidak berdosa. 
Dan obrolan masalah ini pun bisa diakhiri di sini. 
Tidak bertele-tele serta tidak berargumentasi berkelanjutan.


Contoh lain, mengkosor solat dalam perjalanan --yang merupakan keringanan (rukhshah) yang diberikan Allah-- adalah keutamaan karena itulah yang biasa Nabi kerjakan
Namun, sebab tak ada sanksi bila menolak rukhshah dari Allah, jika dilaksanakan secara penuh pun (tam) dibolehkan.  
Jadi, obrolan masalah solat safar ini pun bisa diakhiri sampai di sini.


Oleh karenanya, usahakan obrolan itu ditutup dengan dalil ‘benar atau salah’ menurut ajaran Islam, bukan sekadar sudut pandang ‘baik atau buruk’ (yang cenderung hanya menurut ‘penglihatan’ manusia).


Ingat, si iblis laknatullah senantiasa berusaha membuat perkara atau kewajiban agama tampak menjadi berat dalam pandangan manusia.






TAK ADA HAK MEMBUAT RITUS PERIBADATAN

Dipasangnya rambu dilarang parkir atau lampu stopan, bertujuan untuk mencegah kemacetan lalu-lintas; namun bukan berarti jika lalu-lintas sepi kita boleh melanggar aturan tersebut. 

Dalam perkara agama, merasa jadi kekasih Allah bukan berarti kita boleh mengenyampingkan ritus ibadat yang sudah diperintahkan Allah.


Sebaliknya, kita pun dilarang membuat atau memasang rambu-rambu lalu-lintas seenak kemauan kita sendiri --walau kita menganggapnya baik-- karena kita tidak punya otoritas dalam hal ini. 

Dalam perkara agama, tatkala mendekatkan diri kepada Allah, kita pun dilarang membuat ritus ibadat baru --walau kita menganggapnya baik-- karena kita tidak punya kewenangan melakukan hal itu.


Kepatuhan kita menaati aturan lalu lintas, walau kita tidak melihat ada polisi di sana, namanya disiplin. 
Kepatuhan kita mengikuti syareat  Allah dengan benar, walau kita tidak melihat Allah, namanya keikhlasan.  


Yang jelas, seperti juga dalam masalah lalu-lintas, dalam perkara agama pun memang kadangkala ada pengecualian.
Dalam keadaan darurat, siapapun dimaklumi untuk tidak mengikuti rambu lalu-lintas; sementara mobil pemadam kebakaran atau ambulan biasanya diberi pengecualian khusus dalam mengikuti aturan lalu-lintas.

Dalam perkara agama, jika ada bahaya yang mengancam, seperti gempa bumi atau kebakaran, orang yang sedang solat bukan saja boleh tapi sudah seharusnya menghentikan dulu solatnya. 
Sementara orang sakit atau yang sedang safar, diberi keringanan dalam melaksanakan ritus ibadat. 






CINTA KEPADA ALLAH HARUS DISERTAI KETAATAN..

Cinta kepada Allah merupakan kewajiban. 
Namun ketaatan mengikuti perintah Allah lebih utama daripada sekadar mengaku cinta kepada Allah. 
Sebab cinta tanpa ketaatan maka cintanya tidak dinilai.

Dalam kisah tasawuf diceritakan ketika iblis ditanya kenapa menolak sujud kepada Adam, iblis berkata ‘Bagaimana mungkin aku harus sujud kepada selain Allah’. 
Jelas, iblis ‘mengaku’ dan ‘merasa’ dirinya pencinta Allah; tapi kenyataannya ia tidak patuh kepada perintah Allah.

Karenanya, menaati aturan Allah itu lebih utama dari sekadar mengaku cinta kepada Allah. 
Dengan kata lain, merasa mencintai Allah itu harus disertai dengan menaati syareat yang ditentukan Allah
Dan bukan menaati (ritus) yang diada-adakan oleh selain Allah.


Begitu juga, realitanya saat ini, banyak yang mengaku cinta kepada Nabi tapi beribadatnya tidak sesuai dengan yang dicontohkan Nabi Saw.



Umatku dibebaskan (dari tuntutan) disebabkan
kesalahan (yang tidak disengaja), lupa,
dan terhadap apa yang dipaksakan kepada mereka.”
(HR. Ath Thabari)

(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: