Dalam Islam, negara dan agama tak bisa dipisahkan.
Artinya, berdirinya sebuah negara mestilah melahirkan masyarakat yang
berakhlak yang diridhai Allah; masyarakat yang saling menghormati, yang
mendapat perlindungan hukum yang adil, yang terhindar dari kesewenang-wenangan
penguasa.
Sebuah negara yang makmur di bawah naungan ampunan Allah.
Karenanya, mendirikan sebuah khilafah Islam yang dipimpin figur yang soleh, yang berakhlak tinggi, merupakan keutamaan.
Yang jadi masalah, pemimpin yang serupa ini sangat sulit didapat.
Kalaupun ada,
katakanlah pemimpin ini seorang ulama terkenal, apakah ulama-ulama lainnya akan
mendukung?
Bukankah ulama-ulama yang ada itu pada kenyataannya sering memberi
teladan buruk, seperti saling menjelekkan?
Apakah ulama yang tak sepaham itu
akan dibui, seperti yang terjadi dalam sejarah daulah Islam di masa lalu?
Memang, idealis itu
tidak dilarang, tapi juga harus realistis.
Bagaimana mungkin sebuah negara Islami akan berdiri, jika orang-orang yang mau mendirikannya orang yang perilakunya menakutkan?
Kalau yang namanya saja negara Islam, itu
mungkin.
Tapi yang Islami seperti di masa Nabi, apa bisa?
Tapi yang Islami seperti di masa Nabi, apa bisa?
Anggap saja negara
yang betul-betul Islami jadi kenyataan; namun jika pemimpinnya wafat, apa bisa
dijamin penggantinya tidak bakal seperti Yasid bin Muawiyah atau Al Mu’tashim?
[1]
Apa maksud didirikannya negara yang Islami tersebut hanya untuk satu-dua generasi saja, dan kemudian hancur lagi?
Semestinya disadari,
memelihara rumah itu lebih sulit daripada mendirikannya.
Karenanya, agar tidak cepat roboh, pondasi yang betul-betul kuat semestinya dibangun lebih dahulu; dan bukan asal jadi, apalagi jika bahan-bahannya berupa rongsokan yang berkarat dan keropos.
Hanya pemerhati yang
teliti yang akan mengevaluasi sebab-sebab dari keberhasilan atau kegagalan
sebuah teori.
Ia tak akan memaksakan suatu teori --betapa bagusnya pun teori
itu-- jika dalam realitanya teori tersebut tidak bisa dipraktekkan.
Atau hanya
akan berhasil untuk waktu yang sesaat atau terbatas.
Yang jelas, tak ada
kewajiban mendirikan negara Islam yang sekadar menempelkan atribut keagamaan;
yang sekadar kedok untuk menghalalkan kesewenang-wenangan seorang pemimpin.
HUKUM YANG TEGAS MELAHIRKAN MASYARAKAT YANG AMAN
Satu keutamaan untuk membangun khilafah yang betul-betul Islami; yang
memberi rasa aman dan ketenteraman bagi semua warganya.
Yang membuka lapangan
kerja yang halal seluas-luasnya, sehingga tidak ada pekerjaan haram yang
dilakukan seseorang dengan alasan mencari nafkah.
Sesungguhnyalah,
melahirkan masyarakat yang berpribadi mulia, merupakan suatu kewajiban yang
disyariatkan agama Allah yang tak bisa ditawar.
Karena itu, hukum Islam yang
menyangkut tindak kejahatan di masyarakat bersifat keras.
Sehingga rasa aman di
masyarakat bisa terjamin.
Dalam sebuah negara
yang masyarakatnya betul-betul Islami, seseorang yang berjalan seorang diri
--baik Muslim maupun bukan-- tidak akan merasa khawatir dianiaya apalagi
dirampok orang lain; walau di tengah jalan yang sepi dan di tengah malam buta
sekalipun
DAULAH YANG ISLAMI
Kalau yang disebut kekalifahan Islam itu hanya mengurus masalah agama Islam,
seperti Vatikan yang hanya mengurus umat Katolik, rasanya itu masih mungkin
direalisasikan.
Tapi kalau kekalifahan sudah mengurus kepada perkara yang lebih lebar, seperti perkara-perkara yang ditangani negara di zaman moderen ini, amat sangat sulit untuk dipraktekkan.
Sebab negara mana nanti yang akan dijadikan pusat kekalifahan Islam itu?
Dan yang jadi kalifahnya siapa?
Kalau kalifahnya
orang India, apa orang Turki setuju?
Jika kalifahnya orang Turki, apa orang
Arab mau?
Realitanya,
jangankan dalam skop yang besar, dalam lingkup yang kecil saja --dalam masalah
menentukan kepemimpinan-- kita ini masih suka saling gebuk.
Dalam masalah beda
pemahaman saja kita saling jotos.
Apa kalau kalifahnya orang Syiah, orang Sunni setuju?
Mimpi itu boleh --karena tidak dilarang-- tapi berpikir realistis itu kewajiban bagi semua Muslim.
Jadi, tidak perlu ada kekalifahan dalam bentuk negara adikuasa, yang penting semua Muslim bisa akur; bisa saling menghormati pemahamannya.
Bisa hidup damai.
Realitanya, di
sebuah negara yang semua penduduknya Muslim pun, kaum Muslimin jarang mau
bersatu padu.
Artinya, kepentingan partai dan kelompok tetap saja tak bisa
dihilangkan; apalagi yang berbeda negara.
Karenanya, yang disebut daulah yang Islami
itu cukup sebagai negara yang melaksanakan syareat Islam bagi pemeluk Islam.
Jadi, jika negara Perancis melaksanakan hukum Islam bagi umat Islam, itu sudah
cukup.
Yang jelas, siapa
pun yang mengelabui manusia dengan mendirikan kerajaan Allah, atau kerajaan
Islam, tapi dalam prakteknya adalah kerajaan para manusia, pasti akan hancur
dengan sendirinya.
(Alfa Qr)
[1] Yasid bin Muawiyah bukan saja bertanggung
jawab atas wafatnya cucu Rasulullah Saw, Husein bin Ali (semoga rahmat Allah
senantiasa terlimpah ruahkan kepada beliau), tapi juga atas penjarahan
pasukannya ke Madinah. Sementara sikap kejam Al Mu’tashim terhadap Imam Ahmad
bin Hanbal (semoga rahmat Allah terlimpah pula kepada beliau) tidak bisa
dibenarkan. Walau begitu, sebagai muslim yang berkeyakinan bahwa musuh utama
kita adalah iblis laknatullah, dan bukan manusia (yang hanya karena memiliki
kekurangan, bisa dipengaruhi setan terkutuk), sewajarnyalah kita mohonkan
ampunan kepada Allah Swt. Masalah timbangannya, kita serahkan kepada Allah Yang
Mahaadil, Maha Pengampun.
[2] Sunni menghormati semua khalifah dan isteri Nabi Saw. Syiah memelihara dendam
dan membenci khalifah Abubakar, Umar, dan Utsman; dan hanya menghormati Ali dan
keturunannya dari Fatimah. Syiah juga membenci Aisyah, istri Nabi Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar