Jika manusia diharuskan sempurna dalam
melaksanakan tuntunan Islam, mungkin hanya ada satu-dua orang saja yang akan
masuk surga.
Faktanya, setiap kita mempelajari buku tentang agama karangan
seorang ulama, kita akan merasakan adanya keharusan kita ini mesti sempurna.
Tidak boleh begini, tidak boleh begitu, dalam arti harga mati.
Tidak boleh begini, tidak boleh begitu, dalam arti harga mati.
Satu kitab berbicara
tentang seratus dosa besar; jika satu saja kita tak bisa menghindarinya, maka
masuk nerakalah kita.
Begitulah kesan yang biasanya muncul.
Akibatnya? Orang bukannya tertarik, tapi menjauhi.
Begitulah kesan yang biasanya muncul.
Akibatnya? Orang bukannya tertarik, tapi menjauhi.
Realitanya, manusia
mustahil terluput dari berbuat salah.
Yang penting, seorang Muslim harus berusaha berubah untuk jadi lebih baik.
Allah Maha Pengampun; memaklumi akan
ketidaksempurnaan kita, akan kebodohan kita..
“Kemudian,
sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan
karena kebodohannya. Kemudian mereka bertobat sesudah itu dan memperbaiki
dirinya. Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qur’an, An Nahl [16]:119)
MUSTAHIL JIKA SEGALA SESUATU ITU MESTI SEMPURNA
Mendirikan solat dengan khusyu merupakan keutamaan dan bukan wajib.
Sebab jika hukum mesti khusyu dalam solat itu wajib, orang yang tidak khusyu tentu solatnya menjadi sia-sia.
Padahal, selama orang itu telah berusaha, dalam tuntunan Islam tidak ada amalan yang sia-sia.
Sebab jika hukum mesti khusyu dalam solat itu wajib, orang yang tidak khusyu tentu solatnya menjadi sia-sia.
Padahal, selama orang itu telah berusaha, dalam tuntunan Islam tidak ada amalan yang sia-sia.
Realitanya, dalam
membebankan kewajiban, kita sering tidak memperhitungkan kemampuan orang lain.
Realitanya, lebih mudah menyarankan orang lain untuk sabar; padahal kalau kita sendiri ada dalam situasi seperti orang itu, bisa jadi kita lebih tidak bisa berserah diri...
Realitanya, lebih mudah menyarankan orang lain untuk sabar; padahal kalau kita sendiri ada dalam situasi seperti orang itu, bisa jadi kita lebih tidak bisa berserah diri...
Jelas, manusia harus
menghindar dari berbuat dosa.
Tapi jika terlanjur tak bisa menghindarinya, segeralah bertobat; sebab jika setan selalu membukakan jalan ke arah dosa, Allah pun senantiasa membukakan pintu ampunanNya.
Tapi jika terlanjur tak bisa menghindarinya, segeralah bertobat; sebab jika setan selalu membukakan jalan ke arah dosa, Allah pun senantiasa membukakan pintu ampunanNya.
Yang pasti, seorang manusia dimaafkan dikarenakan kebodohannya; disebabkan ketidakmampuannya, ketidaktahuannya ataupun ketidaksengajaannya.
Sebaliknya, seorang manusia dihukum dikarenakan
kekeraskepalaannya, dikarenakan ketidakinginannya untuk sadar.
BERUSAHA UNTUK SEMPURNA, BUKAN MESTI SEMPURNA
Ketidaktepatan dalam penyampaian membuat tuntunan dan perintah agama terasa berlebihan; terasa malah
memberatkan dan bukan menggembirakan.
Perintah agama seakan-akan mengharuskan manusia itu mesti sempurna; bukan saja harus terbebas dari berbuat buruk, tapi juga mesti terbebas dari berbuat salah.
Perintah agama seakan-akan mengharuskan manusia itu mesti sempurna; bukan saja harus terbebas dari berbuat buruk, tapi juga mesti terbebas dari berbuat salah.
Padahal berbuat salah merupakan satu
hal yang pasti pernah dilakukan semua manusia.
Karenanya, dalam masalah berbuat kebajikan, kalimat “manusia harus sempurna” berbeda artinya dengan kalimat “manusia harus berusaha sempurna”.
Karenanya, dalam masalah berbuat kebajikan, kalimat “manusia harus sempurna” berbeda artinya dengan kalimat “manusia harus berusaha sempurna”.
Kalimat pertama
hanya bisa dilaksanakan oleh sebagian kecil manusia.
Kalimat kedua bisa dilakukan semua manusia selama akal pikirannya sehat.
Karenanya, seorang Muslim dituntut untuk melaksanakan kalimat yang kedua, bukan yang pertama.
Artinya, kita dituntut untuk berusaha sempurna; tapi tidak dituntut untuk sempurna..
Kalimat kedua bisa dilakukan semua manusia selama akal pikirannya sehat.
Karenanya, seorang Muslim dituntut untuk melaksanakan kalimat yang kedua, bukan yang pertama.
Artinya, kita dituntut untuk berusaha sempurna; tapi tidak dituntut untuk sempurna..
Berdoa dan berharap
dengan penuh keyakinan akan dikabulkan, merupakan satu keharusan.
Berdoa yang amat sangat, tidaklah salah; namun janganlah berharap itu kemudian disamakan dengan menuntut. Sebab berharap dalam arti menuntut --tapi hasilnya tidak sesuai harapan-- kadang malah melahirkan sikap berburuk sangka kepada Allah..
Padahal apapun hasil akhirnya itulah yang terbaik yang dikehendaki Allah buat kita.
Berdoa yang amat sangat, tidaklah salah; namun janganlah berharap itu kemudian disamakan dengan menuntut. Sebab berharap dalam arti menuntut --tapi hasilnya tidak sesuai harapan-- kadang malah melahirkan sikap berburuk sangka kepada Allah..
Padahal apapun hasil akhirnya itulah yang terbaik yang dikehendaki Allah buat kita.
Realitanya, cobaan
dan masalah --yang mengarahkan kita kepada keburukan-- datang kepada semua
manusia; terlepas dia kaya, apalagi miskin.
Realitanya, hidup ini dikepung oleh
godaan dan masalah.
Satu masalah teratasi, datang cobaan yang lain.
Jika teratasi, datang lagi masalah lain.
Seakan tidak ada akhirnya; atau memang, tidak ada akhirnya. [2]
Satu masalah teratasi, datang cobaan yang lain.
Jika teratasi, datang lagi masalah lain.
Seakan tidak ada akhirnya; atau memang, tidak ada akhirnya. [2]
Yang penting, selain
dengan sabar dan tawakal, hadapi semuanya
sesuai kemampuan; dan jangan menyalahkan Allah.
Sebab, menyalahkan Allah itu merupakan keinginan si iblis laknatullah yang selalu berusaha mencitrakan Allah itu sebagai penghukum dan membebani.
Padahal, jika betul-betul mau bertobat, kasih sayang Allah itu tak berbatas.
Sebab, menyalahkan Allah itu merupakan keinginan si iblis laknatullah yang selalu berusaha mencitrakan Allah itu sebagai penghukum dan membebani.
Padahal, jika betul-betul mau bertobat, kasih sayang Allah itu tak berbatas.
“Agama itu sangat ringan, dan siapa pun yang membebani keberagamaannya secara berlebihan tidak akan sanggup menanggungnya. Jadi engkau tidak perlu berlebihan, tetapi cobalah untuk mendekati kesempurnaan dan terimalah kabar baik bahwa engkau akan diberi ganjaran; dan shalatlah di pagi hari, siang dan di penghujung malam.” (HR. Bukhari)
(Alfa Qr)
[1] Ada ‘pakar’
yang berpendapat bahwa logika
memungkinkan seseorang untuk memiliki kemampuan intelektual; kemampuan untuk
menciptakan atau memanfaatkan sesuatu. Sementara nurani
memungkinkan seseorang memiliki kemampuan spiritual; kemampuan untuk memisahkan
yang baik dari yang buruk, kemampuan membedakan yang benar dengan yang salah.
Dan tuntunan Islam menyerasikan kemampuan logika dan nurani tersebut dengan
kemampuan emosional; kemampuan untuk mengendalikan nafsu dan
keinginan, kemampuan untuk bersikap sabar dan tawakal.
Hanya saja, kenyataannya, kemampuan-kemampuan tersebut pada setiap orang tidaklah sama; dan mustahil sama.
Hanya saja, kenyataannya, kemampuan-kemampuan tersebut pada setiap orang tidaklah sama; dan mustahil sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar