BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Minggu, 26 Februari 2012

SESUAI KEMAMPUAN


Jika manusia diharuskan sempurna dalam melaksanakan tuntunan Islam, mungkin hanya ada satu-dua orang saja yang akan masuk surga. 
Faktanya, setiap kita mempelajari buku tentang agama karangan seorang ulama, kita akan merasakan adanya keharusan kita ini mesti sempurna. 
Tidak boleh begini, tidak boleh begitu, dalam arti harga mati.

Satu kitab berbicara tentang seratus dosa besar; jika satu saja kita tak bisa menghindarinya, maka masuk nerakalah kita. 
Begitulah kesan yang biasanya muncul. 
Akibatnya? Orang bukannya tertarik, tapi menjauhi.


Realitanya, manusia mustahil terluput dari berbuat salah. 

Yang penting, seorang Muslim harus berusaha berubah untuk jadi lebih baik. 
Karenanya, berusahalah sesuai kemampuan. [1] 
Allah Maha Pengampun; memaklumi akan ketidaksempurnaan kita, akan kebodohan kita..

 “Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya. Kemudian mereka bertobat sesudah itu dan memperbaiki dirinya. Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qur’an, An Nahl [16]:119)








MUSTAHIL JIKA SEGALA SESUATU ITU MESTI SEMPURNA

Mendirikan solat dengan khusyu merupakan keutamaan dan bukan wajib. 
Sebab jika hukum mesti khusyu dalam solat itu wajib, orang yang tidak khusyu tentu solatnya menjadi sia-sia. 
Padahal, selama orang itu telah berusaha, dalam tuntunan Islam tidak ada amalan yang sia-sia.


Realitanya, dalam membebankan kewajiban, kita sering tidak memperhitungkan kemampuan orang lain. 
Realitanya, lebih mudah menyarankan orang lain untuk sabar; padahal kalau kita sendiri ada dalam situasi seperti orang itu, bisa jadi kita lebih tidak bisa berserah diri...


Jelas, manusia harus menghindar dari berbuat dosa. 
Tapi jika terlanjur tak bisa menghindarinya, segeralah bertobat; sebab jika setan selalu membukakan jalan ke arah dosa, Allah pun senantiasa membukakan pintu ampunanNya. 

Yang pasti, seorang manusia dimaafkan dikarenakan kebodohannya; disebabkan ketidakmampuannya, ketidaktahuannya ataupun ketidaksengajaannya. 
Sebaliknya, seorang manusia dihukum dikarenakan kekeraskepalaannya, dikarenakan ketidakinginannya untuk sadar.







BERUSAHA UNTUK SEMPURNA, BUKAN MESTI SEMPURNA

Ketidaktepatan dalam penyampaian membuat tuntunan dan perintah agama terasa berlebihan; terasa malah memberatkan dan bukan menggembirakan. 
Perintah agama seakan-akan mengharuskan manusia itu mesti sempurna; bukan saja harus terbebas dari berbuat buruk, tapi juga mesti terbebas dari berbuat salah. 

Padahal berbuat salah merupakan satu hal yang pasti pernah dilakukan semua manusia.  
Karenanya, dalam masalah berbuat kebajikan, kalimat “manusia harus sempurna” berbeda artinya dengan kalimat “manusia harus berusaha sempurna”. 

Kalimat pertama hanya bisa dilaksanakan oleh sebagian kecil manusia. 
Kalimat kedua bisa dilakukan semua manusia selama akal pikirannya sehat. 
Karenanya, seorang Muslim dituntut untuk melaksanakan kalimat yang kedua, bukan yang pertama. 
Artinya, kita dituntut untuk berusaha sempurna; tapi tidak dituntut untuk sempurna..


Berdoa dan berharap dengan penuh keyakinan akan dikabulkan, merupakan satu keharusan. 
Berdoa yang amat sangat, tidaklah salah; namun janganlah berharap itu kemudian disamakan dengan menuntut. Sebab berharap dalam arti menuntut --tapi hasilnya tidak sesuai harapan-- kadang malah melahirkan sikap berburuk sangka kepada Allah.. 
Padahal apapun hasil akhirnya itulah yang terbaik yang dikehendaki Allah buat kita.


Realitanya, cobaan dan masalah --yang mengarahkan kita kepada keburukan-- datang kepada semua manusia; terlepas dia kaya, apalagi miskin. 
Realitanya, hidup ini dikepung oleh godaan dan masalah. 

Satu masalah teratasi, datang cobaan yang lain.
Jika teratasi, datang lagi masalah lain. 
Seakan tidak ada akhirnya; atau memang, tidak ada akhirnya. [2]


Yang penting, selain dengan sabar dan tawakal, hadapi semuanya  sesuai kemampuan; dan jangan menyalahkan Allah.   
Sebab, menyalahkan Allah itu merupakan keinginan si iblis laknatullah yang selalu berusaha mencitrakan Allah itu sebagai penghukum dan membebani. 
Padahal, jika betul-betul mau bertobat, kasih sayang Allah itu tak berbatas.

“Agama itu sangat ringan, dan siapa pun yang membebani keberagamaannya secara berlebihan tidak akan sanggup menanggungnya. Jadi engkau tidak perlu berlebihan, tetapi cobalah untuk mendekati kesempurnaan dan terimalah kabar baik bahwa engkau akan diberi ganjaran; dan shalatlah di pagi hari, siang dan di penghujung malam.”  (HR. Bukhari)

(Alfa Qr)


[1]  Ada ‘pakar’ yang berpendapat bahwa logika memungkinkan seseorang untuk memiliki kemampuan intelektual; kemampuan untuk menciptakan atau memanfaatkan sesuatu. Sementara nurani memungkinkan seseorang memiliki kemampuan spiritual; kemampuan untuk memisahkan yang baik dari yang buruk, kemampuan membedakan yang benar dengan yang salah. Dan tuntunan Islam menyerasikan kemampuan logika dan nurani tersebut dengan kemampuan emosional; kemampuan untuk mengendalikan nafsu dan keinginan, kemampuan untuk bersikap sabar dan tawakal. 
Hanya saja, kenyataannya, kemampuan-kemampuan tersebut pada setiap orang tidaklah sama; dan mustahil sama.

[2]  Realitanya, manusia tak punya kemampuan mutlak dalam merubah hidupnya; jalan hidup seseorang kadang tak terhindar dari faktor kebetulan (baik itu positip atau negatip), dan tidak semata-mata dari faktor kemauan. Jadi, amat aneh jika manusia tetap disalahkan untuk sebuah kegagalan. 
Memang, setiap orang mungkin saja bisa menolong orang lain; tapi kadang malah tidak bisa menolong dirinya sendiri (keluarganya sendiri). Jadi, bagaimana mungkin kita disalahkan untuk sesuatu yang jelas-jelas kita tidak punya kesanggupan untuk menanggulanginya. 
Karenanya, jika sudah berusaha, kita tak perlu merasa bersalah..

Tidak ada komentar: