BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Sabtu, 25 Februari 2012

Pelaksanaan yang Islami



Dalam Islam, negara dan agama tak bisa dipisahkan. 
Artinya, berdirinya sebuah negara mestilah melahirkan masyarakat yang berakhlak yang diridhai Allah; masyarakat yang saling menghormati, yang mendapat perlindungan hukum yang adil, yang terhindar dari kesewenang-wenangan penguasa. 
Sebuah negara yang makmur di bawah naungan ampunan Allah.

Karenanya, mendirikan sebuah khilafah Islam yang dipimpin figur yang soleh, yang berakhlak tinggi, merupakan keutamaan. 

Yang jadi masalah, pemimpin yang serupa ini sangat sulit didapat.  
Kalaupun ada, katakanlah pemimpin ini seorang ulama terkenal, apakah ulama-ulama lainnya akan mendukung? 
Bukankah ulama-ulama yang ada itu pada kenyataannya sering memberi teladan buruk, seperti saling menjelekkan? 
Apakah ulama yang tak sepaham itu akan dibui, seperti yang terjadi dalam sejarah daulah Islam di masa lalu?

Memang, idealis itu tidak dilarang, tapi juga harus realistis.

Bagaimana mungkin sebuah negara Islami akan berdiri, jika orang-orang yang mau mendirikannya orang yang perilakunya menakutkan? 
Kalau yang namanya saja negara Islam, itu mungkin. 
Tapi yang Islami seperti di masa Nabi, apa bisa? 


Anggap saja negara yang betul-betul Islami jadi kenyataan; namun jika pemimpinnya wafat, apa bisa dijamin penggantinya tidak bakal seperti Yasid bin Muawiyah atau Al Mu’tashim? [1]

Apa maksud didirikannya negara yang Islami tersebut hanya untuk satu-dua generasi saja, dan kemudian hancur lagi?


Semestinya disadari, memelihara rumah itu lebih sulit daripada mendirikannya. 

Karenanya, agar tidak cepat roboh, pondasi yang betul-betul kuat semestinya dibangun lebih dahulu; dan bukan asal jadi, apalagi jika bahan-bahannya berupa rongsokan yang berkarat dan keropos.

Hanya pemerhati yang teliti yang akan mengevaluasi sebab-sebab dari keberhasilan atau kegagalan sebuah teori. 
Ia tak akan memaksakan suatu teori --betapa bagusnya pun teori itu-- jika dalam realitanya teori tersebut tidak bisa dipraktekkan. 
Atau hanya akan berhasil untuk waktu yang sesaat atau terbatas. 

Yang jelas, tak ada kewajiban mendirikan negara Islam yang sekadar menempelkan atribut keagamaan; yang sekadar kedok untuk menghalalkan kesewenang-wenangan seorang pemimpin.





HUKUM YANG TEGAS MELAHIRKAN MASYARAKAT YANG AMAN

Satu keutamaan untuk membangun khilafah yang betul-betul Islami; yang memberi rasa aman dan ketenteraman bagi semua warganya. 
Yang membuka lapangan kerja yang halal seluas-luasnya, sehingga tidak ada pekerjaan haram yang dilakukan seseorang dengan alasan mencari nafkah.

Sesungguhnyalah, melahirkan masyarakat yang berpribadi mulia, merupakan suatu kewajiban yang disyariatkan agama Allah yang tak bisa ditawar. 
Karena itu, hukum Islam yang menyangkut tindak kejahatan di masyarakat bersifat keras. 
Sehingga rasa aman di masyarakat bisa terjamin.

Dalam sebuah negara yang masyarakatnya betul-betul Islami, seseorang yang berjalan seorang diri --baik Muslim maupun bukan-- tidak akan merasa khawatir dianiaya apalagi dirampok orang lain; walau di tengah jalan yang sepi dan di tengah malam buta sekalipun







DAULAH YANG ISLAMI

Kalau yang disebut kekalifahan Islam itu hanya mengurus masalah agama Islam, seperti Vatikan yang hanya mengurus umat Katolik, rasanya itu masih mungkin direalisasikan. 

Tapi kalau kekalifahan sudah mengurus kepada perkara yang lebih lebar, seperti perkara-perkara yang ditangani negara di zaman moderen ini, amat sangat sulit untuk dipraktekkan. 

Sebab negara mana nanti yang akan dijadikan pusat kekalifahan Islam itu? 
Dan yang jadi kalifahnya siapa? 
Kalau kalifahnya orang India, apa orang Turki setuju? 
Jika kalifahnya orang Turki, apa orang Arab mau?


Realitanya, jangankan dalam skop yang besar, dalam lingkup yang kecil saja --dalam masalah menentukan kepemimpinan-- kita ini masih suka saling gebuk. 
Dalam masalah beda pemahaman saja kita saling jotos. 

Apa kalau kalifahnya orang Syiah, orang Sunni setuju? 
Atau sebaliknya, jika kalifahnya orang Sunni, apa orang Syiah ikhlas? [2]


Mimpi itu boleh --karena tidak dilarang-- tapi berpikir realistis itu kewajiban bagi semua Muslim. 

Jadi, tidak perlu ada kekalifahan dalam bentuk negara adikuasa, yang penting semua Muslim bisa akur; bisa saling menghormati pemahamannya. 
Bisa hidup damai.


Realitanya, di sebuah negara yang semua penduduknya Muslim pun, kaum Muslimin jarang mau bersatu padu. 
Artinya, kepentingan partai dan kelompok tetap saja tak bisa dihilangkan; apalagi yang berbeda negara. 

Karenanya, yang disebut daulah yang Islami itu cukup sebagai negara yang melaksanakan syareat Islam bagi pemeluk Islam. 
Jadi, jika negara Perancis melaksanakan hukum Islam bagi umat Islam, itu sudah cukup.


Yang jelas, siapa pun yang mengelabui manusia dengan mendirikan kerajaan Allah, atau kerajaan Islam, tapi dalam prakteknya adalah kerajaan para manusia, pasti akan hancur dengan sendirinya.


(Alfa Qr)


[1] Yasid bin Muawiyah bukan saja bertanggung jawab atas wafatnya cucu Rasulullah Saw, Husein bin Ali (semoga rahmat Allah senantiasa terlimpah ruahkan kepada beliau), tapi juga atas penjarahan pasukannya ke Madinah. Sementara sikap kejam Al Mu’tashim terhadap Imam Ahmad bin Hanbal (semoga rahmat Allah terlimpah pula kepada beliau) tidak bisa dibenarkan. Walau begitu, sebagai muslim yang berkeyakinan bahwa musuh utama kita adalah iblis laknatullah, dan bukan manusia (yang hanya karena memiliki kekurangan, bisa dipengaruhi setan terkutuk), sewajarnyalah kita mohonkan ampunan kepada Allah Swt. Masalah timbangannya, kita serahkan kepada Allah Yang Mahaadil, Maha Pengampun.
[2] Sunni menghormati semua khalifah dan isteri Nabi Saw. Syiah memelihara dendam dan membenci khalifah Abubakar, Umar, dan Utsman; dan hanya menghormati Ali dan keturunannya dari Fatimah. Syiah juga membenci Aisyah, istri Nabi Saw.

Tidak ada komentar: