Jelas, jika ingin kaya raya kita harus
menjadikan ketekunan orang yang sukses sebagai contoh.
Artinya, sebagai pendorong motivasi untuk berusaha, amat wajar jika kita mengambil teladan atau melihat kepada orang yang lebih kaya daripada kita.
Artinya, sebagai pendorong motivasi untuk berusaha, amat wajar jika kita mengambil teladan atau melihat kepada orang yang lebih kaya daripada kita.
Lain halnya jika hati ingin tenteram, kita harus tidak
muluk-muluk; harus berpikir dan berkeinginan sederhana yang tidak rumit.
Harus selalu ingat kepada orang yang lebih miskin ketimbang kita, harus melihat kepada orang yang lebih tidak beruntung.
Harus selalu ingat kepada orang yang lebih miskin ketimbang kita, harus melihat kepada orang yang lebih tidak beruntung.
Yang pasti, tak ada
keharusan seorang manusia memiliki mata pencaharian atau profesi yang seragam.
Sebab tiap orang mempunyai jalannya sendiri; tiap orang memiliki kondisi dan kesukaan yang berlainan.
Sebab tiap orang mempunyai jalannya sendiri; tiap orang memiliki kondisi dan kesukaan yang berlainan.
Yang penting
apapun yang dilakoni --jadi guru, polisi, petani, ataupun petugas kebersihan--
dijalani dengan suka cita dan penuh rasa tanggung jawab.
Sebab jauh lebih beruntung menjadi seorang pelayan toko yang gembira, yang menikmati dan berdedikasi pada pekerjaannya, ketimbang jadi pialang di pasar saham yang bergelimang uang tapi hidupnya kacau balau.
Sebab jauh lebih beruntung menjadi seorang pelayan toko yang gembira, yang menikmati dan berdedikasi pada pekerjaannya, ketimbang jadi pialang di pasar saham yang bergelimang uang tapi hidupnya kacau balau.
Jadi, sukses bukan
berarti semata-mata harus menjadi pedagang yang kaya raya atau menjadi orang
yang tersohor.
Sukses berarti kita beruntung menemukan hal-hal yang membahagiakan.
Sukses berarti kita beruntung bisa menikmati dan berbahagia dengan pekerjaan kita.
Dengan catatan, yang kita lakoni itu tak keluar dari nilai-nilai tuntunan agama.
Sukses berarti kita beruntung menemukan hal-hal yang membahagiakan.
Sukses berarti kita beruntung bisa menikmati dan berbahagia dengan pekerjaan kita.
Dengan catatan, yang kita lakoni itu tak keluar dari nilai-nilai tuntunan agama.
KECINTAAN PADA PEKERJAAN, MENIKMATI TANTANGANNYA
Dalam melakukan sebuah kegiatan atau pekerjaan, manusia bisa dibagi dalam
tiga kelas.
Pertama, orang yang semata-mata mencari nafkah atau mencari penghasilan dari pekerjaannya tersebut.
Kedua, orang yang menyenangi
pekerjaan yang digarapnya.
Ketiga, orang yang melakukan
pekerjaan tersebut karena menyukai tantangannya.
Orang yang
menjadikan pekerjaannya sebagai sekadar mencari nafkah untuk menutupi
kebutuhan hidupnya, biasanya merasa terpaksa dalam melakukan pekerjaannya itu.
Buah pekerjaannya, umumnya, tidaklah maksimal; tidak memiliki nilai untuk dibanggakan.
Padahal kita akan lebih bisa menikmati sebuah pekerjaan bila kita menjadikan apa yang kita lakukan itu sebagai sebuah kecintaan dan bukan sekadar mata pencaharian.
Buah pekerjaannya, umumnya, tidaklah maksimal; tidak memiliki nilai untuk dibanggakan.
Padahal kita akan lebih bisa menikmati sebuah pekerjaan bila kita menjadikan apa yang kita lakukan itu sebagai sebuah kecintaan dan bukan sekadar mata pencaharian.
Lagi pula, bisa menikmati yang sedang dikerjakan merupakan
satu keuntungan; sebab pekerjaan seberat apa pun akan terasa ringan jika kita
menyenangi pekerjaan itu.
Sebaliknya, seringan apa pun sebuah pekerjaan, akan menjadi beban yang sangat berat jika kita merasa terpaksa melakukannya.
Oleh karenanya, bisa menikmati proses pekerjaan yang kita jalani jauh lebih utama dari sekadar mendapatkan hasil akhir dari pekerjaan tersebut.
Sebaliknya, seringan apa pun sebuah pekerjaan, akan menjadi beban yang sangat berat jika kita merasa terpaksa melakukannya.
Oleh karenanya, bisa menikmati proses pekerjaan yang kita jalani jauh lebih utama dari sekadar mendapatkan hasil akhir dari pekerjaan tersebut.
Realitanya, hanya
orang yang menyukai tantangan dan kesulitan yang bisa menikmati dan
bersenang-senang dengan apa yang dijalaninya.
Sebab ia mengerjakan sesuatu itu bukan semata-mata untuk mencari keuntungan materi, tapi justru untuk menikmati tantangannya.
Sebab ia mengerjakan sesuatu itu bukan semata-mata untuk mencari keuntungan materi, tapi justru untuk menikmati tantangannya.
TINGKAT MENIKMATI KEGEMBIRAAN
Tingkat kepuasan menikmati yang dimiliki, pada setiap orang berbeda;
tergantung kepada tingkat mensyukurinya.
Sepotong roti yang murah, akan terasa nikmat bagi orang yang lapar; dan akan terasa lebih amat sangat nikmat bagi orang yang sedang sangat lapar.
Sebaliknya, sepotong roti yang mahal menjadi tidak ada gunanya bagi orang yang kekenyangan.
Begitu juga, tempat tidur yang empuk dan mahal tidak menjamin seseorang untuk bisa tidur nyenyak di atasnya.
Dengan kata lain, yang menjadi rezeki kita adalah yang bisa kita nikmati, dan bukan sekadar yang kita miliki.
Yang pasti, Muslim
yang mensyukuri apapun yang diberikan Allah, ia bukan hanya mendapatkan
kepuasan menikmatinya tapi juga kebahagiaan dalam melakoninya.
Karena itu, kita harus gembira bukan karena punya pekerjaan, tapi karena kita menyenangi pekerjaan tersebut.
Karena itu, kita harus gembira bukan karena punya pekerjaan, tapi karena kita menyenangi pekerjaan tersebut.
Realitanya,
kemampuan meraih harta duniawi, adalah satu hal.
Kemampuan untuk bisa merasakan kegembiraan menikmati apa yang sudah dimiliki, adalah hal lain.
Dan kemampuan untuk bisa meraih kebahagiaan dari apa yang dilakoni, adalah hal yang lain lagi.
Kemampuan untuk bisa merasakan kegembiraan menikmati apa yang sudah dimiliki, adalah hal lain.
Dan kemampuan untuk bisa meraih kebahagiaan dari apa yang dilakoni, adalah hal yang lain lagi.
Yang jelas, meraih
keberhasilan belum tentu membuahkan kebahagiaan; meraih kebahagiaan jelas
merupakan sebuah keberhasilan.
BEDANYA KEPUASAN DAN KEBAHAGIAAN
Kepuasan bisa saja identik dengan kegembiraan atau kesukacitaan, tapi tidak
identik dengan kebahagiaan.
Realitanya, sukses bisa melahirkan kegembiraan, tapi belum tentu membuahkan kebahagiaan.
Sebab kegembiraan berbeda dengan kebahagiaan; kegembiraan atau sukacita bisa direkayasa, kebahagiaan tidak bisa dibuat-buat.
Realitanya, sukses bisa melahirkan kegembiraan, tapi belum tentu membuahkan kebahagiaan.
Sebab kegembiraan berbeda dengan kebahagiaan; kegembiraan atau sukacita bisa direkayasa, kebahagiaan tidak bisa dibuat-buat.
Seseorang bisa
tertawa terbahak-bahak melihat Charlie Chaplin terpeleset, bisa gembira
melihat pantatnya ditendang berkali-kali.
Tapi mustahil kebahagiaan muncul karena melihat hal-hal serupa itu; karena kebahagiaan hadir untuk hal-hal yang baik, bukan untuk sesuatu yang jelek.
Tapi mustahil kebahagiaan muncul karena melihat hal-hal serupa itu; karena kebahagiaan hadir untuk hal-hal yang baik, bukan untuk sesuatu yang jelek.
Tapi, paling tidak,
bisa merasakan kegembiraan di dunia jauh lebih baik daripada terus-terusan
dililit kepahitan.
Karenanya, seorang Muslim semestinya menjalani hidup ini dengan gembira dan suka cita; bukan terus-terusan dihimpit penyakit dan kesusahan.
Jadinya menyedihkan; orang lain penuh sukacita, sedangkan kita senantiasa didera penderitaan.
Hanya saja, dan
tentu saja, kesenangan semestinya datang di saat yang tepat.
Sebab memiliki banyak makanan pada saat sakit perut, sama sialnya dengan tidak punya makanan di saat sehat.
Sebab memiliki banyak makanan pada saat sakit perut, sama sialnya dengan tidak punya makanan di saat sehat.
Catatan:
- Jika hati kita bersih, tinggal di mana pun dan jadi apa pun, kita bisa tenteram. Sebaliknya, berperan sebagai apa pun, jika hati kita lusuh akan sulit menemukan kebahagiaan. Karenanya, jika kita tidak berbahagia atau tidak tenteram, barangkali ada yang tidak beres dengan hati kita.
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar