Allah ‘Azza
wa Jalla tidak terikat dengan sesuatu apa pun, termasuk dengan tolok ukur
ruang, jarak, dan waktu.
Jarak yang ditempuh dalam perhitungan manusia selama seribu tahun, limapuluh ribu tahun, ataupun semilyar tahun, bisa saja hanya sesaat bagi Allah.
Jarak yang ditempuh dalam perhitungan manusia selama seribu tahun, limapuluh ribu tahun, ataupun semilyar tahun, bisa saja hanya sesaat bagi Allah.
Itu sebabnya Allah bisa ‘berada’ di mana dan kapan saja
setiap saat.
Sesungguhnya waktu
bagi Allah bersifat relatif.
Dan karena waktu bersifat relatif, maka istilah atau sebutan ‘pernah’ dan ‘bakal’ pun menjadi bersifat relatif.
Karena itu, ilmu pengetahuan Allah mencakup sepanjang masa: zaman lampau, sekarang, dan masa depan.
Jadi tak usah heran jika dalam Lauh Mahfuzh itu tercantum bukan saja masuk tidaknya seseorang ke dalam surga, tapi juga semua perilaku dan peristiwa yang --hakekatnya ‘pernah’ tapi diartikan ‘bakal’-- menimpa orang itu selama di dunia.
Dan karena waktu bersifat relatif, maka istilah atau sebutan ‘pernah’ dan ‘bakal’ pun menjadi bersifat relatif.
Karena itu, ilmu pengetahuan Allah mencakup sepanjang masa: zaman lampau, sekarang, dan masa depan.
Jadi tak usah heran jika dalam Lauh Mahfuzh itu tercantum bukan saja masuk tidaknya seseorang ke dalam surga, tapi juga semua perilaku dan peristiwa yang --hakekatnya ‘pernah’ tapi diartikan ‘bakal’-- menimpa orang itu selama di dunia.
Jika dalam Lauh
Mahfuzh tertulis lahirnya seseorang --baik caranya maupun rezekinya-- padahal
orang itu belum dilahirkan saat ini, itu dikarenakan (hakekatnya) Allah sudah
tahu atau sudah ke masa depan. [1]
Untuk mudahnya
dipahami (namun sebenarnya tidak bisa disamakan), kemampuan Allah merupakan
satu kemampuan yang jauh lebih canggih dan lebih hebat daripada sekadar mesin
waktu yang bisa berada dan berkunjung ke zaman mana saja.
Mesin waktu --jika
ada, padahal mustahil bisa dibikin manusia apalagi dibuat oleh doraemon--
hanya bisa berada di satu tempat pada satu saat.
Tapi Allah bisa ‘berada’ di mana saja pada saat yang sama.
Tapi Allah bisa ‘berada’ di mana saja pada saat yang sama.
CATATAN SEMUA MASA
Semua pengetahuan Allah termaktub dalam Lauh Mahfuzh.
Hakekatnya, Lauh Mahfuzh (secara harfiah berarti lempengan yang terjaga) adalah catatan semua perkara, dari awal sampai akhir.
Karenanya, Allah mengetahui bukan saja masa
lalu tapi juga masa depan.
Jadi tidak usah heran, jika Allah sebetulnya sudah tahu seseorang itu masuk neraka atau masuk surga; dan ‘menuliskannya’ di Lauh Mahfuzh.
Dan Allah tidak merubah
‘kenyataan’ itu, sebab orang itu memasuki surga atau neraka karena pilihan
(hasil perbuatan) orang itu sendiri, dan bukan kesewenang-wenangan Allah.
Dan
karena pengetahuan Allah mencakup masa depan, maka Allah pun tahu kapan dan
bagaimana caranya kita mati.
Jadi, jika kapan dan bagaimana caranya kita mati
tercantum (tertulis) dalam Lauh Mahfuzh, itu semata-mata karena ‘pengetahuan’
Nya, dan bukan kesewenang-wenanganNya.
Termasuk jika seseorang itu matinya karena bunuh diri atau karena kecelakaan.
MUSTAHIL ALLAH BERKEHEDAK SEWENANG-WENANG
Takdir yang termaktub (tertulis) dalam Lauh Mahfuzh adalah semua yang
diketahui Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Termasuk perkara yang amat kecil sekali pun, seperti gugurnya sehelai daun, atau melintasnya semut hitam di atas batu hitam di kegelapan malam.
Termasuk perkara yang amat kecil sekali pun, seperti gugurnya sehelai daun, atau melintasnya semut hitam di atas batu hitam di kegelapan malam.
Apa yang termaktub
di KitabNya (Lauh Mahfuzh) bukanlah suatu ‘ketetapan’ atau ‘ketentuan’ yang
sewenang-wenang.
Melainkan suatu hal yang semata-mata memang telah diketahuiNya.
Melainkan suatu hal yang semata-mata memang telah diketahuiNya.
Mustahil Allah menentukan seorang ulama masuk ke dalam surga begitu saja secara sewenang-wenang.
Sama mustahilnya dengan Allah memasukkan seorang penguasa secara sewenang-wenang ke dalam neraka begitu saja.
Hakekatnya, dengan
keyakinan bahwa dalam berkehendak itu Allah tidak sewenang-wenang, setiap orang
diberi kesempatan untuk mencari, memilih, dan menentukan takdirnya sendiri.
Dengan kata lain, surga dan neraka sudah dipersiapkan; manusia bebas memilih mau yang mana.
Dengan kata lain, surga dan neraka sudah dipersiapkan; manusia bebas memilih mau yang mana.
“..Dan kesudahan yang baik adalah bagi
orang-orang yang bertakwa.” (Quran, Al-A’raaf [7]:128)
MASUK SURGA TERGANTUNG IMAN YANG BENAR
Menyalahgunakan dalil agama biasanya dilakukan oleh orang yang mengaku
beriman, tapi berimannya tidak benar.
Artinya, keislamannya bukan karena beriman kepada Allah --bukan karena
mencari ridha Allah-- tapi karena keduniawian.
Contohnya orang yang mengomersialkan agama, yang membuat
citra agama justru menjadi buruk.
Karenanya, dalam
tuntunan tasawuf, ulama yang mengomersilkan doa dinilai sebagai ulama yang amat
hina; sebab mendoakan orang lain itu harus ikhlas.
Begitu pun, ulama yang mencari popularitas duniawi, yang membuncitkan perutnya dengan menjadi corong penguasa yang zalim, dinilai sebagai ulama yang memperdagangkan agama.
Begitu pun, ulama yang mencari popularitas duniawi, yang membuncitkan perutnya dengan menjadi corong penguasa yang zalim, dinilai sebagai ulama yang memperdagangkan agama.
Jadi, seseorang
dimasukkan ke dalam surga bukan karena dia seorang ulama atau penguasa; tapi
karena imannya yang benar.
Kalau cara berimannya tidak benar --siapapun-- harus siap menanggung resikonya.
“Tidak
seorang pun yang akan masuk ke dalam surga
kecuali
akan diperlihatkan kepadanya lebih
dahulu
tempat
yang telah dipersiapkan untuknya di
neraka
seandainya ia menolak beriman,
maka
ia akan menjadi sangat bersyukur.
Dan tidak seorang pun yang akan masuk ke dalam neraka
Kecuali
akan diperlihatkan kepadanya lebih
dahulu
tempat
yang telah dipersiapkan untuknya di
surga
seandainya ia beriman,
maka
ia menjadi sangat menyesal.”
(HR. Bukhari)
(Alfa Qr)
[1]
Dari hadis kita mengetahui bahwa Nabi Saw pernah ‘dibawa’ ke masa depan.
Saat mi’raj, Nabi pernah ‘diajak’ melihat-lihat penghuni surga dan neraka; padahal hari penghisaban --hari kiamat-- saat ini belum terjadi.
Hanya saja, bagaimana cara berkunjung ke masa depan itu tidak perlu dan tidak wajib kita harus jadi tahu.
Saat mi’raj, Nabi pernah ‘diajak’ melihat-lihat penghuni surga dan neraka; padahal hari penghisaban --hari kiamat-- saat ini belum terjadi.
Hanya saja, bagaimana cara berkunjung ke masa depan itu tidak perlu dan tidak wajib kita harus jadi tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar