Meramal bisa dibagi dalam dua jenis.
Pertama, meramal secara ilmiah.
Meramal berdasarkan pengalaman nyata yang pernah terjadi; yang hanya memperkirakan (bukan memastikan) sesuatu akan terjadi.
Meramal serupa ini, DIBOLEHKAN.
Kedua, meramal secara ghaib.
Meramal berdasarkan ilmu-ilmu sihir; yang memastikan sesuatu akan terjadi sesuai ramalan.
Padahal kepastian serupa ini hanya hak Allah semata-mata.
Karenanya, meramal yang serupa ini hukumnya HARAM.
MERAMAL SECARA ILMIAH
Terlepas dari kenyataan hasil akhirnya, meramalkan (memprediksikan,
memperkirakan) hasil pertandingan olahraga tidaklah terlarang.
Meramalkan di sini berarti berdasar data-data sukses yang pernah diraih oleh si olahragawan atau regu yang akan bertanding.
Data-data serupa itu bersifat ilmiah, bersifat zahir atau nyata, bukan gaib.
Meramalkan di sini berarti berdasar data-data sukses yang pernah diraih oleh si olahragawan atau regu yang akan bertanding.
Data-data serupa itu bersifat ilmiah, bersifat zahir atau nyata, bukan gaib.
Memperhitungkan
kemampuan hidup orang yang diserang kanker oleh seorang dokter ahli, merupakan
ramalan yang bersifat ilmiah; artinya berdasar riset dan pengalaman ilmu
kedokteran.
Demikian juga meramalkan kenaikkan harga, karena melihat persediaan barang di pasar yang kian menyusut, tidaklah terlarang.
Meramalkan
musim dengan peralatan satelit modern, bersifat ilmiah; memprediksikan di sini
berarti memperhitungkan berdasar data-data yang zahir yang pernah terjadi,
bukan berdasar yang gaib.
Karenanya, meramalkan banjir yang akan terjadi dengan memantau derasnya hujan, dibolehkan; sebab bersifat ilmiah pula.
Sebenarnya segala
sesuatu itu jika diletakan sesuai pada tempatnya, bisa bermanfaat.
Meramalkan akan terjadinya musim kemarau panjang, akan membuat kita bersiap-siap untuk menanggulangi bahaya kelaparan yang diakibatkan musim peceklik.
Justru yang tidak meramalkan, yang bermasa bodoh dengan kemungkinan-kemungkinan semacam itu, adalah orang-orang yang salah.
Mereka biasanya baru berteriak bila musibah
sudah menerpa, baru berdoa manakala kepahitan sudah melanda.
MERAMAL SECARA GAIB
“Dan pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib,
tidak ada yang mengetahui kecuali Dia sendiri.” (Qur’an,
Al An’aam [6]:59)
Meramal nasib, dengan cara apapun, seperti melihat garis tangan atau
palmistri, sama sekali tidak ilmiah.
Meramal di sini hanya bersifat menduga-duga tanpa berdasarkan penjelasan ilmiah yang zahir.
Meramal di sini hanya bersifat menduga-duga tanpa berdasarkan penjelasan ilmiah yang zahir.
Meramal di sini
hanya berdasar praduga si dukun (bisa jadi, dengan pengaruh gaib dari si iblis
laknatullah).
Dan hukumnya jelas HARAM.
Dalam kehidupan di dunia ini orang tak bisa dipastikan bakal kaya atau melarat, bakal senang atau sengsara.
Satu-satunya yang bisa dipastikan akan dialami seorang manusia adalah dia bakal mati.
TAKDIR TAK BISA DIRAMALKAN
Ada orang yang berusaha tanpa kenal lelah berniat membangun rumah bagai
istana.
Namun ketika istananya selesai didirikan ia mati; dan isterinya menikah lagi dengan jejaka pengangguran yang tidak pernah mimpi punya istana.
Namun ketika istananya selesai didirikan ia mati; dan isterinya menikah lagi dengan jejaka pengangguran yang tidak pernah mimpi punya istana.
Pertanyaannya, kehilangan istana dan isteri, siapa bisa meramal?
Mendapat
isteri dan istana, siapa bisa meramal?
Jelas, takdir
berkaitan dengan kehendak Allah.
Meramalkan takdir sama artinya dengan mengharuskan Allah berbuat sesuai dengan ramalan kita itu.
Padahal mustahil
Allah terikat dalam melakukan kehendakNya.
Karena itu pula,
jika kita sakit dan merasa tak akan sanggup menuntaskan pekerjaan, kita tidak
usah berangkat ke kantor.
Dan tak perlu menghitung-hitung jari tangan; pergi, tidak, pergi, tidak.
Akal kitalah yang harus menentukan, bukan perhitungan jari tangan.
Dan tak perlu menghitung-hitung jari tangan; pergi, tidak, pergi, tidak.
Akal kitalah yang harus menentukan, bukan perhitungan jari tangan.
Begitu pula dalam masalah lainnya yang mirip.
Sebab Islam itu untuk orang yang berakal, bukan untuk yang menuhankan takhayul.
Sebab Islam itu untuk orang yang berakal, bukan untuk yang menuhankan takhayul.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengingatkan:
“Barangsiapa membatalkan maksud keperluannya karena ramalan mujur-sial maka dia telah bersyirik kepada Allah..” (HR. Ahmad)
Kalau masalah sepele seperti di atas saja tak bisa diramalkan, apalagi
perkara kiamat.
Karenanya, tidak perlu kita meramalkan kapan hari kiamat akan tiba.
Karenanya, tidak perlu kita meramalkan kapan hari kiamat akan tiba.
Justru yang harus dipertanyakan, kepada diri kita sendiri, adalah bekal apa yang sudah kita persiapkan dalam menghadapinya.
MERASA TIDAK MENYIMPANG
Dalam masalah gaib, seorang Muslim hanya pantas takut kepada Allah.
Artinya, seorang Muslim seharusnya takut tergoda dengan muslihat si iblis, dan bukan takut dicekik si iblis.
Sebab si iblis laknat jahanam terkutuk tidak bisa mencekik manusia; si iblis hanya bisa menggoda dan menipu manusia.
Artinya, seorang Muslim seharusnya takut tergoda dengan muslihat si iblis, dan bukan takut dicekik si iblis.
Sebab si iblis laknat jahanam terkutuk tidak bisa mencekik manusia; si iblis hanya bisa menggoda dan menipu manusia.
Karenanya,
kita berlindung kepada Allah ‘Azza wa
Jalla dari godaan setan laknat jahanam yang amat sangat terkutuk.
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran
Tuhan yang Maha Pemurah (Al Qur’an), Kami adakan baginya setan (yang
menyesatkan), maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qur’an,
Az Zukhruf [43]:36)
“Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar, dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Qur’an, Az Zukhruf [43]:37)
Ayat-ayat Qur’an di atas hendaknya menjadi peringatan bagi mereka yang
mungkin menyimpang dari ajaran Islam yang lurus, tapi merasa tidak menyimpang,
dan merasa benar.
Terutama bagi yang mengamalkan perilaku yang jelas diharamkan, seperti pembuat dan pemakai jimat, pembuat maupun pelaku upacara ritual yang tidak ada contohnya dalam ajaran Islam.
Terutama bagi yang mengamalkan perilaku yang jelas diharamkan, seperti pembuat dan pemakai jimat, pembuat maupun pelaku upacara ritual yang tidak ada contohnya dalam ajaran Islam.
Harus selalu
dicamkan, jangan tertipu dan jangan
menipu.
Jangan tukar pahala akhirat dengan harta duniawi yang akan jadi rongsokan.
Jangan tukar pahala akhirat dengan harta duniawi yang akan jadi rongsokan.
WASPADA DENGAN ILHAM ATAU INSPIRASI
Seseorang bisa saja mendapat ilham; baik itu berupa ide atau sekadar gerak
hati, baik datangnya berupa mimpi di saat tidur atau berupa firasat saat
terjaga (saat bangun).
Namun, baik berkaitan dengan urusan agama atau tidak, ilham lebih tertuju kepada kemanfaatan buat orang itu sendiri.
Dan bukan untuk orang lain, apalagi disebarkan kepada orang banyak.
Karenanya, ilham
tidak boleh dijadikan dalil untuk membuat hukum yang berkaitan dengan agama dan
orang banyak.
Bisa saja sesuatu yang dikira ilham, ternyata bukan ilham (yang datang dari Allah); tapi sekadar bisikan yang justru datang dari si iblis keparat laknat jahanam terkutuk.
Bisa saja sesuatu yang dikira ilham, ternyata bukan ilham (yang datang dari Allah); tapi sekadar bisikan yang justru datang dari si iblis keparat laknat jahanam terkutuk.
Jadi, dalam konteks
ritus ibadat, yang terbaik adalah melakukan yang dicontohkan Nabi Saw; bukan melakukan yang baik sekadar
menurut pendapat kita.
Artinya, dalam perkara tuntunan agama, kita hanya harus mengikuti perintah yang diberikan Rasul; tidak disuruh mengikuti cara peribadatan yang datang dari manusia (dari orang selain Rasul).
Artinya, dalam perkara tuntunan agama, kita hanya harus mengikuti perintah yang diberikan Rasul; tidak disuruh mengikuti cara peribadatan yang datang dari manusia (dari orang selain Rasul).
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
itu dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya.” (Qur’an,
Al Hasyr [59] :7)
Dari sebab itu, hindari semua tatacara atau perilaku yang diragukan berasal
dari tuntunan Nabi Saw.
Jangan tertipu dengan iming-iming pahala atau keberuntungan yang tidak benar dalilnya.
Jangan tertipu dengan iming-iming pahala atau keberuntungan yang tidak benar dalilnya.
SIKAP KITA BUKAN KARENA KEBENCIAN
Seharusnya kita mendasarkan ketidaksukaan kita kepada perilaku mereka (yang
suka diramal maupun pengguna jimat) karena kecintaan kita kepada mereka, dan
bukan karena kebencian.
Sebab kita ingin melihat mereka selamat dan terhindar dari teguran Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebab kita ingin melihat mereka selamat dan terhindar dari teguran Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hendaknya kita
mengingatkan, yang disebut manusia zalim bukan hanya orang yang memperkosa hak
orang lain, tapi juga --terlebih lagi-- manusia
yang menyekutukan Allah dengan sesuatu atau seseorang.
Hanya saja dalam
menyadarkan orang yang salah jalan, bukan berarti harus berhasil; bukan
berarti harus menggebuki.
Karenanya, tidaklah tepat jika kita bersikap keras atau mengasingkan mereka yang suka meramal atau memakai jimat.
Karenanya, tidaklah tepat jika kita bersikap keras atau mengasingkan mereka yang suka meramal atau memakai jimat.
Adalah
keutamaan bagi kita untuk mengasihani mereka, dan mendoakan agar Allah
membukakan hati mereka.
Semoga Allah mengampuni saudara-saudara kita ini dan memberikan hidayahNya.
Semoga Allah mengampuni saudara-saudara kita ini dan memberikan hidayahNya.
Kepada
saudara-saudara kita yang lainnya, yang suka bertindak keras (yang tujuan
sebenarnya baik, yakni menjaga kesucian agama), hendaklah bersabar dalam
menyikapi hal ini.
Memaklumi bahwa kemampuan akal tiap orang adalah berbeda.
Memaklumi bahwa kemampuan akal tiap orang adalah berbeda.
Hendaknya dipahami,
sesuai kenyataannya, menghilangkan sifat buruk atau kebiasaan negatif yang ada
pada diri seseorang, termasuk pada diri kita, adalah satu hal yang amat sangat
sulit.
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar